136
untuk dapat makan dengan kenyang
141
. Pada awalnya Jepang seperti memberi angin surga kepada rakyat dengan menerapkan pembukaan dan pembagian lahan baik
lahan hutan, kebun milik negara Kolonial maupun swasta. Namun dikemudian hari rakyat baru mengerti bahwa Jepang memiliki tujuan yang lebih memberatkan rakyat.
Bencana kelaparan dan mati akibat kekurangan pangan terjadi ketika itu. Pendapatan petani Gunung Ciremai ketika itu lebih sulit saat Jepang menguasai kawasan
Kuningan.
7.2 Era Perhutani
Pendapatan petani Gunung Ciremai sejak masuknya pembangunan hutan Gunung Ciremai masih ditopang dari ekonomi pertanian baik pertanian untuk
memenuhi kebutuhan subsisten maupun pertanian untuk memenuhi permintaan pasar. Meskipun masyarakat Kuningan dikenal sebagai masyarakat perantau pedagang
namun masyarakat Kuningan yang hidup disekitar Gunung Ciremai tetap mengandalkan ekonomi pertanian sebagai strategi nafkah rumah tangga mereka.
Keadaan strategi nafkah ganda sebagai pekerja atau pedagang diluar kota masih dimungkinkan untuk menunjang peningkatan ekonomi namun sifat ini hanya
sementara dan sekedar memanfaatkan waktu senggang sambil menunggu panen pertanian tiba. Dalam sebagian kecil masyarakat Gunung Ciremai ada saja yang
memutuskan untuk melakukan migrasi permanen ke luar kota meskipun setelah beberapa tahun mereka kembali ke kampung halaman dan kembali berprofesi sebagai
petani di Gunung Ciremai. Padi, tanaman hortikultura tanaman musiman, kebun campur tanaman tahunan menjadi lansekap tata guna lahan pertanian di Gunung
Ciremai. Namun intensitas ketiga nya berbeda-beda pada setiap desa disekitar Gunung Ciremai. Ada desa yang mengarah pada peningkatan komoditas tanaman
hortikultura seperti Cisantana dan ada juga yang mengarah pada intensitas kebun campur seperti Seda, Pajambon. Perbedaan-perbedaan ini diduga sebagai akibat dari
perbedaan konstruksi relasi pasar jaringan tengkulak yang telah berlangsung lama sehingga membentuk watak ekonomi pertanian yang berbeda-beda juga. Secara
141
Lihat Tauchid, Mochammad, 2009., Masalah Agraria Sebagai Masalah Pendapatan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
. STPN Press. Yogyakarta. Hlm 255-257
137
ekonomi, variasi pendapatan petani Gunung Ciremai dari sektor pertanian tergantung dari banyaknya peluang kerja buruh tani yang tersedia. Ini terjadi karena sedikitnya
ketersediaan lahan milik yang dimiliki rumah tangga petani. Organisasi kerja yang mengarah pada hubungan patron-klien pertanian pada akhirnya terjadi juga disini.
Para petani pemilik lahan luas ataupun sempit memerlukan tenaga luar orang lain untuk memenuhi penggarapan lahan pertanian mereka. Meskipun kepemilikan lahan
garapan yang sempit, para petani pada proses penggarapan tertentu tetap memerlukan tenaga buruh untuk menunjang efektifitas. Proses penggarapan tertentu tersebut
meliputi pembersihan lahan, penanaman, pemupukan, ngoyos, pemanenan, serta pengambilan dan pengangkutan hasil panen. Namun, terkadang mereka
melakukannya secara bergiliran meskipun perhitungannya tetap memakai ukuran tenaga upah dan dibayar secara harian bukan kerja gotong-royong swadaya. Melihat
dari fenomena ini, watak ekonomi pertanian di sekitar Gunung Ciremai memiliki watak ekonomi smallholder atau pengusaha petani skala kecil bukan ekonomi
peasant yang hanya mengandalkan tenaga kerja rumah tangga untuk memenuhi
kebutuhan subsisten. Ketersediaan lahan milik yang sempit menjadikan petani tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangganya secara layak dan ideal.
