123
Soeharto kini dilampiaskan melalui penjarahan dan pengrusakan termasuk pengrusakan hutan-hutan negara. Sejalan dengan ini, pada tataran global, diskursus
„governance‟ sudah mencuat sebagaimana gejolak evolusi masyarakat dunia yang mengingkinkan bentuk masyarakat madani. Diskursus
„governance‟ juga mempengaruhi kebijakan pengelolaan hutan pada umumnya baik di negara maju
maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Ketika gejolak reformasi ini terjadi, orientasi dan paradigma mulai banyak diubah ditataran lokal. Sehingga diskursus
„governance‟ mendapatkan moment tepat untuk diwujudkan.
Studi kasus pada PHBM Kuningan dapat mudah terlaksana di tataran lokal akibat dari diterimanya kesadaran diskursus
„governance‟ pengelolaan hutan sebagai buah dari kebenaran. Tata kelola pengelolaan hutan produksi Perum Perhutani yang
semula didasarkan pada penguasaan sentral dari pemerintah sebagai Pemilik BUMN, kini tidak lagi mampu menjawab tuntutan lokal yang menginginkan peran sebagai
bagian dari pengelola hutan. Dalam kasus PHBM Kuningan, diskurus „governance‟
pengelolaan hutan sudah memasuki tahap internalisasi dan tidak lagi sebagai wacana konsep. Aktor global telah melakukan intervensi melalui program-program
pembiayaan untuk mendukung reformasi tata kelola pengelolaan hutan di tingkat lokal. Di Kuningan, aktor aktivis LSM mendapatkan dukungan pembiayaan dari
donor DFID yang memperhatikan aspek reformasi „governance‟ dalam pengelolaan
hutan Indonesia.
6.3 Era Taman Nasional
Pada saat pemantapan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM Kuningan sedang dilaksanakan di seluruh kawasan hutan KPH Kuningan
termasuk hutan lindung Gunung Ciremai, munculah opini tentang kekritisan kawasan Gunung Ciremai. Opini ini muncul dari kalangan akademik STIKU
Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan. Pada mulanya, opini tentang kekritisan diawali oleh para staf pengajar dan hanya sebagai diskusi antar staf pengajar. Namun karena
golongan elite staf pengajar juga merupakan anggota dari elite Dewan Perwakilan
124
Daerah
127
dan elite Dinas Kehutanan dan Perkebunan
128
maka ‗bola‘ diskusi kemudian diarahkan pada wacana publik melalui seminar sehari ―Masa Depan
Pengelolaan Kawasan Gunung Ciremai ‖ yang dilaksanakan tanggal 5 Juli tahun 2004
di Gedung DPRD. Skenario kegiatan ini bukan hanya sekedar sebagai wacana akademik, namun setting acara disertai dengan anggota
129
yang terlibat memperlihatkan tujuan ―wacana‖ diarahkan untuk dapat berdampak pada pelaku
kebijakan di Kabupaten Kuningan. Dalam diskusi yang lebih banyak dihadiri oleh
para praktisi akademik, pejabat DPRD serta para SKPD terutama Dinas Kehutanan dan Perkebunan ini menghasilkan beberapa pilihan pada satrategi pengelolaan
Gunung Ciremai yaitu : 1 Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional; 2 Gunung Ciremai sebagai TAHURA; 3 Gunung Ciremai sebagai KPHL
130
. Sejak saat itu wacana 3 alternatif pengelolaan Gunung Ciremai berjalan terus bahkan menimbulkan
pro-kontra diantara para stakeholder baik itu LSM, Perhutani, LMDH, LPI PHBM Kuningan serta para Dinas di lingkungan Kabupaten Kuningan dan belum pernah
terjadi kesepakatan untuk memilih salah satu diantara ketiga alternativ ini. Namun wacana dan gagasan ini menjadi anti klimaks ketika secara ‗mendadak‘ tanpa ada
sosialisasi pemantapan gagasan dengan berbagai pihak lainnya beberapa pihak
mengeluarkan pernyataan terhadap dukungan perlindungan Gunung Ciremai. Pihak Kabupaten Kuningan melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan No.
