Hutan Gunung Ciremai dan Dinamikanya

73 daerah yang secara fisik geografis dan perkembangan kultural memiliki ciri-ciri keserbasamaan yang memungkinnya dipandang sebagai suatu wilayah yang utuh. Selain itu, secara fungsional sosial ekonomi, antar bagian-bagian daerahnya telah berkembang jalinan hubungan yang padu dan saling menunjang sehingga dari sisi ini tepat pula untuk diposisikan sebagai daerah yang utuh. Oleh karena itu, penetapan secara administrasi-politis yang memastikan Kuningan sebagai sebuah kabupaten pada dasarnya merupakan pengakuan dan pengukuhan atas kondisi kewilayahan yang secara objektif dimiliki Kuningan 31 .Pada masa setelah kemerdekaan sejak 1950, Kuningan telah beberapa kali berganti Pemimpin dari R. Noer Armadibrata; R. Moch. Hafail; R. Tikok Moch. Ichlas; R. Sumitra; TB. Amin Abdullah; Saleh Alibasyah; Usman Jatikusuma; Rd. K. Surjana Atmadija; S. Suminta Atmadja; Aruman Wirananggapati; Karli Akbar; RH. Unang Sunardjo; Moch. Djufri Pringadi; Subandi; Y. DS. Partawinata; Arifin Setiamiharja dan saat ini Kuningan dipimpin oleh Aang Hamid Suganda.

4.2 Hutan Gunung Ciremai dan Dinamikanya

Gunung Ceremai secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Para ahli menyebut bahwa Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m.Gunung Ciremai merupakan Gunung tertinggi di Jawa Barat dengan tinggi 3078 m dpl. Gunung Ciremai awalnya merupakan kawasan hutan yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda dan disahkan pada tanggal 28 Mei 1941 bersamaan dengan kebijakan Belanda untuk menetapkan Peta hutan negara di Pulau Jawa. Dari aspek geologi, Gunung Ciremai termasuk Gunung api kuarter aktif tipe A yaitu Gunungapi magmatik yang masih aktif sejak tahun 1600 dengan bentuk kerucut.Gunung ini merupakan Gunung api soliter yang dipisahkan oleh zona sesar Cilacap –Kuningan dari kelompok Gunung api Jawa Barat bagian timur yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, 31 http:bappeda.kuningankab.go.idappsfiles934274-bab-irpjp.pdf. Diunduh tanggal 12 Juli 2012 Pukul 6.10 74 Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu yang terletak pada zona Bandung Pratomo, 2008:261-278 32 . Gunung api Ciremai terletak diatas formasi batuan sedimen berumur Mio Pliosen Djuri, 1983; Pratomo, 2008:261-278 33 , di daerah yang dibatasi oleh sesar aktif Cilacap-Kuningan, yang mempunyai arah barat laut tenggara. Berdasarkan catatan sejarah erupsinya, selang waktu antar letusan Gunungapi ini terpendek adalah 3 tahun dan yang terpanjang 112 tahun. erupsi Gunung Ciremai terakhir terjadi pada tahun antara 24 Juni 1937 sampai 7 Januari 1938 Van Padang 1937, 1951; Stehn 1940; Kusumadinata 1951. Kawasan di sekitar Gunung api ini merupakan daerah yang relatif subur dan di kelilingi oleh pemukiman penduduk yang padat Pratomo, 2008:261-278 34 . Gunung Ciremai merupakan Gunung api aktif berbentuk kerucut komposit yang terbentuk sejak Plistosen Atas. Sejarah panjang kegiatan Gunung Ciremai terbagi dalam 4 periode, yang dibedakan berdasarkan evolusi tubuh Gunung api, karakteristik produk erupsi dan asal-usul sumber erupsinya yaitu Periode I, diwakili oleh endapan volkanik Gunung Putri yang terbentuk pada Plistosen Atas; Periode II, diwakili oleh endapan volkanik Geger halang yang terbentuk pada sebelum akhir Plistosen Atas; Periode III, diwakili oleh endapan volkanik Gunung Ciremai yang berumur 13.350±330 tahun BP; dan Periode IV, dicirikan oleh erupsi samping yang menghasilkan beberapa leleran lava basal yang berasal dari Gunung Sukageri, Gunung Pucuk, Gunung Buntung dan Gunung Dulang Pratomo, 2008:277 35 . Data di bawah merupakan data kejadian fenomena geologi Gunung Ciremai sampai dengan tahun 1973. Mungkin ada beberapa data kejadian yang luput teramati oleh para peneliti karena minimnya sumber data masa lalu. Pada tahun terbaru, fenomena geologi di Gunung Ciremai terjadi juga tahun 1980 dimana terjadi longsoran di Gunung Geger Halang yang terletak di lereng Gunung Ciremai dan telah 32 Pratomo, Indro. 