76
GAMBAR 16. PETA RTRW RIAU file terpisah
77
GAMBAR 17. PETA RTRW JAMBI file terpisah
78 Bentuk kebijakan lain pada tingkat propinsi yang berkaitan dengan pengelolaan
TNBT dan daerah penyangganya adalah tersusunnya dokumen “ Strategi dan
Rencana Aksi Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Daerah Penyangga” yang dalam proses penyusunannya melibatkan
empat pemerintah kabupaten yaitu: Kabupaten Indragiri Hulu, Kab. Indragiri Hilir, Kab. Tebo, dan Kab. Tanjung Jabung Barat
Penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Aksi SRA tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan tercapainya pengelolaan TNBT dan daerah penyangganya
secara terpadu dan berkelanjutan yang didukung oleh pemangku kepentingan stakeholders. Tujuan penyusunan dokumen tersebut adalah :
1 Memberikan acuan dan arahan bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan pihak lainnya dalam pengelolaan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam
secara terpadu di TNBT dan daerah penyangga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.
2 Memberikan pedoman untuk pelaksanaan program pembangunan pusat dan daerah, seperti fasilitas fisik jalan, gedung, pasar, dan lain-lain dan
pemanfaatan sumberdaya alam TNBT dan daerah penyangganya. Sebagai tindak lanjut dari penyusunan SRA tersebut, pada tanggal 7
Desember 2006 dilakukan Deklarasi Bersama tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Terpadu Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Daerah Penyangga.
Deklarasi bersama tersebut ditandatangani oleh Direktur Jenderal PHKA Departemen Kehutanan, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam
dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan KLH, Bupati Indragiri Hulu, Bupati Indragiri Hilir, Bupati Tebo, dan Bupati Tanjung Jabung Barat Dokumen deklarasi
bersama dapat dilihat pada Lampiran 1. Walaupun dokumen perencanaan terpadu tersebut telah ditandatangani oleh
masing-masing bupati, namun pemerintah kabupaten belum menjadikan acuan dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah penyangga TNBT.
c. Tingkat Kabupaten
Berdasarkan Peraturan Bupati Indragiri Hilir Nomor 27 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM Kabupaten Indragiri Hilir
dinyatakan bahwa salah satu kebijakan pokok Kabupaten Indragiri Hilir adalah mengembangkan kepariwisataan yang berbasis pertanian agrowisata.
Untuk
79 mendukung kebijakan pokok tersebut maka ditetapkan kebijakan khusus yakni
pembangunan ekonomi kerakyatan yang dalam pelaksanaannya antara lain dilakukan dengan cara pengembangan sektor-sektor utama yang mempunyai
keterkaitan dengan pengembangan sektor-sektor lain, yaitu ; sektor industri, pertanian dalam arti luas, transportasi, perdagangan, pariwisata, serta sektor
kelautan sesuai dengan potensi yang ada”. Adapun strategi
pembangunan sektor pariwisata Kabupaten Indragiri Hilir
adalah “Mengembangkan potensi wisata dengan melibatkan stakeholders
pemerintah, swasta dan masyarakat, kerjasama sistem paket wisata dengan daerah lain, peningkatan promosi investasi dan jaminan keamanan pada obyek-
obyek wisata, serta pengembangan agrowisata”. Sedangkan kebijakan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu sesuai Peraturan
Bupati Indragiri Hulu Nomor 240 tahun 2006 Tentang RPJM Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2006 – 2010, kebijakan pembangunan sektor pariwisata tidak
disebutkan secara eksplisit. Namun secara implisit, salah satu misi dari Kabupaten Indragiri Hulu berkaitan dengan pengembangan ekowisata, yaitu “Membangun dan
mengembangkan sarana-prasarana infrastruktur yang mampu membuka isolasi daerah, mengembangkan potensi daerah, mengembangkan kawasan-kawasan
produktif, meningkatkan aksessibilitas dan mobilitas faktor produksi serta membuka peluang pasar “.
