Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Pemerintah vs Komunitas Lokal: Upaya Mencari Titik Temu (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

(1)

UPAYA MENCARI TITIK TEMU

(Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa

Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

TITANIA AULIA I34070052

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

Many efforts in saving the forest resources has been done by the government to avoid a decline in forest resources. One of them is the expansion of Halimun Salak conservation area with the forestry ministerial decree No.175/Kpts-II/2003, that decree sets forth changes in regional function of ex Perum Perhutani or ex protected forest and the limited production forests around the conservation area TNGH become Halimun Salak Mountain National Park (TNGHS). Under this decree, communities within the region can not occupy the area within the region of TNGHS. This is the case that can causes conflict. In addition, to get the resolution of the conflict, there is collaborative management that involving all stakeholders. The purpose of this study are to describe and analyze: (1) pattern of forest resource management that has been done by the government and local communities, (2) The perception of stakeholders (government, society, and NGOs) to forest resources, (3) the relation between perception of socio-economic and the characteristics of local communities on forest resources, and (4) The perception of stakeholders about the management forestry recources connected with the collaborative management model (top-down and bottom up) as a result of conflict resolution.

The results showed a difference in the forest resources management between the government and local communities. There is a relationship to the perception of socio-economic characteristics. Differences in perception among stakeholders (government, local communities, and NGOs) have led to conflict, so it takes a conflict resolution, the collaborative management. Perceptions of government forest resource management program produces Model Kampung Konservasi (MKK), while the public perception in Kampung Nyungcung had been fasilitated by the NGOs to make Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK). Difference perception between stakeholders (government, local communities, and NGOs) have led to conflict, thats why we need a resolution of the conflict, called the management of collaborative.


(3)

TITANIA AULIA. I34070052. PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH PEMERINTAH VS KOMUNITAS LOKAL: UPAYA MENCARI TITIK TEMU (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Dibawah bimbingan

HERU PURWANDARI

Upaya penyelamatan sumberdaya hutan dilakukan pemerintah untuk menghindari penurunan sumberdaya hutan. Salah satunya adalah perluasan kawasan konservasi Halimun Salak dengan ditetapkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003. Surat keputusan tersebut menetapkan perubahan fungsi kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Berdasarkan SK tersebut, masyarakat yang berada di dalam kawasan tidak dapat menempati kawasan TNGHS. Hal inilah yang menyebabkan konflik. Untuk meresolusi konflik dilakukan suatu pengelolaan kolaboratif yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menganalisis: (1) Pola pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah dan komunitas lokal, (2) Persepsi pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, dan LSM) terhadap sumberdaya hutan, (3) Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas lokal pada sumberdaya hutan, dan (4) Persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif (bersifat top down dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu.

Penelitian dilaksanakan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) sesuai hasil diskusi dengan pihak RMI- The Indonesian Institute for Forest and Environment. Unit analisis penelitian adalah individu yang menggarap lahan di kawasan Eks Perum Perhutani. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang dari setiap kampung, sehingga jumlah responden keseluruhan sebanyak 60 orang. Responden dipilih dengan teknik pengambilan sampel secara acak (random sampling).


(4)

Analisis data mencakup: (1) pengolahan data: tabulasi silang dan (2) analisis statistik inferensial: korelasi Rank Spearman.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan dalam pengelolaan sumberdaya hutan antara pemerintah dan komunitas lokal. Terdapat hubungan karakteristik sosial ekonomi terhadap persepsi komunitas lokal. Persepsi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan adalah lahan yang menjadi perluasan TNGHS merupakan lahan negara. Lahan negara tidak dapat dijadikan hak milik masyarakat. Persepsi masyarakat menganggap bahwa hutan tersebut telah diwariskan sejak nenek moyang mereka untuk digarap dan dimiliki. Persepsi LSM, perluasan kawasan TNGHS belum terdapat batas yang jelas antara lahan pemerintah dan lahan yang digarap oleh masyarakat. Peta partisipatif dibuat oleh masyarakat dengan didampingi pihak LSM untuk menunjukkan batas wilayah antara pemerintah dan masyarakat agar terlihat jelas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih lahan.

Perbedaan persepsi antara pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan LSM) telah menyebabkan konflik, sehingga dibutuhkan suatu resolusi konflik sebagai upaya mencari titik temu, yaitu pengelolaan kolaboratif. Model pengelolaan kolaboratif ini merupakan persamaan persepsi antara pemerintah, masyarakat, dan LSM. Persepsi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan menghasilkan program Model Kampung Konservasi (MKK) yang bersifat

top down, sedangkan persepsi masyarakat di Kampung Nyungcung dengan difasilitasi LSM menghasilkan Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) yang bersifat bottom up.

Kata kunci: pengelolaan sumberdaya hutan, persepsi, model pengelolaan kolaboratif


(5)

UPAYA MENCARI TITIK TEMU

(Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa

Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

TITANIA AULIA I34070052

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(6)

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Titania Aulia

Nomor Mahasiswa : I34070052

Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul Skripsi : Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Pemerintah vs Komunitas Lokal: Upaya Mencari Titik Temu (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui Dosen Pembimbing

Heru Purwandari, SP, MSi NIP. 19790524 200701 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003


(7)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH PEMERINTAH VS KOMUNITAS LOKAL: UPAYA MENCARI TITIK TEMU (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.

Bogor, September 2011

TITANIA AULIA


(8)

Penulis bernama Titania Aulia dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasangan Dr. Ir. Tatag Budiardi, MSi dan Dr. Ir. Kurnia Suci Indraningsih, MSi. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah SDN Pengadilan 2 Bogor tahun 1995-2001, SMP Negeri 4 Bogor tahun 2001-2004, dan SMA Negeri 1 Bogor tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai staf Divisi Advertising and Multimedia pada tahun 2008-2010. Penulis juga menjadi anggota kepanitiaan dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan di IPB antara lain FRESH oleh HIMASIERA tahun 2008, Bukti Cinta Lingkungan (BCL) oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEMA tahun 2009, Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2009, serta Konser Amal dengan tema “Kami Peduli, Kamu..?” tahun 2010 oleh HIMASIERA. Penulis mengikuti kegiatan Go Field IPB tahun 2009 dan magang di Greenpeace tahun 2010. Penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Sosiologi Pedesaan pada semester ganjil dan semester genap (semester 5-8) pada tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011. Pada tahun 2011, penulis menjadi pendamping peserta kegiatan Pesta Petani Muda Indonesia (Pestani) yang merupakan program kerjasama Kodam III Siliwangi dengan Institut Pertanian Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.


(9)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga skripsi dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Pemerintah vs Komunitas Lokal: Upaya Mencari Titik Temu (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini memaparkan tentang pengelolaan sumberdaya hutan antara pemerintah dan komunitas lokal di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari yang memicu terjadinya konflik, sehingga terdapat pengelolaan kolaboratif yang berbeda di kedua kampung tersebut.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya.

Bogor, September 2011


(10)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Ibu Heru Puwandari, SP, MSi selaku dosen pembimbing dan pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan selama ini.

(2) Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen penguji utama atas saran-saran perbaikan yang telah diberikan.

(3) Ir. Sutisna Riyanto, MS selaku dosen penguji Wakil Departemen Sains KPM atas saran-saran perbaikan yang telah diberikan.

(4) Bapak, Ibu, dan Adik Febi yang telah memberikan dorongan moril, doa, saran, dan motivasi.

(5) Kang Ceceng-RMI yang telah membantu dalam tukar pikiran dan meminjamkan literatur selama penulisan skripsi.

(6) Bapak Hendri Ketua RW 02, Bapak Usup, dan responden Kampung Cisangku, serta Bapak Sarkib Ketua RW 05, Bapak Ismail Ketua RW 06, Kang Gapuy, Teh Eli, Teh Yanti, dan responden Kampung Nyungcung yang telah membantu dalam pemberian informasi.

(7) Bapak Yosi dan Bapak Ujang, petugas Resort Gunung Botol yang telah memberikan data dan informasi pada penelitian ini.

