Hak Kepemilikan Tinjauan Pustaka

dengan perbedaan sistem hukum yang berkembang dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan hukum dan politik. Adimihardja 2008 juga mengungkapkan, hingga kini masih terjadi pandangan berbeda antara pemerintah dan masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan hutan, maka sering terjadi ketegangan-ketegangan di antara keduanya. Pengembangan model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat adat dan lokal perlu mempertimbangkan sistem pengetahuan dan teknologi yang dikuasai masyarakat adat dan lokal di sekitar kawasan tersebut.

2.1.2 Hak Kepemilikan

Ostrom 1990 dalam Tadjudin 2000 menyatakan mengenai kepemilikan sumberdaya dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dikategorikan menjadi: 1 Sumberdaya milik negara. Rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan dalam tataran dunia legal di Indonesia berinduk pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konstitusi itu disusun dengan tujuan untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplinan. Para negarawan Indonesia pada tahun 1945, sudah menyadari agar hutan tidak dipersepsikan oleh warga-negaranya sebagai suatu properti terbuka karena akan menimbulkan anarkisme dan kekacauan. Hutan dan kawasan hu tan itu “bukan merupakan dan tidak bisa dialihkan menjadi” milik pribadiswasta. Dengan demikian, ”dikuasai oleh negara” itu secara tegas menunjukkan bahwa hutan dan kawasan hutan itu merupakan sumberdaya publik; 2 Sumberdaya milik swasta. Secara hukum tidak ada sumberdaya hutan yang dimiliki oleh swasta, yang ada adalah hak penguasaan sumberdaya hutan oleh swasta. Swasta merasa bahwa sumberdaya hutan itu sebagai miliknya seakan- akan hutan itu sebagai bidang tanah yang dilekati sertifikat hak milik, sehingga mereka menuding siapa pun masyarakat yang memasuki konsesinya sebagai pengganggu Jessup dan Peluso, 1990 dalam Tadjudin, 2000. Kebijakan privatisasi itu didorong oleh tujuan untuk memaksimumkan pendapatan negara dalam kondisi negara itu memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengusahakan hutan. Ditinjau dari nilai absolutnya, adalah benar bahwa kebijakan ini telah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan negara; serta 3 Sumberdaya milik masyarakat. Bila dibanding dengan pemerintah dan swasta, masyarakat merupakan anak tiri dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan. Meski secara obyektif perundang-undangan yang ada mengkebiri hak-hak masyarakat dalam konteks hak adat dan sejenisnya, namun dalam hal mengakomodasikan hak masyarakat “lainnya”, perundang-undangan yang ada sebenarnya masih memberikan ruang gerak yang memadai. Menurut McKean 1996 dalam Tadjudin 2000, properti masyarakat merupakan hal yang sangat cocok untuk diterapkan dalam masalah pengelolaan hutan, paling tidak dalam masyarakat itu terdapat tata nilai dan budaya yang mendukung proses kooperasi sebagai alat untuk meresolusi konflik, jika sumberdaya itu mengalami tekanan. Ostrom dan Schlager 1996 menyatakan bahwa setiap hak yang dipegang individu, terdapat aturan yang memberikan hak atau memerlukan tindakan pada hak kepemilikan karena hak diartikan sebagai tindakan individu untuk dapat menerima hubungan pada individu lainnya sebagai sesuatu “barang”. Jika seseorang memiliki hak, yang lainnya memiliki tugas sepadan untuk mengamati hak itu. Tugas individu menerima tindakan yang berarti individu lainnya dapat, harus, atau tidak harus menerima hubungan dengan lainnya dan kepemilikan lainnya. Penggunaan sumberdaya milik bersama, yang paling relevan dalam hak kepemilikan dalam tingkat operasional adalah hak akses dan menangkap. Seseorang yang memiliki hak akses dan memanfaatkan atau mungkin tidak memiliki hak yang lebih luas diizinkan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan bersama. Perbedaan hak dalam tingkat operasional dan hak atas keputusan bersama adalah penting. Ini merupakan perbedaan penggunaan hak dan partisipasi dalam definisi hak ke depannya untuk digunakan. Kewenangan untuk menyusun hak tingkat operasional ke depannya adalah apa yang membuat hak pilihan bersama sangat kuat. Jika diperhatikan untuk sumberdaya bersama, hak kepemilikan kolektif meliputi pengelolaan, eksklusi, dan pengalihan. Tabel 1 Seperangkat Hak Terkait dengan Kedudukan Bundles of Rights Associated with Positions Hak Rights Owner Proprietor Claimant Authorized user Authorized entrant Akses Access X X X X X Memanfaatkan Withdrawal X X X X Mengelola Management X X X Eksklusi Exclusion X X Pengalihan Alienation X Sumber: Schlager dan Ostrom 1996 Tipe hak kepemilikan, yaitu: 1 hak akses: hak untuk memasuki area dan menikmati manfaat nonsubtraktif; 2 hak memanfaatkan: hak untuk mendapatkan sumberdaya; 3 hak mengelola: hak untuk menyusun aturan operasional pemanfaatan; 4 hak eksklusi: hak untuk memutuskan siapa yang mendapat hak akses dan bagaimana hak dapat dipindahkan; serta 5 hak pengalihan: hak untuk menjual atau menyewa semuanya atau sebagian dari hak bersama. Menurut Tauchid 2009, pengertian umum mengatakan bahwa hak milik tanah bagi rakyat Indonesia berarti hak untuk mengerjakan dan melakukan hak itu sebagai kepunyaan sendiri, dengan dibatasi oleh undang-undang dan hukum adat yang berlaku: 1 Menghormati hak wilayah desa atau daerah; 2 Menghormati kepentingan milik tanah lainnya; serta 3 Menghormati hukum adat yang berlaku mengenai tanah, umpamanya kewajiban memberikan kesempatan ternak orang lain masuk ke dalam sawah atau ladang pada waktu tidak ada tanamannya bero. Menurut Domein Verklaring tanah milik rakyat adalah kepunyaan Negeri. Maka, hak milik rakyat dikatakan sebagai hak memakai saja yang biasa disebut “erfelijk individueel gebruikscrecht” hak memakai turun-temurun, tetapi biasa disebut ” erfelijk individueel bezitsrecht” hak milik perseorangan turun-temurun. Pada kenyataannya, si pemilik itu berhak menjual, menggadaikan, menyewakan, memberikan kepada orang lain, mewariskan baik dengan hukum waris maupun dengan wasiat testamen. Tanah milik perseorangan bisa juga dinamakan tanah yasan membuat sendiri yang berasal saat membuka hutan di zaman dahulu untuk dirinya dan untuk keturunannya. Hak membuka tanah adalah hak nenek moyang atas tanah yang belum dibuka yang biasa dikatakan tanah “pusaka”, sebagai hubungan warisan pusaka nenek moyang yang dulu membuka hutan.

2.1.3 Persepsi

Dokumen yang terkait

Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru

12 89 67

Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 3 87

Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 28 142

Peranan hutan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat desa hutan (Studi kasus kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 15 98

Analisa konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat desa sekitar hutan studi kasus masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

3 24 110

Kinerja Agroforestri (Kasus Dudukuhan di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat)

1 16 75

Analisis buangan berbahaya pertambangan emas di Gunung Pongkor (Studi kasus : Desa Cisarua, Desa Malasari, dan Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)

0 29 429

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Kontribusi Pengelolaan Agroforestri Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 4 36

Penyebaran Spasial Keanekaragaman Tumbuhan Pangan dan Obat di Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Bogor.

4 71 91