Adapun strategi pembangunan sektor pariwisata
Kabupaten Indragiri Hulu adalah
Mendorong berkembangnya potensi obyek wisata, memanfaatkan dan mengembangkan faktor produksi serta mengembangkan kemitraan secara vertikal
maupun horizontal atas dasar saling membutuhkan, saling mendukung dan saling menguntungkan, 2 Menggali mengembangkan dan melestarikan kebudayaan
daerah sebagai pendukung terwujudnya suasana kehidupan masyarakat yang harmonis. Sedangkan kebijakan sektor pariwisata Kabupaten Indragiri Hulu
adalah 1 Menggali dan mengembangkan potensi pariwisata melalui peningkatan sarana dan prasarana, 2 Meningkatkan pengelolaan pariwisata yang profesional
serta kegiatan dan promosi pariwisata yang dilakukan secara terarah, terencana, dan terpadu.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam hal pengelolaan taman nasional belum berjalan secara konsisten,
80 Sebagai salah satu contoh adalah dalam hal penetapan daerah penyangga taman
nasional. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998, daerah penyangga taman nasional ditetapkan oleh menteri setelah mendapatkan
pertimbangan dari Gubernur. Sedangkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 660.1269VBangda Tahun 1999 daerah penyangga taman nasional
ditetapkan dengan Perda Kabupaten Kota jika berada dalam satu kabupaten, Perda Propinsi jika berada di lebih satu kabupaten, dan SK Mendagri jika mencakup
beberapa propinsi. Dengan kondisi tersebut maka banyak taman nasional yang sampai saat ini daerah penyangganya belum ditetapkan secara definitif.
Demikian pula koordinasi antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten dalam hal pengelolaan taman nasional dan daerah penyangganya belum berjalan
secara intensif. Hal tersebut diduga karena tidak jelasnya kelembagaan yang mengurusi taman nasional dan daerah penyangganya baik pada tingkat pemerintah
kabupaten kota maupun pemerintah propinsi. Sebagai salah satu contoh berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 660.1269VBangda Tahun
1999, Tim Koordinasi Pengelola Daerah Penyangga Kawasan Konservasi diatur secara berjenjang mulai tingkat desa, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, sampai
tingkat propinsi. Namun dalam implementasinya tim koordinasi tersebut tidak pernah terbentuk.
Selain belum konsistennya kebijakan dan belum intensifnya koordinasi baik pada tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten, para pihak terkait stakeholders
juga belum memahami tentang kebijakan program kegiatan yang perlu diintegrasikan dalam pengelolaan taman nasional dan daerah penyangganya.
Sesuai dengan pendapat Aunuddin et al. 2001, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang terintegrasi, lembaga-lembaga yang terkait harus
mengetahui kegiatan apa saja yang dapat dan tidak dapat diintegrasikan dan bagaimana cara mengintegrasikannya.
2. Integrasi Fungsional
Integrasi fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan
sasarannya. Integrasi ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi diantara
lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi yang
81 mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya alam secara spesifik merupakan salah
satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional Kay dan Alder, 1999. Dalam penelitian ini kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT secara fungsional
dikaji dari aspek sistem perencanaan, penataan ruang daerah penyangga dan pengelolaan ekowisata TNBT.
Dokumen perencanaan pengelolaan taman nasional yang disusun oleh Balai Taman Nasional pada prinsipnya terpisah dengan sistem perencanaan
pembangunan daerah yang disusun oleh BAPPEDA kabupaten maupun propinsi. Terpisahnya sistem perencanaan tersebut terkait dengan sistem penganggaran dan
pertanggung jawaban dimana taman nasional dikelola oleh instansi vertikal dibawah Departemen Kehutanan. Sementara pemerintah daerah kabupaten dan propinsi
walaupun diwilayahnya terdapat kawasan taman nasional tidak mempunyai kewenangan dalam pengelolaan taman nasional. Dalam konteks pengelolaan
taman nasional pemerintah daerah hanya berfungsi serbagai jalur koordinasi, sementara pengelolaan taman nasional sangat terkait dengan sektor lainnya.