5221480dishutbun tanggal 26 Juli 2004, Pihak Kabupaten Majalengka melalui Dinas Kehutanan surat No. 5222354HUTBUN tanggal 13 Agustus 2004 serta
DPRD Kabupaten Kuningan dengan surat No. 061266DPRD tanggal 1 September 2004, mengusulkan dan mendukung Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional
Gunung Ciremai. Dalam proses selanjutnya, para pihak yang mendukung pelestarian Gunung Ciremai mengadakan acara ekspose
131
kepada BAPPEDA Kuningan dengan
127
Nandy Haryadi sebagai Kepala STIKU juga merupakan anggota Dewan Perwakian Rakyat Daerah DPRD Kabupaten Kuningan
128
Slamet Warsa sebagai wakil kepala STIKU juga merupakan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebnunan Kabupaten Kuningan
129
DPRD menjadi media ampuh sebagai pelaku kebijakan
130
Kesatuan Pemangkuan Hutan Lindung
131
Dilaksanakan pada Tanggal 7 Oktober 2004 bertempat di BAPEDA Kuningan
125
mengundang berbagai pihak secara terbatas untuk menunjang data-data kawasan Gunung Ciremai
132
. Pertemuan ini memiliki maksud untuk melengkapi bahan ekspose kajian ilmiah UNIKU
133
yang mengusungmelontarkan gagasan tentang Pengelolaan Taman Nasioanal Gunung Ciremai kepada Departemen Kehutanan.
Meskipun para pihak pro konservasi Gunung Ciremai akan membawa hasil pertemuan itu untuk ekspose kepada Departemen Kehutanan, namun mereka sepakat
untuk membawa gagasan ini sebagai bahan diskusi dengan Departemen Kehutanan dan bukan untuk penetapan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Pada
tanggal 8 Oktober 2004 terjadi ekspose susulan yang bertempat di Departemen Kehutanan. Para pihak yang menghadiri ekspose tersebut terutama dari Tim
Kuningan meliputi Pemerintah Kabupaten Kuningan yang diwakili oleh ASDA I dan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dari kelompok akademik STIKUUNIKU
diwakili oleh Dekan serta beberapa dosen, dari kelompok LSM dihadiri oleh AKAR
134
. Dalam ekspose tersebut sebenarnya diskusi telah mengerucut pada keprihatinan kondisi kawasan Gunung Ciremai dan kebutuhan perubahan status
kawasan hutan tersebut guna melindungi hutan Gunung Ciremai dari kerusakan yang lebih parah. Para Pihak dari Kuningan mengakui fakta ini dan mendukung tindakan
pelestarian kawasan. Namun yang berbeda pendapat ketika telah muncul gagasan alternatif perubahan status. LSM AKAR menginginkan perubahan status tidak selalu
menjadi Taman Nasional sedangkan para pihak lainnya menggagas ide Taman Nasional dengan beberapa alasan terutama alasan efektifitas pengelolaan dan jaminan
kelestarian yang lebih tinggi ketika status menjadi Taman Nasional. LSM AKAR itu sendiri memiliki padangan yang berbeda pada tiap anggotanya yang menimbulkan
pro dan kontra internal. Ide Taman Nasional tidak lepas dari dukungan Bupati Kuningan yang menginginkan status Gunung Ciremai menjadi kawasan konservasi
Taman Nasional. Aang Hamid Suganda sebagai Bupati merupakan sosok pecinta
132
Pada saat itu, LSM AKAR juga memberikan kontribusi pada data dan informasi perubahan tutupan hutan Gunung Ciremai serta berbagai investigasi tentang ilegal loging di kawasan Gunung Ciremai
133
Pada saat itu STIKU telah melebur dengan Universitas Kuningan dalam payung kelembagaan Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan
134
Aktivitas Anak Rimba - Kuningan
126
lingkungan dan keprihatinan dia terhadap Gunung Ciremai muncul ketika melihat keadaan hutan Ciremai yang gundul pada beberapa tempat di kaki Gunung. Hutan
Ciremai yang gundul ini bahkan dapat di lihat dari jauh baik dari pusat kota maupun jalan Kuningan-Cirebon. Dibalik itu semua Aang memiliki kepentingan politik lain
sejak menjabat sebagai Bupati. Ide Taman Nasional sejalan dengan paradigma yang ingin diusung oleh Aang Hamid Suganda sejak dia terpilih menjadi Bupati yaitu
membangun Kuningan melalui paradigma konservasi dan menjadikan Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi. Sehingga setelah beberapa rangkaian ide-ide
pembangunan di Kuningan yang berasaskan konservasi dimunculkan salah satunya mengusulkan Gunung Ciremai sebagai hutan konservasi Taman Nasional maka
Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi menjadi ikon nasional yang sukses dimata para pejabat daerah di Indonesia seperti halnya PHBM yang lahir di kota Kuningan
menjadi simbol kesuksesan pejabat daerah pada era pemerintahan Arifin. Hasil dari ekspose di Departemen Kehutanan pada tanggal 8 Oktober 2004
setidaknya memiliki dua petunjuk yaitu : 1 Karena alasan kekritisan maka harus segera dilakukan upaya penyelamatan Kawasan Gunung Ciremai dengan cara
meningkatkan status kawasan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam melalui SK Menhut; 2 untuk mencari bentuk pengelolaan Kawasan Pelestraian Alam
ini, Menhut harus membentuk timterpadu yang akan melakukan kajian-kajian secara komprehensif. Namun, tak disangka tak diduga, Menhut malah telah mengeluarkan
SK Penetapan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai
135
hanya 11 hari setelah ekspose ini selesai tanpa melalui rangkaian proses sesuai perundangan yang berlaku.
