97
Pada era Culturstelsel, akses dan kontrol hutan Gunung Ciremai masih terletak di tangan petani dan penduduk sendiri. Mereka tidak diintervensi oleh pelarangan-
pelarangan seperti yang berlaku pada zaman sekarang.
5.1.2 Pemberlakuan Perlindungan Hutan Gunung Ciremai
Pada beberapa tahun setelah penerapan kebijakan Culturstelsel, Hindia-Belanda mengalami beberapa perubahan orientasi politik sehingga ditetapkan bahwa 1870
adalah tahun tidak diberlakukannya sistem Culturstelsel di Jawa dan mulai diberlakukannya sistem sewa tanah sebagai mana kebijakan politik etis Pemerintahan
Hindia-Belanda. Kebijakan politik etis adalah hasil dari debat diantara para elite Hindia-Belanda yang dipengaruhi beberapa tokoh Belanda
61
yang menolak sistem Culturstelsel
. Debat ini adalah kritik atas Culturstelsel setelah sistem ini memberikan dampak buruk dan penderitaan bagi penduduk lokal. Residen Cirebon adalah salah
satu korban yang mengalami bencana kelaparan pada era penerapan Culturstelsel. Reorientasi pemerintahan juga dipengaruhi oleh beberapa tokoh Gubernur Jenderal
yang memiliki minat pada administrasi hukum tata negara. Reformasi hukum pada era setelah penerapan Culturstelsel banyak terjadi terutama hukum tanah, hukum
perdagangan dan pengusahaan dan juga hukum kehutanan. Hukum kehutanan muncul untuk pertama kalinya tahun 1865 dengan istilah BoschReglementt. Reorganisasi
hukum kehutanan bagi Pemerintah Hindia-Belanda penting dilakukan mengingat tata kelola hutan jati dan hutan rimba sebelumnya membuat hutan menjadi tidak
terkontrol dan mengancam kehilangan aset hutan dikemudian hari. Rusaknya hutan
jati dan hutan rimba akibat dari masa eksploitasi VOC dan penerapan sistem Culturstelsel
oleh Gubernur Jenderal Bosch dan Gubernur Jenderal berikutnya. Meskipun reforestasi sudah menjadi wacana pada masa Gubernur Jenderal Daendles
sebelum Bosch namun situasi politik perebutan kekuasaan Hindia-Belanda oleh Perancis-Inggris-Belanda menjadikan agenda reforestasi tidak benar-benar terjadi
61
Douwes Dekker seorang sastrawan yang menulis buku Max Havelaar, of de koffijveilingen der Nedelandsche Handel-Maatschappij
adalah sebuah novel yang menggambarkan penindasan Pemerintah Kolonial pada masyarakat pribumi sejak diterapkannya Sistem Culturstelsel. Novel ini
mempengaruhi para reformasionis Belanda
98
pada era Daendles. Terlebih ketika Gubernur Jenderal Bosch datang membawa ide Sistem Culturstelsel untuk meningkatkan kas keuangan negara Hindia-Belanda akibat
krisis pasca peperangan dan politik perebutan kekuasaan antara Perancis-Inggris- Belanda.