Penataan ruang merupakan salah satu cara dalam mengalokasikan
pemanfaatan sumberdaya alam di daerah penyangga TNBT. Berdasarkan Tata Ruang Daerah Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir, status
kawasan TNBT adalah kawasan konservasi, sedangkan kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan TNBT ditetapkan sebagai arahan pembangunan
kehutanan dan perkebunan. Sedangkan berdasarkan Tata Ruang Daerah Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, kawasan TNBT ditetapkan
sebagai kawasan lindung, sedangkan daerah penyangganya ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi terbatas untuk pembangunan HPH, HTI, pertambangan
skala kecil. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dalam pelaksanan penataan
ruang daerah penyangga TNBT masih sering menghadapi masalah yang menunjukkan lemahnya integrasi fungsional diantara instansi lembaga yang terlibat
baik pada tingkat propinsi maupun kabupaten. Contoh permasalahan penataan ruang di daerah penyangga TNBT yang
menunjukkan lemahnya integrasi fungsional diantara lembaga yang terlibat antara lain :
82 1
Areal konsesi tambang batu bara PT. RBH hanya berjarak sekitar 100 meter dari batas kawasan TNBT, yakni di Desa Rantau Langsat Kec. Batang Gansal
Kab. Indragiri Hulu. Padahal sesuai ketentuan yang berlaku untuk kawasan konservasi yang telah ditata batas jarak minimal dengan kegiatan non
kehutanan adalah 500 meter. 2
Adanya tumpang tindih antar sektor, seperti tumpang tindih antara areal konsesi pertambangan batu bara dengan areal IUPHHK .
3 Adanya ketidaksesuaian lokasi antara ijin yang diberikan dengan pelaksanaan
di lapangan, seperti IUPHHK atas nama PT. SbMl. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Balai TNBT, areal IUPHHK tersebut berjarak
sekitar 350 meter dari batas kawasan TNBT, padahal sesuai ijin yang diberikan seharusnya areal IUPHHK tersebut berada pada jarak yang cukup jauh dengan
batas kawasan TNBT Peta tata ruang daerah penyangga TNBT dapat dilihat pada Gambar 18.
Sedangkan dalam hal pengelolaan ekowisata, walaupun masih sangat terbatas integrasi secara fungsional terlihat dari adanya kegiatan pengelolaan
ekowisata yang dilakukan secara bersama oleh Balai TNBT dan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu. Program kegiatan pengembangan ekowisata TNBT
yang telah dilakukan oleh Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata Gambar 18. Peta Tata Ruang Daerah Penyangga TNBT
Sumber: Balai TNBT 2009
83 Kabupaten Indragiri Hulu, antara lain: 1 Penyusunan master plan, 2 Pembangunan
sarana –prasarana pengunjung, 3 Pelatihan keterampilan pembuatan souvenir bagi masyarakat sekitar, 4 Pemeliharaan obyek wisata alam, 5 Promosi melalui
melalui media cetak, media elektronik, dan pameran, 6 Pengembangan hutan wisata di daerah penyangga TNBT, dan lain-lain.
3. Integrasi Sistem
Integrasi sistem memasukkan pertimbangan dimensi spasial dan temporal sistem sumberdaya alam dalam persyaratan fisik, perubahan lingkungan, pola
pemanfaatan sumberdaya alam, dan penataan sosial ekonomi. Integrasi ini
menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara cukup. Integrasi ini membutuhkan berbagai
ketersediaan informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya alam Kay dan Alder, 1999. .
Dalam penelitian ini kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT secara sistem dikaji berdasarkan aspek pemanfaatan sumberdaya alam di daerah penyangga
TNBT. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan adanya pemberian ijin pemanfaatan sumberdaya alam di daerah penyangga TNBT yang kurang
mempertimbangkan kondisi bio–fisik kawasan. Hal ini menunjukkan masih lemahnya integrasi secara sistem dalam pemanfaatan sumberdaya alam di penyangga TNBT.
Sebagai contoh adalah dalam hal pertambangan batu bara, terdapat beberapa ijin pertambangan batu bara yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang wilayah
kerjanya mencakup daerah penyangga TNBT bertopografi berat curam yang tidak sesuai untuk kegiatan pertambangan terbuka open mining.