Oleh karenanya sebagian pihak merasa proses ini cacat hukum dan membuat arus perlawanan dari berbagai pihak muncul termasuk LSM AKAR salah satu pengusung
penyelamatan hutan Gunung Ciremai.
135
SK No 424Menhut-II2004 tanggal 19 Oktober 2004
127
Kotak 6.2 Berita Kompas tentang Pro-Kontra Taman Nasional Gunung Ciremai
Demi Elang Jawa atau Masyarakat Sunda? KOMPAS, 12 Desember 2004
Setelah penolakan bertubi-tubi menghadang penetapan Taman Nasional Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di Jawa Tengah, kini penolakan juga bermunculan dan semakin menghangat berkenaan dengan ditetapkannya Gunung Ciremai
menjadi Taman Nasional di Jawa Barat. Penolakan itu lebih mengedepankan kepentingan masyarakat etnis Sunda, yang tinggal di sekitar Gunung tersebut, daripada usaha pelestarian burung dan binatang yang melata di dalamnya. Dengan
Surat Keputusan SK Menteri Kehutanan Nomor 424Menhut- II2004, pemerintah pusat melalui Menteri Kehutanan terdahulu, M Prakosa, menetapkan Gunung Ciremei sebagai Taman Nasional. SK Menhut tersebut praktis
mentransformasi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai Menjadi Taman Nasional.Sebelumnya, berdasarkan keanekaragaman hayati, kawasan wisata, dan daerah resapan air water catchment area, Menhut menerbitkan SK Menhut
Nomor 419Kpts-II1999 Tentang Penetapan Kawasan Ciremai menjadi Kawasan Lindung. SK Menhut disambut pula oleh SK Gubernur Jawa Barat Nomor 5521224Binprod tentang Perlindungan dan Pengamanan Hutan di Jabar, dengan
salah satu poin Pelarangan Tumpang Sari di kawasan Lindung, dan penanaman di kemiringan tertentu.Gunung Ciremai merupakan Gunung tertinggi di Jawa Barat yakni 3.078 meter di atas permukaan laut, dengan luas 15.518,23 hektar.
Gunung ini terletak di dua kabupaten, yakni Kabupaten Kuningan seluas 8.205,38 hektar dan Kabupaten Majalengka 7.308,95 hektar.Dari sisi keanekaragaman hayati, Gunung Ciremai dikenal sebagai habitat elang Jawa Spozaetus
bartelsii, macan kumbang, lutung, harimau, dan bunga Edelweiss.Mata air Cipaniis, Apuy, Desa Jambu, Gunung Sirah, dan Ciinjuk, juga dikenal luas sebagai pemasok air kawasan Kuningan, Majalengka, Kabupaten Cirebon, dan Kota
Cirebon.Ketua Kelompok Kerja Ciremai, Avo Juhartono, menyatakan bahwa penetapan Taman Nasional Gunung Ciremai TNGC hanya didasari pada keberadaan segelintir elang Jawa. Padahal, seharusnya ada penelitian lebih mendalam.Kami
kecewa karena pemerintah menetapkan TNGC, tanpa mengindahkan proses pembicaraan yang sedang berlangsung. Penetapan dengan ketergesaan ini harus diulangi sehingga masyarakat tidak dirugikan dengan TNGC, kata Avo
Juhartono.Tanggal 8 Oktober 2004 bertempat di Departemen Kehutanan dilakukan ekspose usulan TNGC oleh Pemkab Kuningan diwakili Asisten Daerah Asda I dan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan serta
