Penerapan Penanaman Perkebunan Kopi di Gunung Ciremai

92 kehutanan, juga karena pada tahun 1830-1870 Van Den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa Cultuurstelsel yang menimbulkan perubahan drastis terhadap kondisi hutan di Jawa, dimana banyak kawasan hutan dibuka dan dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan kopi untuk meningkatkan komoditi ekspor. Sementara itu, kebutuhan kayu jati untuk memasok perusahaan-perusahaan kapal kayu, membangun gudang-gudang pengeringan tembakau, pabrik gula, dan membangun barak-barak pekerja dan perumahan pegawai perkebunan, terus meningkat pada periode cultuurstelsel Simon, 1993:31 56 .

5.1.1 Penerapan Penanaman Perkebunan Kopi di Gunung Ciremai

Culturstelsel di Jawa dimulai pada tahun 1836 atas inisiatif seseorang yang berpengalaman yaitu Van Den Bosch yang telah memiliki pengalaman dalam mengelola perkebunan di wilayah kekuasaan Belanda di Kepulauan Karibia. Tujuan Van Den Bosch dengan sistem cultuurstelsel di Jawa itu adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang menjadi permintaan di pasaran dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut Bosch menganjurkan pembudidayaan berbagai produk seperti kopi, gula, indigo nila, tembakau, teh, lada, kayu manis, jarak, dan lain sebagainya Fasseur, 1992: 239; Aman, 2007:9 57 . Meskipun Van Den Bosch hanya memimpin Hindia- Belanda sampai tahun 1834, namun ide dan penerapan Culturstelsel ini telah mempengaruhi Gubernur Jenderal berikutnya dan Jean baron Baud 1834-1836 yang merupakan pengganti Van Den Bosch mendukung kuat penerapan Culturstelsel 58 . Kebijakan Culturstelsel pada zaman itu diberlakukan juga pada Residen Cirebon termasuk Kuningan sebagai bagian dari kekuasaan Residen Cirebon. Karena agenda reforestasi hutan lebih terkonsentrasi pada hutan Jati yang sebagian besar terletak di Jawa Tengah dan Jawa Timur maka hutan Jawa Barat terutama Gunung Ciremai tidak 56 Simon, Hasanu, 1993, Hutan Jati dan Kemakmuran, Problematika dan Strategi Pemecahannya, Aditya Media, Yogyakarta 57 Lihat C. Fasseur, 1975. Kultuurstelsel en Koloniale Baten: De Nederlandse Exploitatie Van Java 1840-1860 . Leiden: University Press.; Aman, 2007. Sejarah Indonesia Abad-19. Penerapan dan Dampak Sistem Tanam Paksa 1830-1870. Buku Pegangan Kuliah. Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta 58 Lihat http:id.wikipedia.orgwikiJean_ChrC3A9tien_Baud. Diunduh tanggal 24 September 2012. Pukul 11.48 93 menjadi perhatian kebijakan reforestasi namun penerapan Culturstelsel berlaku di hutan ini. Dampak dari Culturstelsel ini mengakibatkan perubahan lansekap Kuningan disekitar kaki Gunung Ciremai terjadi. Beberapa hasil bumi terutama kopi menjadi target penanaman Sistem Culturstelsel. Desa disekitar Gunung Ciremai yang menjadi dampak kebijakan ini adalah Desa Linggarjati, Desa Seda dan Trijaya. Beberapa desa lainnya diduga juga menjadi bagian dari program Culturstelsel namun sulit diungkap karena adanya keterbatasan sumber acuan dan pelaku sejarah. Gambar 5.1 Titik Ordinat Perkebunan Kopi Era Kolonial di Gunung Ciremai Kebijakan Culturstelsel menjadi beban berat bagi para petani Gunung Ciremai,karena mereka memiliki kewajiban untuk menanam komoditas ekspor kopi yang harus ditanam pada sebagian tanah pertaniannya. Seperti yang diungkap oleh Aman 2007 bahwa pada zaman Culturstelsel para petani lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan waktunya untuk tanaman berkualitas ekspor, sehingga tidak dapat mengerjakan sawahnya dengan baik, bahkan dalam suatu