Lemahnya integrasi pengelolaan taman nasional, pengembangan daerah penyangga dan pembangunan wilayah tidak terlepas dari aspek kewenangan yang
dimiliki oleh para pihak yang terkait. Sesuai dengan peraturan perundangan, kewenangan pengelolaan taman nasional berada pada Balai Besar Balai Taman
Nasional yang merupakan unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam PHKA. Pemerintah daerah propinsi dan kabupaten
kota walaupun di wilayahnya terdapat kawasan taman nasional tidak mempunyai kewenangan dalam pengelolaan taman nasional. Sementara itu pengelolaan taman
nasional mempunyai cakupan luas, yang tidak saja berkaitan langsung dengan
84 kawasan taman nasional tetapi juga dengan kehidupan masyarakat sekitar sosial
ekonomi dan budaya dan pembangunan sektor lain. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan taman nasional memerlukan dukungan kuat dari pemerintah
daerah yang mempunyai otoritas pembangunan di daerah. Tidak adanya kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan taman
nasional menyebabkan lemahnya integrasi pengelolaan taman nasional, pengembangan daerah penyangga dan pembangunan wilayah. Pemerintah daerah
belum menjadikan pengembangan taman nasional sebagai salah satu fokus pembangunan di daerah, sehingga pembangunan sektor lain seperti sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, pariwisata, kimpraswil, dan lain-lain, belum mendukung secara penuh pengembangan taman nasional.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada hakekatnya membuka peluang desentralisasi. Pasal
38 ayat 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah
dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintah di Daerah”. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang
Kehutanan kepada Daerah, pengelolaan taman nasional tidak termasuk urusan yang diserahkan baik kepada Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten. Sementara
itu dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Daerah, tidak diatur adanya kewenangan dan atau kewajiban bagi pemerintah daerah yang
diwilayahnya terdapat kawasan konservasi termasuk taman nasional. Kondisi tersebut menjadikan pengelolaan taman nasional sulit untuk diintegrasikan dengan
pembangunan daerah. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini
integrasi pengelolaan taman nasional dengan pengembangan daerah penyangga dan pembangunan wilayah masih lemah.
Hasil penelitian terhadap kondisi keintegrasian pengelolaan TNBT menjadi input masukan dalam mengidentifikasi faktor-faktor strategis pengembangan
pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata pada Sub Bab V. D. dan membangun model dinamik pada Sub Bab V. E.
85
B. Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Dalam Pengelolaan TNBT
Sesuai pendapat Pomeroy 1994 bahwa pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi merupakan integrasi dari pengelolaan berbasis pada sumberdaya
resource based management, pengelolaan berbasis pada kemampuan masyarakat community based management dan pengelolaan berbasis pada kemampuan
dalam memanfaatkan basis-basis kompetisi marketing based management. Untuik mengetahui kemampuan masyarakat tradisional dan masyarakat
penyangga dalam pengelolaan TNBT maka dilakukan penelitian terhadap persepsi dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan TNBT. Penelitian dilakukan
terhadap masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan TNBT dan masyarakat daerah penyangga yang bermukim di desa-desa penyangga TNBT. Penelitian
difokuskan pada aspek pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan kawasan TNBT, pengetahuan masyarakat terhadap tujuan pengelolaan TNBT, keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan ekowisata TNBT, dan harapan masyarakat terhadap pengelolaan ekowisata TNBT.
1. Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Tradisional
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan TNBT didapatkan bahwa 100 responden
menyatakan telah tinggal dikawasan TNBT sejak mereka dilahirkan, atau tidak ada seorangpun responden yang berasal dari luar kawasan TNBT. Berkaitan dengan
pengetahuan masyarakat tradisional terhadap keberadaan kawasan TNBT, dari hasil penelitian didapatkan bahwa 70 responden
mengetahui kalau mereka tinggal di kawasan TNBT, dan 30 menyatakan tidak mengetahui kalau tinggal di
kawasan TNBT. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan
TNBT adalah murni masyarakat tradisional yang telah tinggal di kawasan TNBT secara turun temurun. Namun demikian walaupun mereka telah tinggal di kawasan
TNBT sejak lahir ada sebagian dari mereka yang belum mengetahui kalau mereka tinggal di kawasan taman nasional.