wakil akademisi dari Universitas Kuningan. Dalam pertemuan ini, Avo juga ikut hadir.Avo menuding Surat Bupati Kuningan Nomor 5221480 Dishutbun tertanggal 26 Juli 2004, Surat Bupati Majalengka Nomor 5222354Hutbun
tertanggal 1 September 2004, dan Surat DPRD Kabupaten Kuningan Nomor 061226DPRD tertanggal 1 September 2004, yang memengaruhi pemerintah pusat Dephut dalam penetapan TNGC.Padahal, surat tersebut belum tentu
aspiratif. Dengan ketergesaan ini, Avo Juhartono mempertanyakan kedalaman proses pengambilan data hingga pelibatan peran serta warga.Pemerintah harus menanyai langsung aspirasi rakyat, dan hal ini dapat dilakukan dengan pembentukan
tim khusus. Harus dijelaskan wacana TN dan konsekuensi yang diterima warga, kata Avo. Berdasarkan data LSM Aktivis Anak Rimba Akar, di wilayah Kuningan terdapat 24 desa yang berada di lereng Ciremai, sedangkan di kawasan
Majalengka terdapat 23 desa. Dia mengkhawatirkan kecilnya akses masyarakat untuk dapat bertani di kaki Ciremai.Paguyuban Masyarakat Tani Hutan PMTH Kabupaten Kuningan menyatakan diri menolak penetapan TNGC,
yang dibuat tanpa partisipasi masyarakat. Mereka mempertanyakan komponen masyarakat yang telah ditanyai pemerintah daerah berkenaan dengan pembentukan TN.Pemkab Kuningan menyatakan telah meminta aspirasi masyarakat.
Masyarakat yang mana? Kami ini yang bermukim tepat di lereng Ciremai, bahkan tidak pernah merasa ditanyai pemerintah. Apakah Bupati hanya menanyai kepala desa? Benarkah jawaban mereka, sungguh-sungguh sesuai dengan
aspirasi kami?, ujar seorang warga Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Cigugur, Kabupaten Kuningan.Menanggapi hal itu, Bupati Kuningan Aang Hamid Suganda mengatakan, akselerasi proses penetapan TNGC keluar dari keprihatinannya
menyaksikan proses perusakan di Gunung Ciremai. Saya tiap bulan mendaki lereng Ciremai, dan selalu menyaksikan proses penggundulan baru. Maka, dengan visi mempertahankan Gunung Ciremai, diambil langkah pembentukan TNGC,
kata dia, saat dijumpai Kompas di rumah dinas Bupati Kuningan, akhir bulan November lalu.Sebagai orang yang besar di Bogor di kaki Gunung
Salak, saya terbiasa ‘dekat‘ dengan hutan. Dan, kerusakan hutan di beberapa titik di Gunung Ciremai sangat memprihatinkan. Sementara Perhutani-dengan status profit-nya-saya duga tidak mampu berbuat banyak
untuk mereboisasi Ciremai, ujar Aang Hamid. Aang Hamid menjelaskan dengan status TN, maka pemerintah pusat diharapkan mulai tahun depan dapat melakukan tindakan penyelamatan Gunung Ciremai. Dia pun tidak menafikan adanya
kekhawatiran tertutupnya akses memasuki Gunung Ciremai. Namun, Bupati Kuningan berjanji untuk memperjuangkan masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Ciremai agar bisa tetap mendapatkan pendapatan dari sekitar Gunung tersebut.