waktu tidak dapat Distribusi ―Kopi Gunung‖ Peninggalan Perkebunan Era Kolonial 94 mengerjakan sawahnya sama sekali.Penduduk yang tidak memliki tanah harus bekerja melebihi waktu yang ditentukan. Penduduk menyediakan tanah untuk tanaman ekspor melebihi seperlima dari lahan garapan, bahkan sampai ½ atau seluruhnya digunakan untuk menanam tanaman komoditas ekspor. Tanah juga dipilih pada lahan yang subur, sementara padi hanya bisa ditanam di sisa lahan yang kurang subur. Apabila penduduk gagal panen, tanaman wajib tetap menjadi tanggung jawab penduduk. Demikian pula lahan yang disediakan untuk tanaman wajib itu masih tetap dikenakan wajib pajak. Sedangkan setelah panen, apabila penduduk menyerahkan hasil panennya melebihi dari jumlah pajak yang harus dibayar tidak dikembalikan kepada rakyat Aman, 2007:9 59 . ―……ari patani mun nurut hungkul teu tiasa ngalawan da sieun ku Balanda sareung Demang. kumargi eta lahan patani ngan ukur saalit, seuer patani nu melakan tangkal kopi na dina sisi Gunung. tambah kadieu mah tambah ka luhur melak na da ku sabab Balanda loba tuntutan. kumargi patani mertahankeun tanah lembur tanah pertanian di desa kanggo nanam pare matakna patani nyungsrukan ka leuweung jang nanam kopi. meh beban tuntutan Balanda tiasa dilaksanakeun. da eman atuh mun pare dipelakan kopi mah. gaduh tanah ngan sakitu-kitu na kudu dipelakan kopi kumaha tiasa tuang mun eta tanah pare tanah pertanian padi dipelakan kopi. mending oge ngusruk ka Gunung nanam kopi na.da mun nanam pare di Gunung sesah cai na. seueur patani nu nanam tangkal kopi di Gunung. nya kumargi eta teu gaduh lahan deui anggo nanam tangkal kopi……‖ Petani Gunung Ciremai tidak dapat berbuat banyak ketika kebijakan Culturstelsel diterapkan. Mereka menghindari ancaman dan resiko yang lebih berat ketika mereka tidak menuruti kebijakan Hindia-Belanda. Bupati dan Demang merupakan agen kekuasaan Belanda di tingkat lokal. Ketika Bupati tidak memiliki kuasa untuk menolak kebijakan Belanda maka otomatis rakyat dibawahnya harus mengikuti titah pemimpin lokalnya. Bupati, Demang dan pemimpin tingkat desa pada saat Culturtelsel dilaksanakan juga menerima untung karena diposisikan sebagai 59 Aman, 2007. Sejarah Indonesia Abad-19. Penerapan dan Dampak Sistem Tanam Paksa 1830-1870. Buku Pegangan Kuliah. Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta 95 tenaga pelaksana dan supervisi kebijakan Culturstelsel di tingkat lokal meskipun awalnya sulit untuk mengajak para kepala desa untuk mendukung Sistem Culturstelsel . Pada awal sistem ini ditawarkan, Pemerintah Kolonial menggunakan berbagai tekanan fisik untuk mendapatkan kerjasama dari beberapa desa : hukuman cambuk dengan tongkat rotan ditunjukan dimuka umum sebagai contoh bagi para kepala desa yang membiarkan warga desa mengabaikan penanaman tanaman pemerintah atau yang menampik saran-saran agar menyediakan tanah desa. Menjelang tahun 1840-an, tekanan semacam itu tidak diperlukan lagi.Pesan yang disampaikan sudah dimengerti dan desa-desa serta kepala desa pada intinya telah melakukan sejumlah penyesuaian Niel, 2003:178 60 . Pada saat kebijakan Culturstelsel berlaku di sekitar Desa Linggarjati, Seda dan Trijaya serta desa lainnya di Kuningan, lansekap hutan Gunung Ciremai mulai terganggu dengan ditanamnya tanaman kopi oleh petani. Desa Linggarjati, Seda dan Trijaya pada awal mulanya adalah satu desa yang mengalami perluasan administrasi. Penduduk Linggarjati, Seda dan Trijaya pada saat melaksanakan Culturstelsel masuk dalam administrasi Desa Cilimus. Namun pada