8.2 Model Kampung Konservasi MKK
Sekitar tahun 2003, pihak LSM RMI memasuki wilayah Kampung Cisangku. Pihak LSM memberitahukan adanya perluasan kawasan TNGHS
dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No.175Kpts-II2003 setelah adanya pengalihfungsian kawasan dari pihak Perum Perhutani. Sejak saat itu,
masyarakat Kampung Cisangku sering melakukan kegiatan pertemuan dengan LSM yang membahas masalah perluasan ini. Akan tetapi, pengadaan pertemuan
ini belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Kampung Cisangku. Lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi menurut Gray 1989
dalam Suporahardjo 2005 terdapat pada program MKK ini. Pertama, membutuhkan keterbukaan antara stakeholder yang harus saling memberi dan
menerima give and take untuk menghasilkan solusi bersama. Pada Tahun 2007, TNGHS masuk ke wilayah Kampung Cisangku. TNGHS menawarkan sebuah
konsep yang bernama Model Kampung Konservasi MKK. Pihak TNGHS ingin membuat kesepakatan bersama dengan masyarakat Kampung Cisangku.
Masyarakat Kampung Cisangku menyetujuinya karena terdapat banyak manfaat yang akan diterima oleh mereka. Lalu, pihak LSM tidak lagi mendampingi
masyarakat Kampung Cisangku karena mereka telah memilih program MKK yang ditawarkan oleh pemerintah TNGHS.
Berdasarkan karakteristik sosial ekonomi masyarakat di Kampung Cisangku Tabel 6, masyarakat yang memiliki lahan sedang sebesar 76,67 persen dan
pengalaman mengelola sumberdaya hutan sebesar 53,33 persen, terdapat kecenderungan untuk mendukung program dari pemerintah. Distribusi usia
masyarakat di Kampung Cisangku berada pada kisaran usia 27-45 tahun 50 persen, usia 46-64 tahun 40 persen, dan usia di atas 64 tahun 10 persen.
Kondisi ini menggambarkan bahwa peran masyarakat yang berusia relatif tua 46- 64 tahun masih dominan dalam pengambilan keputusan terutama yang terkait
dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat relatif kurang memiliki kemauan untuk melakukan suatu perubahan yang drastis. Mereka cenderung
mempertahankan status quo yang berpihak kepada pemerintah dan beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah merupakan hal yang terbaik. Selain
itu, terdapat pula kecenderungan masyarakat menghindari terjadi konflik dengan
pihak pemerintah. Kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah akan selalu diikuti masyarakat Kampung Nyungcung.
Model Kampung Konservasi MKK merupakan suatu program yang berasal dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS. Pembuatan
program MKK ini bekerjasama dengan JICA. Model Kampung Konservasi MKK memiliki visi “Masyarakat Hidup Bersama Taman Nasional”. Tujuan
pengembangan MKK, yaitu: 1 terdorongnya tindakan konservasi dengan partisipasi masyarakat;
2 terdorongnya pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan di area TNGHS yang strategis; dan
3 memperkenalkan pengalaman tersebut ke desa lain baik di dalam TNGHS atau luar TNGHS.
Kedua, menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk membangun kesepakatan. Kampung Cisangku menggunakan pendekatan
pengelolaan kolaboratif berupa Model Kampung Konservasi MKK. Masyarakat di Kampung Cisangku memilih MKK agar tidak terjadi konflik antara masyarakat
dan pihak pemerintah TNGHS, sehingga masyarakat dapat menggarap lahan sesuai aturan yang berlaku. Adanya pengaruh dari pihak pemerintah turut
memberikan sumbangan agar terciptanya pemilihan MKK ini bagi masyarakat Kampung Cisangku. Kegiatan MKK dapat dikategorikan sebagai top down
karena konsep ini berasal dari TNGHS karena dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19Menhut-II2004 yang menyebutkan mengenai pedoman
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Permenhut 2004.
Ketiga, peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang suatu jalan keluar. Awalnya, isi dari perjanjian
telah dibuat oleh pihak TNGHS, lalu diberikan kepada masyarakat untuk melihat apakah terdapat ketidaksesuaian dengan masyarakat. Proses ini tidak berlangsung
satu kali, tetapi beberapa kali penyerahan karena pihak TNGHS juga melihat kembali isi perjanjian dari pihak masyarakat yang telah diubah dan bila ada
ketidaksesuaian dari pihak TNGHS, maka dikembalikan kepada masyarakat hingga tercapai kesepakatan bersama.
Para anggota Kelompok MKK adalah semua anggota masyarakat Kampung Cisangku yang menggarap lahan di kawasan Eks Perum Perhutani. Ketua
kelompok MKK adalah Bapak Usp. Pemilihan ketua kelompok ini berdasarkan karena beliau merupakan tokoh masyarakat di Kampung Cisangku, sehingga
dianggap dapat mempengaruhi masyarakat. Anggota kelompok MKK ada yang aktif dan ada juga yang tidak aktif.
Setiap anggota yang aktif selalu mengikuti setiap kegiatan pertemuan yang dilakukan oleh TNGHS dan LSM, namun terkadang mereka kurang memahami
apa yang disampaikan oleh mereka. Hal ini disebabkan karena penggunaan istilah-istilah yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan peraturan-
peraturan yang baru didengar oleh para anggota, sehingga mereka kurang memperhatikan apa yang disampaikan.
