Pola waktu dan musim tangkap

kasus-kasus di tiga tempat yaitu: Belitung Timur, Bangka Barat dan Bangka Tengah. Tahun 1945 kemerdekaan Indonesia sebagai patokan kajian kronologisnya Tabel Lampiran 12.

6.3.3.1 Sejarah singkat dan peran masyarakat 1 Jauh sebelum kemerdekaan sebelum 1940

Jauh sebelum kemerdekaan sampai menjelang masa penjajahan Jepang, penangkapan kekuak di Bangka-Belitung diduga kuat sudah dilakukan nelayan untuk umpan. Kaum nelayan di sini berasal dari etnik Melayu setempat ataupun pendatang, keduanya biasa berbaur menempati daerah pesisir. Alat tangkap untuk mencari kekuak umpan adalah cucok rotan, tapi tidak diketahui lagi dari mana asal dan siapa pembuatnya pertama kali. Alat ini dipakai luas oleh nelayan di kepulauan ini dan daerah lain seperti Kepulauan Seribu, Riau, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, tapi di Nangkabesar nelayan sudah memakai serampang. Pada masa ini juga, tidak jelas mana yang duluan, diperkirakan penangkapan kekuak untuk bahan pangan sudah dilakukan masyarakat Etnik Seka’ suku laut, yang tinggal di daerah pesisir Belitung dan Bangka. Alat tangkap yang dipakai juga cucok rotan, tapi tidak bisa juga diketahui apakah alat tangkap itu warisan leluhurnya ataukah dikenal dari nelayan lainnya, mengingat suku laut profesinya juga mencari ikan nelayan, dan nomaden salah satu cirinya. Mereka mengkonsumsi kekuak basah sebagai lauk mentah atau olah-basah dan kekuak kering sebagai cemilan. 2 Menjelang kemerdekaan 1940-1945 Menurut salah seorang informan, sebelum kemerdekaan kira-kira 1940– 1945, kekuak kering dijual di kedai-kedai kopi di Dabo Singkep, meski tidak diketahui jelas darimana didatangkan. Yang jelas pada masa ini diinformasikan bahwa orang Melayu terutama di bagian barat dan utara Pulau Bangka, sudah menangkap dan menjual kekuak kering sebagai bahan pangan. Diperkirakan pertama kali orang Melayu kenal kekuak sebagai bahan pangan dari orang Seka’ pada masa penjajahan Jepang, saat itu masyarakat Bangka terpaksa mengungsi ke pelosok termasuk pesisir terasing, sambil berladang. Kesulitan pangan membuat mereka mencari apapun yang bisa dimakan, termasuk dari laut. Saat itu di Belitung orang Melayu juga mulai kenal kekuak sebagai bahan pangan, tapi tidak ikut memakan karena masih banyak sumber pangan lainnya yang dianggap lebih layak. Pada masa ini pula warga masyarakat etnik Tionghoa di Bangka mulai kenal dan makan kekuak, tapi terbatas pada kekuak kering. Diduga mereka kenal dari orang Melayu dan orang Seka’. Sebagian besar orang Tionghoa mau membelinya asal ada yang menangkapmenjualnya. Lalu orang Melayu pun menjadi penjual dan rutin menangkapnya tiap musim, khususnya nelayan di pesisir barat dan utara Bangka. Alat tangkap yang dipakai orang Melayu di Bangka untuk menangkap kekuak sebagai bahan pangan komersial pada masa ini sama dengan yang dipakai nelayan untuk mencari umpan, yaitu cucok rotan. Ada informasi, saat itu orang Melayu di Kotakapur Bangka Tengah juga menangkap kekuak dengan lidi. 3 Setelah kemerdekaan 1945-1997 Penangkapan kekuak untuk tujuan umpan oleh nelayan pada umumnya dan untuk tujuan pangan komersial di Bangka-Belitung tetap berlanjut pada masa setelah kemerdekaan setelah 