waktu itu beberapa penduduknya telah tersebar di lokasi Linggarjati, Seda dan Trijaya saat ini dengan aksesibilitas yang sangat minim dan sebagian besar lansekap pedesaannya masih didominasi oleh pepohonan dan hutan. Dengan aksesibilitas yang terbatas ini, kebijakan Culturstelsel tetap harus dilaksanakan oleh seluruh penduduk terutama mereka para petani desa bahkan mereka-mereka yang berada di daerah terpencil dekat dengan Gunung Ciremai seperti Linggarjati, Seda dan Trijaya. Strategi pembukaan tanah hutan pada masa Culturstelsel juga diungkapkan oleh Niel 2003 bahwa pada masa Culturstelsel berlangsung, tanah-tanah baru yang dibuka mulai ditanami dengan tanaman ekspor. Pembersihan semak belukar dan pembukaan tanah hutan untuk kebun kopi adalah cara yang paling biasa dipakai agar proses tanam bisa segera dimulai. Kebun-kebun kopi yang sudah tua akan ditebang dan dibersihkan serta dijadikan areal tanaman padi; mula-mula sebagai sawah tadah hujan yang kemudian berganti menjadi sawah 60 Niel Van Robert. 2003. Sistem Tanam Paksa Di Jawa. Hardoyo Penerjemah. Pustaka LP3ES Indonesia. jakarta 96 irigasi dan desa-desa baru akan tumbuh atau kawasan permukiman sederhana akan terus bermunculan Niel, 2003:179-180. Pengubahan lansekap hutan termasuk kaki Gunung Ciremai dilakukan oleh para petani Linggarjati, Seda dan Trijaya mengingat itu adalah strategi mereka untuk bertahan hidup dan menghindari ancaman kelaparan selama diterapkannya kebijakan Culturstelsel. Pembukaan hutan untuk dijadikan perkebunan kopi dilakukan mereka dengan gotong royong antar penduduk. Kepala desa pada waktu itu juga memiliki peran dalam mengkoordinasi proyek ini. Pembukaan hutan di sekitar kaki Gunung Ciremai tidak menjadi masalah pokok mengingat kelembagaan dan kebijakan kehutanan Hindia-Belanda belum sepenuhnya mapan atau tidak terlalu memerhatikan lansekap hutan rimba non jati. Hutan Gunung Ciremai adalah kategori hutan rimba yang tidak memiliki pepohonan jati seperti hutan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari kenyataan ini, Hindia-Belanda pada waktu itu tidak terlalu memperdulikan aset hutan rimba terlebih pembukaan hutan ini diperuntukan untuk kepentingan mereka juga. Kontrol atas hutan Gunung Ciremai pada era ini tidak terlalu ketat mengingat aksesibilitas untuk menuju hutan ini amatlah sulit dan pejabat kehutanan Hindia- Belanda tidak senantiasa memonitor tindakan petani Gunung Ciremai karena alasan ini. Sehingga pembukaan hutan Gunung Ciremai sepenuhnya menjadi penguasaan para petani dan pemimpin desa. Namun, pembukaan hutan ini bagi petani bukan untuk memperkaya diri. Ini dilakukan semata agar mereka tidak terkena bencana kelaparan akibat kebijakan Culturstelsel dan kewajiban penanaman tanaman kopi di lahan pertanian mereka. Mereka harus menanam tanaman kopi di tempat lainnya untuk tidak mengganggu tanah pertanian subsisten mereka meskipun beban pajak mereka akan bertambah ketika memiliki lahan kebun tambahan. ―……da patani mah sanes anggo kasenangan ngabuka leuweung teh. margi manehna alimeun kalaparan mun melak kopi dina taneuh kampung. gaduh taneuh kampung oge hidup mah sangsara dasok loba seserahan hasil panen. komo mun eta taneuh dipelakan tangkal kopi. atuh tambah teu bisa d ahar. da kopi mah sanes beas…….‖ 97 Pada era Culturstelsel, akses dan kontrol hutan Gunung Ciremai masih terletak di tangan petani dan penduduk sendiri. Mereka tidak diintervensi oleh pelarangan- pelarangan seperti yang berlaku pada zaman sekarang.

5.1.2 Pemberlakuan Perlindungan Hutan Gunung Ciremai