karena persepsi pemerintah dan LSM berbeda. Pihak LSM terutama RMI memprioritaskan kepentingan masyarakat karena masyarakat tidak akan merusak
dan akan menjaga sumberdaya hutan di sekitar lingkungan mereka, sehingga pihak LSM membantu masyarakat untuk mendapatkan haknya kembali untuk
menggarap.
6.4 Konflik Akibat Perbedaan Persepsi
Perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat inilah yang memicu timbulnya konflik. Bila mengutip tipe konflik menurut Fisher et al. 2000 yang
terjadi adalah konflik laten yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif karena adanya perbedaan
persepsi antara pihak pemerintah dan komunitas lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan serta LSM sebagai pihak fasilitator.
Pada saat Perum Perhutani yang mengelola hutan, masyarakat tidak dapat memanfaatkan hasil hutan, seperti tidak dapat mengambil kayu bakar di sekitar
kawasan Perum Perhutani karena biasanya terdapat Polisi Hutan Polhut yang menjaga hutan tersebut. Adanya pohon pinus yang ditanam juga menimbulkan
kerugian bagi masyarakat karena masyarakat sangat sulit mendapatkan air pada musim kemarau.
Setelah adanya protes dari masyarakat, Perum Perhutani mengizinkan masyarakat menggarap lahan mereka yang berada di areal Perum Perhutani
dengan syarat adanya pajak yang diambil dari masyarakat dan menanam tanaman yang diinginkan oleh Perum Perhutani. Pajak ini dinamakan pajak kolong. Pajak
kolong termasuk pajak ilegal yang diambil secara paksa oleh oknum dari pihak Perum Perhutani. Masyarakat merasa sangat dirugikan, akan tetapi masyarakat
membutuhkan lahan garapan tersebut agar dapat bertahan hidup. Pajak kolong yang diterapkan sekitar jika lahan terdapat satu gedeng, maka mereka membayar
tiga gedeng atau 40:60. Pembagian 40 persen ini untuk masyarakat dan 60 persen untuk Perum Perhutani.
Perluasan kawasan yang dilakukan oleh TNGHS telah menimbulkan konflik. Masyarakat belum memahami konsep yang dibuat oleh TNGHS apalagi
dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No.175Kpts-II2003 yang
menyatakan bahwa masyarakat tidak dapat berada di kawasan konservasi padahal masyarakat telah menempati wilayah tersebut sebelum masuknya TNGHS.
Masyarakat dianggap sebagai musuh oleh TNGHS karena mereka dianggap sebagai perusak hutan yang menebang pohon secara ilegal. Begitu pula menurut
pihak TNGHS yang dianggap musuh bagi masyarakat. Masyarakat berpendapat bahwa selama ini masyarakatlah yang melindungi
hutan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab atas penebangan ilegal, namun masyarakat harus diusir dari kawasan. Sosialisasi yang dilakukan oleh
TNGHS belum mencakup seluruh masyarakat yang menggarap lahan di setiap kampung Desa Malasari. Masyarakat tidak diizinkan menggarap hutan dan
memperluas wilayah garapan di hutan yang sudah ada di dalam kawasan TNGHS. Pada akhirnya, masyarakat diperbolehkan menggarap lahan asalkan tidak
memperluas wilayah garapan serta tidak ada penerapan pajak kolong, seperti yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Walaupun terdapat pernyataan mengenai
masyarakat tidak dapat menempati kawasan yang termasuk perluasan TNGHS, namun akhirnya ditetapkan zona khusus agar masyarakat mendapatkan haknya
dalam mengakses lahan garapan. Masyarakat akan melakukan penanaman pohon, bila terdapat hutan yang
ditebang dan tidak ditanami pohon kembali. Bila masyarakat diusir dari kawasan TNGHS, maka tidak akan ada yang menjaga kelestarian hutan dari pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab free-rider, sehingga masyarakat tidak boleh dianggap musuh oleh TNGHS. Masyarakat juga telah diberikan kebebasan untuk
menggarap lahan karena mereka memiliki hak untuk itu, namun masyarakat tidak dapat memperluas batas lahan garapan yang telah ada tidak boleh membuka
lahan kembali. Pihak TNGHS yang diwakilkan oleh petugas Resort Gunung Botol juga melakukan giliran untuk menjaga keamanan hutan di empat desa,
sehingga agak menyulitkan berpatroli secara rutin di Desa Malasari. Selain itu, masyarakat memerlukan pembinaan dari instansi terkait untuk
perekonomian masyarakat cara bertani yang baik untuk dilakukan dan diperlukan
sosialisasi mengenai
zonasi TNGHS
agar tidak
terjadi kesalahpamahaman dalam aturan batas lahan antara TNGHS dan masyarakat.
Akan tetapi, sumberdaya manusia yang terbatas dari pihak TNGHS yang dalam
hal ini diserahkan kepada pihak Resort Gunung Botol untuk melakukan sosialisasi dan menjaga keamanan hutan di setiap kampung, Desa Malasari.
Analisis pemetaan konflik dilakukan dengan mengelompokannya dalam ruang-ruang konflik, yaitu konflik kepentingan dan konflik struktural yang terjadi
dalam pengelolaan sumberdaya hutan di kampung ini. Konflik kepentingan terjadi karena adanya suatu persaingan kepentingan antara pihak pemerintah dan
masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan. Pemerintah memiliki kepentingan untuk upaya konservasi sumberdaya hutan karena semakin
menipisnya hutan di Indonesia saat ini, sehingga perlu dilestarikan. Masyarakat memiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa melakukan
kerusakan pada sumberdaya hutan. Konflik struktural terjadi karena adanya ketimpangan untuk melakukan
akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan. Bagi pemerintah, lahan tersebut adalah milik negara dan hanya dapat digarap oleh masyarakat karena
keterlanjuran masyarakat yang telah menempati kawasan itu sebelum dilakukannya perluasan. Bagi masyarakat, mereka memiliki hak untuk menggarap
atas lahan tersebut karena lahan itu telah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Sebenarnya, akses dan kontrol sumberdaya hutan saat ini
dapat dilakukan oleh kedua belah sesuai kesepakatan bersama. Pemangku kepentinganyang terlibat dalam konflik ini adalah pemerintah, komunitas lokal,
dan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM.
6.5 Ikhtisar