Terlebih pada petani yang sama sekali tidak memiliki lahan dan hanya mengandalkan basis ekonomi dari ketersediaan pekerjaan sektor pertanian. Sementara pekerjaan ini
bersifat musiman serta tidak senantiasa ada setiap harinya. Oleh karenanya, petani- petani demikian mengandalkan sumberdaya alam sekitar yang dapat mereka
manfaatkan. Satu-satunya sumberdaya alam yang ada disekitar mereka adalah hutan tidak ada yang lain. Hutan bagi petani menjadi peluang untuk dimanfaatkan baik
melalui eksploitasi kayu, satwa, sumber obat, dan okupasi lahan hutan. Ketika Perhutani datang untuk melakukan pembangunan hutan di Gunung
Ciremai sebagai akibat dari keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978 tentang perluasan kawasan produksi Perhutani di Pulau Jawa
142
, Perhutani mengubah lansekap tutupan hutan alami Gunung Ciremai dengan komoditas komersil seperti
142
Perluasan Wilayah Pengusahaan Perhutani meliputi wilayah Jawa Barat yang kemudian dinamakan Perhutani Wilayah III Jawa Barat
138
Jati dan Pinus. Hutan Gunung Ciremai itu sendiri lebih banyak ditanami tanaman Pinus sedangkan Jati lebih banyak ditanami di daerah timur Kabupaten Kuningan.
Pembangunan hutan tanaman Pinus dimaksudkan untuk dapat memenuhi hasil hutan non kayu gondorukem dimana Perhutani pada waktu itu tengah mencanangkan
peningkatan target ekspor gondorukem ke manca negara sebagai hasil hutan non kayu unggulan. Dalam proses pembangunan hutan pinus di Gunung Ciremai, Perhutani
menggunakan tenaga rakyat Gunung Ciremai sebagai tenaga kasar dalam pembersihan lahan sampai dengan penanaman dengan menggunakan saluran elite
desa untuk pengorganisasian kerjanya. Strategi ini mirip dengan strategi yang diterapkan pengusaha asing Eropa dan Cina setelah mendapatkan ijin pengusahaan
kawasan hutan perkebunan dari Pemerintah Kolonial. Ketika wacana Program sosial kehutanan belum terbentuk, hubungan Perhutani dengan masyarakat Gunung Ciremai
hanya terbatas pada tenaga kerja kasar sebagai buruh angkut kayu, buruh tebang, dan buruh lainnya yang bersifat tenaga kasar. Namun, pada proses getah pinus, Perhutani
tidak mengandalkan tanaga lokal. Biasanya untuk pekerjaan penyadapan getah pinus, Perhutani membawa tenaga terampil dari daerah lain Jawa Tengah dan Jawa Timur
untuk menggarap penyadapan pinus di kawasan Kuningan. Ketika hutan Gunung Ciremai dikuasai oleh Perhutani, hubungan relasi
ekonomi masyarakat-Perhutani didasarkan pada hubungan saling menguntungkan yang berat sebelah. Berbagai program seperti MaLu dan PMDH lebih menekankan
pada pertimbangan keuntungan Perhutani dibandingkan dengan pertimbangan pemberdayaan masyarakat. Petani didorong untuk menggarap dan mengakses tanah
hutan namun dibalik itu Perhutani mendapatkan keuntungan tumbuhnya tanaman inti tanpa beban biaya penanaman dan biaya pemeliharaan sekaligus menekankan
keberhasilan tanam kepada para petani.Namun, bagaimanapun juga karena para petani Gunung Ciremai memerlukan tambahan tanah untuk meningkatkan
ekonominya maka program PMDH melalui pemanfaatan lahan hutan selama 3 tahun diterima dengan antusias oleh petani Gunung Ciremai
143
. Namun tidak semua petani
143
Lihat juga Indriati Miranda, Persepsi Penduduk Lokal Terhadap Perubahan Status Manajemen Gunung Ciremai dan Kehidupan Ekonomi Mereka
. Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
139
di setiap desa Ciremai mendapatkan program ini. Ketersediaan lahan hutan yang relatif terbatas karena menunggu jadwal panen pinus tiba menyebabkan petani
penggarap hutan harus dipilih. Pemilihan ini terkadang tidak tepat sasaran dan menyerahkan pemanfaatan lahan hutan kepada petani atau masyarakat yang dekat
dengan mandor hutan sedangkan petani miskin tidak kebagian. Petani kecil dan miskin pada umumnya tidak dapat mengakses tanah hutan karena faktor pengaruh
antar petani dan juga faktor kemampuan untuk mengolah lahan. Petani kecil miskin sadar bahwa pengolahan lahan hutan sedikit banyak memerlukan modal dalam
pengolahannya terlebih jika itu akan ditanami dengan tanaman hortikultura. Namun, petani-petani yang miskin ini meskipun tidak mendapatkan hak garapan masih tetap
diuntungkan karena bertambahnya jam kerja mereka untuk menjadi buruh tani. Semakin banyak lahan hutan yang digarap maka semakin banyak juga lowongan
kerja sebagai buruh tani. Petani miskin lebih senang menjadi buruh tani yang tanpa resiko jika dibandingkan dia harus mengolah sendiri.
