Kerangka Pemikiran Studi etnobiologi, etnoteknologi dan pemanfaatan kekuak (Xenosiphon sp.) oleh masyarakat di kepulauan Bangka-Belitung

jangkar dan perototan introvert untuk menarik tubuh ke depan. Phascolion strombus, penghuni cangkang kerang, bisa mengairi cangkangnya untuk menaikkan kandungan oksigen dengan kontraksi perototan dinding tubuh. Berenang cuma dilaporkan ada pada Sipunculus yaitu dengan ‘membanatkan’ badan utama secara tidak terarah Edmonds 2000. Gambar 5 Sipunculus nudus, tubuh bagian dalam Anonim 2009 Sebagian besar sipuncula termasuk Sipunculus dan Xenosiphon dilihat dari cara makan bersifat sebagai deposit feeder dengan tentakel yang sederhana, kecuali angota Themiste sebagai filter feeder dengan tentakel bercabang rumit. Jenis-jenis penghuni pasir mencerna sedimen dan campuran biomassa yang dikumpulkan dengan tentakel-tentakel. Tentakel jarang tampak di atas dasar laut selama siang hari, mungkin dijulurkan pada malam hari untuk memeriksa dan mengambil sedimen di sekeliling sebagai partikel makanan. Jenis penghuni karang memakai kait-kait introvertnya, sebagian besar pada malam hari, untuk mengikis sedimen dan organisme epifauna dari permukaan karang sekelilingnya Cutler 1994. Dilaporkan oleh Jeuniaux 1969 bahwa pada usus halus Sipunculus nudus ada aktivitas kitinolitik tertentu kitinase dan kitobiase. Umumnya sipuncula berumah dua, cuma sejenis diketahui hermafrodit yaitu Nephasoma minutum. Themiste lageniformes bersifat partenogenesis fakultatif. Aspidosiphon elegans dilaporkan bereproduksi aseksual dengan tunas. Selain itu pada sipuncula tidak diketahui ada dimorfisme seksual. Gonad cuma lazim selama periode reproduktif. Gamet dilepaskan ke dalam coelom tempat pematangan berlangsung. Gamet matang diambil nefridia dan dilepaskan ke air melalui nefridiofor Rice 1993. nephridium intestine anus esophagus retractor muscles ventral nerve chord mouth a Sampai kini belum ada jenis sipuncula yang termasuk daftar merah IUCN. Karena fase larvanya yang panjang, kebanyakan jenisnya tersebar luas. Tingkat kemelimpahan dari jarang sampai amat umum kerapatan Themiste lageniformes bisa sampai 2.000 ekor lebih tiap m². Perusakan habitat seperti mangrove dan dasar rumput laut bisa mengancam populasi regionalnya Rice 1976. Tabel 1 Klasifikasi anggota Filum Sipuncula - 144 spesies revisi Cutler 1994 Kelas Ordo Familia Genus Subgenus Sipunculidea Sipunculiformes Sipunculidae 24 Sipunculus 10 Sipunculus 8 Austrosiphon 2 Xenosiphon 2 Siphonosoma 10 Siphonomeccus 1 Phascolopsis 1 Golfingiiformes Golfingiidae 36 Golfingia 10 Golfingia 9 Spinata 1 Nephasoma 23 Nephasoma 22 Cutlerensis 1 Thysanocardia 3 Phascolionidae 29 Phascolion 25 Phascolion 11 Isomya 6 Montuga 2 Lesenka 5 Villiophora 1 Onchnesoma 4 Themistidae 10 Themiste 10 Themiste 5 Lagenopsis 5 Phascolosomatidea Phascolosomatiformes Phascolosomatidae 23 Phascolosoma 18 Phascolosoma 16 Fisherana 2 Apionsoma 4 Apionsoma 3 Edmonsius 1 Antillesoma 1 Aspidosiphoniformes Aspidosiphonidae 22 Aspidosiphon 19 Akrikos 5 Aspidosiphon 7 Paraspidosiphon 7 Lithacrosiphon 2 Cleosiphon 1

