serta flora dan fauna yang terdapat di dalamnya tidak menjadi punah. Fungsi adanya tanaman keras adalah mencegah adanya bencana alam, seperti banjir,
hutan gundul, dan pengikisan lapisan tanah serta melindungi flora dan fauna yang terdapat di dalam hutan agar tidak punah.
5.2 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Komunitas Lokal
Masyarakat menganut prinsip gunung kayuan, lamping awian, lebak sawahan, legok balongan, dan datar imahan dalam menggarap lahan. Arti dari
prinsip ini adalah gunung ditanami pohonkayu, tebingtanah yang miring ditanami bambu, dataran rendah dibuat sawah, legokcekungan digunakan untuk
kolam, dan tanah yang datar dijadikan rumahpemukiman. Masyarakat lokal memiliki suatu keyakinan dalam menjaga hutan, yaitu
leuweung hejo masyarakat ngejo yang artinya jika hutan hijau lestari, masyarakat dapat makan makmur dan sejahtera. Masyarakat Kampung Cisangku
membagi lahan menjadi tiga bagian, yaitu leuweung tutupan, leuweung dudukuhan, dan leuweung bukaan, sedangkan masyarakat di Kampung
Nyungcung membagi lahan menjadi empat bagian, yaitu leuweung larangan, leuweung dudukuhan, leuweung sarerea, dan lahan lembur kampung.
a. Leuweung Tutupan atau Leuweung Larangan Leuweung tutupan maupun leuweung larangan memiliki makna yang sama.
Masyarakat dilarang menebang pohon di kawasan ini karena merupakan area penyangga dari adanya bencana alam, seperti banjir, hutan gundul, dan pengikisan
lapisan tanah lalu sebagai tempat penyerapan air, sehingga tidak boleh ada hutan yang gundul. Bagi masyarakat yang masih memiliki kepercayaan yang kuat, hutan
ini masih dianggap sakral, sehingga bagi masyarakat yang melanggar aturan menebang pohon sembarangan tanpa izin akan terkena kabendon malapetaka.
Leuweung tutupan maupun leuweung larangan dapat diartikan sebagai zona inti menurut versi TNGHS.
b. Leuweung Dudukuhan Leuweung dudukuhan merupakan hutan alam atau hutan sekunder dengan
pemanfaatan terbatas. Masyarakat boleh memanfaatkan areal ini sebagai kebun talun. Kebun talun adalah kebun yang terdiri dari tanaman kayu dan buah-buahan
yang beraneka ragam. Leuweung dudukuhan merupakan lahan garapan masyarakat yang terdapat di lahan Eks Perum Perhutani dan tidak dapat dijadikan
hak milik. Hak menggarap lahan di kawasan Eks Perum Perhutani dinamakan hak pakai.
Jenis tanaman kayu keras yang ditanam oleh masyarakat adalah pohon jeunjing dan afrika diselingi oleh tanaman buah-buahan. Jarak antar pohon
seharusnya sekitar 3x4 meter, namun dengan lahan yang tidak terlalu luas, masyarakat menanam pohon dengan ukuran 2x2 meter atau 2x3 meter.
Jenis pohon afrika apabila ditebang, maka akan muncul tunas yang baru, sehingga tidak diperlukan penanaman bibit kembali. Berbeda dengan pohon
jeunjing, apabila ditebang harus menanam bibit yang baru. Pohon afrika dapat tumbuh di tempat yang bagaimana saja, berbeda dengan pohon jeunjing yang
harus di tempat tertentu suhu dingin dan banyak curahan air. Penanaman pohon sejenis ini hanya untuk kebutuhan jangka panjang,
sehingga dinamakan tanaman tahunan. Penebangan pohon dilakukan dengan tebang pilih tanaman dan tidak melebihi batas lahan yang telah digarap. Sistem
tebang pilih dilakukan agar lahan tidak menjadi gundul. Bila mereka menebang satu pohon, maka harus menanamnya kembali sebanyak sepuluh. Penebangan
pohon dilakukan sekitar 4-5 tahun. Oleh sebab itu, masyarakat tidak menanam jenis tanaman kayu, seperti pohon rasamala dan pohon puspa karena mereka
beranggapan adanya kemungkinan lahan tersebut akan diklaim milik TNGHS bila ditanam pohon rasamala maupun pohon puspa.