2008. Kegiatan Gunung Ciremai Jawa Barat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan Sekitarnya. Jurnal Biologi Indonesia. Pp 261-278 33 Djuri, 1983. Peta Geologi Lembar Arjawinangun, Skala : 1 : 100.000, Direktorat Geologi Bandung; Pratomo, Indro. 2008. Kegiatan Gunung Ciremai Jawa Barat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan Sekitarnya. Jurnal Biologi Indonesia. Pp 261-278 34 Pratomo, Indro. 2008. Kegiatan Gunung Ciremai Jawa Barat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan Sekitarnya. Jurnal Biologi Indonesia. Pp 261-278 35 Ibid, Hlm 277 75 menyebabkan banjir bandang debris avalance yang melanda Kampung Legok, kampung Sangiang, kampung Barujaksi dan Kampung Nanggerang di daerah Kecamatan Talaga Kabupaten Majalengka BKSDA Jabar, 2006 36 . Kemudian tanggal 21 Maret 2003 terjadi gempa bumi berkekuatan 4,8 Skala Richter. Pusat gempanya berada pada koordinat 6,52º LS – 108º29‘23‖ BT dengan kedalaman kurang dari 10 Km di wilayah Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan. Gempa tersebut mengakibatkan kerusakan rekahan dinding bangunan dan ambruknya bangunan di Desa Cilimus, Caracas, Sampora, Kaliaren, dan Cibeureum Kecamatan Cilimus, serta di Desa Pakembangan, Trijaya, dan Randobawagirang Kecamatan Mandirancan. Tabel 4.1 Catatan Kegiatan Gunung Ciremai dan Fenomena Geologi Gunungapi yang Teramati Tahun Kegiatan Kejadian Tgl 3 Febuari 1698 ―….Gunung Ciremai telah roboh yang mengakibatkan air begitu tinggi hingga merusak tanah daerahnya dan menyebabkan korban manusia…‖ Brascamp, 1919 37 April, 1775 Letusan di Kawah Pusat Junghuhn, 1853; 1845; Taverne 1926 38 April, 1805 Letusan dari kawah Juhnhuhn, 1853 39 1917 Hembusan uap belerang dari dinding selatan Van Gils, 1917 September, 1924 Hembusan kuat dari fumarola pada bagian barat dinding pemisah Van Padang, 1937 24 Juni 1937 – 7 januari 1938 Letusan berlanjut dari kawah pusat, letusan abu Van Padang, 1937; 1951; Stehn, 1940; Kusumadinata, 1971 1949 Gempa bumi Wirjosumarto dan Abdulpatah, 1955 1955 Gempa tektonik, tidak berpengaruh pada Gunung Ciremai Kusumadinata, 1973 16, 21, 26 April 1973 Gempa tektonik, tidak berpengaruh pada Gunung Ciremai Kusumadinata, 1979 Sumber : Pratomo 2008 40 36 BKSDA Jawa Barat, 2006. Rencana Pengelolaan Kawasan TNGC. 37 Brascam, EHB. 1919. Uitbarsting van den Tjiremai in 1698. Koninkl. Nederl. Aardrijksk. Genoot. Tijdschr. 38 Jughuhn, F. 1853; Tjiremai, Java 2 : 160-169; Junghuhn, F. 1845. Chronologisch overzieht der aardbevingen en uitbarstingen van vulkanen in Nederlands Indie. Nederl. Ind. Tijdschr 7:39 ; Taverne, NJM. 1926. Vulkaanstudien op Java, Vulkanol. en Seismol. Meded. 7:46-52 39 Jughuhn, F. 1853; Tjiremai, Java 2 : 160-169 76 Dari aspek fungsinya sebagai ―tandon air‖, Gunung Ciremai merupakan reservoir air yang besar yang dimanfaatkan oleh Kabupaten Kuningan, Majalengka dan Cirebon Erwin dan Juanda, 2006:486 41 . Dalam pemanfaatan air Gunung Ciremai, bahkan Kabupaten dan Kotamadya Cirebon telah memasang instalasi pipa air yang menghubungkan air bawah tanah Gunung Ciremai 42 menuju pusat kota Cirebon. Air ini dimanfaatkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum Cirebon untuk kebutuhan masyarakat Cirebon. Beberapa industri besar di Cirebon juga telah memanfaatkan air Gunung Ciremai untuk memasok kebutuhannya meliputi Pertamina dan Indocement. Sedangkan pemanfaatan air Gunung Ciremai untuk Kabupaten Kuningan selain dimanfaatkan sebagai kebutuhan air minum juga dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan pertanian. Bahkan dalam pemanfaatan air Gunung Ciremai, terjadi polemik yang menimbulkan