Pada beberapa hasil penelitian di berbagai lokasi kawasan hutan Perhutani lainnya, seperti yang diteliti oleh Nainggolan 1991 yang mengukur kebermanfaatan
program perhutanan sosial di daerah Bogor bahwa sumbangan dari program perhutanan sosial terhadap total pendapatan rumah tangga ternyata relatif kecil.
namun, bagi rumah tangga golongan I
144
, sumbangan pendapatan dari usahatani program perhutanan sosial tampak nyata. Sumbangan pendapatan berasal dari
pekerjaan di hutan terhadap rumah tangga yang tidak atau sedikit memiliki lahan relatif lebih tinggi daripada golongan pemilik lahan luas. Keadaan tersebut diatas
sekaligus memberikan gambaran besarnya ketergantungan masyarakat lapisan bawah terhadap hutan dibandingkan masyarakat lapisan atas. Situasi tersebut juga
memberikan pengertian lain bahwa kawasan hutan Perhutani, bila dikelola dengan baik akan mampu memberikan sumbangan yang berarti kepada lapisan bawah
http:isjd.pdii.lipi.go.idadminjurnal113081120_1411-7932.pdf. Diunduh pada tanggal 6 Agustus 2012 Pukul 16.36
144
Nainggolan pada penelitiannya memberikan kategori responden rumah tangga petani golongan I, II, III, IV dimana golongan I merupakan petani yang tidak memiliki lahan milik, golongan II mereka yang
memiliki lahan 0,17-0,19 Ha, golongan III mereka yang memiliki lahan 0,36-0,45 Ha dan golongan IV adalah petani yang memiliki lahan milik 0,96-1,05 Ha.
140
masyarakat pedesaan Nainggolan, 1991:88-89. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Alusdin Sinaga 1990 pada masyarakat penggarap di RPH Banteran
KPH Banyumas Barat Perhutani Unit II Jawa Tengah pada tahun 1990 mengungkapkan fakta yang serupa dimana Alusdin Sinaga membandingkan total
pendapatan rumah tangga dengan dan tanpa sumbangan pendapatan dari usahatani program perhutanan sosial, ternyata kehadiran program perhutanan sosial telah
menyebabkan peningkatan rumah tangga golongan I sebesar 19,2 persen Sinaga:1990
145
. Sejak digulirkannya wacana PHBM tahun 1999 kemudian terjadinya
kesepakatan antara Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan dan Perum Perhutani Wilayah III Jawa Barat, maka respon petani menjadi antusias. Sebelumnya mereka
hanya diberi hak garap saja namun jika program PHBM diimplementasikan, petani diberi kewenangan untuk pengelolaan hutan termasuk sistem bagi hasil penjualan
kayu. Meskipun para petani pada akhirnya diberi kewajiban untuk menjaga keamanan sumberdaya hutan, namun para petani diperhatikan tidak hanya pada peluangnya
untuk mendapatkan hak garap dan bagi hasil hutan semata. Perhatian ini termasuk juga pada intervensi penguatan kelembagaan petani serta proses perencanaan
partisipatif dalam pemberdayaan petani. Adanya komitmen Pemerintah Daerah untuk melakukan intervensi penguatan kelembagaan, pada akhirnya dapat memperkuat
proses-proses implementasi PHBM di tingkat lokal. Meskipun konsep PHBM ini memiliki inovasi, namun pada kenyataannya diawal proses, implementasi ini hampir
mirip dengan program PMDH dengan pemberian hak garap tanah hutan pada petani- petani di desa. Sistem bagi hasil belum dapat dirasakan oleh petani sampai dengan