2.2 Pemanfaatan Sipuncula

Di luar sipuncula sudah banyak jenis poliket polichaeta yang dimanfaatkan masyarakat lokal di berbagai belahan dunia, baik untuk umpan dan pakan ikan maupun pangan lezat bagi manusia Romimohtarto Juwana 2001. Di Samoa dan Fiji setiap Oktober dan November sejenis polychaeta yang disebut palolo mbalolo, biasa ditangkap untuk dijadikan makanan. Di Lombok dan sekitarnya setiap Pebruari ada acara bau nyale, yaitu tradisi masyarakat setempat menangkap nyale, yaitu sejenis poliket dari marga Neanthes Nereis. Di Maluku sejenis poliket serupa yang disebut laor muncul dan ditangkap setiap Maret, juga dijadikan makanan oleh masyarakat setempat Romimohtarto Juwana 2001. Masih sedikit sekali laporan ilmiah yang menulis tentang pemanfaatan jenis-jenis sipuncula oleh masyarakat lokal, beberapa informasi menyebutkan diantaranya meskipun tanpa menyebutkan jenisnya yang mana saja. Di beberapa bagian dunia para nelayan memakai sipuncula sebagai umpan, sebagian besar merupakan penghuni pasir yang ukurannya lebih besar. Di Jawa dan bagian barat Carolina serta beberapa bagian Cina, sipuncula juga dimakan oleh masyarakat lokal. Romimohtarto dan Juwana 2001 menulis, Phascolosoma lurco yang dilaporkan paling banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura, biasa dijadikan sebagai makanan bebek. Di Sukolilo, Jawa Timur seperti dilaporkan oleh Subani dan Barus 1989, masyarakat nelayan setempat memanfaatkan biota sejenis sipuncula yang disebut terung sebagai makanan yang enak. Di Pulau Nusalaut, Maluku Tengah, sejenis sipuncula yang disebut sia-sia dilaporkan juga dimakan masyarakat setempat Pamungkas 2010. Khusus tentang kekuak, jenis sipuncula ini biasa digunakan sebagai umpan oleh para nelayan Kepulauan Seribu, seperti di Pulau Pari. Informasi lain mengatakan bahwa beberapa tahun menjelang kemerdekaan, di kota Dabo, Singkep kekuak dijual sebagai makanan ringan di warung-warung kopi. Ada juga informan mengatakan bahwa kekuak merupakan salah satu makanan hasil laut yang sering dijual di pasar Kota Palembang, yang kemungkinan dibawa dari Bangka. Terakhir, Pratomo 2005 melaporkan bahwa uwa-uwa wak-wak dipakai masyarakat nelayan di Pulau Kemujan Kepulauan Karimunjawa sebagai umpan untuk memancing. Romimohtarto dan Juwana 2001 menulis bahwa Phascolosoma lurco setelah ditangkap ditaruh dulu semalaman di air tawar, baru kemudian diberikan kepada bebek. Sedangkan Subani dan Barus 1989 menulis bahwa sejenis sipuncula yang disebut terung di daerah Sukolilo diproses secara sederhana untuk dijadikan kerupuk terung, yaitu dengan cara mejemur mengeringkan dan menggorengnya. Sejenis sipuncula lainnya dilaporkan menjadi makanan lezat di kota Xiamen provinsi Fujian, Cina yang dibuat jeli Edmonds 2000. Kekuak yang dijual di warung-warung kopi di Dabo, Singkep, merupakan kekuak kering yang dipanggang sebagai makanan ringan. Di Palembang kekuak pun dijual di pasar sebagai makanan, sebelum disajikan juga dipanggang dulu lalu dipukul-pukul dan dinikmati dengan sambal asam, seperti makan cumi atau ikan juhi kering, merupakan makanan ringan khas warga etnik Tionghoa di Indonesia. Pemanfaatan anggota Sipuncula sebagai umpan oleh nelayan atau pemancing ikan, khususnya kekuak seperti di Kepulauan Seribu, tidak jauh berbeda dengan pemanfaatan anggota poliket, namun kiranya perlu dikaji- kembangkan lebih lanjut terkait potensinya, terutama potensi komersialnya. Sebagaimana ditulis oleh Romimohtarto dan Juwana 2001, di Inggris hobi mancing adalah olahraga yang mewah, sehingga usaha budidaya cacing untuk umpan, atau lebih tepatnya industri umpan, bisa membuka lapangan kerja baru yang berpotensi menguntungkan dan menggembirakan berbagai pihak. Informasi ilmiah literatur tentang bagaimana cara mengolah jenis-jenis sipuncula yang dimanfaatkan, baik untuk umpan dan makanan pakan hewan piaraan maupun terutama untuk makanan pangan manusia belum ada. Informasi tentang kandungan gizinya, sebagai produk pangan dan tinjauan ilmiah mengenai teknik pengolahannya pun belum pernah ada. Begitupun literatur tentang kelebihan dan kekurangan sipuncula sebagai umpan dan potensinya sebagai pakan, juga belum pernah ada. Apalagi tentang kekuak yang belum pernah diteliti, belum jelas spesies dan kedudukannya dalam taksonomi, karena itu penelitian ini merupakan rintisannya.