gesekan kepentingan antara Kabupaten Kuningan dengan Kabupaten dan Kota Cirebon. Beberapa peneliti telah mencatat kejadian sengketa air ini dan telah menginisiasi skema pembayaran jasa lingkungan air antar Pemerintah Daerah Ramdan, 2006 43 . Dari aspek potensi flora fauna yang tersimpan di Gunung Ciremai, hasil penelitian keanekaragaman flora yang dilakukan oleh Purwaningsih dan yusuf 2008 44 menunjukan keanekaragaman flora di Gunung Ciremai dalam luasan 1,2 Ha. Dalam penelitian tersebut pada 1,2 Ha luasan, diperoleh 57 jenis dengan penggolongan tingkat marga sejumlah 42 marga dan tingkat suku sejumlah 28 suku Purwaningsih dan Yusuf, 2008:385-399 45 . 40 Pratomo, Indro. 2008. Kegiatan Gunung Ciremai Jawa Barat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan Sekitarnya. Jurnal Biologi Indonesia. Pp 261-278 41 Erwin D and Juanda D. 2006. The Hidrogeology of The Volcanic Spring Belt, East Lope of Gunung Ciremai, West Java, Indonesia. The Geological Society of London. IAEG. Pp 486 42 Instalasi pipa air bawah tanah terletak di Desa Paniis Kabupaten Kuningan. 43 Lihat Hikmat Ramdan. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Disertasi IPB 44 Purwaningsing dan Yusuf R. 2008. Analisis Vegetasi Hutan Pegunungan di Taman Nasional Gunung Ciremai, majalengka, Jawa Barat. Jurnal Biologi Indonesia. 45 : Pp 385-399 45 Purwaningsing dan Yusuf R. 2008. Analisis Vegetasi Hutan Pegunungan di Taman Nasional Gunung Ciremai, majalengka, Jawa Barat. Jurnal Biologi Indonesia. 45 : Pp 385-399 77 Tabel 4.2 Perbandingan Jumlah Jenis Pohon di beberapa Hutan Pegunungan Jawa Barat Lokasi Hutan Pegunungan Jumlah Jenis Dalam Luasan Gunung Salak 46 112 1 Ha Gunung Halimun 47 116 1 Ha Gunung Gede-Pangrango 48 128 1 Ha Gunung Ciremai 57 1,2 Ha Purwaningsih dan Yusuf 2008 Keanekaragaman tumbuhan di kawasan ini tergolong rendah bila dibandingkan dengan beberapa hutan pegunungan lainnya di Jawa Barat lihat tabel. Sedangkan hasil penelitian lainnya dari beberapa peneliti memberikan gambaran tentang kelimpahan tumbuhan di Gunung Ciremai pada berbagai zona ekologi. Hutan di zona pegunungan basah dari Cigugur ke arah puncak Ceremai cukup kaya akan jenis pohon. Tercatat di antaranya jenis-jenis saninten Castanopsis argentea, C. javanica, C. tungurrut dan pasang Lithocarpus elegans dan L. sundaicus dari suku Fagaceae; jenitri Elaeocarpus obtusus, E. petiolatus dan E. stipularis, suku Elaeocarpaceae; mara Macaranga denticulata dan kareumbi Omalanthus populneus, suku Euphorbiaceae; aneka jirak Symplocos fasciculata, S. spicata, S. sessilifolia, S. theaefolia , Symplocaceae; jenis-jenis ara di antaranya Ficus padana dan F. racemosa , Moraceae; puspa Schima wallichii dan ki sapu Eurya acuminata, Theaceae; dan lain-lain Suwandhi, 2001:33-39 49 . Dibagian yang lebih kering di Setianegara, hutan didominasi oleh jenis-jenis huru atau medang Litsea spp., saninten C. argentea dan C. javanica, mara Macaranga tanarius, mareme Glochidion sp., bingbin Pinanga javana, dan pandan Gunung Pandanus sp.. Di bagian yang lebih atas zona montana ini juga didapati dominansi dari jamuju 46 Penelitian dilakukan oleh Wiharto 2007. Lihat Wiharto, M. 2007. Klasifikasi vegetasi Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Disertasi Pasca Sarjana IPB. 47 Penelitian dilakukan oleh Simbolon 2001. Lihat Simbolon, H. 2001. Fagaceae trees in a tropical mountain rain forest of West Java. Berita Biologi 48 Penelitian dilakukan oleh Alhamd, et al 2007. Lihat Alhamd, et al. 2007. Valuasi keanekaragaman jenis Biota dan Fungsi Ekosistem Hutan Dataran Rendah di TN Gede Pangrango, Bodogol, Jawa Barat. 