pohon-pohon Perhutani ditebang pada siklus panen yang sudah ditentukan. Perjanjian kerja sama antara LMDH kelompok petani hutan dengan Perum Perhutani telah
disediakan untuk disepakati bersama sejak program ini diterapkan di desa bersangkutan. Artinya, meskipun kayu di dalam hutan masih membutuhkan waktu
panen beberapa tahun lagi, petani dan masyarakat desa telah diikat dalam satu
145
Sinaga, Alusdin S.MT., 1990. Dampak Proyek Perhutanan Sosial Terhadap Tingkat Pendapatan dan Distribusi Serta Tingkat Kemiskinan Petani Peserta Proyek Laporan Praktek Lapang. Jurusan Ilmu-
ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
141
perjanjian kerja sama dalam pengelolaan hutan terutama terkait sistem bagi hasil. Besarnya bagi hasil antara Perhutani dengan LMDH tergantung dari umur pohon
sewaktu dilakukan kesepakatan kerja sama. Semakin muda umur pohon ketika Nota Perjanjian Kerjasama NPK dibuat, maka semakin besar peluang LMDH
mendapatkan hasil sharing kayu. Sebaliknya, semakin umur pohon mendekati panen pohon umur tua maka semakin kecil sharing hasil kayu yang diperoleh LMDH.
Perbedaan sharing ini semata-mata didasarkan pada seberapa besar investasi
146
yang telah diberikan LMDH. Proses penggarapan tanah hutan oleh para petani harus sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan oleh Perum Perhutani yaitu penanaman tanaman hortikultura musiman serta tanaman buah-buahan yang memiliki nilai ekonomi
namun yang paling utama tanaman sela ini tidak mengganggu tanaman inti Perhutani dalam jangka panjang. Penanaman tanaman sela ini terdiri dari berbagai jenis
komoditas perdagangan antara lain kopi, pisang, alpukat, wortel, bawang daun, kol, kentang, kesemek, peuteuy, melinjo, cengkeh, durian, jengkol, coklat, nangka, picung,
mangga, jambu, kemiri, dsb. Pada tiap desa, pilihan komoditas tanaman sela sangat beragam
147
. Ini tergantung dari kesepakatan dari anggota LMDH yang kemudian diberi persetujuan oleh Perhutani. Dibeberapa tempat misal : Cisantana
148
, nampak komoditas tanaman sela ini lebih didominasi tanaman hortikutura sedangkan di desa
lainnya misal : Seda dan Pajambon lebih memilih tanaman buah-buahan sebagai tanaman sela. Sejatinya, pada proses pendampingan kelembagaan LMDH, Perhutani
dan LSM Lokal KANOPI menganjurkan pada penanaman tanaman buah-buahan sehingga akan membentuk tutupan agroforest untuk tujuan perlindungan tanah dan
air mengingat hutan Gunung Ciremai memiliki topografi yang curam dan merupakan daerah dataran tinggi.
146
Investasi disini memiliki pandangan bukan aspek finansial, namun lebih kearah waktu dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh LMDH dalam menjaga keamanan hutan.
147
Tiap desa memiliki kekhasan sendiri dalam memilih komoditas apa yang ditanam di lahan milik pribadi maupun di lahan PHBM. Perbedaan ini dapat disebabkan dari kebiasaan petani dan kelompok
tani masing-masing desa yang menyesuaikan lansekap ekologi setempat maupun akses dan jaringan pasar yang telah membentuk hubungan timbal balik antara penyedia petani dan Pembeli tengkulak.
Dengan alasan-alasan inilah perbedaan komoditas tanaman tiap desa terjadi.