(8) Rahmad Saleh teman satu bimbingan, sahabat-sahabatku (Intan, Eka, Kiki, Dian, Icha, Akira, Aris, Dewi, Ayu, Risma, Fadhil, Fitrah, Ilmy, dan Yudi), serta teman-teman di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 44 yang telah memberikan saran, doa, dan motivasi. (9) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu dan

mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

Bogor, September 2011


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 4

BAB II KERANGKA TEORITIS ... 6

2.1 Tinjauan Pustaka ... 6

2.1.1 Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 6

2.1.2 Hak Kepemilikan ...8

2.1.3 Persepsi ...11

2.1.4 Lapisan Masyarakat ...13

2.1.5 Konflik ...14

2.1.6 Pemangku Kepentingan yang Terlibat ...16

2.1.7 Pengelolaan Kolaboratif ...18

2.2 Kerangka Pemikiran ... 19

2.3 Hipotesis ...21

2.4 Definisi Operasional ... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...24

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...24

3.2 Teknik Pengumpulan Data ...24

3.3 Teknik Analisis Data ... 26

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...27

4.1 Profil Desa Malasari ... 27

4.1.1 Letak Geografis dan Keadaan Alam ...27

4.1.2 Keadaan Penduduk ...28

4.1.3 Profil Kampung ...30

4.1.4 Karakteristik Sosial Ekonomi Komunitas Lokal ...31

4.2 Profil Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ...33


(12)

BAB V PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN ...37

5.1 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Pemerintah ...38

5.2 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Komunitas Lokal ...40

5.3 Ikhtisar ...44

BAB VI PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN ... 46

6.1 Persepsi Pemerintah ...46

6.2 Persepsi Komunitas Lokal ...47

6.2.1 Persepsi Komunitas Lokal pada Sumberdaya Hutan ...47

6.2.2 Persepsi Komunitas Lokal terhadap Hak, Kewajiban, dan Alokasi Peranan ...49

6.3 Persepsi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ...61

6.4 Konflik Akibat Perbedaan Persepsi ...62

6.5 Ikhtisar ...64

BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DENGAN PERSEPSI KOMUNITAS LOKAL PADA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN ...66

7.1 Keterkaitan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Persepsi Komunitas Lokal ...66

7.2 Ikhtisar ...68

BAB VIII MODEL PENGELOLAAN KOLABORATIF ...69

8.1 Hubungan Persepsi antara Pemangku Kepentingan pada Pengelolaan Sumberdaya Hutan terhadap Model Pengelolaan Kolaboratif ...69

8.2 Model Kampung Konservasi (MKK) ... 70

8.3 Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) ...74

8.4 Ikhtisar ...78

BAB IX PENUTUP ...80

9.1 Kesimpulan ...80

9.2 Saran ...81

DAFTAR PUSTAKA ... 82


(13)

Nomor Halaman

Tabel 1 Seperangkat Hak Terkait dengan Kedudukan (Bundles of Rights Associated with Positions) ... 10

Tabel 2 Luas Lahan dan Persentasenya Menurut Pemanfaatan Lahan/ Penggunaan Tanah di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2010 ... 27 Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Struktur Umur dan Jenis Kelamin

di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,

2010 ... 28 Tabel 4 Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Tingkat

Pendidikan di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2010 ... 29 Tabel 5 Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Mata

Pencaharian di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2010 ... 30 Tabel 6 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Karakteristik

Sosial Ekonomi Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2011 ... 32 Tabel 7 Jumlah dan Persentase Penduduk Kampung Cisangku dan

Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Menurut Persepsi terhadap Pengelolaan Sumberdaya Hutan (Hak, Kewajiban, dan

Alokasi Peranan), 2011 ... 48

Tabel 8 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2011 ... 50 Tabel 9 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi

Kewajiban Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 50

Tabel 10 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,


(14)

Tabel 11 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 52 Tabel 12 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi

Kewajiban Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 53 Tabel 13 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi

Alokasi Peranan Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,

Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 53 Tabel 14 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak

Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 54 Tabel 15 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi

Kewajiban Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,

Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 55 Tabel 16 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi

Alokasi Peranan Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,

Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 55 Tabel 17 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak

Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2011 ... 56 Tabel 18 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi

Kewajiban Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 57 Tabel 19 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi

Alokasi Peranan Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 57 Tabel 20 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak

Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa


(15)

Tabel 21 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,

2011 ... 59

Tabel 22 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2011 ... 60

Tabel 23 Nilai Koefisien Korelasi Tingkat Pendapatan, Luas Lahan, dan Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan yang Berhubungan dengan Persepsi Komunitas Lokal di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,


(16)

Nomor Halaman


(17)

Nomor Halaman

Lampiran 1 Peta Desa Malasari ... 86

Lampiran 2 Peta Kampung Cisangku ... 87

Lampiran 3 Peta Kampung Nyungcung ... 88

Lampiran 4 Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 89

Lampiran 5 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 ... 90

Lampiran 6 Sampling Frame Penggarap Lahan di Kawasan Eks Perum Perhutani Kampung Cisangku, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2011 ... 91

Lampiran 7 Sampling Frame Penggarap Lahan di Kawasan Eks Perum Perhutani Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2011 ... 92

Lampiran 8 Hasil Uji Korelasi Nonparametrik Rank Spearman di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung ... 93 Lampiran 9 Perjanjian Kerjasama pada Model Kampung Konservasi (MKK) ... 94 Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian ... 100


(18)

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya alam, salah satunya berupa sumberdaya hutan. Hutan merupakan salah satu aset potensial pembangunan nasional yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selain itu, hutan memiliki manfaat ekologi, dan sosial budaya. Untuk itu, hutan semestinya dapat dikelola, dikembangkan, dan dimanfaatkan dalam arti eksploitasi secara tepat untuk kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 telah dinyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Negara mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan terhadap pengelolaan hutan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan di Indonesia, dari sebesar 93,92 juta hektar pada tahun 2003 (Departemen Kehutanan 2005) menjadi 90,13 juta hektar pada tahun 2006 (Departemen Kehutanan 2008). Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan yang dicanangkan oleh negara tidak sesuai dalam pengelolaan sumberdaya hutan untuk memakmurkan masyarakat.

Negara memaksa untuk menempatkan posisinya sebagai sumber puncak dari hukum, hak dan aturan, serta memonopoli semua kewenangan, kekuasaan dan penyelenggaraan negara. Fay dan Sirait (2001) dalam Lynch dan Harwell (2006) menyatakan, bahwa negara mengklaim sebagai pengelola tunggal yang sah atas segala kekayaan dan sumber-sumber alam dalam suatu wilayah, serta menggunakan kekuasaannya untuk mendahulukan pembangunan ekonomi yang seringkali mengabaikan, bahkan mengorbankan nasib dan kepentingan masyarakat yang bermukim sekitar hutan.

Salah satu pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah berupa taman nasional yang berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam yang dikelola oleh balai taman nasional dibawah pengawasan langsung dari pemerintah pusat. Berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 hektar yang sejak tahun 1935 ditetapkan pertama kali menjadi salah satu


(19)

taman nasional. Penetapan tersebut didasari atas Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992, di bawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Selanjutnya pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP dan dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Ditjen PHKA, Departeman Kehutanan.

Atas dasar perkembangan kondisi kawasan di sekitarnya, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak yang lebih luas, maka ditetapkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003. Surat ketetapan tersebut menetapkan perubahan fungsi kawasan Eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS 2008).

Hanafi et al. (2004) menyatakan, bahwa sebelum terdapat pembagian

“kekuasaan” pengelolaan hutan, semua Kawasan Ekosistem Halimun dikelola

oleh Departemen Kehutanan. Selama dalam pengelolaan Departemen Kehutanan, penduduk masih mempunyai akses terhadap hutan dan segala sumberdayanya. Tetapi setelah Perum Perhutani dan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) ditentukan sebagai pengelola kawasan hutan, semua akses masyarakat di kawasan hutan menjadi terbatas akibat banyaknya peraturan yang harus ditaati.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992, areal hutan di Halimun seluas 40.000 hektar dikelola secara zonasi. Dalam konsep zonasi – walaupun kenyataan di lapang menunjukkan bahwa batas masing-masing zona masih belum jelas – keberadaan berbagai kampung beberapa desa dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadi persoalan. Upaya konservasi hanya memfokuskan pada perlindungan berbagai jenis flora dan fauna. Balai TNGHS telah berusaha “membina” masyarakat di kampung-kampung tersebut agar bersedia pindah keluar kawasan TNGHS. Secara sosio-historis sebagaimana yang dikemukakan para tetua (kakolot) bahwa nenek moyang/


(20)

leluhur telah mendiami kawasan TNGHS sejak tahun 1940-an, jauh sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pada kenyataannya saat ini,

kampung-kampung tersebut masih memikul status “kampung-kampung ilegal” yang sewaktu-waktu dapat diusir. Pihak TNGHS tidak berdaya untuk menegakkan kepentingan konservasi. Kondisi ini menggambarkan ketidakadilan dalam arena konservasi.

Salah satu permasalahan penetapan Taman Nasional (TN) adalah proses penetapannya yang tidak melibatkan semua pemangku kepentingan. Kawasan TN ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah nasional dan dikelola langsung oleh Kementerian Kehutanan/Balai Taman Nasional. Lembaga yang berwenang untuk mengelola TN seringkali tidak mampu mengelola secara efektif dan tidak mampu menegakkan hukum. Akibatnya, pelanggaran hukum di kawasan konservasi seringkali dibiarkan. Semua TN mengalami eksploitasi atau perambahan sumberdaya alam di dalam kawasan konservasi. Kegiatan ini kadang-kadang dilakukan oleh pendatang yang tertarik pada sumberdaya alam yang berada di dalam TN. Demikian halnya masyarakat yang semenjak lama tinggal di kawasan konservasi, kadang-kadang juga melakukan aktivitas tersebut. Suatu TN tidak bisa dikelola layaknya sebuah pulau pelestarian alam di tengah kegiatan pembangunan. Semua saling terkait dan saling mempengaruhi (Moeliono et al. 2010).