49 S UWANDHI , I. 2001. Studi Dendrologi Flora Pohon Penyusun Hutan Pegunungan Zona Montana Gunung Ceremai, Jawa Barat . Tesis pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Jogyakarta. Hal. 33-39 78 Dacrycarpus imbricatus, Podocarpaceae yang membentuk sabuk vegetasi khusus Steenis, 2006:22-25 50 . Gunung Ceremai merupakan daerah penting bagi burung IBA, Important Bird Areas JID 24, sekaligus daerah burung endemik EBA, Endemic Bird Areas DBE 160 Rombang dan Rudyanto, 1999:67 51 . Beberapa jenisnya berstatus rentan IUCN:VU, vulnerable, misalnya celepuk jawa Otus angelinae dan ciung-mungkal jawa Cochoa azurea. Tercatat pula sekurangnya 18 spesies yang lain yang berstatus burung sebaran terbatas restricted area bird seperti halnya puyuh-gonggong jawa Arborophila javanica, walik kepala-ungu Ptilinopus porphyreus, takur bututut Megalaima corvina, berkecet biru-tua Cinclidium diana, poksai kuda Garrulax rufifrons , cica matahari Crocias albonotatus, opior jawa Lophozosterops javanicus , kenari melayu Serinus estherae, dan lain-lain. Beberapa jenis mamalia penting yang terdapat di Gunung Ciremai, diantaranya, macan tutul Panthera pardus ; surili Presbytis comata; lutung budeng Trachypithecus auratus; kukang jawa atau muka geni Nycticebus javanicus; kijang muncak Muntiacus muntjak; dan pelanduk jawa Tragulus javanicus Hermawan et al, 2005 52 . Berdasarkan potensi flora fauna ini sert a fungsi sebagai ―tandon air‖, Gunung Ciremai di daulat untuk menjadi kawasan konservasi Taman Nasional pada tahun 2004. Sebelum menjadi Taman Nasional, Gunung Ciremai merupakan kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas milik Perum Perhutani dengan pengelolaan tanaman pinus sebagai komoditas utama. Perubahan fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional memunculkan reaksi berbeda dari berbagai kalangan. Sebagian pihak, antara lain Pemda Kabupaten Kuningan dan Universitas Kuningan menyambut positif perubahan kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Sebagian pihak yang lain, seperti sejumlah personil Lembaga Pelayanan Implementasi-Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat LPI-PHBM dari unsur LSM 50 S TEENIS , CGGJ VAN . 2006. Flora Pegunungan Jawa. Terj. Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor. Hal. 22-25 51 R OMBANG , W.M. DAN R UDYANTO . 1999. Daerah penting bagi burung Jawa Bali. PKABirdLife International —Indonesia Programme, Bogor. Hal. 67 52 H ERMAWAN , T. DKK . 2005. Pemanfaatan Ruang dan Lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai, suatu rancangan model . Penerbit Pustaka LATIN. xiv+102 hal. 79 dan perorangan serta masyarakat pelaku kegiatan PHBM di kawasan hutan Gunung Ciremai menolak Yuniandra et al, 2007:146-154 53 . Pergolakan dalam perubahan status hutan Gunung Ciremai terjadi akibat tarik menarik kepentingan antara para pihak yang memanfaatkan hutan Gunung Ciremai. Sejak era Kolonial, era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi, Gunung Ciremai mengalami perubahan peruntukan dan penggunaannya. Perubahan peruntukan dan penggunaan lahan ini mengakibatkan berubahnya lansekap tutupan hutan. Berdasarkan beberapa sumber rujukan, hutan Gunung Ciremai pada era Kolonial adalah lansekap hutan alam pegunungan yang mengalami fregmentasi oleh kebijakan penanaman perkebunan terutama kopi. Perkebunan kopi di Kuningan sebagian besar didistribusikan untuk kebutuhan ekspor melalui pelabuhan Cirebon. Beberapa catatan rujukan menyebutkan bahwa Desa Linggarjati menjadi sentra tengkulak kopi yang dihasilkan oleh para petani kopi Gunung Ciremai. Perkebunan kopi ini bahkan dibangun tidak saja disekitar kaki Gunung namun telah merambah pada daerah dataran yang lebih tinggi di Gunung Ciremai. Pada saat bersamaan penetapan status hutan negara Gunung Ciremai merubah kembali fungsi dan peruntukan Gunung Ciremai. Untuk kepentingan hidrologi, beberapa lokasi Gunung Ciremai harus dipulihkan kembali oleh Jawatan kehutanan Belanda pada waktu itu. Pelarangan penanaman kopi dimungkinkan