2.3 Metode Penangkapan

Informasi ilmiah tentang cara tangkap anggota Sipuncula yang dimanfaatkan masih sangat sedikit. Romimohtarto dan Juwana 2001 cuma menulis bahwa Phascolosoma lurco yang dipakai untuk pakan bebek, ditangkap dengan menggalinya di rawa mangrove, tanpa menyebutkan dengan alat apa. Namun, Subani dan Barus 1989 sudah menulis bahwa para nelayan Sukolilo menangkap terung sejenis Sipuncula di perairan sekitar Kenjeran Selat Madura dengan garu atau garit dari bambu dan dioperasikan beberapa orang dalam satu perahu Gambar 6. Alat itu merupakan satu-satunya jenis alat tangkap terung di Indonesia. Masyarakat Pulau Nusalaut menangkap sia-sia sejenis Sipuncula di perairan pantai Maluku Tengah menggunakan linggis Pamungkas 2010. Sementara itu, nelayan di Pulau Pari Kepulauan Seribu menangkap wak-wak kekuak dengan penusuk sederhana yang terbuat dari sebilah rotan. Pratomo 2005 juga melaporkan bahwa masyarakat nelayan di Pulau Kemujan Kepulauan Karimunjawa menangkap uwa-uwa kekuak dengan pacucu’an dari rotan. Gambar 6 Cara menangkap terung di Selat Madura Subani Barus 1989 Dengan kategorisasi metode penangkapan ikan yang dirangkum oleh Brandt 2005, penggunaan alat penusuk dari rotan untuk menangkap kekuak di Kepulauan Seribu Pulau Pari bisa dikategorikan sebagai metode penangkapan dengan pelukaan taken by wounding, karena rotan masuk dari mulut ke dalam rongga tubuh kekuak hampir sepanjang ukurannya. Penggunaan alat garu dan garit untuk menangkap terung di Sukolilo belum ada keterangan lebih lanjut, tetapi dari bentuk alat dan cara menggunakan, termasuk metode pengambilan tanpa pelukaan without wounding. Menurut Hutabarat 2001, teknik tangkap tradisional harus memenuhi empat syarat yaitu: 1 relatif sederhana dan tanpa mesin atau alat elektronik; 2 tanpa bahan peledak atau senyawa sintetik yang beracun atau membius; 3 sudah cukup lama diterapkan minimal 30 tahun; dan 4 dilakukan secara turun- temurun. Teknik tangkap kekuak di Kepulauan Seribu dan Karimunjawa, juga teknik tangkap terung di Selat Madura memenuhi semua syarat tersebut. Terkait sumberdaya atau keanekaragaman hayati lokal, keberadaan teknik-teknik lokal menurut Alcorn 1996 adalah salah satu wujud tindakan konservasi masyarakat asli lokal, tetapi pendapat ini cuma berlaku jika satu jenis alat tangkap cuma bisa menangkap satu jenis biota saja yang ukuran tubuhnya juga tertentu saja. Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang berkelanjutan harus dilakukan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab melalui teknologi berwawasan lingkungan, yang misinya diterjemahkan lagi ke dalam bentuk teknologi ramah lingkungan Sudirman 2003. Asian Productivity Organization 2002 menyatakan bahwa kriteria perikanan berkelanjutan adalah bagaimana bekerja secara maksimal dan kontinu membantu para nelayan, sehingga dapat melakukan pemanfaatan yang ramah lingkungan, secara teknik bisa dilakukan efektif dan secara ekonomi komersial menguntungkan, termasuk mendukung penyediaan ketahanan pangan. Menurut Gopankumar 2002, prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan adalah penggunaan sumberdaya perikanan jangka panjang yang memperhatikan karakteristik biologi, ekologi termasuk konservasi dan adanya sharing keuntungan. Terkait pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, Pasal 7 7.1.1 dari Code of Conduct for Responsible Fisheries FAO 1999 menyebutkan: Negara- negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan, melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfatan sumberdaya perikanan berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan pada tingkat lokal, nasional, subregional dan regional, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik dan tersedia serta dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang sumberdaya perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan pemanfaatan optimum, dan mempertahankan ketersediaan untuk generasi kini dan mendatang: pertimbangan-pertimbangan jangka pendek tidak boleh mengabaikan tujuan ini. Menurut Baskoro 2006 suatu alat tangkap dikatakan ramah lingkungan bila setidak-tidaknya memenuhi sembilan kriteria: 1 selektivitasnya tinggi; 2 tidak merusak habitat; 3 menghasilkan ikan berkualitas tinggi; 4 tidak membahayakan nelayan; 5 produksi tidak membahayakan konsumen; 6 by- catch rendah; 7 dampak terhadap biodiversitas rendah; 8 tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi; dan 9 dapat diterima secara sosial. Semua kriteria ini ditentukan lebih rinci dengan empat subkriteria penilaian yang berturut-turut semakin meningkat, namun berlaku pada penangkapan ikan-ikan target umum. Kriteria tradisional ataupun ramah lingkungan tadi sebenarnya jika dipakai untuk menilai berbagai jenis alatteknik tangkap kekuak di lapangan yang diterapkan masyarakat lokal dalam kegiatan penangkapan, kemungkinan belum tentu juga cocok dengan kondisi yang ada, tetapi minimal sebagai acuan pertama dalam menilai, untuk kemudian disempurnakan dikembangkan dengan kriteria lain yang lebih sesuai fakta di lapangan. Pola-pola pengelolaan tradisional yang sebagian belumtidak bisa terbukti secara ilmiah tetapi hasilnya telah terbukti efektif menjamin keberlanjutan pemanfaatan selama puluhanratusan tahun, perlu dihargaidihormati jika tidak bisa diadopsi karena hal itu merupakan wujud kepedulian tangungjawab masyarakat lokal, yang lebih dulu hadirnya ketimbang hegemoni kaidah ilmiah modern yang kini mendominasi banyak diadopsi. Paradigma klasik dalam perikanan tangkap tradisional adalah bagaimana agar pemanfaatan sumberdaya perikanan bisa berkesinambungan sustainabilitas produksi sebagai prioritas, barulah kemudian pendapatan yang cukup cenderung minimalis. Namun, paradigma dalam perikanan tangkap modern prioritasnya adalah bagaimana agar produksi dan keuntungan bisa maksimal, barulah kemudian keberlanjutannya. Pada paradigma perikanan tangkap yang bertanggungjawab CCRF FAO 1999 ada istilah ‘hasil tangkap optimum’, ‘efektivitas penangkapan’ dan ‘selektivitas alat tangkap’, atau dengan kata lain optimalisasi produksi sekaligus keberlanjutannya, pada sisi ini tampak hal ini lebih mendekati paradigma perikanan tangkap tradisional. Selama ini orientasi perikanan tangkap tradisional pada prakteknya cenderung ‘kesinambungan hasil yang cukup’ penggunaan seperlunya demi hari ini dan esok sebagai prinsip kegiatan produksi sistem ekonomi subsisten bertahan. Hal itu tergambar dari peribahasa Melayu: “Selagi ada jangan dimakan, sudah tak ada baru dimakan”, “Sedikit - cukup, banyak - habis” atau “Tinggalkan sebagian untuk ular”. Sementara itu, orientasi perikanan tangkap modern pada prakteknya cenderung ‘aji mumpung’ oportunis dan ‘dengan modal dan risiko besar, untung jauh lebih besar’, sebagai prinsip kegiatan produksi sistem ekonomi industrial komersial-kapitalistik. Terkait hal ini Charles 2001 mengklasifikasi penangkap nelayan menjadi empat kelompok utama yaitu: subsisten, native indigenus, komersial, dan rekreasional; untuk yang komersial dibagi lagi menjadi: skala kecil artisanal dan skala besar industrial.

