Pemangku Kepentingan yang Terlibat

yang bertikai. Pemetaan konflik dengan mengelompokkannya dalam ruang-ruang konflik dengan kriteria-kriteria di bawah ini: 1 Konflik data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana atau mendapat informasi yang salah atau tidak sepakat mengenai data apa saja yang relevan atau menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda; 2 Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik yang berdasarkan kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif, masalah tata cara atau masalah psikologis; 3 Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotipe, salah komunikasi atau tingkah laku yang negatif repetitif; 4 Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya; serta 5 Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain.

2.1.6 Pemangku Kepentingan yang Terlibat

Menurut Tadjudin 2000, istilah stakeholder pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan diintroduksikan oleh negara-negara donor, termasuk para donor yang mendukung Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. Manajemen kolaboratif sekurang-kurangnya melibatkan lima stakeholder yang saling berinteraksi dan memiliki hak dan tujuan individual yang berbeda. Mereka berkedudukan sederajat dan didorong agar mampu mengakomodasikan tujuan- tujuan individualnya menjadi tujuan kolektif yang disepakati bersama. Kelima stakeholder tersebut adalah masyarakat, pemerintah, swasta, hutan, dan lembaga penyangga. Keberadaan kelima stakeholder tersebut berbeda pada setiap kasus pengelolaan hutan. Namun, secara umum terdapat dua bentuk, yaitu: kelima stakeholder itu ada yang akan dijumpai dalam pengelolaan hutan produksi dan hutan tanaman industri dan hanya terdapat empat stakeholder tanpa kehadiran swasta. Kasus seperti ini akan dijumpai dalam pengelolaan hutan lindung, hutan suaka, hutan taman nasional, dan juga pada hutan rakyat. Pengertian dari kelima stakeholder tersebut sebagai berikut: 1 masyarakat adalah penduduk yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan, yang kehidupan ekonomi, sosial, dan budayanya bergantung pada keberadaan sumberdaya hutan. Masyarakat di sini tidak sekedar dipandang sebagai rumah tangga household yang dalam konsep ekonomi ditetapkan sebagai sosok yang memiliki fungsi tujuan untuk memaksimumkan utilitas, melainkan juga dipandang sebagai entitas bisnis yang memiliki fungsi tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya; 2 pemerintah adalah lembaga-lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, tidak terbatas pada satu departemen teknis yang mengurus masalah hutan. Fungsi tujuan pemerintah adalah memaksimumkan pelayanan; 3 swasta adalah badan usaha yang bidang bisnisnya adalah pendayagunaan sumberdaya hutan. Fungsi tujuan swasta adalah memaksimumkan keuntungan ekonomi; 4 lembaga penyangga merupakan lembaga swadaya masyarakat dan lembaga- lembaga kemasyarakatan lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah pemberdayaan masyarakat dan kelestarian lingkungan hutan; serta 5 hutan dipandang sebagai entitas hidup yang berhak untuk memiliki anatomi, sifat, ciri, dan status tertentu. Hutan tidak sekedar dipandang sebagai sumberdaya yang boleh diekstrak aliran-manfaatnya, melainkan dipandang juga sebagai entitas-hidup subyek yang memiliki hak-hak yang sederajat dengan stakeholder lainnya.

2.1.7 Pengelolaan Kolaboratif

Dokumen yang terkait

Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru

12 89 67

Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 3 87

Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 28 142

Peranan hutan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat desa hutan (Studi kasus kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 15 98

Analisa konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat desa sekitar hutan studi kasus masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

3 24 110

Kinerja Agroforestri (Kasus Dudukuhan di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat)

1 16 75

Analisis buangan berbahaya pertambangan emas di Gunung Pongkor (Studi kasus : Desa Cisarua, Desa Malasari, dan Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)

0 29 429

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Kontribusi Pengelolaan Agroforestri Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 4 36

Penyebaran Spasial Keanekaragaman Tumbuhan Pangan dan Obat di Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Bogor.

4 71 91