Kampung Dengan Tujuan Konservasi KDTK

Kelima, membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi sebagai suatu proses yang bersifat temporer dan berevolusi untuk menyelesaikan suatu masalah. Pertemuan terakhir antara masyarakat dan TNGHS dilakukan pada akhir bulan Desember 2010 untuk mengetahui perkembangan dari kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di Desa Cisangku setelah ada perjanjian kerjasama MoU. Pertemuan ini membahas bagaimana kegiatan yang telah dilakukan selama ini, apakah terdapat kendala di dalamnya dan rencana apa untuk ke depannya. Pada isi perjanjian kerjasama, laporan tahunan disampaikan kepada para stakeholder yang terlibat dalam perjanjian tersebut dan evaluasi dilakukan minimal satu tahun sekali. Evaluasi dilakukan untuk menampung aspirasi masyarakat mengenai kegiatan MKK yang telah dilakukan selama ini. Tahun 2011 belum dilakukan lagi kegiatan pertemuan dengan TNGHS selain upaya perpanjangan MoU antar kedua belah pihak.

8.3 Kampung Dengan Tujuan Konservasi KDTK

Pihak LSM RMI memberitahukan adanya pengalihfungsian pengelolaan hutan dari Perum Perhutani kepada Taman Nasional Gunung Halimun-Salak pada Tahun 2003 kepada Kampung Nyungcung dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No.175Kpts-II2003. Masyarakat di Kampung Nyungcung berinisiatif untuk mengambil hak mereka atas lahan garapan dari pihak Perum Perhutani. Kampung Dengan Tujuan Konservasi KDTK merupakan suatu kegiatan yang bersifat bottom up yang dibangun oleh masyarakat Kampung Nyungcung. Sebelumnya, Kampung Nyungcung berinisiatif untuk membuat Desa Dengan Tujuan Konservasi DDTK, namun tidak semua kampung ingin berpartisipasi aktif karena dianggap hasilnya akan sama saja tidak mementingkan masyarakat. Pihak desa juga belum mendukung adanya DDTK ini karena terdapat suatu kebijakan desa, sehingga DDTK tidak dapat dibentuk di Desa Malasari. Lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi menurut Gray 1989 dalam Suporahardjo 2005 terdapat pada model KDTK ini. Pertama, membutuhkan keterbukaan antara stakeholder yang harus saling memberi dan menerima give and take untuk menghasilkan solusi bersama. Pelopor KDTK adalah Teh Ell, Kang Gpy, Kang Mld, dan Kang Rck alm.. Mereka memberitahukan manfaat dan fungsi KDTK kepada masyarakat agar mereka sadar akan pentingnya mengambil kembali hak atas kepemilikan lahan dan mereka tidak diusir dari Kampung Nyungcung tersebut. Para pelopor ini bahkan melakukan door to door selain mengadakan perkumpulan di kampung tersebut. Mereka berharap agar masyarakat Kampung Nyungcung dapat memahami kondisi kampung mereka saat itu. Adanya pembentukan KDTK ini dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM RMI sebagai pihak pendamping yang menjembatani dalam mencapai tujuan yang diharapkan oleh masyarakat Kampung Nyungcung. Proses yang dijalankan untuk menginformasikan kepada seluruh masyarakat membutuhkan waktu yang cukup lama karena menyadarkan masyarakat dalam jangka waktu pendek tidaklah mudah. Masyarakat Kampung Nyungcung harus mengubah pola pikir mereka agar dapat menerima apa yang disampaikan. Namun demikian, hanya RW 05 yang berpartisipasi aktif dalam KDTK ini karena pusat kegiatan dilakukan di RW 05. Beberapa orang saja dari RW 06 yang berpartisipasi aktif dan sebagian besar hanya sekedar mengetahui adanya pembentukan KDTK yang berfungsi untuk memperjuangkan hak masyarakat atas lahan garapan. Hal ini dikarenakan hanya perwakilan dari RW 06 yang mengikuti segala kegiatan yang ada dan perwakilan ini yang akan menyampaikan isi kegiatan kepada masyarakat. Menurut salah satu pihak LSM Kang Ceg 28 tahun: “… sekarang