Reorganisasi hukum kehutanan dengan dikeluarkannya BoschReglementt 1865 pada waktu itu hanya memperhatikan hutan jati sajaterutama pada pengendalian
eksploitasinya, cara pengusahaannya maupun reforestasinya. Namun aturan main hutan jati pada BoschReglementt 1865 juga memiliki implikasi pada rakyat lokal
dimana mereka dilarang dengan keras untuk mencuri kayu terutama kayu jati. Selain masalah pelarangan pencurian kayu, aturan lainnya yang mendeskripsikan
penguasaan akses dan kontrol hutan jati dan rimba tidak disebutkan dalam BoschReglementt
1865. Dalam perkembangan selanjutnya, Reglement Hutan BoschReglementt
1865 dipandang banyak mengandung kelemahan terutama untuk mengantisipasi perkembangan pengelolaan hutan, sehingga Pemerintah Hindia-
Belanda memandang perlu memperbaharui Reglementt tersebut. Pada tanggal 14 April 1874 diundangkan Reglement Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan
Madura 1874
62
. Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam Reglementt Hutan BoschReglementt
1874 ini terutama : 1 Pengaturan mengenai pemisahan pengelolaan hutan jati dengan hutan rimba non jati; 2 Hutan jati dikelola secara
teratur dan ditata dengan pengukuran, pemetaan, dan pemancangan pal-pal batas, serta dibagi dalam wilayah distrik-distrik hutan; 3 Eksploitasi hutan jati diserahkan
pengusahaannya kepada pihak swasta; 4 Pemangkuan hutan rimba yang tidak dikelola secara teratur diserahkan kepada Residen di bawah perintah direktur
Binnelands Bestuur , dan dibantu seorang Houtvester
63
. Regelemen tahun 1874 ini lebih memberi penekanan dan pengaturan dibandingkan Reglement tahun 1865
terutama larangan-larangan masyarakat yang tidak hanya pada hal pencurian kayu saja namun juga pada aturan lainnya seperti : 1 larangan merusak hutan; 2
larangan melepas ternak dalam hutan tanaman muda; 3 larangan menyulut api
62
Lihat Hardjodarsono et al
,
1986. Sejarah Kehutanan.
63
Rimbawan atau semacam Polhut kehutanan Zaman Hindia Belanda
99
dalam hutan; 4 larangan membawa alat tebang diluar jalur jalan hutan; 5 larangan melanggar pas kayu; 6 larangan mengangkut kayu sebelum lunas 7 larangan
pembibrikan tanah hutan. Namun aturan ini masih diberlakukan lebih banyak pada hutan jati.
Hutan Gunung Ciremai yang sebagaian lansekapnya telah ditumbuhi tanaman kopi rakyat tidak menjadi perhatian serius oleh Binnelands Bestuur dan
Houtvester . Selain karena kurangnya jumlah personil untuk mengelola hutan rimba
disamping itu juga penataan batas hutan rimba belum banyak dilakukan. Hindia- Belanda masih fokus pada penataan batas hutan di hutan jati. Meskipun larangan-
larangan pada hutan jati telah dibuat,hutan rimba tetap dalam kondisi ‗tanpa intervensi‘.
Sejak Reglement 1874 diberlakukan, Kuningan memiliki Houtvester yang bertugas sebagai rimbawan patroli untuk mengawasi hutan Gunung Ciremai dan
beberapa hutan rimba lainnya di Kuningan. Karena penataan batas hutan belum sepenuhnya dilakukan di hutan rimba, maka kebun kopi milik petani sepeninggalan
masa Culturstelsel dibiarkan saja tanpa ada larangan apapun dari Houtvester. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan menggunakan Ordonansi 6 Mei
1882 dan Ordonansi 21 Nopember 1894, dan kemudian dengan Ordonansi Kolonial 9 Februari 1897, maka Reglement tahun 1874 diperbarui dengan Bosch Reglementt
1897 Reglement Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1897, dilengkapi dengan Dienst Reglementt 1897 Reglement Dinas melalui Keputusan Pemerintah
tanggal 9 Februari 1897 No. 21 yang secara khusus memuat peraturan pelaksanaan Bosch Reglementt
1897 dan pengaturan organisasi Jawatan Kehutanan
64
. Dalam perancangan Reglement ini, banyak tarik menarik kebijakan untuk mulai
memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal khususnya pada mereka-mereka yang tinggal di sekitar hutan jati. Para perancang kebijakan yang didukung oleh Dewan
