Era Perum Perhutani PROSES POLITIK PERUBAHAN KEBIJAKAN

119 kehutanan Binnelands Bestuur dan Houtvester mulai memilih tanah-tanah hutan Gunung Ciremai yang memang perlu direhabilitasi atau penghutanan kembali. Namun karena kebijakan reforestasi dan penghutanan kembali memiliki implikasi biaya yang tinggi maka Binnelands Bestuur dan Houtvester menunggu itu menjadi program pemerintah Kolonial 123 . Akhir abad 19 tersebut belum menjadi agenda penting untuk mereforestasi hutan rimba tetap seperti Gunung Ciremai namun tindakan pengawasan dan pengamanan telah dilakukan agar hutan rimba tersebut bebas dari kepemilikan manusia. Karakteristik politik represi yang dilakukan Pemerintah Kolonial sejak era Culturstelsel sampai era liberal telah membuat sebagian petani kopi Gunung Ciremai mengerti untuk ‗pasrah‘ meninggalkan kebun kopi mereka dan lebih fokus mengurusi tanah pertanian di desanya dan beberapa tanaman kopi yang ditanam di tanah desa.

6.2 Era Perum Perhutani

Pada saat pembangunan hutan Gunung Ciremai oleh Perum Perhutani tahun 1980-an, banyak masyarakat yang terlibat untuk melakukan pembukaan hutan dan penanaman tanaman Pinus. Karena sejak pengusahaan hutan Jawa ini dipegang oleh Pemerintahan Kolonial Boswezen telah diterapkan pelibatan masyarakat serta penerapan program petani pesanggem di Jawa Tengah dan Jawa Timur setelah dipegang Perhutani maka penerapan petani pesangem sistem tumpang sari di Gunung Ciremai pun dilakukan. Banyak petani Gunung Ciremai yang mengikuti program sistem tumpang sari di lahan hutan Perhutani meskipun tidak seluruh petani dapat terakomodir oleh sistem tumpang sari tersebut. Sampai dengan pergolakan reformasi berlangsung 1998 dan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, Perhutani masih terus menerapkan sistem tumpang sari pada lahan hutan bekas 123 Rancangan penghutanan terutama dimulai tahun 1931. Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda menetapkan satu Panitia yang berkewajiban untuk menyelidiki dan memberikan pemandangan keterangan dan laporan kepada pemerintah tentang aturan-aturan untuk memperbaiki dan memelihara hutan jati dan hutan rimba. Maksud untuk membentuk panitia itu adalah 1 untuk mempertahankan keadaan hutan yang ada pada waktu itu; 2 untuk menyelidiki keadaan hidrologis dan orologis setelah perluasan hutan cadangan. Lihat Tauchid 2009:448 120 tebangan sebagai program perhutanan sosial. Program ini berjalan tanpa mengalami kendala berarti namun banyak hasil penelitian dibeberapa tempat memperlihatkan hasil yang kurang efektif pada pendekatan perhutanan sosial ini. Masyarakat miskin disekitar hutan masih saja menjadi pekerjaan rumah Perhutani dan kerusakan hutan akibat pencurian kayu masih juga terjadi 124 . Ketika kasus perebutan kawasan dan penjarahan hutan oleh petani terjadi dibeberapa tempat pasca gelombang reformasi tahun 1998, di Kabupaten Kuningan malah membuat suatu inovasi baru dalam pengelolaan hutan dengan pelibatan masyarakat yang pada saat ini dikenal dengan nama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM. Dorongan arus reformasi dalam wacana nasional membuat beberapa elemen masyarakat antara lain LSM serta masyarakat sipil di Kabupaten Kuningan membahas konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat. Ini momen penting karena konsep ini hadir pada waktu yang tepat ketika semua elemen masyarakat terutama petani hutan menginginkan keadilan sosial yang dapat mensejahterakan mereka dan ketika ini belum terakomodir maka pelampiasan mereka dilakukan melalui penjarahan dan perusakan hutan sebagai bentuk perlawanan. Pengkomunikasian konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat selain didorong oleh LSM nasional dan lokal LATIN 125 dan KANOPI 126 , konsep ini pun mendapatkan respon positif dari perangkat Perhutani KPH Kuningan terutama dukungan kuat dari Andri yang merupakan pejabat Adm KPH Kuningan. Pembahasan konsep PHBM digodog oleh beberapa elemen masyarakat terutama 124 Lihat Peluso, Nancy., 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Komphalindo. Indonesia 125 LATIN Lembaga Alam Tropika Indonesia adalah LSM