Kasus yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Desa Malasari telah menyebabkan konflik, sehingga diperlukan suatu resolusi konflik. Salah satu upaya mencari titik temu yang dapat dilakukan untuk resolusi konflik adalah dengan mekanisme pengelolaan kolaboratif. Pengelolaan kolaboratif ini melibatkan semua pemangku kepentingan, yang terdiri dari pemerintah, komunitas lokal, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pengelolaan kolaboratif dilakukan agar terdapat kesepakatan bersama dalam mengelola sumberdaya hutan, sehingga dapat mencegah timbulnya konflik kembali.

Model pengelolaan kolaboratif yang terdapat di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung berbeda walaupun kedua kampung tersebut terletak di desa yang sama, yaitu Desa Malasari. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan persepsi antar pemangku kepentingan. Pengelolaan kolaboratif di Kampung Cisangku bersifat top down, sedangkan Kampung Nyungcung bersifat bottom up.


(21)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang mengenai pengelolaan sumberdaya hutan, maka beberapa permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1) Bagaimana pola pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah dan komunitas lokal?

2) Bagaimana persepsi pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan LSM) terhadap pengelolaan sumberdaya hutan?

3) Bagaimana hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan?

4) Bagaimana persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif (bersifat top down dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:

1) Pola pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah dan komunitas lokal.

2) Persepsi pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan LSM) terhadap pengelolaan sumberdaya hutan.

3) Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan.

4) Persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif (bersifat top down dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah: 1) Bagi akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran mengenai model pengelolaan kolaboratif yang menguntungkan semua stakeholder agar


(22)

dapat memanfaatkan sumberdaya hutan dengan tetap menjaga kelestarian hutan demi keseimbangan lingkungan.

2) Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat meningkatkan wawasan masyarakat dan mengubah pola pikir menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang baik agar tidak memicu konflik terutama dengan pihak pemerintah.

3) Bagi pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merancang upaya pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan pemangku kepentinganyang terkait.

4) Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Hasil penelitian ini diharapkan agar peran LSM dapat menjadi jembatan (liason officer) bagi pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan agar tidak memicu konflik seperti yang telah terjadi selama ini dan bersikap netral terhadap setiap keadaan.


(23)

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Moniaga (1998) menjelaskan bahwa berdasarkan pelaku dan sistem yang diterapkan, secara sederhana saat ini kita dapat membagi adanya tiga sistem pengelolaan hutan yang berkembang di Indonesia, yaitu:

(1) Sistem Negara: menempatkan negara sebagai pemeran utama dalam menetapkan sistem pengelolaan hutan dan hukum termasuk hak-hak di dalamnya. Sistem ini dapat dilihat dalam pengelolaan hutan di dalam wilayah

yang ditetapkan sebagai “kawasan hutan” dan wujud hak-hak penguasaan hutan, taman nasional, cagar alam, hak penguasaan hutan tanaman industri, hutan kemasyarakatan, dan pengelolaan kawasan penyangga;

(2) Sistem Hutan Kemasyarakatan: menempatkan masyarakat adat dan atau komunitas lokal lainnya merupakan pemeran utama dalam menetapkan sistem pengelolaan dan hukum yang dikembangkan. Sistem ini dapat ditemui di seluruh Indonesia dengan ciri-ciri antara lain adanya sistem wana-tani yang kompleks, lembaga adat dan adat yang mengatur, adanya aspek budaya yang kompleks dan wilayah adat tertentu. Dalam beberapa kelompok masyarakat adat terdapat komoditas tertentu yang secara ekonomis dominan, misalnya damar di Krui, karet Kalimantan Barat dan rotan di Kalimantan Timur; serta (3) Sistem Pengelolaan Hutan “campuran”: menempatkan pihak ketiga (biasanya

Lembaga Swadaya Masyarakat baik dalam negeri maupun dari luar negeri dan atau lembaga-lembaga pemerintah asing) yang mengupayakan penggabungan sistem negara dan sistem yang ada di masyarakat. Model ini dapat ditemui, misalnya di SFDP-Sanggau, beberapa lokasi kerja WWF di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya.

Pengusahaan hutan Pulau Jawa dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan tidak berjalan secara optimal. Pengelolaan hutan yang sentralistik telah memisahkan keberadaan masyarakat dengan sumberdaya hutan yang telah menjadi sumber mata pencaharian, sehingga masih kurang memberikan peluang


(24)

kepada masyarakat sekitar hutan dan pemangku kepentingan untuk dapat mengakses sumberdaya hutan. Pihak pengelola kawasan hutan di Pulau Jawa (Perum Perhutani) maupun pihak lainnya sering menilai bahwa masyarakat sekitar hutan adalah salah satu pihak yang dapat menyebabkan kerusakan hutan dan lahan di Pulau Jawa melalui pencurian dan penjarahan kayu secara besar-besaran. Pada faktanya, pengelolaan sumberdaya hutan di Pulau Jawa yang dilakukan oleh Perum Perhutani belum dilaksanakan secara maksimal karena kebijakan masih sentralistik dan lebih menekankan pada profit oriented. Kebijakan yang diterapkan ini tidak sesuai dengan kondisi lapang, tidak mengakar pada permasalahan yang terjadi dalam masyarakat (Suwarno 2004).

Sebuah karakteristik pengelolaan hutan selama Orde Baru adalah perubahan tekanan dari ekstraksi kayu ke hutan tanaman. Kayu dianggap bernilai ekonomi, maka fungsi ekonominya berubah, dan diklasifikasikan kembali dari hutan produksi ke hutan konservasi. Jika kayu sudah menipis (dan belum habis), kawasan tersebut tidak dianggap lagi sebagai hutan yang produktif; seringkali kawasan ini kemudian difungsikan menjadi pertanian perkebunan sebagai sarana

untuk “rehabilitasi”. Fungsi ini menegaskan perbedaan definisi antara negara dan komunitas lokal tentang produksi dan fungsi karena hutan bekas tebangan mungkin masih produktif bagi komunitas lokal dan menyimpan banyak manfaat untuk kehidupan mereka (Lynch dan Harwell 2006).

Hampir seluruh kawasan hutan di Kawasan Ekosistem Halimun dikelola oleh Perum Perhutani dan TNGH (Taman Nasional Gunung Halimun). Di Desa Malasari, sebagian masyarakat desa mendefinisikan hutan sebagai suatu tempat yang ditumbuhi banyak pohon secara alami (tidak ada intervensi manusia dalam hal penyebaran dan keanekaragaman tumbuhan di hutan tersebut). Sebagian lagi mendefinisikan hutan sebagai suatu tempat yang ditumbuhi banyak pohon secara alami maupun budidaya. Perekonomian di Kawasan Ekosistem Halimun sebagian besar merupakan perekonomian subsisten dari sumberdaya hutan yang aksesnya semakin terbatas (Hanafi et al. 2004).

Moniaga (1998) menjelaskan tentang perbedaan sistem pengelolaan hutan yang berkembang di Indonesia saat ini berimplikasi pada banyaknya konflik yang terjadi di lapangan. Perbedaan sistem pengelolaan hutan sangat terkait juga


(25)

dengan perbedaan sistem hukum yang berkembang dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan hukum dan politik.

Adimihardja (2008) juga mengungkapkan, hingga kini masih terjadi pandangan berbeda antara pemerintah dan masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan hutan, maka sering terjadi ketegangan-ketegangan di antara keduanya. Pengembangan model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat adat dan lokal perlu mempertimbangkan sistem pengetahuan dan teknologi yang dikuasai masyarakat adat dan lokal di sekitar kawasan tersebut.