Saat mereka melakukan kumpul-kumpul dalam kelompok, belum ada pencatatan yang baik apa yang sedang dibicarakan karena kumpul-kumpul ini
merupakan kegiatan yang dianggap para anggota tidak resmi. Menurut TNGHS, adanya kumpul-kumpul tersebut seharusnya sekretaris atau salah satu anggota
mencatat apa yang telah dibicarakan untuk dibahas saat pertemuan dengan TNGHS agar program MKK berjalan dengan baik.
Kelompok MKK memiliki tempat persemaian yang dikelola bersama. Beraneka ragam jenis tanaman kayu keras maupun tanaman buah-buahan ada di
tempat persemaian ini. Kelompok MKK juga membuat proposal kepada PT Aneka Tambang dan Dinas Pertanian agar mendapatkan bantuan fisik. Pihak
TNGHS hanya memfasilitasi dan mengetahui adanya pembuatan proposal tersebut. Selain itu, terdapat perkembangbiakkan kambing dan domba, namun
kegiatan ini belum berjalan sesuai yang diinginkan karena terkendala oleh kebutuhan hidup. Lalu, di dalam kelompok MKK tidak sepenuhnya berjalan
sesuai keinginan pihak TNGHS saat anggota kelompok merasakan ketidakadilan dalam pembagian „sesuatu‟.
Pada Tahun 2010, sekitar 80 orang warga di Desa Malasari melakukan rehabilitasi kawasan konservasi di wilayah Cisangku yang menggunakan jenis
tanaman rimba campuran sebanyak 20.000 batang dengan pola tanam pengkayaan pada lahan seluas 50 hektar. Hak yang didapatkan oleh mereka setelah menanam
tanaman rimba campuran, mereka mendapatkan upah uang yang sesuai dengan kewajiban menanam pohon yang telah dilakukan.
Selain terdapat anggota MKK, adapula non anggota MKK. Salah satu anggota non MKK ini merasa bahwa program MKK tidaklah menguntungkan,
sehingga tidak turut berpartipasi di dalamnya. Pada saat mewawancarai Bapak Krd 43 tahun yang non anggota MKK ini, beliau mengemukakan bahwa:
“… Pada saat terdapat pertemuan antara masyarakat dan TNGHS, tidak semua pihak yang menggarap lahan Eks Perhutani diundang hanya
perwakilannya saja yang ikut pola pikir TNGHS. Beberapa warga yang dianggap berpikiran kritis tidak diajak karena pasti akan debat.”
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat yang kontra terhadap pemerintah tidak diikutsertakan dalam pertemuan dengan TNGHS.
Pemerintah tidak berpendapat seperti itu karena siapapun masyarakat Kampung Cisangku dapat mengikuti pertemuan dengan TNGHS bila masyarakat memiliki
waktu yang tepat saat kegiatan pertemuan tersebut berlangsung. Keempat, dibutuhkan satu jalan keluar yang disepakati bersama antara
stakeholder di masa depan, seperti MoU Memorandum of Understanding. Kesepakatan kedua belah pihak ini dijadikan suatu MoU yang dikenal sebagai
perjanjian kerjasama antara pihak masyarakat yang diwakilkan oleh Kelompok Masyarakat Kampung Konservasi MKK dan pihak TNGHS mengenai
pemanfaatan lahan Eks Perum Perhutani di kawasan TNGHS. Perjanjian kerjasama ini hanya berlaku selama tiga tahun, sehingga pada bulan Januari 2011
telah diperpanjang kembali oleh kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan bersama. Akan tetapi, hingga saat ini, proses perpanjangan MoU belum selesai
dikarenakan harus dimasukkan ke Direktorat Jenderal Kebijakan Konservasi bagian Biro Hukum Departemen Kehutanan.
Menurut pernyataan salah satu petugas Resort Gunung Botol, Bapak Ysi 33 tahun, yaitu:
“… Isi MoU sangatlah ideal karena sudah berdasarkan hasil perundingan antara pihak TNGHS dan masyarakat Kampung Cisangku, namun
pelaksanaan di lapang, tidak selalu pas dengan isi MoU. Adanya MoU ini diharapkan tidak terjadi konflik antara kedua belah pihak karena
program
MKK sangat menguntungkan bagi masyarakat Cisangku.”
Kelima, membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi sebagai suatu proses yang bersifat temporer dan berevolusi untuk menyelesaikan suatu masalah.
Pertemuan terakhir antara masyarakat dan TNGHS dilakukan pada akhir bulan Desember 2010 untuk mengetahui perkembangan dari kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat yang ada di Desa Cisangku setelah ada perjanjian kerjasama MoU. Pertemuan ini membahas bagaimana kegiatan yang telah dilakukan
selama ini, apakah terdapat kendala di dalamnya dan rencana apa untuk ke depannya.
Pada isi perjanjian kerjasama, laporan tahunan disampaikan kepada para stakeholder yang terlibat dalam perjanjian tersebut dan evaluasi dilakukan
minimal satu tahun sekali. Evaluasi dilakukan untuk menampung aspirasi masyarakat mengenai kegiatan MKK yang telah dilakukan selama ini. Tahun
2011 belum dilakukan lagi kegiatan pertemuan dengan TNGHS selain upaya perpanjangan MoU antar kedua belah pihak.
8.3 Kampung Dengan Tujuan Konservasi KDTK