Hindia-Belanda dan Gubernur Jenderal membuat pengaturan yang lebih longgar pada pemanfaatan hutan jati oleh masyarakat lokal. Hutan rimba tidak begitu diperhatikan
kecuali pada hutan rimba yang memiliki fungsi sebagai cadangan hutan dan penyangga air hidrologi
. Reglement hutan tahun 1897 ditetapkan ketika Hindia-
64
Lihat Hardjodarsono et al, 1986. Sejarah Kehutanan
100
Belanda dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal Jonkheer Carel Herman Aart Van Der Wijck
65
1893-1899. Isi dari Reglement tahun 1897 memiliki perbedaan dengan Reglement sebelumnya yang telah mengulas lebih banyak pada aturan yang lebih
longgar pada rakyat. Kebijakan yang longgar ini diantaranya Hardjodarsono et al, 1986 : 81-83 : 1 Di hutan jati yang belum ditata atau baru ditata sementara, Kepala
Pemerintah Daerah berwenang memberi izin kepada penduduk desa tertentu untuk memungut kayu bakar, kayu untuk alat pertanian dan jermal alat penangkap ikan
dan untuk pembuatan pagar, secara cuma-cuma atau dengan pembayaran retribusi ringan, dengan syarat dan pembatasan tertentu. Berdasarkan alasan khusus, kepada
rakyat tertentu dapat diberikan izin untuk menebang kayu dan menyaradnya keluar dengan pembayaran retribusi ringan asal saja jumlahnya tidak melebihi batas
maksimum yang ditetapkan Gubernur Jenderal ; 2 Di hutan rimba tetap, boleh dilakukan penebangan dan penyaradan berdasarkan surat kuasa Kepala Pemerintah
Daerah untuk pekerjaan umum dan rodi dan untuk keperluan penduduk yang mengajukan permohonan, asal saja kayunya dipakai untuk keperluan sendiri. Di
hutan rimba yang tidak dieksploitasi ini, rakyat boleh tanpa izin memungut kayu mati yang terletak di tanah untuk mendapatkan kayu bakar, kayu untuk perkakas, jermal
perikanan dan pagar. Dengan izin Kepala Pemerintahan Daerah, rakyat diperkenankan menebang dan menyarad kayu dengan pembayaran retribusi ringan ;
3 Di hutan rimba tidak tetap, dapat dimintakan hak milik, hak mendirikan bangunan, hak sewa dan hak pembukaan lahan untuk pertanian. Untuk penyerahan pepohonan
yang ada disana dapat dipungut retribusi untuk Negara ; 4 Rakyat desa di sekitar hutan, dengan persyaratan dan pembatasan tertentu, diizinkan memungut buah-
buahan, rumput, alang-alang, gelagah dan rotan selain pakan ternak dan menebang bambu atau membakar arang dengan cuma-cuma atau dengan pembayaran retribusi,
dan pemungutan kulit kayu. Izin ini dapat diberikan dalam keadaan khusus kepada penduduk asing atau penduduk dari desa yang daerahnya tidak ada hutannya ; 5
Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan berwenang menutup sementara jalan-jalan,
65
Jangan dikelirukan dengan Carel van der Wijck, perwira yang terlibat dalam Perang Bali Kedua dan Ketiga
101
jalan setapak atau alur-alur bagi lalu lintas umum, demi kepentingan dinas, dengan persetujuan Kepala Pemerintahan Daerah, kecuali untuk angkutan barang dengan
gerobak atau penyaradan. Kayu yang ditebang dalam hutan dapat diangkut melalui jalan itu, tetapi pemiliknya harus segera memperbaikinya kalau timbul kerusakan
pada jalan, jembatan atau gorong-gorong atau membayar ganti rugi untuk perbaikan. Atas berlakunya Reglement ini, hutan rimba Gunung Ciremai pada saat itu mulai
menjadi sorotan yang menimbulkan gesekan ditingkat lokal meskipun Reglement ini memberikan akses pada masyarakat lokal. Ini dikarenakan hutan Gunung Ciremai
mulai dikategorikan pada kelompok hutan rimba tetap mengingat lansekapnya masuk pada daerah pegunungan. Petani kopi Gunung Ciremai merasa terganggu dengan
keputusan ini, meskipun era Culturstelsel sudah tidak berlaku lagi namun jaringan perdagangan kopi tetap ada dan petani tetap menjalankan pertanian kopi untuk
mendapatkan hasil sewa tanah dan pengganti upah kerja sedangkan hasil panennya dipasok kepada para pengusaha orang asing Eropa dan Cina.