2.1.2 Hak Kepemilikan

Ostrom (1990) dalam Tadjudin (2000) menyatakan mengenai kepemilikan sumberdaya dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dikategorikan menjadi:

(1) Sumberdaya milik negara. Rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan dalam tataran dunia legal di Indonesia berinduk pada Pasal 33 Ayat 3

UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat”. Konstitusi itu disusun dengan tujuan untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplinan. Para negarawan Indonesia pada tahun 1945, sudah menyadari agar hutan tidak dipersepsikan oleh warga-negaranya sebagai suatu properti terbuka karena akan menimbulkan anarkisme dan kekacauan. Hutan dan kawasan hutan itu “bukan merupakan dan tidak bisa dialihkan menjadi” milik pribadi/swasta. Dengan demikian, ”dikuasai oleh negara” itu secara tegas menunjukkan bahwa hutan dan kawasan hutan itu merupakan sumberdaya publik;

(2) Sumberdaya milik swasta. Secara hukum tidak ada sumberdaya hutan yang dimiliki oleh swasta, yang ada adalah hak penguasaan sumberdaya hutan oleh swasta. Swasta merasa bahwa sumberdaya hutan itu sebagai miliknya seakan-akan hutan itu sebagai bidang tanah yang dilekati sertifikat hak milik, sehingga mereka menuding siapa pun (masyarakat) yang memasuki konsesinya sebagai pengganggu (Jessup dan Peluso, 1990 dalam Tadjudin, 2000). Kebijakan privatisasi itu didorong oleh tujuan untuk memaksimumkan


(26)

pendapatan negara dalam kondisi negara itu memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengusahakan hutan. Ditinjau dari nilai absolutnya, adalah benar bahwa kebijakan ini telah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan negara; serta

(3) Sumberdaya milik masyarakat. Bila dibanding dengan pemerintah dan swasta, masyarakat merupakan anak tiri dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan. Meski secara obyektif perundang-undangan yang ada mengkebiri hak-hak masyarakat dalam konteks hak adat dan sejenisnya, namun dalam hal

mengakomodasikan hak masyarakat “lainnya”, perundang-undangan yang ada sebenarnya masih memberikan ruang gerak yang memadai. Menurut McKean (1996) dalam Tadjudin (2000), properti masyarakat merupakan hal yang sangat cocok untuk diterapkan dalam masalah pengelolaan hutan, paling tidak dalam masyarakat itu terdapat tata nilai dan budaya yang mendukung proses kooperasi sebagai alat untuk meresolusi konflik, jika sumberdaya itu mengalami tekanan.

Ostrom dan Schlager (1996) menyatakan bahwa setiap hak yang dipegang individu, terdapat aturan yang memberikan hak atau memerlukan tindakan pada hak kepemilikan karena hak diartikan sebagai tindakan individu untuk dapat

menerima hubungan pada individu lainnya sebagai sesuatu “barang”. Jika

seseorang memiliki hak, yang lainnya memiliki tugas sepadan untuk mengamati hak itu. Tugas individu menerima tindakan yang berarti individu lainnya dapat, harus, atau tidak harus menerima hubungan dengan lainnya dan kepemilikan lainnya. Penggunaan sumberdaya milik bersama, yang paling relevan dalam hak kepemilikan dalam tingkat operasional adalah hak akses dan menangkap.

Seseorang yang memiliki hak akses dan memanfaatkan atau mungkin tidak memiliki hak yang lebih luas diizinkan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan bersama. Perbedaan hak dalam tingkat operasional dan hak atas keputusan bersama adalah penting. Ini merupakan perbedaan penggunaan hak dan partisipasi dalam definisi hak ke depannya untuk digunakan. Kewenangan untuk menyusun hak tingkat operasional ke depannya adalah apa yang membuat hak pilihan bersama sangat kuat. Jika diperhatikan untuk sumberdaya bersama, hak kepemilikan kolektif meliputi pengelolaan, eksklusi, dan pengalihan.


(27)

Tabel 1 Seperangkat Hak Terkait dengan Kedudukan (Bundles of Rights Associated with Positions)

Hak (Rights) Owner Proprietor Claimant Authorized user

Authorized entrant

Akses (Access) X X X X X

Memanfaatkan (Withdrawal)

X X X X

Mengelola (Management)

X X X

Eksklusi (Exclusion)

X X

Pengalihan (Alienation)

X Sumber: Schlager dan Ostrom (1996)

Tipe hak kepemilikan, yaitu:

(1) hak akses: hak untuk memasuki area dan menikmati manfaat nonsubtraktif; (2) hak memanfaatkan: hak untuk mendapatkan sumberdaya;

(3) hak mengelola: hak untuk menyusun aturan operasional pemanfaatan;

(4) hak eksklusi: hak untuk memutuskan siapa yang mendapat hak akses dan bagaimana hak dapat dipindahkan; serta

(5) hak pengalihan: hak untuk menjual atau menyewa semuanya atau sebagian dari hak bersama.

Menurut Tauchid (2009), pengertian umum mengatakan bahwa hak milik tanah bagi rakyat Indonesia berarti hak untuk mengerjakan dan melakukan hak itu sebagai kepunyaan sendiri, dengan dibatasi oleh undang-undang dan hukum adat yang berlaku:

(1) Menghormati hak wilayah desa atau daerah;

(2) Menghormati kepentingan milik tanah lainnya; serta

(3) Menghormati hukum adat yang berlaku mengenai tanah, umpamanya kewajiban memberikan kesempatan ternak orang lain masuk ke dalam sawah atau ladang pada waktu tidak ada tanamannya (bero).

Menurut Domein Verklaring tanah milik rakyat adalah kepunyaan Negeri. Maka, hak milik rakyat dikatakan sebagai hak memakai saja yang biasa disebut

erfelijk individueel gebruikscrecht” (hak memakai turun-temurun), tetapi biasa

disebut ” erfelijk individueel bezitsrecht” (hak milik perseorangan turun-temurun). Pada kenyataannya, si pemilik itu berhak menjual, menggadaikan, menyewakan,


(28)

memberikan kepada orang lain, mewariskan baik dengan hukum waris maupun dengan wasiat (testamen).

Tanah milik perseorangan bisa juga dinamakan tanah yasan (membuat sendiri) yang berasal saat membuka hutan di zaman dahulu untuk dirinya dan untuk keturunannya. Hak membuka tanah adalah hak nenek moyang atas tanah

yang belum dibuka yang biasa dikatakan tanah “pusaka”, sebagai hubungan

warisan (pusaka) nenek moyang yang dulu membuka hutan.

2.1.3 Persepsi

Menurut DeVito (1997), persepsi adalah proses yang menjadikan seseorang sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra manusia. Persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan apa yang diserap dan apa makna yang diberikan kepada mereka ketika mereka mencapai kesadaran. Litterer dalam Asngari (1984) berpandangan bahwa ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya.

Desiderado (1976) dalam Rakhmat (1999) mengemukakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensori stimuli). Menafsirkan makna informasi indrawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori.

Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah pengindraan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Adapun perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lainnya disebabkan oleh lima faktor antara lain: (1) perhatian (rangsangan yang ada di sekitar kita tidak ditangkap secara sekaligus, tetapi hanya difokuskan pada beberapa obyek saja), (2) set (harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul), (3) kebutuhan (kebutuhan-kebutuhan sesaat atau yang menetap akan mempengaruhi persepsi orang tersebut), (4) sistem nilai, seperti adat istiadat, kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat


(29)

berpengaruh pula pada persepsi, dan (5) ciri kepribadian, misalnya: watak, karakter dan kebiasaan akan mempengaruhi persepsi (Sarwono 2002).

Menurut Wibowo (1988) dalam Effendi (2002) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang dapat menimbulkan perbedaan antara persepsi seseorang dengan persepsi orang lain meliputi beberapa hal sebagai berikut:

(1) Faktor pengalaman. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang mengenai obyek-stimulusnya sebagai hasil dari seringnya kontak antara perseptor dan obyek, maka semakin tinggi pula veridikalitasnya. Pengayaan pengalaman ini dapat pula terjadi karena kontak-kontak dengan obyek-obyek stimulus yang serupa.

(2) Faktor intelegensia. Semakin tinggi intelegensia seseorang atau semakin cerdas orang yang bersangkutan semakin besar kemungkinan ia akan bertindak lebih obyektif dalam memberikan penilaian atau membangun kesan mengenai obyek stimulus.

(3) Faktor kemampuan menghayati stimuli. Setiap orang dalam taraf yang berbeda-beda, memiliki untuk menangkap perasaan orang lain sebagaimana adanya. Kemampuan ini dinamakan empati.

(4) Faktor ingatan. Daya ingat seseorang juga menentukan veridikalitas persepsinya.

(5) Faktor disposisi kepribadian. Disposisi kepribadian diartikan sebagai kecenderungan kepribadian yang relatif menetap pada diri seseorang.

(6) Faktor sikap terhadap stimulus. Sikap secara umum dapat dinyatakan sebagai suatu kecenderungan yang ada pada diri seseorang untuk berpikir atau berpandangan, berperasaan dan berkehendak, dan berbuat secara tertentu terhadap suatu obyek.

(7) Faktor kecemasan. Seseorang yang dicekam oleh kecemasan karena sesuatu hal yang berkaitan dengan obyek-stimulusnya akan mudah dihadapkan pada hambatan-hambatan dalam mempersepsi obyek tersebut. Kecemasan dapat menyebabkan seseorang melakukan macam-macam hal untuk mengatasi keadaan di dalam dirinya.