lainnya yang berurusan dengan masalah kehutanan masyarakat dan pelatihan. LSM Ini didirikan pada tahun 1989 di Bogor. Organisasi ini telah memberikan beberapa pelatihan untuk organisasi atau individu. Tematik pelatihan yang diberikan oleh organisasi adalah sebagai berikut: perencanaan lahan partisipatif, pemberdayaan masyarakat, GIS, analisis pemangku kepentingan, manajemen konflik, pemetaan partisipatif, rehabilitasi hutan partisipatif, monitoring dan evaluasi partisipatif, dan penelitian tindakan. LATIN mendukung pengembangan CBFM pengelolaan hutan berbasis masyarakat. KANOPI Kuningan yang mengembangkan model PHBM di Kuningan adalah salah satu mitra LATIN 126 KANOPI adalah LSM lainnya yang berbasis di Kuningan Jawa Barat. KANOPI terutama memfokuskan pada pemberdayaan masyarakat hutan di Kuningan. Dua desa Cileuya dan Sukasari dipilih sebagai model untuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat CBFM. Desa-desa tersebut difasilitasi oleh KANOPI. Pada tahun 2006, KANOPI memperoleh penghargaan CBFM dari Departemen Kehutanan. Sampai saat ini, organisasi tersebut telah memfasilitasi 10 desa7 di kabupaten ini. Pada tahun 2007 dan 2010, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan piala lingkungan terhadap KANOPI sebagai kelompok masyarakat yang peduli dengan kondisi lingkungan di Jawa Barat. 121 beberapa tokoh pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Dinas Kehutanan. Puncak dari proses konsep ini terbentuk adalah adanya dukungan kuat dari Arifin yang menjabat sebagai Kepala Daerah Bupati. Kesepakatan konsep ini dibawa bersama setiap elemen masyarakat Kuningan Bupati, Adm KPH Kuningan, Kepala Dinas Kehutanan, LSM LATIN, LSM KANOPI, dan beberapa tokoh masyarakat untuk disosialisasikan dan mendapatkan persetujuan dari Kepala Wil III Perhutani Jabar. Pada mulanya ada arus penolakan dari Kepala Wil III Perhutani Jabar karena konsep PHBM dirasa terlalu kebablasan dan akan merugikan Perhutani dikemudian hari. Namun karena dorongan para pihak termasuk pihak KPH Kuningan disertai dengan banyaknya kejadian penjarahan hutan pada masa itu maka dibuatlah suatu keputusan oleh Kepala Wil III Perhutani Jabar yang didorong menuju jajaran Direksi Perum Perhutani Pusat maka diputuskanlah perjanjian kerjasama antara Direktur Perum Perhutani dengan Bupati Kuningan untuk membuat percontohan model penerapan program PHBM di beberapa lokasi desa di Kuningan termasuk dua desa terletak di bawah kaki Gunung Ciremai. Pada keputusan ini, Pemerintah Daerah Bupati memiliki komitmen penuh untuk mendukung program ini terutama terkait dengan pembiayaan persiapan pencanangan program meliputi pembentukan lembaga para pihak tingkat daerah, pendampingan dan pelembagaan tingkat desa serta pembiayaan- pembiayaan lainnya yang berkaitan dengan proses implementasi program. Pembiayaan proses ini tidak hanya dibebankan pada Pemerintah Daerah namun Perhutani KPH Kuningan dan LSM LATIN serta KANOPI juga bersedia memberikan dukungan pembiayaan untuk mengawal proses implementasi PHBM ini. LSM LATIN dan KANOPI sebagai penggerak utama proses ini, mendapatkan dana hibah dari DFID untuk tema pengelolaan hutan partisipatif. Dukungan wacana global tentang reformasi tata kelola bidang kehutanan telah membentuk alokasi sistem pembiayaannya. DFID yang memperhatikan reformasi tata kelola termasuk bidang kehutanan memiliki pendanaan internasional yang cukup besar yang tentu dimanfaatkan oleh beberapa LSM termasuk LSM LATIN dan KANOPI. Apakah keberhasilan implementasi PHBM merupakan hasil dari dukungan pembiayaan donor asing? ini menjadi pertanyaan kritis yang perlu dijawab. Namun fakta yang terjadi di 122 Kuningan bahwa Program PHBM tidak akan berhasil dihasilkan tanpa intensitas komunikasi dari LATIN dan KANOPI dimana mereka digerakan oleh pembiayaan donor asing meskipun keterbukaan Kepala KPH Kuningan serta dukungan Pemerintah Daerah tidak dapat dielakan perannya dalam membuat PHBM ini terlaksana. Hal yang juga tidak kalah penting adalah PHBM lahir pada waktu yang tepat dimana Perhutani membutuhkan sistem yang baik untuk menanggulangi perlawanan masyarakat hutan karena