Berkaitan dengan persepsi masyarakat tradisional terhadap pengelolaan TNBT, dari hasil penelitian didapatkan bahwa sekitar 22 responden menyatakan
86 mengetahui tujuan pengelolaan taman nasional, dan sebagian besar lainnya 78
belum mengetahui maksud dan tujuan pengelolaan taman nasional. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan karena ternyata walaupun masyarakat tradisional telah
tinggal di kawasan TNBT secara turun temurun, namun sebagian besar mereka masih belum mengetahui maksud tujuan pengelolaan taman nasional
. Masyarakat tradisional yang mengetahui tujuan pengelolaan taman nasional
menyatakan bahwa taman nasional dikelola dengan tujuan untuk mempertahankan keberadaan hutan, melindungi binatang buas, melindungi jernang, petai dan jenis
tumbuhan lain yang bermanfaat, dan melindungi masyarakat Suku Talang Mamak. Tingkat pengetahuan responden terhadap tujuan pengelolaan taman nasional dapat
dilihat pada Gambar 19.
Berkaitan dengan persepsi masyarakat tradisional terhadap adanya kegiatan yang dilarang dilakukan di kawasan taman nasional, dari hasil penelitian didapatkan
bahwa 38 masyarakat tradisional mengetahui adanya kegiatan-kegiatan yang dilarang dilakukan di kawasan taman nasional, dan sisanya 62 menyatakan tidak
mengetahui. Menurut masyarakat tradisional, kegiatan-kegiatan yang dilarang dilakukan di kawasan taman nasional adalah menebang pohon, merusak hutan,
membuka hutan keramat, membunuh binatang buas, membakar lahan, meracun ikan, menebang pohon sialang, menangkap burung, dan mencari gaharu,
Walaupun sebagian besar masyarakat tradisional tidak mengetahui tentang kegiatan yang dilarang dilakukan di kawasan taman nasional namun budaya yang
melekat dalam kehidupan mereka telah melarang melakukan kegiatan yang merusak alam.
Pada umumnya masyarakat Suku Melayu dan Talang Mamak memiliki dasar dan konsep pengelolaan konservasi. Bahkan masyarakat tersebut
Keterangan :
Gambar 19. Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Maksud
Tujuan Pengelolaan Taman Nasional.
22
78
Tahu Tidak tahu
87 telah memiliki konsep pengelolaan ruang wilayah secara tradisional. Batas antara
kampung dengan kampung lainnya diatur dengan baik. Dalam pembatasan wilayah mereka mengenal pepatah Cucur Ayik Sinding Pematang di mana batas antara
batin atau kampung dibatasi oleh sungai dan aliran sungai ke induk sungai. Selain itu mereka juga mengenal
“puaka‘ yaitu hamparan hutan yang dikeramatkan dan dipercayai adanya roh-roh gaib dari leluhur yang bersemayam di
daerah tersebut. Pada kampung juga terdapat banyak sialang pohon yang dihinggapi lebah yang menghasilkan madu. Menebang pohon sialang merupakan
kesalahan kedua setelah membunuh manusia. Jika pohon sialang tertebang maka masyarakat akan mengadakan upacara menebus kematian pohon kehidupan
dengan memberi sepucuk kain putih. Kalau sialang tertebang akan dilakukan denda baik bagi masyarakat setempat ataupun pihak luar.
Sialang juga mempunyai fungsi sosial karena dalam pemanfaatan madu semua unsur dalam masyarakat mendapatkannya, dan fungsi ekonomi, karena satu
pohon sialang bisa menghasilkan madu yang bernilai ekonomis. Dalam pengelolaan wilayah masyarakat Suku Melayu dan Talang Mamak memiliki pepatah tindik dabu,
lupak pendanauan, sialang pendulangan, cucur ayik sinding pematang sesuatunya didasarkan pada adat, sungai dilindungi untuk mendapatkan ikan, sialang untuk
mendapatkan madu, batas desa dan kekuasaan didasarkan pada sungai yang mengalir pada sungai besar DAS.
Berkaitan dengan keterlibatan masyarakat tradisional dalam
kegiatan ekowisata di TNBT, dari hasil penelitian didapatkan bahwa 66 masyarakat
tradisional menyatakan terlibat dalam kegiatan ekowisata di TNBT, dan 34 menyatakan tidak terlibat dalam kegiatan ekowisata TNBT.