(8) Faktor pengharapan. Faktor ini merupakan kumpulan dari beberapa pengaharapan yang bersumber dari adanya asumsi-asumsi tertentu mengenai


(30)

manusia, perilaku dan ciri-cirinya, serta pada taraf tertentu diyakini kebenarannya.

Persepsi juga bergantung pada: (1) pendidikan seseorang, (2) kedudukannya dalam strata sosial, (3) latar belakang sosial budaya, (4) usia, dan sebagainya.

2.1.4 Lapisan Masyarakat

Menurut Sorokin (1959) dalam Soekanto (2000), kata stratification berasal dari stratum (jamaknya strata yang berarti lapisan). Social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.

Soekanto (2000) mengungkapkan bahwa setiap masyarakat harus menempatkan individu-individu pada tempat-tempat tertentu dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat penempatan tersebut. Apabila semua kewajiban selalu sesuai dengan keinginan individu dan sesuai pula dengan kemampuan-kemampuannya, maka persoalannya tidak akan terlalu sulit untuk dilaksanakan. Pada kenyataannya kedudukan dan peranan tertentu sering memerlukan kemampuan dan latihan-latihan dan hal itu tidak selalu sama. Adanya sistem lapisan masyarakat sekaligus memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, yaitu penempatan individu dalam tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya agar melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan serta peranannya. Pada umumnya warga lapisan atas (upper-class) tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class) dan lapisan bawah (lower class).

Lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat. Kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif. Artinya, mereka yang mempunyai uang banyak, akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan dan mungkin juga kehormatan. Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai


(31)

untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah sebagai berikut:

(1) Ukuran kekayaan. Barangsiapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-cara mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya;

(2) Ukuran kekuasaan. Barangsiapa yang memiiki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan;

(3) Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa; serta

(4) Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat negatif. Ternyata ukuran bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya. Hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal.

Ukuran di atas tidaklah bersifat limitatif karena masih ada ukuran-ukuran lain yang dapat digunakan. Akan tetapi ukuran-ukuran di atas menentukan sebagai dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu.

2.1.5 Konflik

Fisher et al. (2000) menyatakan bahwa konflik (conflict) adalah sesuatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat.

Pengertian konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan


(32)

sumberdaya. Konflik akan selalu dijumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan masyarakat sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia melakukan berbagai usaha yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban. Kata konflik seringkali mengandung konotasi negatif, yang cenderung diartikan sebagai lawan kata dari pengertian kerjasama, harmoni, dan perdamaian. Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi sesuatu kekuatan bagi perubahan positif (Fuad dan Maskanah 2000).

Tipe-tipe konflik menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi. Terdapat empat tipe konflik yang masing-masing memiliki potensi dan tantangannya sendiri. Pertama, tanpa konflik, dalam kesan umum adalah lebih baik. Namun, setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. Kedua, konflik laten yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Ketiga, konflik terbuka adalah yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Keempat, konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi (Fisher et al. 2000).

Pemetaan konflik merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. Ketika masyarakat yang memiliki berbagai sudut pandang berbeda memetakan situasi mereka secara bersama, mereka saling mempelajari pengalaman dan pandangan masing-masing (Fisher et al. 2000).

Menurut Fuad dan Maskanah (2000), kebanyakan konflik mempunyai sebab ganda, sebagai kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai dan mengarah pada konflik yang terbuka. Konflik seringkali terlihat sangat rumit, sehingga dapat mendefinisikan pusat situasi kritisnya, permasalahan pokoknya, atau penyebab pertikaiaannya dengan mengamati dan memahami pihak-pihak


(33)

yang bertikai. Pemetaan konflik dengan mengelompokkannya dalam ruang-ruang konflik dengan kriteria-kriteria di bawah ini:

(1) Konflik data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana atau mendapat informasi yang salah atau tidak sepakat mengenai data apa saja yang relevan atau menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda;

(2) Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik yang berdasarkan kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif, masalah tata cara atau masalah psikologis;

(3) Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotipe, salah komunikasi atau tingkah laku yang negatif (repetitif);

(4) Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya; serta

(5) Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain.

2.1.6 Pemangku Kepentingan yang Terlibat

Menurut Tadjudin (2000), istilah stakeholder (pemangku kepentingan) dalam pengelolaan sumberdaya hutan diintroduksikan oleh negara-negara donor, termasuk para donor yang mendukung Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Manajemen kolaboratif sekurang-kurangnya melibatkan lima stakeholder yang saling berinteraksi dan memiliki hak dan tujuan individual yang berbeda. Mereka berkedudukan sederajat dan didorong agar mampu mengakomodasikan tujuan-tujuan individualnya menjadi tujuan-tujuan kolektif yang disepakati bersama.


(34)

Kelima stakeholder tersebut adalah masyarakat, pemerintah, swasta, hutan, dan lembaga penyangga. Keberadaan kelima stakeholder tersebut berbeda pada setiap kasus pengelolaan hutan. Namun, secara umum terdapat dua bentuk, yaitu: kelima stakeholder itu ada yang akan dijumpai dalam pengelolaan hutan produksi dan hutan tanaman industri dan hanya terdapat empat stakeholder tanpa kehadiran swasta. Kasus seperti ini akan dijumpai dalam pengelolaan hutan lindung, hutan suaka, hutan taman nasional, dan juga pada hutan rakyat. Pengertian dari kelima

stakeholder tersebut sebagai berikut:

(1) masyarakat adalah penduduk yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan, yang kehidupan ekonomi, sosial, dan budayanya bergantung pada keberadaan sumberdaya hutan. Masyarakat di sini tidak sekedar dipandang sebagai rumah tangga (household) yang dalam konsep ekonomi ditetapkan sebagai sosok yang memiliki fungsi tujuan untuk memaksimumkan utilitas, melainkan juga dipandang sebagai entitas bisnis yang memiliki fungsi tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya;

(2) pemerintah adalah lembaga-lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, tidak terbatas pada satu departemen teknis yang mengurus masalah hutan. Fungsi tujuan pemerintah adalah memaksimumkan pelayanan;

(3) swasta adalah badan usaha yang bidang bisnisnya adalah pendayagunaan sumberdaya hutan. Fungsi tujuan swasta adalah memaksimumkan keuntungan ekonomi;

(4) lembaga penyangga merupakan lembaga swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah pemberdayaan masyarakat dan kelestarian lingkungan hutan; serta

(5) hutan dipandang sebagai entitas hidup yang berhak untuk memiliki anatomi, sifat, ciri, dan status tertentu. Hutan tidak sekedar dipandang sebagai sumberdaya yang boleh diekstrak aliran-manfaatnya, melainkan dipandang juga sebagai entitas-hidup (subyek) yang memiliki hak-hak yang sederajat dengan stakeholder lainnya.


(35)

2.1.7 Pengelolaan Kolaboratif

Menurut Julia dan Yaffee (2000) dalam Suporahardjo (2005), perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru, demokratis, lebih mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian, mengelola kerumitan dari potensi keputusan dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilikan atas

pilihan-pilihan bersama. Pendekatan kolaborasi sering disebut sebagai “jembatan”

(bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya. Oleh karena itu, kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik multi pihak.

Istilah collaborative management (pengelolaan secara kolaboratif) dalam bahasa Inggris sering digunakan secara bergantian dengan berbagai istilah lainnya, seperti co-management (pengelolaan secara kemitraan), participatory management (pengelolaan partisipatif), joint management (pengelolaan bersama),

shared management (pengelolan berbagi), multistakeholder management

(pengelolaan multipihak) atau round-table management (pengelolaan meja bundar). Dalam bentuk aslinya, pengelolaan kolaboratif merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan (Kusumanto et al. 2006).

Pokok-pokok pikiran Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005) tentang lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi, yaitu:

(1) Membutuhkan keterbukaan karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima (give and take) untuk menghasilkan solusi bersama. Hal ini tidak akan tercapai bila satu dengan yang lain bersengketa bekerja secara mandiri/terpisah. Pada tahap awal kolaborasi penting ada kesadaran dan perhatian terhadap cara dimana kepentingan stakeholder dirangkai dan alasan mengapa antara stakeholder membutuhkan satu dengan yang lain (saling ketergantungan) untuk menyelesaikan masalah;

(2) Menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk membangun kesepakatan;


(36)

(3) Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang suatu jalan keluar. Tidak seperti dalam pendekatan litigasi atau peraturan (regulation), yaitu peran penengah/ mediator (pengadilan, lembaga pemerintah, legislator) merencanakan jalan keluar yang dipaksakan kepada stakeholder. Kesepakatan dalam kolaborasi, para pihak keputusan dibebankan kepada mereka sendiri. Ketika terjadi kolaborasi berbagai stakeholder dengan persepsinya masing-masing yang khas atas masalah harus bernegosiasi;

(4) Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi di antara stakeholder di masa depan. Perlu ada kontrak baik formal maupun informal tentang ciri pertukaran di kemudian hari antara stakeholder mengenai apa yang akan dicapai selama kolaborasi; serta

(5) Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi sebagai suatu proses, maka akan menjadi sebagai resep. Memandang kolaborasi sebagai suatu proses, maka akan menggambarkan penyebab dan pengembangan kolaborasi. Oleh karena itu, kolaborasi dapat dipikirkan sebagai suatu forum yang bersifat temporer dan berevolusi untuk menyelesaikan suatu masalah.