Kayu yang telah ditebang dijual kepada tengkulak. Biasanya para tengkulak berkeliling di sekitar lahan garapan milik masyarakat maupun lahan garapan di
Eks Perum Perhutani. Harga kayu yang dijual oleh masyarakat berkisar antara Rp 15.000,00 sampai Rp 100.000,00 yang berdiameter 10 - 25 cm.
Tanaman selingan buah-buahan, seperti durian, rambutan, mangga, jambu, nangka, pisang, dan sebagainya disebut juga tanaman musiman dikarenakan
tanaman ini hanya berbuah pada musim-musim tertentu, sehingga masyarakat menanam beraneka ragam jenis buah-buahan. Penanaman buah-buahan agar
masyarakat mendapatkan penghasilan setiap bulannya, tidak bergantung pada jenis tanaman kayu keras.
Tanaman selingan ini hanya untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Bila ada hasil panen yang berlebih, mereka akan menjualnya di sekitar kampung atau
memberikannya kepada tetangga. c. Leuweung Sarerea
Leuweung sarerea adalah areal hutan yang telah ditanami pohon pinus oleh pihak Perum Perhutani. Leuweung sarerea berfungsi untuk kebutuhan umum bagi
masyarakat, seperti kayu digunakan untuk pembuatan masjid, panti jompo, jembatan, dan sebagainya. Masyarakat berkewajiban mengganti pohon pinus yang
telah ditebang tersebut dengan jenis tanaman rimba campuran tanaman kayu keras dan tanaman buah-buahan agar masyarakat dapat memanfaatkan hasilnya.
d. Leuweung Bukaan atau Lahan Lembur Leuweung bukaan atau lahan lembur merupakan areal hutan yang telah
dibuka oleh masyarakat dan dikelola untuk membuat sawah, kebun maupun ladang serta pemukiman. Leuweung bukaan atau lahan lembur merupakan zona
khusus menurut versi TNGHS. Leuweung bukaan atau lahan lembur ini biasanya telah menjadi lahan milik
dapat disewakan, diperjualbelikan, dan sebagainya. Akan tetapi, lahan milik ini tidak memiliki sertifikat tanah. Masyarakat hanya memiliki bukti kepemilikan
tanah berupa Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang SPPT. Bagi masyarakat, leuweung bukaan atau lahan lembur harus dihormati
karena masyarakat harus bersyukur dengan adanya pemberian dari sanghyang jeung dangiang. Bila masyarakat akan memanen hasil di sawah, maka mereka
melakukan ritual atau ngariung dengan membawa sesajen berupa nasi, ayam bekakak, dan rujak. Ritual ini dimaksudkan untuk meminta izin kepada
sanghyang jeung dangiang agar hasil bumi yang telah diperoleh dapat bermanfaat bagi mereka sesuai dengan aturan yang berlaku di masyarakat. Masyarakat
menyebutnya sebagai mipit kudu amit, ngala kudu menta. Ritual ini dilakukan selama 1-2 jam di lahan garapan milik. Bila ada masyarakat yang tidak
melakukannya akan terkena kabendon malapetaka karena dianggap tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan.
Sekitar 2-3 tahun sebelumnya, panen padi yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Cisangku tidak berhasil karena adanya hama babi hutan dan monyet
yang merambah lahan garapan mereka. Menurut pernyataan Bapak Krd 43 tahun:
“… Babi hutan dan monyet tidak boleh dibunuh oleh masyarakat kata TNGHS karena babi hutan dan monyet itu hewan yang dilindungi.