Jadi, pemerintah diminta tidak hanya memikirkan nasib elang Jawa. Haryo Damardono- Wartawan Kompas
128
Masyarakat di beberapa desa di lereng Ciremai yang menolak penetapan TNGC juga memiliki pertimbangan tersendiri. Dari berbagai pertimbangan, tampaknya yang
paling mengkhawatirkan masyarakat adalah kelanjutan peranserta mereka dalam pengelolaan hutan sebagaimana sudah dimulai melalui kerjasama PHBM dengan
Perhutani. Petani merasa khawatir dengan nasib pendapatannya sejak status kawasan berubah menjadi Taman Nasional. Kekahawatiran ini disebabkan pola pengaturan
kawasan konservasi belum tentu sama dengan pola pengaturan ketika masih dikuasai oleh Perhutani. Mereka merasa bahwa mereka sudah pasti akan dikeluarkan dari
kawasan dan tidak dapat lagi menggarap tanah hutan seperti masa PHBM. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Forum PHBM Desa Setianegara :
―……Kalau Perhutani saja dapat dikeluarkan dari Gunung Ciremai, apa lagi kami masyarakat desa
…….. Sementara itu, perbedaan tajam juga terjadi di tubuh LPI PHBM, Perbedaan di
LPI PHBM lebih menyangkut masalah proses penetapan TNGC dari pada substansi apakah Gunung Ciremai sesuai atau tidak ditetapkan sebagai Taman Nasional. Hal itu
dapat dipahami karena proses perubahan fungsi Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional memang tidak melibatkan LPI-PHBM secara intensif. Sebagaimana
dikemukakan oleh Ketua LPI, Sanusi Wijaya, bahwa dalam proses perubahan fungsi kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional
, ―tidak seluruh anggota LPI dilibatkan‖. Proses ini lebih banyak dilakukan oleh Dishutbun dan sempat dibantu
STIKUUNIKU untuk kajian awal. Kalaupun dilibatkan, lanjut Sanusi Wijaya, hanya
terbatas, yakni pada seminar sehari yang salah satu keputusannya adalah bahwa bentuk pengelolaan Gunung Ciremai akan dibahas dalam beberapa pertemuan
selanjutnya. Tetapi pembahasan selanjutnya tersebut tidak dilaksanakan, kemudian proses terus berjalan sampai kemudian terbit Keputusan Menhut tentang TNGC
tersebut. Masyarakat dan para pihak yang berkepentingan telah melakukan berbagai
upaya untuk menjawab kekuatiran yang muncul.Selama hampir satu tahun, para pihak mencoba membangun dialog pasca penetapan status Taman Nasional untuk
129
mencari solusi. Dialog tidak hanya dilakukan di Kuningan saja, melainkan juga di tingkat Propinsi Jawa Barat bahkan dengan Departemen Kehutanan di Jakarta. Para
pihak yang terlibat dalam dialog adalah wakil-wakil masyarakat, pemerintah Kabupaten Kuningan, LSM, LPI PHBM, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa
Barat II, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, Perum Perhutani baik di KPH Kuningan maupun Unit III Jawa Barat, serta Sekretaris Jenderal Departemen
Kehutanan, Direktur Konservasi Kawasan dan Kepala Biro Hukum Departemen Kehutanan. Dialog yang dilakukan berhasil memunculkan pemahaman kepada semua
pihak, bahwa penunjukan Taman Nasional Gunung Ciremai yang dilakukan mendadak dan sepihak telah menimbulkan permasalahan. Namun, para pihak juga
sepakat bahwa langkah maju harus diambil. Taman Nasional Gunung Ciremai tidak ditolak, tapi peluang untuk partisipasi masyarakat dan para pihak harus dibuka sejak
tahap menyusun perencanaan, pelaksaan, membangun kelembagaan dan monitoring kegiatan. Setelah itu dilakukan suatu langkah kongkrit untuk mewujudkan proses
perencanaan pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai yang partisipatif. Suatu studi untuk merancang model pemanfaatan ruang dan lahan di Taman Nasional
Gunung Ciremai telah dilakukan atas inisiatif para pihak yang peduli dengan TN Gunung Ciremai, seperti LPI-PHBM, KANOPI, AKAR, LATIN dan
INFRONT. Studi diarahkan untuk dapat menjadi bahan bagi para pemangku kepentingan untuk menyusun rencana pengelolaan, yang antara lain mencakup
rancangan zonasi, bentuk kelembagaan, serta tahapan menyeluruh untuk menyusun rencana pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai. Namun, penerapan studi ini
tidak pernah terwujud sampai dengan sekarang. Meskipun setelah studi ini dilakukan muncul inovasi kelembagaan dari para pihak dengan membentuk kelembagaan
kolaboratif pengganti program PHBM khusus eks PHBM Gunung Ciremai dengan nama PKKBM Pengelolaan Kawasan konservasi Bersama Masyarakat. Namun,
PKKBM pun tidak pernah bisa terwujud. Debat akan rancangan zonasi, pola kemitraan dan bentuk kelembagaan bagai tarik ulur tanpa ujung. Sata sisi para pihak
LSM membuat inisiasi- inisiasi, satu pihak lainnya ‗ngotot‘ dengan peraturan dan
perundangan yang berlaku.
130
Gambar 6.1 Jejaring Kuasa Perubahan Kebijakan Gunung Ciremai
6.4 Ikhtisar