2.4 Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional

Kata kearifan berasal dari kata ‘arif yang berarti tahu dan ma’rifat yang berarti pengetahuan knowledge, tingkatannya masih di bawah fahm pemahaman dan fiqh pengertian Jazairy 2001, sehingga kearifan lokal sama saja maknanya dengan pengetahuan lokal local knowledges. Namun demikian, telah terjadi proses ‘ameliorasi’ perluasan makna kata ‘kearifan’ menyamai makna wisdom kebijaksanaan, sebaliknya terjadi proses ‘peyorasi’ penyempitan makna kata ‘kebijakan’ menyamai makna policy keputusan politis, yang sebenarnya berasal dari kata bijakbijaksana wise yang juga diartikan arif makna peyoratif. Oleh karena itulah, kata local wisdom lebih populer diterjemahkan sebagai ‘kearifan lokal’ daripada ‘kebijaksanaan lokal’ yang sebetulnya secara bahasa adalah lebih tepat. Pengetahuan tradisional merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat setempat, merupakan hasil interaksi manusia dengan alam dan lingkungannya yang berlangsung lama dan turun-temurun Solihin 2006. Menurut Soekanto 2000, kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Pengetahuan tradisional adalah sistem terpadu antara kepercayaan dan praktek khusus dalam kelompok budaya berbeda Posey 1996. Pada tradisi ilmiah Barat, pengetahuan knowledge dibedakan dengan science sains, ilmu, pengetahuan tradisional pun masih bagian dari wisdom kearifankebijaksanaan. Menurut Soedjito dan Sukara 2006, selayaknya sistem pengetahuan dunia tidak cuma dimonopoli pengetahuan formal sains didikan sekolahan, karena masih ada pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang tidak diajarkan dalam kelas.