2.2 Kerangka Pemikiran

Karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang dapat mempengaruhi persepsi dikategorikan menjadi jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas lahan, dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan. Berdasarkan karakteristik sosial ekonomi tersebut akan mempengaruhi persepsi komunitas lokal pada sumberdaya hutan.

Persepsi berkaitan dengan hak dan kewajiban serta alokasi peranan. Perbedaan persepsi antar pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan LSM) dapat menimbulkan konflik. Fisher et al. (2000) menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu kenyataan hidup, tidak terhindaran dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik ini dapat dilihat dari tipe konflik, pemetaan konflik, dan pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Bila telah dilakukan analisis mengenai konflik tersebut, maka dapat diketahui akar permasalahan dari konflik yang terjadi. Selanjutnya,


(37)

dibutuhkan suatu resolusi konflik untuk mendapatkan bentuk penyelesaian yang akan dilakukan atas sejauhmana persamaan persepsi dari kedua belah pihak.

Salah satu bentuk penyelesaian konflik ini adalah pengelolaan kolaboratif. Menurut Kusumanto et al. (2006), pengelolaan kolaboratif merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan. Model pengelolaan kolaboratif yang digunakan pada setiap lokasi berbeda, sehingga mencari tahu apa yang menyebabkan perbedaan model pengelolaan kolaboratif tersebut di lokasi penelitian (Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung) dengan menentukan proses kolaborasi yang dilakukan sesuai pernyataan Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005).

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan:

: hubungan searah : hubungan dua arah : kualitatif

Karakteristik sosial ekonomi:

- Jenis kelamin - Jenis pekerjaan - Tingkat

pendapatan - Luas lahan - Pengalaman

mengelola

sumberdaya hutan

Konflik - Tipe konflik - Pemetaan

konflik - Pemangku

kepentingan yang terlibat Persepsi komunitas lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan - Hak dan kewajiban - Alokasi peranan

Resolusi Konflik

- Analisis akar permasalahan - Model

pengelolaan kolaboratif Persepsi pemerintah

pada pengelolaan sumberdaya hutan - Hak dan kewajiban - Alokasi peranan Persepsi LSM pada

pengelolaan sumberdaya hutan - Hak dan kewajiban - Alokasi peranan


(38)

2.3 Hipotesis

Hipotesis penelitian yang diajukan, yaitu:

(1) Terdapat hubungan antara karakteristik sosial ekonomi terhadap persepsi komunitas lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan.

(2) Terdapat hubungan persepsi antara pemangku kepentingan pada pengelolaan sumberdaya hutan dengan model pengelolaan kolaboratif.

2.4 Definisi Operasional

Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional dan pengukuran peubah dalam rencana penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Karakteristik sosial ekonomi merupakan ciri-ciri yang melekat pada setiap individu dalam suatu komunitas lokal. Peubah ini meliputi: jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas lahan, dan lama pengalaman mengelola sumberdaya hutan.

(a) Jenis kelamin adalah identitas biologis individu yang terbagi atas dua kategori, yaitu laki-laki dan perempuan.

(i) Laki-laki : Kategori 1

(ii) Perempuan : Kategori 2

(b) Jenis pekerjaan adalah profesi yang menopang kehidupan individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

(i) Petani : Kategori 1 (ii) Buruh tani : Kategori 2 (iii) Non Pertanian : Kategori 3

(c) Tingkat pendapatan adalah jumlah rupiah yang diperoleh individu sebagai hasil dari bekerja sesuai dengan jenis pekerjaan dalam satuan rupiah per waktu (tahun).

(i) Rendah : Rp 3.600.000,00 – Rp 9.599.000,00 (ii) Sedang : Rp 9.600.000,00 – Rp 15.599.000,00 (iii) Tinggi : Rp 15.600.000,00 – Rp 21.600.000,00


(39)

(d) Luas lahan adalah luasnya lahan yang dikelola oleh individu dalam satuan hektar.

(i) Sempit : 0,01 – 0,54 (ii) Sedang : 0,55 – 1,08 (iii) Luas : 1,09 – 1,63

(e) Pengalaman mengelola sumberdaya hutan adalah lamanya individu dalam mengelola sumberdaya hutan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun). (i) Rendah : 3 – 18

(ii) Sedang : 19 – 34 (iii) Tinggi : 35 – 50

(2) Persepsi komunitas lokal adalah penilaian komunitas lokal terhadap keinginan atas kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Pengukuran persepsi menggunakan skala Likert: 1 (tidak sesuai), 2 (kurang sesuai), 3 (sesuai), dan 4 (sangat sesuai), kemudian data dikategorikan menjadi tiga, yaitu kategori rendah: skor 10-14, kategori sedang: skor 15-19, dan kategori tinggi: skor 20-25.

(a)Persepsi komunitas lokal terhadap hak adalah penilaian komunitas lokal terhadap sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yg benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.

(b)Persepsi komunitas lokal terhadap kewajiban adalah penilaian komunitas lokal terhadap sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan).

(c)Persepsi komunitas lokal terhadap alokasi peranan adalah penilaian komunitas lokal terhadap aspek dinamis dari kedudukan, apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan.

(3) Persepsi pemerintah adalah penilaian pemerintah terhadap keinginan atas kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya.


(40)

(4) Persepsi LSM adalah penilaian LSM terhadap keinginan atas kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya.

(5) Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya.

(a) Tipe konflik adalah menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi yang masing-masing memiliki potensi dan tantangannya sendiri.

(b) Pemetaan konflik adalah pengelompokkan dalam ruang-ruang konflik yang menggunakan kriteria-kriteria tertentu dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai.

(c) Pemangku kepentingan yang terlibat adalah pihak yang saling berinteraksi dan memiliki hak dan tujuan individual yang berbeda.

(6) Resolusi konflik adalah menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan.

(a) Analisis akar permasalahan adalah mencari tahu pokok permasalah yang ditimbulkan akibat perbedaan persepsi.

(b) Model pengelolaan kolaboratif adalah model yang dibuat pada proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan.


(41)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Lampiran 1-3). Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) sesuai hasil diskusi dengan pihak RMI- The Indonesian Institute for Forest and Environment

dikarenakan:

(1) Desa Malasari termasuk ke dalam perluasan kawasan Taman Nasional Halimun-Salak (Lampiran 4).

(2) Terdapat konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

(3) Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung memiliki model pengelolaan kolaboratif yang berbeda.

Ciri khas penelitian ini dibandingkan dengan penelitian yang lain adalah terdapat model pengelolaan kolaboratif yang berbeda di kedua kampung tetapi masih dalam satu desa. Dalam satu desa terdapat model pengelolaan kolaboratif yang berbeda, yakni di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung. Model pengelolaan kolaboratif di Kampung Cisangku berupa Model Kampung Konservasi (MKK) yang bekerjasama dengan pemerintah (TNGHS) dan bersifat

top down. Pada Kampung Nyungcung, model pengelolaan kolaboratif berupa Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) dengan difasilitasi oleh pihak LSM yang bersifat bottom up.

Penelitian dilaksanakan dalam waktu satu bulan (Lampiran 5). Kegiatan penelitian meliputi pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian dirancang dengan menggunakan metode survai yang bersifat deskriptif korelasional (Singarimbun dan Effendi 1989). Pengumpulan data dilakukan selama satu bulan pada bulan April 2011.


(42)

Data yang dikumpulkan mencakup data primer (data kuantitatif maupun data kualitatif) dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pertanyaan terstruktur berupa kuesioner yang ditanyakan langsung kepada responden agar mendapatkan jawaban yang akurat dan wawancara mendalam kepada informan. Informasi dari sumber lain sebagai data pendukung atau untuk verifikasi. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber, yaitu Kantor Desa Malasari, Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW) II, Kabupaten Bogor, Resort Gunung Botol, Departemen Kehutanan, RMI, serta dokumen-dokumen dan pustaka yang berhubungan dalam menunjang penelitian.