masyarakat Kampung Nyungcung sudah berani bicara dibandingkan dulu yang hanya diam saja. Mereka sudah bisa mengungkapkan pendapat mereka. Adanya model KDTK ini telah mengubah pola pikir mereka.” Pada karakteristik sosial ekonomi masyarakat di Kampung Nyungcung Tabel 6, masyarakat yang memiliki lahan sempit sebesar 76,67 persen dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan rendah sebesar 56,67 persen, terdapat kecenderungan untuk mempertahankan hak atas lahan garapan yang telah diklaim oleh pemerintah. Masyarakat tersebut didominasi pada kisaran usia 27-45 tahun yang tergolong berusia muda dan masih produktif 83,33 persen. Kondisi ini menyebabkan, masyarakat Kampung Nyungcung memiliki idealisme yang tinggi dan progresif. Masyarakat menginginkan adanya perubahan kondisi saat ini menjadi lebih baik. Oleh karena itu, masyarakat Kampung Nyungcung terbuka pemikirannya terhadap informasi baru, baik dari LSM maupun pihak lain dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan. Kedua, menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk membangun kesepakatan. Kampung Dengan Tujuan Konservasi KDTK dikelola oleh Kelompok Swadaya Masyarakat KSM. Kelompok Swadaya Masyarakat KSM merupakan gabungan dari kelompok tani Sinar Harapan, Cepak Nangka, Andam, dan Limbah Lestari. Ketua KSM yang dipilih adalah Kang Ucc karena beliau memiliki pengaruh yang besar di kampung ini. Tujuan dari KDTK agar para penggarap dapat menggarap lahan dengan tenang terbebas dari konflik lahan dengan pihak TNGHS, sehingga masyarakat ingin membuat kesepakatan yang saling menguntungkan antara dua pihak. Ketiga, peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang suatu jalan keluar. Permasalahan mengenai lahan yang tumpang tindih tidaklah mudah dalam mencapai kesepakatan dengan pihak TNGHS. Masyarakat selalu mengupayakan agar lahan garapan dapat dikelola oleh mereka kembali. Masyarakat telah membuat peta partisipatif dengan difasilitasi oleh RMI agar peta partisipasi ini dapat menunjukkan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Peta partisipasi yang dibuat adalah peta tata guna lahan, peta perencanaan, peta inventarisasi, peta ruas jalan, peta kontur, peta vegetasi, peta hidrologi, block plan, dan site plan. Pembuatan peta partisipasi dimaksudkan untuk dikomunikasikan bersama TNGHS bahwa masyarakat memiliki hak atas lahan di dalamnya. Kampung Dengan Tujuan Konservasi KDTK di Kampung Nyungcung melakukan suatu seminar, workshop, dan sebagainya agar diakui oleh banyak pihak. Setelah dilakukan berbagai macam kegiatan tersebut, maka banyak orang mengunjungi Kampung Nyungcung untuk melakukan studi banding. Studi banding ini tidak hanya dilakukan oleh warga Indonesia, tetapi warga dari luar negeri, seperti Amerika Serikat, India, Australia, Afrika, dan sebagainya datang ke kampung ini karena rasa penasaran mereka. Model KDTK merupakan contoh kedua di dunia karena berasal dari inisiatif masyarakat untuk memperoleh haknya kembali atas sumberdaya hutan. KDTK ini membantu menyalurkan aspirasi masyarakat. Fungsi KDTK supaya ada pembinaan terhadap masyarakat agar TNGHS menyerahkan pada masyarakat mengenai lahan garapan. Bentuk penghargaan dari terbentuknya KDTK ini adalah pengaspalan jalan oleh International Center of Research in Agroforestry ICRAF sepanjang dua kilometer di Kampung Nyungcung. Lalu, diadakan pelatihan yang diberikan oleh berbagai pihak, seperti bagaimana cara melakukan pembenihan, pembibitan, membuat pupuk organik, okulasi, dan sebagainya. Selain itu, pemberian bibit pohon kayu dan pohon buah-buahan dari pihak Departemen Kehutanan, Institut Pertanian