untuk merehabilitasi kawasan Gunung Ciremai. Era Orde Baru ketika industrialisasi kehutanan mulai menjadi orientasi pembangunan, Gunung Ciremai juga menjadi perhatian Pemerintah sebagai asset pembangunan nasional. Melalui BUMN Perhutani, hutan Gunung Ciremai pada tahun 1978 diubah sebagian lansekapnya dengan tanaman pinus untuk memenuhi ekspor gondorukem nasional. Lansekap hutan pinus di Gunung Ciremai juga mengalami fragmentasi kembali ketika pola-pola manajemen hutan berbasiskan masyarakat mulai diterapkan oleh Perhutani. Program tumpang sari tanaman hutan di lansekap Gunung Ciremai menjadi strategi Perhutani dalam pengelolaan tanaman pinus. Strategi pemberdayaan masyarakat hutan oleh Perhutani sedikit banyak juga mempengaruhi lansekap hutan 53 Yuniandra, et al. 2007. Formulasi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol XIII 3 : Pp 146-154 80 dan tutupan hutan Gunung Ciremai. Kebijakan PHBM di kawasan Gunung Ciremai merupakan program terakhir pengelolaan hutan berbasis masyarakat ketika Gunung Ciremai dikuasai oleh Perhutani. Pada era sekarang ketika status Gunung Ciremai telah menjadi hutan konservasi Taman Nasional, telah ada beberapa kegiatan penanaman dan rehabilitasi untuk memulihkan kondisi hutan Gunung Ciremai. Program RHL Rehabilitasi Hutan dan Lahan dilakukan untuk mengembalikan kesehatan hutan Gunung Ciremai untuk mengoptimalkan fungsinya sebagai ―tandon air‖. Namun, tekanan pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal serta ancaman kebakaran yang kerap terjadi sepanjang tanhun menjadikan kesehatan hutan Gunung Ciremai tidak selalu menampakan hasil yang signifikan meskipun status hutan ini telah berubah menjadi hutan konservasi Taman Nasional. Intepretasi tutupan hutan Gunung Ciremai telah dilakukan oleh peneliti untuk melihat sejauhmana perkembangan tutupan hutan yang mencirikan tingkat kesehatan Gunung Ciremai. Intepretasi Citra Satelit menggunakan data spasial pada tahun 2006 dan 2011 dimana pada tahun tersebut adalah rentang waktu pengelolaan hutan Gunung Ciremai ketika awal menjadi hutan konservasi 54 sampai dengan tahun 2011. Dalam rentang waktu tersebut, tutupan hutan Gunung Ciremai tidak menunjukan peningkatan hutan yang signifikan. Tidak adanya perubahan signifikan pada tutupan hutan Gunung Ciremai diakibatkan terjadinya deforestasi akibat kebakaran dan pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal. Data total deforestasi dalam 5 tahun tersebut tercatat sebesar 346 ha dengan laju deforestasi sebesar 69,2 ha per tahun. Sedangkan aktivitas reboisasi rehabilitasi Gunung Ciremai selama 5 tahun tersebut tercatat sebesar 367 ha dengan laju 73,4 ha per tahun lihat gambar 4.1. Fakta ini menunjukan bahwa dinamika tutupan hutan Gunung Ciremai senantiasa terjadi meskipun tata kelolanya telah menjadi hutan konservasi Taman Nasional. 54 Gunung Ciremai berubah status menjadi Taman Nasional pada tahun 2004. Namun pemilihan intepretasi peta tahun 2006 dikarenakan tahun tersebut Gunung Ciremai telah efektif dikelola sebagai Taman Nasional dari aspek kelembagaan. 81 Gambar 4.1 Pengolahan Citra Satelit dan Intepretasi Tutupan Hutan Gunung Ciremai Data Primer 4.3 Studi Kasus Penelitian : Desa Seda, Pajambon, Cisantana, Puncak Kabupaten Kuningan Penelitian ini dilakukan untuk melihat fenomena akses dan kontrol sumberdaya hutan Gunung Ciremai dengan menggunakan konteks lokasi studi di Kabupaten 82 Kuningan yang merupakan daerah administrasi terbesar letak Gunung Ciremai. Penelitian ini hanya menggunakan 4 desa sebagai basis data kehidupan sosial ekonomi petani yaitu Desa Seda yang terletak di Kecamatan Mandirancan Desa Pajambon yang terletak di Kecamatan Jalaksana dan Desa Cisantana dan Puncak yang terletak di Kecamatan Cigugur.Kabupaten Kuningan terletak pada titik koordinat 108° 23 - 108° 47 Bujur