Seharusnya, TNGHS punya inisiatif buat penangkaran untuk babi hutan biar saling untung antar keduanya. Pihak TNGHS seharusnya
memperjuangkan kesejahteraan masyarakat di samping hutan yang harus
dilestarikan.” Akhirnya, mereka memasok beras dari luar kampung padahal biasanya
mereka dapat memenuhi kebutuhan pangan dari sawah yang digarap. Sebelum terjadi pemasokan beras, masyarakat dapat memanen padi dua kali dalam setahun.
Penghasil beras terbanyak di Kampung Cisangku adalah Bapak Usup dan Bapak Mirza yang dapat mencapai sekitar 4 ton dalam satu tahun. Begitu pula dengan
hasil kebun atau ladang yang ditanami dapat dipanen saat musimnya. Mereka mencari pendapatan selain dari bidang pertanian bahkan ada yang menjual
sawahnya untuk dijadikan modal hidup, seperti modal untuk warung. Adapula sawah yang telah kering ditanami oleh pohon bahkan ada yang dibiarkan terlantar
begitu saja menjadi semak belukar. Masyarakat di Kampung Nyungcung belum merasakan gagal panen seperti
yang terjadi Kampung Cisangku. Masyarakat menanam padi biasanya dilakukan dua kali dalam setahun. Jenis benihnya adalah benih lokal antara lain super, BTN,
borneng, rangrian, sadam, terong, dan cere. Hasil panen padi kering biasanya diikat dalam bentuk pocong. Lalu,
terdapat semacam lumbung padi yang dinamakan leuit yang hanya dimiliki secara pribadi di kampung ini. Jumlah leuit yang ada hanya sedikit karena sudah jarang
dipakai oleh pemiliknya. Hal ini dikarenakan hasil panen yang ada biasanya hanya cukup untuk 3-4 bulan saja. Bila ada hasil panen yang berlebih, biasanya mereka
memiliki lahan yang cukup luas. Hasil panen tersebut akan dijual di sekitar kampung tersebut atau ada tengkulak yang mengambilnya untuk dijual ke luar.
Tanaman yang ditanam di kebun milik masyarakat adalah tomat, cabai, kangkung, dan sebagainya, sedangkan tanaman yang ditanam di ladang, seperti
jagung, singkong, dan sebagainya. Hasil tanaman ini biasanya untuk dikonsumsi sendiri.
Masyarakat tidak melakukan kegiatan pertanian pada hari Jum‟at karena dianggap sakral dan tabu pamali
bila melakukannya. Hari Jum‟at merupakan hari yang pendek untuk melakukan kegiatan dan waktunya untuk beribadah bagi
umat Islam salat Jumat. Pemukiman masyarakat biasanya telah menjadi lahan milik walaupun
mereka hanya memiliki SPPT. Namun di daerah Simagrib dan Gege, Kampung Nyungcung, daerah pemukiman, sawah, dan sebagainya belum mendapatkan izin
untuk menjadikan lahan tersebut sebagai lahan milik karena masih berada di kawasan Eks Perum Perhutani. Selain pemukiman, terdapat lahan garapan berupa
sawah, kebun maupun ladang di kawasan Eks Perum Perhutani yang belum dapat dijadikan lahan milik, sehingga mereka belum mendapatkan SPPT. Masyarakat di
daerah Simagrib dan Gege berupaya agar lahan yang telah menghidupi mereka selama ini dapat dijadikan lahan milik.
Menurut Schlager dan Ostrom 1996, hak atas lahan garapan di Eks Perum Perhutani bagi masyarakat termasuk ke dalam hak mengelola management right
karena mereka hanya dapat mengelola sumberdaya hutan tanpa dapat menjual atau menyewakan lahan kepada pihak lain, namun hasil dari sumberdaya hutan
dapat dijual, seperti kayu, buah-buahan, dan sebagainya. Berbeda dengan lahan milik yang termasuk hak pengalihan alienation right karena lahan dapat
diperjualbelikan atau disewakan kepada pihak lain.
5.3 Ikhtisar