Bogor IPB, dan LSM. Pada Tahun 2005, penanaman massal dilakukan di Gunung Nyungcung. Tanaman yang ditanam antara lain jenis pohon suren, puspa, rasamala, nangka, dan sebagainya. Penanaman ini dilakukan agar lahan kritis yang ada, tidak lagi menjadi gundul dan masyarakat dapat menggarap lahan serta memanfaatkan hasil dari penanaman tersebut. Penanaman massal ini bekerjasama dengan pihak Balai TNGHS, PT Aneka Tambang, Kementerian Lingkungan Hidup, ICRAF, CIFOR, dan RMI. Sejak Tahun 2003, masyarakat Kampung Nyungcung mengupayakan sendiri perjuangan mereka agar mendapatkan hak mereka dengan didampingi oleh pihak LSM agar terjadi kesepakatan dengan pihak THGH-S, namun belum ada kesepakatan secara tertulis. Pada Tahun 2007, masyarakat Kampung Nyungcung melakukan aksi protes kepada pihak TNGHS karena MKK mendapatkan pengakuan lebih cepat daripada KDTK. Pengakuan ini mengenai penandatanganan MoU Memorandum of Understanding antara pihak masyarakat Kampung Cisangku dan TNGHS dalam kegiatan MKK tersebut. Namun demikian, pada tahun yang sama, pemerintah telah memberikan konsep MKK kepada masyarakat Kampung Nyungcung, akan tetapi masyarakat menolaknya karena masyarakat telah memiliki model pengelolaan kolaboratif berupa KDTK dan masyarakat menganggap bahwa pemerintah ingin mengambil lahan garapan masyarakat dengan adanya MKK tersebut. Pengaruh LSM juga berperan serta di dalamnya. Keempat, dibutuhkan satu jalan keluar yang disepakati bersama antara stakeholder di masa depan. Setelah terjadi perundingan yang cukup lama, pada tanggal 22 Juni 2010, disepakati bersama dengan penandatanganan MoU Memorandum of Understanding antara pihak masyarakat Kampung Cisangku dan pihak TNGHS. Kelima, membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi sebagai suatu proses yang bersifat temporer dan berevolusi untuk menyelesaikan suatu masalah. Hingga saat ini, penandatanganan ini belum disahkan oleh Departemen Kehutanan dari Direktorat Kebijakan Konservasi di Lingkungan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Ditjen PHKA bagian Biro Hukum karena dianggap belum terdapat payung hukum yang kuat dan jelas. Masyarakat Kampung Nyungcung masih menunggu kepastian mengenai pengesahan tersebut, tetapi mereka merasa tenang untuk menggarap lahan di Eks Perum Perhutani karena sudah terdapat kesepakatan melalui MoU tersebut. Pihak LSM RMI juga turut membantu dalam proses pengesahan dan terus menindaklanjuti mengapa masih terdapat payung hukum yang kuat padahal isi MoU tidak jauh berbeda dengan MoU MKK.

8.4 Ikhtisar

Dokumen yang terkait

Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru

12 89 67

Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 3 87

Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 28 142

Peranan hutan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat desa hutan (Studi kasus kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 15 98

Analisa konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat desa sekitar hutan studi kasus masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

3 24 110

Kinerja Agroforestri (Kasus Dudukuhan di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat)

1 16 75

Analisis buangan berbahaya pertambangan emas di Gunung Pongkor (Studi kasus : Desa Cisarua, Desa Malasari, dan Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)

0 29 429

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Kontribusi Pengelolaan Agroforestri Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 4 36

Penyebaran Spasial Keanekaragaman Tumbuhan Pangan dan Obat di Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Bogor.

4 71 91