4.3 Sejarah Penggarapan Lahan di Desa Malasari
Sekitar Tahun 1945-an, masyarakat di sekitar kawasan hutan mulai membuka hutan, lalu menanaminya dengan sawah untuk kebutuhan sehari-hari.
Pembukaan hutan dilakukan karena masyarakat menganggap bahwa lahan itu milik nenek moyang mereka setelah penjajah tidak menduduki kawasan tersebut.
Sebelum Tahun 1945-an, telah ada pemukiman, namun belum mendapatkan hak untuk menggarap karena masih dikuasai oleh penjajah. Masyarakat juga
mengetahui bahwa tidak semua kawasan hutan dapat dibuka karena mereka masih mempercayai mitos-mitos dari para leluhurnya.
Sekitar Tahun 1978, Perum Perhutani menanam tanaman pinus di lahan garapan milik masyarakat. Pihak Perum Pehutani tidak peduli mengenai lahan
yang digunakan milik siapa sebelumnya rata-rata lahan ditanami sawah oleh masyarakat. Perum Perhutani beranggapan memiliki hak atas lahan tersebut
karena masyarakat tidak memiliki sertifikat tanah, sehingga kekuatan masyarakat untuk merebutnya tidak cukup kuat. Masyarakat juga merasa takut dalam
melakukan perlawanan untuk meminta hak mereka. Pada zaman Orde Baru tersebut, mereka hanya bisa pasrah dengan kondisi seperti itu dan merelakan lahan
yang telah mereka garap bertahun-tahun diserahkan kepada pihak Perum Perhutani. Masyarakat tidak mendapatkan keuntungan dengan adanya penanaman
pohon pinus tersebut karena daun yang berguguran tidak dapat dijadikan bahan pembuat pupuk bahkan membuat tanah menjadi tandus.
Pernyataan di atas diperkuat dalam Hanafi et al. 2004 bahwa Perusahaan Hutan Negara yang disahkan sejak tahun 1961 melalui Peraturan Pemerintah No.
17-30 Tahun 1961 ini mulai beroperasi di Jawa Barat pada Tahun 1978 yang dilegitimasi melalui PP No. 2 Tahun 1978 tentang pendirian Perum Perhutani
Unit III Jawa Barat. Tiga Kesatuan Pemangku Hutan KPH Perum Perhutani Unit III mengelola kawasan hutan seluas 26.063,35 hektar dengan komoditi
beberapa pohon rimba terutama pinus. Penetapan kawasan produksi ini, banyak hutan primer, sawah, dan kebun garapan masyarakat dikonversi secara sepihak
yang berakhir pada konflik yang terkait 1 pertambahan penduduk yang pesat serta 2 akses penduduk terhadap hutan dan hasil hutan terbatas atau bahkan tidak
lagi memiliki akses sejak hutan dianggap milik Perum Perhutani.
Berdasarkan UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dan UU Konservasi dan Pengelolaan Sumberdaya Hayati No. 5 Tahun 1990 melalui SK Menhut No.
282 Tahun 1992, pemerintah menetapkan kawasan ekosistem Halimun yang sejak Tahun 1924 oleh pemerintah kolonial Belanda ditetapkan sebagai kawasan hutan
lindung. Kemudian, pada tahun 1979 oleh pemerintah Indonesia ditetapkan sebagai kawasan cagar alam-sebagai kawasan konservasi yang pengelolaannya
dilakukan oleh UPT Balai Taman Nasional. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282Kpts-II1992 bahwa secara geografis TNGH terletak
di antara 6 37‟-6
51 LS dan 106 21‟-106
38 BT dengan kawasan seluas 40.000 hektar yang tersebar di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten seluas 14.487 hektar,
dan 25.513 hektar di Kabupaten Bogor dan Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan yang baru, yaitu No. 175Kpts-II2003,
kawasan TNGH diperluas menjadi 113.357 hektar dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS.
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175Kpts-II2003, Desa Malasari masuk ke dalam wilayah TNHG-S, sehingga tidak diperbolehkan ada masyarakat
di dalamnya.
Namun dalam
perkembangannya, akhirnya
pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56Menhut-II2006 tentang
Pedoman Zonasi Taman Nasional merinci sistem dan kriteria zonasi dalam TN meliputi zona sebagai berikut: 1 zona inti, 2 zona rimba, 3 zona pemanfaatan,
4 zona tradisional, 5 zona rehabilitasi, 6 zona religi, budaya dan sejarah, dan 7 zona khusus. Penetapan zona khusus dikarenakan terdapat masyarakat yang
tinggal di kawasan tersebut dan memanfaatkan lahan yang ada untuk digarap dalam menunjang kebutuhan sehari-hari sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai
taman nasional Permenhut 2006.
BAB V POLA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
Sumberdaya hutan sering dikatakan sebagai common property properti terbuka yang dapat diakses oleh siapapun. Bagi pemerintah, berdasarkan
pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya hutan merupakan sumberdaya milik negara karena sesuai dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 diperkuat dengan UU
No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Sumberdaya hutan tidak dapat dikuasai oleh satu pihak tertentu, namun dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak sesuai
peraturan yang berlaku. Berbeda dengan pandangan masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa
pengelolaan sumberdaya hutan lebih baik dilakukan oleh masyarakat karena masyarakat lebih mengetahui bagaimana kondisi hutan dan tidak mungkin
merusak hutan karena hutan merupakan salah satu tempat bergantung untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadikan masyarakat menggangap bahwa hutan
merupakan sumberdaya milik masyarakat. Moniaga 1998 menjelaskan bahwa berdasarkan pelaku dan sistem yang
diterapkan sistem pengelolaan hutan yang terdapat di antara Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung adalah sistem pengelolaan hutan “campuran”. Sistem
pengelolaan hutan “campuran” mengupayakan penggabungan sistem negara dan
sistem yang ada di masyarakat yang menempatkan pihak ketiga biasanya Lembaga Swadaya Masyarakat baik dalam negeri maupun dari luar negeri dan
atau lembaga-lembaga pemerintah asing. Sistem pengelolaan hutan campuran ini dilakukan demi mewujudkan
kelestarian hutan beserta flora dan fauna lainnya di sekitar kawasan TNGHS dengan tidak mengabaikan masyarakat di Kampung Cisangku dan Kampung
Nyungcung yang termasuk ke dalam wilayah TNGHS. Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang turut membantu sebagai fasilitator adalah RMI, The
World Agroforestry Centre ICRAF. Sistem pengelolaan hutan campuran dilakukan di lahan garapan Eks Perum Perhutani yang dinyatakan lahan kosong
dan kritis. Masyarakat dapat menggarap lahan tersebut dan memanfaatkan hasil hutan tersebut sesuai kesepakatan yang telah dibuat.