148
Desa Cisantana memiliki kekhasan menanam komoditas sayur mayor wortel, bawang daun, cesin, kentang, tomat baik di lahan milik sendiri maupun di lahan PHBM
142 Tabel 7.1 Model Sharing Hasil pada Nota Perjanjian Kerjasama Program PHBM
Studi Kasus NPK Desa Padabeunghar, Gunung Ciremai No
Para Pihak PHBM Penerima Sharing
Bagi Hasil Komoditas Pokok
Pinus Tanaman
Tahunan Tanaman
Hortikultura 1
Pihak Pertama Perhutani 75
20 20
2 Pihak Kedua KTH
149
20 75
75 3
Pemerintahan Desa 2,5
2,5 2,5
4 Forum PHBM
1,5 1,5
1,5 5
Dana untuk kegiatan social 1
1 1
Sumber : Purnomo, et al 2007
150
Namun, pada sebagian petani, terutama petani yang telah mengusahakan komoditas hortikultura di lahan milik sejak lama, tetap memilih komoditas
hortikultura sebagai tanaman sela. Ditingkat lokal, anjuran penanaman buah-buahan sebagai tanaman sela tidak selalu dapat dijalankan karena berbagai faktor terutama
adanya relasi pasar hortikultura yang telah terbentuk dengan kuat misal : Cisantana. Proses pengarahan ini pun tidak dapat berjalan efektif yang dipengaruhi juga oleh
peran kekuasaan elite lokal, pengusaha lokal, lemahnya moral dan etika staf Perhutani serta praktek-
praktek ‗penyogokan‘ yang dilakukan oleh para petani pemilik modal
151
. Petani Gunung Ciremai pada masa PHBM digulirkan, sebagian besar belum
merasakan dampak dari PHBM secara signifikan terlebih dampak dari sistem bagi hasil kayu Perhutani, tidak seperti di beberapa desa daerah Timur. Hal ini
dikarenakan pada akhir tahun 2004, status hutan Gunung Ciremai telah berubah dari hutan produksi terbatas menjadi hutan konservasi dan pengelolanya tidak lagi oleh
Perum Perhutani namun dikelola oleh Balai KSDA. Dikarenakan berbedanya sistem pengelolaan hutan produksi dengan hutan konservasi maka program PHBM tidak
dapat dijalankan lagi di Gunung Ciremai. Pada awal berita perubahan status ini beredar, petani Gunung Ciremai merasa terancam nasibnya terlebih sebagian besar
dari mereka belum menikmati hasil budidaya tanaman sela lahan hutan terutama mereka yang memilih menanam komoditas buah-buahan. Nasib para buruh tani pun
149
Kelompok Tani Hutan LMDH
150
Purnomo, Agustina, et al., 2007. Transformasi Struktur Nafkah Pedesaan : Pertumbuhan “Modal
Sosial Bentukan” dalam Skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Kabupaten Kuningan. Jurnal Sodality. Departemen KPM-IPB. Bogor
151
Sebagian petani PHBM dibeberapa tempat merupakan petani yang memiliki modal besar
143
akan terancam karena jika lahan hutan tidak dapat lagi digarap maka peluang kesempatan kerja mereka tertutup karena berkurangnya lahan pertanian.
Seperti hasil penelitian Restiana 2004 di RPH Leuwiliang KPH Bogor, lahan PHBM yang digarap oleh masing-masing petani tidak memiliki luas yang sama satu
sama satu dengan yang lainnya. Umumnya petani yang memiliki tingkat ekonomi yang cukup, mereka memiliki lahan garapan yang cukup luas. Sementara petani yang
tingkat perekonomiannya rendah hanya memiliki luas garapan yang sedikit, hanya berkisar 0,1-0,25 Ha. sebenarnya, mereka memiliki lahan yang relative sama luasnya,
namun karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, mereka menjual garapannya kepada petani penggarap yang lain sehingga luasan yang dimilikinya semakin
berkurang. Hasil penelitian Restiana 2004 di Desa Cibeber II RPH Leuwiliang KPH Bogor memperlihatkan peran PHBM pada ekonomi rumah tangga yang relative kecil.