Timur dan 6° 47 - 7° 12 Lintang Selatan. Dilihat dari posisi geografisnya, Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat berada pada lintasan jalan regional yang menghubungkan kota Cirebon dengan wilayah Priangan Timur dan sebagai jalan alternatif jalur tengah yang menghubungkan Bandung-Majalengka dengan Jawa Tengah. Secara administratif, Kabupaten Kuningan berbatasan dengan Kabupaten Cirebon di sebelah Utara, Kabupaten Brebes di sebelah Timur, Kabupaten Ciamis dan Cilacap di sebelah Selatan dan Kabupaten Majalengka di sebelah Barat. Kabupaten Kuningan terdiri atas 32 Kecamatan dan 15 Kelurahan dengan jumlah desa 361. Permukaan tanah Kabupaten Kuningan relatif datar dengan variasi berbukit- bukit terutama Kuningan bagian Barat dan bagian Selatan yang mempunyai ketinggian berkisar 700 meter di atas permukaan laut, sampai ke dataran yang agak rendah seperti wilayah Kuningan bagian Timur dengan ketinggian antara 120 meter sampai dengan 222 meter di atas permukaan laut. Kondisi wilayah Kabupaten Kuningan yang berada di kaki Gunung Ceremai lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut sangat bervariasi yaitu dengan ketinggian antara 25 - 2.000 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Kabupaten Kuningan berada pada ketinggian antara 500 - 1.000 meter di atas permukaan laut yang mencapai 58,90, sedangkan wilayah dengan ketinggian di atas 1.000 dpl hanya 6,08. Kondisi itupun menyebabkan Kabupaten Kuningan mempunyai kemiringan yang bervariasi. Kemiringan tanah yang dimiliki Kabupaten Kuningan terdiri dari : dataran rendah, dataran tinggi, perbukitan, lereng, lembah dan pegunungan. Karakter tersebut memiliki bentang alam yang cukup indah dan udara yang sejuk, sangat potensial bagi pengembangan pariwisata. Sebagian besar tekstur tanah termasuk kedalaman tekstur sedang dan sebagian kecil termasuk tekstur halus. Kondisi tersebut berpengaruh 83 terhadap tingkat kepekaan yang rendah dan sebagian kecil sangat tinggi terhadap erosi. Berdasarkan penelitian tanah tinjau Kabupaten Kuningan memiliki 7 tujuh golongan tanah yaitu : Andosol, Alluvial, Podzolik, Gromosol, Mediteran, Latosol dan Regosol. Golongan tanah Andosol terdapat di bagian barat Kecamatan Kuningan yang cocok untuk ditanami tembakau, bunga-bungaan, sayuran, buah-buahan, kopi, kina, teh, pinus dan apel. Golongan tanah Alluvial terdapat di bagian timur Kecamatan Kuningan, Kecamatan Kadugede bagian utara, Kecamatan Lebakwangi bagian utara, Kecamatan Garawangi dan Kecamatan Cilimus cocok untuk tanaman sawah, palawija dan perikanan. Golongan tanah Podzolik terdapat di bagian selatan Kecamatan Kadugede, bagian timur Kecamatan Ciniru, bagian timur Kecamatan Luragung, bagian selatan Kecamatan Lebakwangi dan Kecamatan Ciwaru cocok untuk ladang dan tanaman keras. Penduduk Kabupaten Kuningan Tahun 2010 Menurut Hasil Suseda sebanyak 1.122.376 orang dengan Laju Pertumbuhan Penduduk LPP sebesar 0,48 pertahun dan Angka Harapan Hidup AHH 70,76 tahun. Penduduk laki-laki sebanyak 580.796 orang dan penduduk perempuan sebanyak 564.801 orang dengan sex ratio sebesar 99,3 artinya jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibanding penduduk laki- laki. Diperkirakan hampir 25 penduduk Kuningan bersifat comuter, mereka banyak yang bermigrasi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan sebagainya.Penduduk Kuningan umumnya menggunakan bahasa Sunda dialek Kuningan. Mayoritas Penduduk Kuningan beragama Islam sekitar 98 di daerah desa Manislor terdapat komunitas penduduk yang menganut aliran Ahmadiyah, lainnnya beragama Kristen Katolik yang tersebar di wilayah Cigugur, Cisantana, Citangtu, Cibunut, sedangkan sisanya beragama Protestan dan Budha yang kebanyakan terdapat di kota Kuningan. Di wilayah Cigugur juga terdapat penduduk yang menganut aliran kepercayaan yang disebut Aliran Jawa Sunda. Sebagain besar penduduk kabupaten Kuningan bermatapencaharian sebagai petani petani penggarap dan buruh tani, dan lainnya bekerja sebagai Pedagang, Pegawai negeri Sipil, TNI, Polisi, Wiraswasta dan sebagainya. 