Populasi penelitian adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Palte 1978 dalam Singarimbun dan Effendi 1989). Populasi dalam penelitian ini adalah semua individu yang menggarap lahan di kawasan Eks Perum Perhutani. Jumlah anggota masyarakat yang merupakan populasi di Kampung Cisangku adalah 232 orang (3 RT) dan Kampung Nyungcung adalah 184 orang (RT 02 RW 05 dan RT 04 RW 06). Unit analisis penelitian ini adalah individu yang menggarap lahan di kawasan Eks Perum Perhutani.

Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang dari setiap kampung, sehingga jumlah responden keseluruhan sebanyak 60 orang (Lampiran 6 dan Lampiran 7). Setiap kampung diambil sebanyak 15 orang laki-laki dan 15 perempuan. Jumlah penggarap lahan di Kampung Cisangku diambil sebanyak 30 orang dengan masing-masing 10 orang pada tiap RT. Pada Kampung Nyungcung dipilih RT 02 RW 05 sebanyak 15 orang, sedangkan di RW 06 dipilih RT 04 sebanyak 15 orang. Responden dipilih dengan teknik pengambilan sampel secara acak (random sampling). Pengambilan sampel tersebut dilakukan pada 30 orang tersebut pada setiap kampung.

Informan merupakan pihak yang memberikan keterangan tentang diri, keluarga, pihak lain, dan lingkungannya yang dilakukan dengan teknik bola salju (snowball sampling). Informan dalam penelitian ini adalah aparatur desa (ketua RW dan ketua RT) setiap kampung, tokoh masyarakat, dan perwakilan instansi terkait (petugas Resort Gunung Botol).


(43)

3.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial berupa korelasi Rank Spearman (Lampiran 8). Analisis deskriptif dilakukan melalui statistika deskriptif, yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat generalisasi hasil penelitian. Analisis data deskriptif dilakukan dengan menyajikan data melalui tabulasi silang. Teknik analisis inferensial dilakukan dengan statistik inferensial, yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan membuat kesimpulan yang berlaku umum. Analisis statistik inferensial menggunakan korelasi Rank Spearman untuk mengkorelasikan dua data yang mempunyai gejala ordinal. Pengolahan data menggunakan bantuan piranti lunak (software) SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2007. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten.


(44)

4.1 Profil Desa Malasari

4.1.1 Letak Geografis dan Keadaaan Alam

Desa Malasari terletak di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Luas wilayah Desa Malasari adalah 7.762,22 hektar. Temperatur rata-rata sekitar 22-30oC. Curah hujan rata-rata per tahun adalah 2.500-3.000 mm. Desa Malasari terletak pada ketinggian antara 600-1800 m dari permukaan laut (dpl). Desa Malasari memiliki empat dusun, 12 RW, dan 44 RT. Secara administratif, Desa Malasari dengan batas-batas sebelah utara berbatasan dengan Desa Cisarua dan Curug Bitung, sebelah timur berbatasan dengan Desa Bantar Karet, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Propinsi Banten, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Kiara Sari, Kecamatan Sukajaya. Jarak dari Desa Malasari ke ibukota Kecamatan Nanggung adalah 17 kilometer, sedangkan menuju ibukota Kabupaten Bogor adalah 68 kilometer.

Tabel 2 Luas Lahan dan Persentasenya Menurut Pemanfaatan Lahan/Penggunaan Tanah di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010

Pemanfaatan lahan/penggunaan tanah Luas lahan (ha) Persentase (%) Perumahan pemukiman dan pekarangan 72 0,93

Sawah 95 1,22

Ladang/Huma 65 0,84

Perkebunan swasta 971,22 12,51

Kolam 3 0,04

Sungai 5 0,06

Jalan 52 0,67

Situ 2 0,03

Pemakaman/kuburan 5 0,06

Perkantoran 2 0,03

Lapangan olah raga 7 0,09

Tanah/bangunan /industri 2 0,03

Tanah/peribadatan 5 0,06

Tanah/bangunan Pendidikan 4 0,05

Tanah pengangonan 2 0,03

Lain-lain penggunaannya oleh TNGHS dan PERHUTANI

6 470 83,35

Jumlah 7 762,22 100,00


(45)

Luas lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat (dapat dilihat pada Tabel 2) tidaklah seluas lahan yang dimanfaatkan oleh TNGHS dan PERHUTANI serta perkebunan swasta yang mencapai 95,86 persen dari jumlah pemanfaatan lahan di Desa Malasari. Adanya ketimpangan lahan ini menyebabkan masyarakat sulit memanfaatkan lahan sekitar 2,06 persen (sawah dan ladang/huma) padahal mata pencaharian utamanya sebagai petani.

Berdasarkan lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat, dibuatlah sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan sosial dan ekonomi. Peruntukan terbanyak adalah mushala sebanyak 42 buah karena mayoritas penduduk Desa Malasari beragama Islam (Data Monografi Desa Malasari, 2010).

4.1.2 Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk Desa Malasari adalah 7.955 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 4.059 jiwa dan perempuan sebanyak 3.896 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga (KK) adalah 2.417 KK. Sebaran penduduk menurut struktur umur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Struktur Umur dan Jenis Kelamin di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010

Kelompok Umur

Jumlah Jiwa

Jumlah Laki-laki Perempuan

0 – 4 478 468 946

5 – 9 340 397 737

10 – 14 274 285 559

15 – 19 375 351 726

20 – 24 423 500 923

25 – 29 390 370 760

30 – 34 330 279 609

35 – 39 286 250 536

40 – 44 242 215 453

45 – 49 149 156 305

50 – 54 249 215 464

55 – 59 148 120 268

60 – 64 134 121 255

65 – 69 148 88 236

≥ 70 93 81 174

Jumlah 4 059 3 896 7 955 Sumber: Data Monografi Desa Malasari (2010)


(46)

Pada Tabel 4 diketahui, bahwa mayoritas tingkat pendidikan penduduk Desa Malasari adalah tamat SD. Persentase dari penduduk yang tamat SD adalah 58,62 persen (4.663 jiwa). Hal ini dikarenakan sarana dan prasarana pendidikan SLTP dan SLTA belum terdapat di Desa Malasari. Desa Malasari hanya memiliki bangunan SD. Siswa SLTP Terbuka yang bersekolah menggunakan gedung SD yang telah selesai dipakai oleh siswa SD. Pembelajaran dilakukan pada siang hari. Selain itu, sumberdaya manusia (SDM) untuk mengajar masih kurang.

Tabel 4 Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010

Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

SD 4 663 58,62

SLTP 563 7,08

SLTA 267 3,36

Akademi/sarjana muda 52 0,65 Perguruan tinggi/sarjana 9 0,11

Tsanawiyah 217 2,73

Aliyah 46 0,58

Pesantren salafiah 165 2,07

Pesantren modern Tidak/belum sekolah

5 1 968

0,06 24,74

Jumlah 7 955 100,00

Sumber: Data Monografi Desa Malasari (2010)

Mata pencaharian utama penduduk Desa Malasari adalah petani. Sebaran penduduk berdasarkan mata pencaharian ditampilkan pada Tabel 5. Persentase untuk mata pencaharian petani adalah 44,04 persen (3.503 jiwa) karena sebagian besar penduduknya memiliki sawah dan ladang/huma (lahan milik) untuk digarap. Akan tetapi, lahan di desa tersebut semakin sempit akibat banyak lahan yang telah dijual kepada pihak luar padahal lahan tersebut masih produktif untuk digarap karena jarang pewaris lahan tersebut mau melanjutkan pekerjaan sebagai petani atau buruh tani. Selain itu, lahan paling luas telah dikuasai oleh pihak TNGHS dan Perum Perhutani serta perkebunan swasta.

Pada umumnya, pekerjaan bertani dan buruh tani hanya dilakukan oleh orang tuanya, sedangkan sebagian besar para remaja bekerja sebagai penambang emas ilegal (gurandil) karena dianggap menghasilkan keuntungan dibandingkan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Pekerjaan sebagai gurandil hanya


(47)

dilakukan oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan tempat untuk mencari emas tersebut sangatlah jauh dan dingin (gunung). Pekerjaan gurandil hanya berlaku musiman dan biasanya dilakukan secara berkelompok. Akan tetapi, pekerjaan ini membutuhkan resiko yang tinggi, baik dalam keselamatan maupun finansial.

Tabel 5 Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Mata Pencaharian di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2010

Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Petani 3 503 44,04

Buruh tani 873 10,97

Pedagang 317 3,98

Pegawai negeri 2 0,03

Pensiun/purnawirawan 6 0,08

Peternak 320 4,02

Swasta karyawan kebun 875 11,00

Pengrajin 53 0,67

Tukang bangunan 45 0,57

Penjahit 7 0,09

Tukang las 2 0,03

Tukang ojek 137 1,72

Bengkel 10 0,13

Seniman 12 0,15

Lain-lain (tukang batu, kayu kerajinan –sukwan)

Tidak/belum bekerja

41

1 752

0,52

22,02

Jumlah 7 955 100,00

Sumber: Data Monografi Desa Malasari (2010)

4.1.3 Profil Kampung

Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) akibat dilakukannya perluasan lahan untuk kawasan konservasi setelah penyerahan lahan yang dilakukan oleh Perum Perhutani kepada TNGHS. Letak Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung dipisahkan oleh hutan dan perbukitan dengan puncak gunung, yaitu kawasan pintu masuk menuju TNGHS.