―…..kapungkur basa uyut masih aya anjeuna pernah carita soal kopi anjeuna di leuweung Ciremai. anjeuna ngaku gaduh kopi di leuweung
ngan kapungkur diusir ku Walanda Belanda dipiwarang turun tong ngurus kopi deui da eta taneh gaduh BW Boschweizen
66
…..‖ Polemik gesekan kepentingan akan tanah hutan ini Gunung Ciremai bisa
diulas kembali pada kebijakan agraria tahun 1870. Tahun 1870 dipakai sebagai garis batas sistem baru setelah sistem Culturstelsel hilang, karena pada tahun itu
parlemen Belanda mengesahkan Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula. Perdebatan yang mendahului pengesahan kedua undang-undang yang memungkinkan
pengalihan penanaman tanaman pemerintah kepada perusahaan swasta dan menentukan batas-batas serta peraturan usaha ekonomi swasta di Jawa telah
berlangsung sejak tahun 1861, ketika Gubernur Jenderal Pahud meminta kepada Menteri Urusan Jajahan untuk memberi instruksi lebih lanjut mengenai pedoman
penyewaan tanah dan kontrak kerja. Tahun 1860-an, baik di Negeri Belanda maupun
66
Jawatan Kehutanan era Kolonial
102
di Hindia Belanda, memang merupakan masa-masa peralihan dalam kebijakan Kolonial. Undang-undang yang disahkan pada tahun 1870 menguraikan persoalan
secara umum dan menyerahkan rinciannya untuk dilaksanakan di Hindia Belanda. Pemilikan tanah tetap di tangan pemerintah dan penduduk Jawa, tetapi perusahaan
perkebunan swasta dimungkinkan menyewa tanah Niel, 2003:191-192. Banyak orang merasa pengaturan sewa tanah baru harus dibuat dengan desa asli atau dengan
masyarakat desa. Masyarakat ini disebutkan mempunyai penguasaan tanah lebih bersifat individual ketimbang komunal dan hal ini wajar jika kaum tani Jawa maupun
pengusaha-pengusaha Eropa mempunyai kepentingan untuk kembali ke pola pemilikan tanah individual. Niel 2003 meneliti perubahan sistem kepemilikan tanah
Jawa ini sebagai masa transisi agraria pribumi dimana pada tahun 1860-an pemerintah Kolonial berusaha melarang perjanjian kontrak sewa tanah dengan desa
dan mendorong kontrak dilakukan dengan petani perorangan, tetapi ini hanya bisa terlaksana bila kepemilikan tanah perorangan diakui, sesuatu yang mustahil
diterapkan di sebagian besar daerah penghasil gula dan kopi. Untuk memecahkan masalah ini, pemerintah memperbolehkan kepemilikan tanah komunal dialihkan
menjadi kepemilikan tanah perorangan tetapi aturan pengalihannya diserahkan sepenuhnya kepada desa Niel, 2003 :193. Atas deskripsi Niel ini, diduga kuat
bahwa gesekan yang ada atas tanah hutan perkebunan kopi Gunung Ciremai terjadi antara rakyat dengan petugas kehutanan Binnelands Bestuur dan Houtvester. Status
sewa tanah perkebunan dan hasil upah tenaga kerja yang diterima petani dari para pengusaha asing Eropa dan Cina menjadi
alasan petani ―mengeluh‖ karena kebijakan perubahan kebun kopi sebagai hutan rimba tetap oleh petugas kehutanan.