84 Gambar 4.2 Lokasi Studi Sebagai wilayah yang berada di daerah Priangan Timur, Kabupaten Kuningan kaya akan seni budaya Sunda yang khas, berbeda dari wilayah Sunda bagian Barat meliputi Upacara Cingcowong upacara minta hujan di Kecamatan Luragung, Upacara Sintren di Desa Dukuhbadag, Goong Renteng di Kelurahan Sukamulya, Tayuban di Kecamatan Ciniru, Pesta Dadung di Kecamatan Subang, Gembyung Terbangan di Desa Cilaja, Kuda Lumping di Kelurahan Citangtu, Reog di Desa Cengal, Calung di Desa Cilaja, Upacara Kawin Cai di Kecamatan Jalaksana, Tari Buyung di Kecamatan Cigugur, Balap Kuda Saptonan di Kecamatan Kuningan. Studi kasus penelitian khususnya pada pendalaman data sosial ekonomi dilakukan di 4 Desa yang meliputi Desa Pajambon, Desa Cisantana, Desa Puncak dan Desa Seda. Karakteristik sosial ekonomi budaya keempat desa tersebut memiliki karekteristik yang serupa dengan masyarakat desa di Kuningan khususnya di wilayah pedalaman. Kesamaan tersebut jika dilihat dari proporsi struktur mata pencaharian 85 masyarakat, infrastruktur dan sarana prasarana serta komposisi pendidikan masyarakat desanya. Dari aspek kependudukan, lokasi studi memiliki variasi kependudukan yang beragam namun umumnya berdasarkan data BPS tahun 2011 jumlah penduduk laki-laki memiliki angka lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk perempuan kecuali pada Desa Seda memiliki komposisi yang sama antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan. Berdasarkan data Kecamatan dalam Angka BPS tahun 2011, lokasi studi di Desa Pajambon memiliki komposisi penduduk laki-laki sebesar 1.251 jiwa dan perempuan sebesar 1.232 jiwa sedangkan lokasi studi di Desa Cisantana memiliki komposisi penduduk laki-laki sebesar 3.102 jiwa dan perempuan sebesar 2.853 jiwa. Lokasi studi di Desa Puncak komposisi penduduk laki-laki sebesar 2.051 jiwa dan perempuan sebesar 1.992 jiwa sedangkan lokasi studi di Desa Seda memiliki komposisi penduduk laki-laki sebesar 1.210 jiwa dan perempuan sebesar 1.210 jiwa Lihat tabel 4.3. Tabel 4.3 Gambaran Kependudukan di Lokasi Studi No Desa Kecamatan Kependudukan Laki-laki Perempuan Kepadatan per km 2 1 Pajambon Kramatmulya 1.251 1.232 3.448,61 2 Cisantana Cigugur 3.102 2.853 790 3 Puncak Cigugur 2.051 1.992 1.142 4 Seda Mandirancan 1.210 1.210 823,13 Kecamatan dalam Angka, BPS 2011 Meskipun keadaan penduduk di lokasi studi beragam namun tidak selalu disertai dengan jumlah luasan desa yang sama sesuai dengan jumlah penduduknya. Sehingga kepadatan penduduk di lokasi studi memiliki variasi sesuai dengan ketersediaan luasan administrasi desa. Kepadatan penduduk dapat menjadi salah satu gambaran indikator yang menunjukan kekritisan aspek sosial ekonomi desa pada struktur tipe mata pencaharian yang sama contoh ; tipe mata pencaharian pertanian. Berdasarkan data BPS 2011, kepadatan penduduk terbesar dari empat lokasi studi ditunjukan oleh Desa Pajambon dengan nilai kepadatan penduduk sebesar 3.448,61 jiwa per km 2 sedangkan kepadatan penduduk terkecil dimiliki oleh Desa Cisantana sebesar 790 jiwa per km 2 . Data kepadatan penduduk desa lainnya berturut-turut 86 sebesar 1.142 jiwa per km 2 pada Desa Puncak dan 823,13 jiwa per km 2 pada Desa Seda Lihat table 4.3. Dari aspek pendidikan, penduduk di empat desa lokasi studi memiliki struktur yang sama dengan desa pedalaman lainnya dimana latar belakang pendidikan penduduknya relatif rendah dengan latar belakang pendidikan SMP menjadi komposisi terbesar penduduknya dengan jumlah penduduk dengan latar pendidikan SMU dan Sarjana relative kecil. Ini dimungkinkan karena sarana