bahwa untuk lahan PHBM, diperoleh rata-rata pendapatan per tahunnya sebesar Rp. 25.291,67. Sementara apabila dilihat dari pendapatan yang diperoleh oleh setiap
individunya, pendapatan tertinggi sebesar Rp 200.000,00 dan pendapatan terendah sebesar Rp. 15.000,00. Pendapatan dari lahan PHBM ini bila dibandingkan dengan
pendapatan total masih sangat kecil. Penelitian Restiana menemukan bahwa besarnya rata-rata kontribusi PHBM terhadap total pendapatan petani adalah 0,55. Kontribusi
PHBM tertinggi adalah 9,98 dan terendah sebesar 0,09. Nilai ini memperlihatkan bahwa hasil PHBM tidak mengandung arti bagi ekonomi keluarga. Akibatnya, hal ini
menjadi penyebab petani penggarap menjadi kurang intensif dalam pengelolaan garapannya
152
. Meskipun penilaian dampak PHBM tentu berbeda pada lokasi tertentu dan bukan menjadi tolak ukur perbandingan namun informasi mengenai keragaman
peranan PHBM penting dilihat untuk menghindari klaim kebermanfaatan PHBM secara keseluruhan.
Pada tahun 2004 akhir, meskipun terjadi arus penolakan yang besar dari petani Gunung Ciremai dan aktivis masyarakat, namun kebijakan perubahan status kawasan
yang semula adalah kawasan hutan produksi Perum Perhutani berubah menjadi hutan
152
Lihat Restiana Leti Tri, 2004. Tinjauan Penyelenggaraan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM Studi Kasus di RPH Leuwiliang, BKPH Leuwiliang, KPH Bogor Perhutani Unit
III Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor
144
konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai tetap terjadi dan ditetapkan Menteri Kehutanan melalui SK Menhut No.424Menhut-II2004.Ketika itu, program PHBM
baru dilaksanakan hanya beberapa tahun saja bahkan ada beberapa desa sekitar Gunung Ciremai belum sempat mengikat Nota Perjanjian Kerjasama NPK PHBM
dengan Perum Perhutani meskipun penggarapan lahan hutan sudah mulai dilakukan oleh petani.Beberapa petani yang telah menanam tanaman kopi, alpukat merasa
dirugikan dengan perubahan status ini. Mereka telah mengeluarkan banyak tenaga dan biaya untuk membudidayakan kopi dan alpukat.Ketika kopi dan alpukat akan
memasuki waktu panen, mereka dilarang untuk memanennya karena perubahan status kawasan. Belakangan kebijakan itu diubah oleh Balai Taman Nasional Gunung
Ciremai bahwa mereka dapat memanen tapi dilarang untuk memelihara tanaman kopi dan alpukat tersebut. Sesuatu yang tidak rasional, bagaimana mungkin tanaman akan
berbuah maksimal jika tanaman tersebut tidak dipelihara. Pemeliharaan termasuk pemupukan, ngored rumput, pembersihan lahan adalah tindakan untuk
mengoptimalkan hasil tanaman kopi dan alpukat, namun ini tidak dapat dilakukan oleh para petani Gunung Ciremai. Pergolakan penolakan terhadap status Taman
Nasional oleh para petani sebagai akibat dari terganggunya sistem pendapatan mereka yang menggantungkan hidup pada program PHBM. Sejatinya program PHBM tidak
banyak membantu pada golongan petani miskin Gunung Ciremai karena faktanya tidak banyak petani miskin terlibat untuk mendapatkan hak garapan namun kehadiran
penggarapan tanah hutan melalui program PHBM telah membantu menambah ketersediaan lapangan kerja pada mereka sebagai buruh tani. Ketika kebijakan
pelarangan penggarapan tanaman PHBM oleh Balai Taman Nasional Gunung Ciremai terjadi, maka imbasnya akan terkena juga pada petani miskin yang biasa
membantu para petani pemilik modal menggarap lahan hutan PHBM. Pergolakan dan pertentangan antara petani Gunung Ciremai dengan Balai
Taman Nasional Gunung Ciremai terjadi sejak diberlakukannya status perubahan hingga saat ini meskipun tingkat pergolakannya dinamis dan turun naik. Pihak Taman
Nasional Gunung Ciremai bersikeras pada peraturan dan perundangan yang berlaku tentang pengelolaan hutan konservasi meskipun faktanya terjadi perbedaan perlakuan
145
terhadap petani hutan di beberapa Taman Nasional lainnya di Indonesia terutama Taman Nasional yang juga memiliki tipologi konflik yang sama yaitu kehadiran
petani PHBM di kawasan konservasi. Seperti halnya yang terjadi pada Taman Nasional Gunung Halimun Salak
153
dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
154
yang menangani permasalahan petani PHBM dengan pendekatan yang tidak represif. Kasus di Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk menangani petani PHBM
lebih mirip didekati dengan strategi yang Perhutani lakukan yaitu menerapkan penanaman pohon inti dengan pelibatan masyarakat. Jika di Perhutani penanam
pohon inti ini dalam rangka hutan tanaman produksi sedangkan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini dalam rangka rehabilitasi kawasan hutan konservasi.