Bagi petani hubungan baru antara mereka dengan para pengusaha asing pasca dihapuskannya sistem Culturstelsel telah menjadi basis livelihood baru penunjang
mata pencaharian petani. Alasan dasar Binnelands Bestuur dan Houtvester mengkategorikan hutan rimba
tetap pada hutan Gunung Ciremai termasuk didalamnya kebun kopi rakyat adalah karena pengaturan kebijakan tentang perlindungan hutan baik sebagai cadangan hutan
maupun sebagai pemeliharaan mata air terutama pada hutan-hutan dataran tinggi
103
seperti Gunung Ciremai. S ejatinya sudah sejak lama pengaturan fungsi hutan sebagai
hutan cadangan dan peraturan-peraturan mengenai penjagaan tanah untuk
menghindari bahaya erosi dan mempertahankan kesuburan tanah-tanah, peraturan tersebut diantaranya 1 Stbl. 1819 no. 15 Landrente bepalingen; 2 Stbl. 1870 no.
55 dan 118 Agraris Wet dan Agraris Besluit; 3 Stbl. 1865 no. 96, 1e Bosch Reglementt; 4 Stbl. 1874 no. 79 1e Ontginnings ordonnatie; 5 Stbl. 1874 no. 110
2e BoschReglementt; 6 Stbl. 1884 no. 4060, Sirkuler Dep. B.B. 1884, tentang cadangan hutan Boschreservering; 7 Stbl. 1890 no. 115, tentang cadangan hutan di
Jawa Boschreserving op Java; 8 Stbl. 1896 no. 44, 2e Ontginningsordonnantie; 9 Stbl. 1905 no. 41, perubahan Stbl. 1896 no. 44; 10 Stbl. 1905 no. 42, pembatasan
sementara cadangan hutan; 11 Stbl. 1935 no.. 483; 12 G.B. 13 Mei 1934 no. 2 dan 13 B.W. pasal 720-736 Tauchid, 2009:448
67
. Meskipun peraturan perlindungan hutan telah ada sejak bahkan Reglement 1865 namun kebijakan perlindungan hutan
rimba belum sepenuhnya menjadi perhatian ditingkat tapak karena pada saat itu Pemerintah Kolonial memaksimalkan personil tenaga kehutanan untuk pengurusan
hutan jati semata sebagai aset yang penting bagi mereka. Pembersihan dan pengusiran petani kopi Gunung Ciremai pada era ini
dipengaruhi juga tindakan reboisasi dan reforestasi hutan Gunung Ciremai. Petugas kehutanan Binnelands Bestuur dan Houtvester mulai memilih tanah-tanah hutan
Gunung Ciremai yang memang perlu direhabilitasi atau penghutanan kembali. Namun karena kebijakan reforestasi dan penghutanan kembali memiliki implikasi
biaya yang tinggi maka Binnelands Bestuur dan Houtvester menunggu itu menjadi program pemerintah Kolonial
68
. Akhir abad 19 tersebut belum menjadi agenda penting untuk mereforestasi hutan rimba tetap seperti Gunung Ciremai namun
67
Tauchid. M. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Pendapatan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Edisi Kedua. STPN Press. Yogyakarta
68
Rancangan penghutanan terutama dimulai tahun 1931. Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda menetapkan satu Panitia yang berkewajiban untuk menyelidiki dan memberikan
pemandangan keterangan dan laporan kepada pemerintah tentang aturan-aturan untuk memperbaiki dan memelihara hutan jati dan hutan rimba. Maksud untuk membentuk panitia itu adalah 1 untuk
mempertahankan keadaan hutan yang ada pada waktu itu; 2 untuk menyelidiki keadaan hidrologis dan orologis setelah perluasan hutan cadangan. Lihat Tauchid 2009:448
104
tindakan pengawasan dan pengamanan telah dilakukan agar hutan rimba tersebut bebas dari kepemilikan manusia. Karakteristik politik represi yang dilakukan
Pemerintah Kolonial sejak era Culturstelsel sampai era liberal telah membuat sebagian petani kopi Gunung Ciremai
mengerti untuk ‗pasrah‘ meninggalkan kebun kopi mereka dan lebih fokus mengurusi tanah pertanian di desanya dan beberapa
tanaman kopi yang ditanam di tanah desa.
5.2 Ciremai dan Legitimasi Perhutani