prasaran pendidikan di lokasi studi masih minim terutama untuk sarana sekolah pada tingkat SMP dan terutama SMU yang tidak ada. Aksesibilitas sarana pendidikan SMU yang jauh memungkinkan para penduduk di lokasi studi tidak melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan SMU. Bagaimanapun juga aksesibilitas dapat menunjukan tingkat investasi pengeluaran biaya yang harus disediakan para penduduk untuk memperoleh jenjang pendidikan SMU dimana aksesibilitas yang jauh memerlukan biaya operasional yang tinggi terutama transport dan akomodasi. Tabel 4.4 Sarana Pendidikan di Lokasi Studi No Desa Jumlah Sarana Pendidikan TK SD SMP SMU 1 Pajambon - 1 - - 2 Cisantana 2 4 1 - 3 Puncak 1 3 - - 4 Seda - 2 - - Kecamatan dalam Angka, BPS 2011 Keadaan jumlah sarana prasarana pendidikan di lokasi studi relatif minim terbatas dengan hanya bertumpu pada sarana pendidikan pada jenjang sekolah dasar saja. Berdasarkan data BPS 2011, jumlah sarana prasaran pendidikan di empat desa lokasi studi beragam meliputi sarana pendidikan untuk jenjang taman kanak-kanak TK hanya dimiliki Desa Cisantana 2 sekolah dan Desa Puncak 1 sekolah. Sedangkan sarana prasarana pendidikan untuk jenjang sekolah dasar SD dimiliki Desa Pajambon 1 sekolah, Desa Cisantana 4 sekolah, Desa Puncak 3 sekolah dan Desa Seda 2 sekolah. Sarana prasarana untuk jenjang SMP hanya dimiliki oleh Desa Cisantana dengan jumlah 1 sekolah. Sedangkan sarana prasarana untuk jenjang pendidikan tingkat SMU tidak dimiliki oleh empat desa tersebut lihat tabel 4.4. 87 Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa sarana prasarana pendidikan yang lebih lengkap dimiliki oleh Desa Cisantana. Tabel 4.5 Pola Penggunaan Lahan di Lokasi Studi No Desa Pola Penggunaan Lahan Ha Sawah Ladang kolam Perkebunan Hutan Rakyat Perumahan Lainnya 1 Pajambon 43,5 66 42 8 34 - 2 Cisantana 136 435 18 11 48 2,7 3 Puncak 73 79 - - 16,6 13,4 4 Seda 215 103 185 - 25 - Kecamatan dalam Angka, BPS 2011 Aspek penggunaan lahan di pedesaan dapat menunjukan pola dan karakteristik mata pencaharian penduduknya serta dapat dijadikan indikator sosial ekonomi jika dikaitkan dengan keadaan jumlah penduduk karena menyangkut ketersediaan kelimpahan daya dukung ekonomi pedesaan. Pada aspek penggunaan lahan di lokasi studi, Desa Seda dan Desa Cisantana memiliki komposisi penggunaan lahan untuk persawahan yang relative tinggi yaitu sebesar 215 Ha dan 136 Ha, sedangkan Desa Pajambon dan Desa Puncak masing-masing 43,5 Ha dan 73 Ha. Penggunaan lahan untuk perladangan dan perairan kolam di lokasi studi beragam meliputi Desa Pajambon sebesar 66 Ha, Desa Cisantana 435 Ha, Desa Puncak 79 Ha dan Desa Seda 103 Ha. Sedangkan penggunaan lahan untuk perkebunan, komposisi terbesar dimiliki oleh Desa Seda dengan luasan sebesar 185 Ha untuk penggunaan lahan sebagai perkebunan. Desa lainnya masing-masing Desa Pajambon sebesar 42 Ha dan Desa Cisantana sebesar 18 Ha untuk penggunaan lahan kategori perkebunan. Sedangkan Desa Puncak tidak memiliki penggunaan lahan untuk digunakan budidaya komoditas perkebunan. Penggunaan lahan untuk komoditas tanaman kehutanan hutan rakyat di lokasi studi hanya dimiliki Desa Pajambon dan Desa Cisantana dengan luasan masing-masing luasan sebesar 8 Ha di Desa Pajambon dan 11 Ha di Desa Cisantana. Berdasarkan struktur penggunaan lahan ini, penduduk di lokasi studi memiliki karakteristik mata pencaharian yang mengandalkan ekonomi pertanian dalam arti luas dengan cirri pertanian yang beragam. Pada Desa Pajambon ekonomi pertanian sawah dan ladang menjadi tumpuan utama, Desa Cisantana ekonomi pertanian hortikultura 88 yang menjadi tumpuan utama, Desa Puncak ekonomi pertanian sawah dan ladang menjadi tumpuan utama dan Desa Seda yang menjadi tumpuan utama pertanian sawah, ladang dan kebun campur. 89

BAB V PERJALANAN PENGATURAN