Adapun bentuk keterlibatan masyarakat tradisional dalam pengelolaan ekowisata di TNBT adalah
sebagai pemandu, penyewaan sarana transportasi air perahu, penjualan souvenir tikar, sumpit, dan jasa pengobatan. Menurut masyarakat tradisional, disamping
mendapatkan manfaat secara ekonomi, manfaat lain keterlibatan mereka dalam kegiatan ekowisata adalah menambah pengetahuan pengalaman dan
memperbanyak kawan. Persentase responden berdasarkan keterlibatan dalam kegiatan ekowisata TNBT dapat dilihat pada Gambar 20.
88 Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pengelolaan ekowisata TNBT secara
langsung telah memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat tradisional, namun mengingat masih berlum berkembangnya pengelolaan ekowisata TNBT maka
jumlah masyarakat tradisional yang mendapatkan manfaat tersebut masih sangat terbatas. Berkenaan dengan hal tersebut masyarakat tradisional mengharapkan
agar hutan TNBT dapat terus dijaga tidak dirusak oleh orang luar dan dimasa mendatang semakin banyak masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan ekowisata.
2. Persepsi dan Keterlibatan Masyarakat Daerah Penyangga
Hasil penelitian mengenai tingkat pendidikan formal penduduk di daerah penyangga TNBT menunjukkan bahwa sebagian besar 46 responden tidak
sekolah tidak tamat SD, 9 tamat pendidikan SD, 12 tamat pendidikan SLTP, 33 tamat pendidikan SLTA, dan tidak ada seorang responden yang berpendidikan
Diploma Sarjana. Sebaran tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 21.
Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di daerah penyangga TNBT disebabkan oleh kurangnya sarana pendidikan terutama sarana pendidikan tingkat
lanjut, minimnya sarana transportasi untuk menjangkau daerah yang ada sarana
Keterangan :
. Gambar 20. Persentase Responden Berdasarkan Keterlibatannya dalam Kegiatan Ekowisata di TNBT.
Gambar 21. Tingkat Pendidikan Responden dari Masyarakat Daerah Penyangga
46
9 12
33
Tidak tamat SD SD
SLTP SMU
66 34
Terlibat Tidak terlibat
Keterangan :
89 pendidikan tingkat lanjut, kurangnya biaya sekolah, dan adanya keengganan dari
para orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi setelah tamat sekolah dasar. Para orang tua cenderung memanfaatkan
tenaga anaknya untuk membantu pekerjaan mereka dalam kegiatan sehari-hari. Berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan TNBT, dari hasil
penelitian didapatkan bahwa 90 responden mengetahui keberadaan TNBT dan 10 menyatakan tidak mengetahui adanya TNBT. Responden yang mengetahui
adanya TNBT menyatakan mendapatkan informasi tentang keberadaan kawasan TNBT dari petugas Balai TNBT. Responden yang menyatakan mengetahui maksud
tujuan pengelolaan taman nasional sebanyak 59 , dan 41 lainnya menyatakan tidak mengetahui maksud tujuan pengelolaan taman nasional. Tingkat
pengetahuan responden terhadap maksud tujuan pengelolaan taman nasional seperti pada Gambar 22.
Masyarakat yang mengetahui tujuan pengelolaan taman nasional menyatakan bahwa taman nasional dikelola dengan tujuan untuk melindungi hutan TNBT,
mencegah banjir dan erosi, melindungi tempat hidup satwa, sebagai sumber air bersih, sebagai tempat wisata, dan memberikan manfaat bagi kehidupan
masyarakat sekitar. Berkaitan dengan manfaat taman nasional bagi kehidupan masyarakat, dari
hasil penelitian didapatkan bahwa 78 responden menyatakan mendapatkan manfaat dari kawasan TNBT dan 22 menyatakan tidak mendapatkan manfaat.
Masyarakat yang mendapatkan manfaat menyatakan bahwa kawasan TNBT bermanfaat bagi kehidupan mereka dalam hal diurut berdasarkan yang paling
sering disebut: jasa lingkungan air dan udara bersih, wisata alam, hasil hutan non kayu buah, jernang, madu, rotan dll., dan satwa liar
Keterangan :
Gambar 22. Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Maksud Tujuan Pengelolaan Taman Nasional.
59 41
Tahu Tidak tahu