hal ini diserahkan kepada pihak Resort Gunung Botol untuk melakukan sosialisasi dan menjaga keamanan hutan di setiap kampung, Desa Malasari.
Analisis pemetaan konflik dilakukan dengan mengelompokannya dalam ruang-ruang konflik, yaitu konflik kepentingan dan konflik struktural yang terjadi
dalam pengelolaan sumberdaya hutan di kampung ini. Konflik kepentingan terjadi karena adanya suatu persaingan kepentingan antara pihak pemerintah dan
masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan. Pemerintah memiliki kepentingan untuk upaya konservasi sumberdaya hutan karena semakin
menipisnya hutan di Indonesia saat ini, sehingga perlu dilestarikan. Masyarakat memiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa melakukan
kerusakan pada sumberdaya hutan. Konflik struktural terjadi karena adanya ketimpangan untuk melakukan
akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan. Bagi pemerintah, lahan tersebut adalah milik negara dan hanya dapat digarap oleh masyarakat karena
keterlanjuran masyarakat yang telah menempati kawasan itu sebelum dilakukannya perluasan. Bagi masyarakat, mereka memiliki hak untuk menggarap
atas lahan tersebut karena lahan itu telah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Sebenarnya, akses dan kontrol sumberdaya hutan saat ini
dapat dilakukan oleh kedua belah sesuai kesepakatan bersama. Pemangku kepentinganyang terlibat dalam konflik ini adalah pemerintah, komunitas lokal,
dan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM.
6.5 Ikhtisar
Persepsi pemerintah menyatakan, bahwa lahan yang merupakan perluasan tersebut merupakan lahan negara. Bahkan pemerintah menanyakan kepada
masyarakat, sampai kapan mereka ingin menggarap di lahan negara tersebut. Pemerintah merasa bahwa masyarakat menjadikan mereka sebagai musuh karena
masalah hak atas lahan. Terkadang masyarakat tidak percaya terhadap apa yang dibicarakan oleh pemerintah. Lahan negara tidak dapat dijadikan hak milik untuk
masyarakat, sehingga masyarakat hanya memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang SPPT yang belum dianggap kuat secara hukum menurut
kepemilikannya.
Teknik pengolahan data untuk karakteristik sosial ekonomi jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas lahan, dan pengalaman mengelola
sumberdaya hutan terhadap persepsi komunitas lokal di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung dinyatakan dengan menggunakan tabulasi silang. Persepsi
masyarakat menganggap bahwa lahan tersebut telah diwariskan sejak nenek moyang mereka untuk digarap dan dimiliki.
Menurut persepsi LSM, perluasan kawasan TNGHS belum terdapat batas yang jelas antara lahan pemerintah dan lahan yang digarap oleh masyarakat. Tidak
semua masyarakat mengetahui zona versi pemerintah karena biasanya masyarakat memiliki zona versi masyarakat sendiri yang diberitahukan secara turun temurun.
Peta partisipatif dibuat oleh masyarakat dengan didampingi pihak LSM untuk menunjukkan batas wilayah antara pemerintah dan masyarakat agar terlihat jelas,
sehingga tidak terjadi tumpang tindih lahan. LSM mengganggap bahwa pemerintah ingin mengusir secara perlahan masyarakat yang berada dalam
kawasan konservasi. Tipe konflik yang terjadi antar pemangku kepentingan adalah konflik laten
yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Pemetaan konflik
yang dilakukan dengan mengelompokannya dalam ruang-ruang konflik terdapat dua jenis konflik, yaitu
konflik kepentingan dan konflik struktural. Konflik kepentingan terjadi karena adanya suatu persaingan kepentingan antara pihak pemerintah dan masyarakat
dalam mengelola sumberdaya hutan. Konflik struktural terjadi karena adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya hutan.
Pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik ini adalah pemerintah TNGHS, komunitas lokal, dan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM.
BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI
DENGAN PERSEPSI KOMUNITAS LOKAL PADA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
7.1 Keterkaitan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Persepsi Komunitas Lokal
Peubah pada karakteristik sosial ekonomi yang digunakan untuk uji korelasi Rank Spearman adalah tingkat pendapatan, luas lahan, dan pengalaman mengelola
sumberdaya hutan. Hal ini dikarenakan data dari karakteristik sosial berupa data ordinal, begitu pula dengan persepsi Tabel 23.
Tabel 23 Nilai Koefisien Korelasi Tingkat Pendapatan, Luas Lahan, dan Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan yang Berhubungan dengan
Persepsi Komunitas Lokal di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,
2011
Peubah Kampung Cisangku
Kampung Nyungcung
Hak Kewajiban
Alokasi peranan
Hak Kewajiban
Alokasi peranan
Karakteristik Sosial Ekonomi:
- Tingkat pendapatan
0,227 -0,114
-0,464 0,001 0,036
-0,358 - Luas lahan
-0,036 -0,079
-0,398 0,075
-0,046 0,002
- Pengalaman mengelola
sumberdaya hutan
-0,169 0,139
0,301 -0,086
-0,463 -0,248
Keterangan: Nyata pada taraf α = 0,01; Nyata pada taraf α = 0,05; Nyata pada taraf α = 0,10
Karakteristik sosial ekonomi tingkat pendapatan, terdapat hubungan nyata dan negatif dengan peubah alokasi peranan di masyarakat Kampung Cisangku
dengan tingkat kesalahan satu persen -0,464. Demikian halnya dengan masyarakat di Kampung Nyungcung, tingkat pendapatan berhubungan negatif
nyata dengan alokasi peranan dengan tingkat kesalahan sepuluh persen 0,358. Ini berarti bahwa hubungan tersebut relatif lemah.