Kampung Cisangku memiliki batas-batas wilayah, yaitu sebelah barat berbatasan dengan Kampung Cerewed, Desa Kiara Sari, sebelah utara berbatasan


(48)

dengan Kampung Teluk Waru, Desa Curug Bitung, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Nyungcung, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Malasari. Kampung Cisangku hanya terdapat 1 RW, yaitu RW 02 yang terdiri atas 3 RT. Penduduk di Kampung Cisangku adalah 472 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 248 jiwa dan perempuan sebanyak 224 jiwa. Luas Kampung Cisangku mencapai 176,281 hektar (Data Monografi Desa Malasari, 2010).

Batas-batas Kampung Nyungcung adalah sebelah barat berbatasan dengan Kampung Cisangku, sebelah utara berbatasan dengan Kampung Parigi, Desa Cisarua, sebelah timur berbatasan dengan Kampung Pabangbon, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Babakan Jengkol. Kampung Nyungcung terdapat dua RW, yaitu RW 05 dan RW 06. Pada RW 05 terdapat 3 RT dan RW 06 terdapat 6 RT. Jumlah penduduk di RW 05 adalah 586 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 308 jiwa dan perempuan sebanyak 278 jiwa sedangkan di RW 06 adalah 913 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 476 jiwa dan perempuan sebanyak 437 jiwa (Data Monografi Desa Malasari, 2010).

Luas Kampung Nyungcung mencapai 399,195 hektar. Penggunaan lahan dibagi oleh masyarakat, seperti: lahan garapan (SPPT) seluas 46,194 hektar, pemukiman (SPPT) seluas 8,966 hektar, lahan GG (tanah desa) seluas 6,712 hektar, dan lahan pemakaman seluas 2,750 hektar. Beberapa bagian lahan yang pengelolaannya dikuasai oleh pihak lain, seperti: lahan yang masih terdapat pohon pinusnya seluas 24,730 hektar dikelola oleh pihak Perum Perhutani yang sekarang dialihfungsikan oleh pihak TNGHS, lahan konservasi seluas 74,440 hektar oleh TNGHS, pertambangan bentonit oleh PT SGI seluas 4,050 hektar, dan lahan tumpang tindih antara masyarakat dan pihak lain seluas 234,121 hektar (RMI, 2007).

4.1.4 Karakteristik Sosial Ekonomi Komunitas Lokal

Karakteristik sosial ekonomi masyarakat dibagi lima, yaitu jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas lahan, dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan. Akan tetapi, jenis kelamin responden tidak dimasukkan dalam Tabel 6 karena pengambilan jumlah responden di setiap kampung sama, yaitu 30 orang (15 laki-laki dan 15 perempuan).


(49)

Tabel 6 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011

Peubah Kategori

Kampung Cisangku Kampung Nyungcung

n % n %

Jenis Pekerjaan

Pertanian 21 70,00 22 73,33

Buruh Pertanian 5 16,67 1 3,33

Non Pertanian 4 13,33 7 23,33

Jumlah 30 100,00 30 100,00

Tingkat Pendapatan Rp (Juta/th)

Rendah 9,60-9,59 22 73,33 26 86,66

Sedang 9,60-15,59 5 16,67 2 6,67 Tinggi 15,60-21,60 3 10,00 2 6,67

Jumlah 30 100,00 30 100,00

Luas Lahan Hektar

Sempit 0,01-0,54 0 0 23 76,67 Sedang 0,55-1,08 23 76,67 3 10,00 Luas 1,09-1,63 7 23,33 4 13,30

Jumlah 30 100,00 30 100,00

Pengalaman

Mengelola Hutan Tahun

Rendah 3-18 9 30,00 17 56,67

Sedang 19-34 16 53,33 9 30,00

Tinggi 35-50 5 16,67 4 13,33

Jumlah 30 100,00 30 100,00

Keterangan: n = jumlah, * = buruh gunung, buruh bangunan, warung, berjualan gorengan

Jenis pekerjaan masyarakat paling banyak terdapat pada bidang pertanian, yaitu sebagai petani (Tabel 6). Jenis pekerjaan ini dipilih oleh mereka karena terdapat lahan yang dapat digarap, baik berupa sawah, ladang, maupun kebun. Lahan ini dapat berupa lahan milik, lahan sewa, dan lahan garapan yang berada di kawasan Eks Perum Perhutani.

Menurut masyarakat, lapisan sosial pada dua kampung ini diukur berdasarkan ukuran kekayaan yang dilihat berdasarkan tingkat pendapatan dan luas lahan. Tingkat pendapatan yang besar dapat terlihat dari bentuk rumah, kendaraan pribadi, dan peralatan elektronik. Luas lahan sebagai pelengkap ukuran kekayaan bagi kampung ini.


(50)

Berdasarkan Tabel 6, lapisan atas dikategorikan memiliki tingkat pendapatan yang tinggi dibandingkan lapisan menengah dan bawah. Lapisan atas biasanya lebih sedikit dibandingkan lapisan menengah dan bawah. Hal ini terlihat jelas di dua kampung tersebut. Luas lahan biasanya menggambarkan pelapisan sosial. Akan tetapi, lahan dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya, sehingga lahan yang dimiliki semakin sempit dan tidak akan bertambah luas dikarenakan wilayah kampung termasuk ke dalam kawasan TNGHS dan terdapat kawasan yang tidak dapat dibuka lahannya.

Pengalaman mengelola sumberdaya hutan di Kampung Cisangku termasuk kategori sedang dan pada Kampung Nyungcung termasuk kategori tinggi. Pengalaman ini berkaitan dengan usia karena mereka melakukan hal tersebut pada usia sekitar 20-an tahun. Semakin usia bertambah, semakin lama dalam mengelola sumberdaya hutan.

4.2 Profil Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Secara geografis TNGHS terletak pada 106012‟58” BT-106045‟50” BT dan 06032‟14” LS-06055‟12” LS. Secara topografi, mempunyai ketinggian berkisar antara 500-2.211 meter di atas permukaan laut (m dpl). Kawasan ini secara administratif terletak dalam tiga wilayah, yaitu Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Hutan alam di kawasan TNGHS terbagi menjadi tipe hutan dataran rendah (100-1.000 m dpl) yang sebagian besar merupakan Zona, Collin (500-1.000 m dpl), hutan hujan pegunungan bawah atau sub montana (ketinggian 1.000-1.500 m dpl) dan hutan hujan pegunungan tengah atau hutan montana (ketinggian 1.500-2.000 m dpl). Khusus di Gunung Salak juga ditemukan ekosistem alpin (lebih dari 2.000 m dpl) dan ekosistem kawah yang memiliki vegetasi spesifik. Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga diketahui hidup di hutan alam dalam TNGHS, meliputi 391 marga dari 119 suku.

Hutan tanaman di dalam kawasan TNGHS terdapat di areal yang sebelumnya berstatus sebagai kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani, diantaranya adalah hutan tanaman Rasamala (Altingia excels), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis sp.), dan Puspa (Schima


(1)

95

Gunung Botol


(2)

96

Gunung Botol


(3)

97

Gunung Botol


(4)

98

Gunung Botol


(5)

99

Gunung Botol


(6)

100

Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian

Lahan garapan milik masyarakat di Kampung Cisangku dan Kampung

Nyungcung

Kewajiban masyarakat untuk melakukan tebang pilih tanaman dan tidak

menebang pohon sembarangan

Kegiatan Rehabilitasi Kawasan Konservasi di Kampung Cisangku bekerjasama

dengan pihak TNGHS dan terdapat tempat persemaian (MKK)

Pengelolaan sumberdaya hutan

“campuran”


Dokumen yang terkait

Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru

12 89 67

Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 3 87

Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 28 142

Peranan hutan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat desa hutan (Studi kasus kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 15 98

Analisa konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat desa sekitar hutan studi kasus masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

3 24 110

Kinerja Agroforestri (Kasus Dudukuhan di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat)

1 16 75

Analisis buangan berbahaya pertambangan emas di Gunung Pongkor (Studi kasus : Desa Cisarua, Desa Malasari, dan Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)

0 29 429

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Kontribusi Pengelolaan Agroforestri Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 4 36

Penyebaran Spasial Keanekaragaman Tumbuhan Pangan dan Obat di Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Bogor.

4 71 91