Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Pemerintah

5.1 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Pemerintah

Pada tahun 1978, Perum Perhutani memasuki wilayah Desa Malasari. Pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani dengan menanam pohon pinus karena pohon pinus digunakan untuk keperluan produksi. Akhirnya, hutan tersebut menjadi hutan produksi. Sebelumnya, lahan yang telah digarap oleh masyarakat langsung diambilalih oleh pihak Perum Perhutani tanpa adanya ganti rugi, sehingga masyarakat kehilangan hak untuk menggarap. Hal ini disebabkan karena belum adanya sertifikat tanah yang membuktikan bahwa lahan garapan tersebut milik masyarakat. Suwarno 2004 juga menyatakan bahwa kebijakan Perum Perhutani masih sentralistik dan lebih menekankan profit oriented dibandingkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Pihak Perum Perhutani sering menilai bahwa masyarakat sekitar hutan adalah salah satu pihak yang dapat menyebabkan kerusakan hutan dan lahan di Pulau Jawa melalui pencurian dan penjarahan kayu secara besar-besaran. Menurut Lynch dan Harwell 2006, pada saat Orde Baru adanya perubahan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi karena kawasan ini tidak lagi sebagai hutan yang produktif. Pada kenyataannya, saat rezim Orde Baru, kawasan ini belum berubah dari hutan produksi menjadi hutan konservasi. Kawasan hutan masih tetap merupakan hutan produksi sampai sekitar tahun 2003 Orde Reformasi mengalami perubahan. Pada tahun 2003 inilah terjadi perluasan Taman Nasional Gunung Halimun- Salak TNGHS dan pihak Perum Perhutani mengalihfungsikan kawasannya kepada TNGHS. Perluasan ini berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175Kpts- II2003 yang telah menetapkan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan mengubah kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, dan Hutan Produksi Terbatas. Seluas 113.357 hektar pada kelompok hutan Gunung Halimun yang terletak di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56 Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional telah merinci sistem dan kriteria zonasi dalam TN meliputi zona sebagai berikut: 1 Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas, 2 Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. 3 Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dinamfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisijasa lingkungan lainnya. 4 Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. 5 Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang dikarenakan mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. 6 Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. 7 Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Pedoman zonasi taman nasional bertujuan untuk mewujudkan sistem pengelolaan taman nasional yang efektif dan optimal sesuai dengan fungsinya. Jenis tanaman yang ditanam oleh TNGHS adalah jenis tanaman keras asli kayu, seperti pohon rasamala, pohon puspa, pohon damar, pohon pasang, pohon hurung, dan sebagainya selain dari pohon pinus yang masih belum ditebang oleh Perum Perhutani. Penanaman ini dimaksudkan agar menjaga hutan tetap lestari serta flora dan fauna yang terdapat di dalamnya tidak menjadi punah. Fungsi adanya tanaman keras adalah mencegah adanya bencana alam, seperti banjir, hutan gundul, dan pengikisan lapisan tanah serta melindungi flora dan fauna yang terdapat di dalam hutan agar tidak punah.

5.2 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Komunitas Lokal

Dokumen yang terkait

Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru

12 89 67

Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 3 87

Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 28 142

Peranan hutan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat desa hutan (Studi kasus kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 15 98

Analisa konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat desa sekitar hutan studi kasus masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

3 24 110

Kinerja Agroforestri (Kasus Dudukuhan di Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat)

1 16 75

Analisis buangan berbahaya pertambangan emas di Gunung Pongkor (Studi kasus : Desa Cisarua, Desa Malasari, dan Desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor)

0 29 429

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Kontribusi Pengelolaan Agroforestri Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi Kasus Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 4 36

Penyebaran Spasial Keanekaragaman Tumbuhan Pangan dan Obat di Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Bogor.

4 71 91