Dalam pelibatan masyarakat tersebut, Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak memperbolehkan masyarakat untuk menggarap lahan selama 5 tahun yang
dituangkan dalam MoU. Namun Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak juga menekankankan pada masyarakat untuk menjaga dan memelihara tanaman inti yang
berjenis endemik selama petani menggarap hutan tersebut. Studi kasus yang lainnya terjadi pada Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango yang memiliki inovasi program untuk menghindari konflik antara petani PHBM pasca perluasan kawasan konservasi. Program adopsi pohon yang bekerja
sama dengan para donatur asing maupun lokal di Resort Sarongge dianggap mewakili model pengelolaan yang sukses dalam mensinergikan kepentingan ekologi, ekonomi
dan sosial sebagai prinsip umum pengelolaan hutan. Dalam tindakan merehabilitasi kawasan eks PHBM, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango tidak hanya
memperhatikan aspek ekologi namun juga memperhatikan aspek sosialnya. Pada program adopsi pohon tersebut, para donatur akan menyediakan dana sebesar Rp
180.000,- per satu pohon yang ditanam di kawasan eks PHBM dimana sebagian dananya akan disalurkan untuk program pengembangan mata pencaharian alternatif
bagi petani PHBM.Berdasarkan dua studi kasus diatas adalah tidak benar jika Taman Nasional Gunung Ciremai mengusir dengan represif para petani eks PHBM dengan
153
Terletak di daerah administrasi Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Banten
154
Terletak di daerah administrasi Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi
146
alasan taat asas dan tunduk pada perundang-undangan yang berlaku. Ketika aktivis masyarakat mengkomunikasikan kejadian kasus di Taman Nasional Gunung Halimun
Salak serta Taman Nasional Gunung Gede Pangrango kepada petani Gunung Ciremai, mereka merasa ditekan dan diintimidasi atas perlakuan Balai Taman
Nasional Gunung Ciremai. Sehingga para petani Gunung Ciremai selalu saja ingin memberontak atas kebijakan yang diberlakukan oleh Balai Taman Nasional Gunung
Ciremai. Kasus penangkapan petani Desa Seda oleh pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai awal tahun 2012 yang lalu menambah ketegangan hubungan petani
dengan staf Balai. Penangkapan yang disebabkan adanya tindakan petani Seda yang mengolah lahan eks PHBMnya berbuntut panjang untuk diselesaikan ditingkat
perangkat desa. Pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai memanfaatkan perangkat desa sebagai bagian pengelola negara yang taat asas pada aturan dan
perundangan untuk mendukung tindakan represif Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. Pada beberapa perangkat desa memang akan tunduk pada perundang-
undangan yang berlaku dan mengarahkan masyarakatnya untuk mengikuti perundangan tersebut. Namun ada juga perangkat desa yang tidak ingin dikendalikan
oleh pihak Balai Taman Nasional Gunung Ciremai karena memiliki tangggung jawab untuk melindungi masyarakatnya dari tindakan represif yang merugikan
masyarakatnya. Seperti kasus penangkapan petani Seda pada akhirnya menimbulkan hubungan tidak harmonis antara perangkat desa dengan staf Balai Taman Nasional
Gunung Ciremai.
7.3 Era Taman Nasional 7.3.1 Sektor Pertanian Pasca Perubahan Status