1945. Kegiatan penangkapan komersial di Bangka semakin meluas terutama di sepanjang pantai sebelah barat dan utara pulau ini. Namun, penangkapan dengan lidi mulai tidak terdengar lagi di Kotakapur Bangka Tengah, apalagi di atas tahun 1980-an sampai kini. Sementara itu, penangkapan kekuak di Belitung untuk umpan dan pangan tiada perkembangan berarti, kecuali di Manggar Belitung Timur, itupun cuma tujuannya yang sedikit lebih maju. Pada masa setelah kemerdekaan ini, terutama saat PT Timah sedang jaya sampai tahun 1990-an, kekuak tidak cuma ditangkap nelayan sebagai umpan dalam profesi mencari ikan, tapi juga oleh penangkap khusus untuk kegiatan hobi mancing gagok di dermaga Pelabuan Olifir. 4 Krisis moneter 1997-kini Permulaan masa ini ditandai krisis moneter hebat melanda dunia, yang juga berimbas pada kehidupan nelayan di pesisir Bangka-Belitung. Namun, di Bangka Barat krisis ini justru mendorong masyarakat membuat terobosan dalam penangkapan kekuak. Kala itu komoditas kekuak kering di pasar masih mahal, apalagi jadi pangan spesial orang Tionghoa, menangkapnya tanpa modal besar. Kian semangatnya kaum nelayan terutama perempuan menangkap kekuak untuk dijual, memunculkan gagasan bagi seorang warga Semulut Manap untuk membuat alat tangkap kekuak yang lebih efektifproduktif Lampiran 5. Alat itu dinamakan rangkang, ketika diterapkan pertama kali di perairan sekitar Semulut dan ternyata berhasil. Rangkang lalu diperkenalkan kepada warga Pebuar, diajari membuat dan memakainya, saat diterapkan di perairan Pebuar dan sekitarnya ternyata berhasil juga. Penangkap kekuak yang juga nelayan di Pebuar, lalu mencari umpan juga dengan alat baru ini untuk gawe ngerawai. Di daerah lain yang tidak ada dan belum terganggu tambang timah, kegiatan penangkapan kekuak tetap berjalan seperti di Pebuar dan Teritip Bangka Barat dan Belinyu Bangka Induk. Bahkan pada pertengahan 1997, dipimpin Sunoto, beberapa warga Pebuar seperti Sumarni, Aliyanto dan Imro berhasil mengenalkan dan mengajarkan cara menangkap kekuak kepada masyarakat Nangkabesar Bangka Tengah. Pulau itu lalu menjadi daerah penangkapan kekuak komersial yang baru. Keberhasilan Sunoto dan kawan-kawan mengajarkan cara menangkap kekuak dengan cucok rotan di pulau itu, juga bersamaan dengan kegagalan Imro menerapkan rangkang, tapi dia segera berhasil menemukan dan menerapkan serampang sebagai modifikasi rangkang. Serampang ini lain dengan serampang yang dulu dipakai nelayan pulau itu untuk mencari kekuak umpan. Setelah keberhasilan itu, kegiatan penangkapan kekuak komersial di sana tetap berlanjut sampai kini, meski tidak kontinu tiap musim, produknya masih kekuak kering. Sementara itu di Pebuar, kelanjutan dari penemuan dan penerapan rangkang, beberapa tahun setelah itu kekuak hasil ngerangkang lalu dijual sebagai kekuak segar untuk diolah basah. Hal itu terjadi setelah orang Tionghoa tengkulak dan konsumen diperkenalkan dengan cara mengonsumsi kekuak basah, yang ternyata jauh lebih enak rasanya daripada kekuak kering, dan komoditasnya menjadi lebih mahal. Agar mutu kekuak tetap segar, durasi gawe ngerangkang dalam sehari dipersingkat, tapi periode penangkapan dalam semusim menjadi lebih panjang daripada gawe nyucok.