gelombang reformasi di Indonesia. Kotak 6.1 Berita Kompas tentang Penjarahan Hutan Perhutani Pasca Reformasi Pergolakan petani hutan pasca reformasi tidak dapat dikendalikan oleh aparat pemerintah seolah kekuatan rakyat lebih besar ketimbang kekuatan pemerintah. Ini terjadi hampir diseluruh kawasan hutan Indonesia tak terkecuali kawasan Perum Perhutani. Gelombang reformasi sebagai perlawanan rakyat yang telah jenuh dengan pola penguasaan negara era orde baru. Rakyat menginginkan cara baru dalam hal bermasyarakat dan bernegara. Hak-hak yang selama ini terkungkung oleh Rezim Kompas - Senin, 29 Mei 2000 Hutan Jati Dirambah Jadi Kebun Palawija Ratusan hektar hutan jati di Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, habis dijarah penduduk dan kini ditanami palawija. Sebagian tanaman tersebut kini sudah panen seperti cabai, kacang tanah, kacang kedelai, tomat dan bawang. Lahan ini justru lebih bermanfaat bagi penduduk jika dijadikan kebun sayuran, kata Wiryo 45 petani di Kecamatan Banjarharjo, Sabtu 275, yang mengaku ikut menebang pohon jati dan lahan bekas tebangan sekarang digarap bersama penduduk lainnya untuk dijadikan kebun sayur. Menurut dia, sejak dilakukan penebangan massa sekitar tahun 1998, petani sudah tiga kali panen. Sebagian hasil panenan tersebut dijual ke pasar terdekat seperti Pasar Losari di perbatasan Cirebon-Brebes dan ke Pasar Ciledug Cirebon. Tidak masalah dengan menggarap lahan bekas hutan jati ini, ujar petani lainnya di Banjarharjo yang berbatasan dengan Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Sementara itu Administratur PerhutaniKesatuan Pemangkuan Hutan KPH Kuningan, Andri Suyatman yang ditemui terpisah mengatakan, di Kabupaten Kuningan memang terjadi penjarahan hutan jati namun tidak ada perambahan hutan menjadi kebun sayur. Dari enam Sub Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan BKPH yang terdapat di Kuningan, penjarahan paling banyak di Kecamatan Cibingbin, Ciledug dan Kecamatan Waled yang berbatasan dengan Jateng. Sedangkan di tiga Sub BKPH lainnya, yakni Linggarjati, Garawangi dan Luragung, penjarahan hutan tidak terlampau banyak karena di daerah tersebut jenis tanamannya pohon pinus. Areal hutan di KHP Kuningan sekitar 38.000 hektar yang ditanami jati dan pinus. Sementara itu untuk mencegah terulangnya penjarahan serupa, lanjut Suyatman, di lokasi-lokasi yang menarik untuk dijadikan obyek wisata sudah dibentuk Kelompok Penggerak Pariwisata yang melibatkan masyarakat seperti misalnya di sekitar Telaga Remis. Masyarakat sekitar hutan didorong untuk membentuk kelompok mitra usaha KMU seperti KMU mancing, hiburan, toilet. 123 Soeharto kini dilampiaskan melalui penjarahan dan pengrusakan termasuk pengrusakan hutan-hutan negara. Sejalan dengan ini, pada tataran global, diskursus „governance‟ sudah mencuat sebagaimana gejolak evolusi masyarakat dunia yang mengingkinkan bentuk masyarakat madani. Diskursus „governance‟ juga mempengaruhi kebijakan pengelolaan hutan pada umumnya baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Ketika gejolak reformasi ini terjadi, orientasi dan paradigma mulai banyak diubah ditataran lokal. Sehingga diskursus „governance‟ mendapatkan moment tepat untuk diwujudkan. Studi kasus pada PHBM Kuningan dapat mudah terlaksana di tataran lokal akibat dari diterimanya kesadaran diskursus „governance‟ pengelolaan hutan sebagai buah dari kebenaran. Tata kelola pengelolaan hutan produksi Perum Perhutani yang semula didasarkan pada penguasaan sentral dari pemerintah sebagai Pemilik BUMN, kini tidak lagi mampu menjawab tuntutan lokal yang menginginkan peran sebagai bagian dari pengelola hutan. Dalam kasus PHBM Kuningan, diskurus „governance‟ pengelolaan hutan sudah memasuki tahap internalisasi dan tidak lagi sebagai wacana konsep. Aktor global telah melakukan intervensi melalui program-program pembiayaan untuk mendukung reformasi tata kelola pengelolaan hutan di tingkat lokal. Di Kuningan, aktor aktivis LSM mendapatkan dukungan pembiayaan dari donor DFID yang memperhatikan aspek reformasi „governance‟ dalam pengelolaan hutan Indonesia.

6.3 Era Taman Nasional