47 Strategi ST
Strategi ini dibuat dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman
Strategi WO Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada untuk
meminimalkan kelemahan yang ada Strategi WT
Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman
Berdasarkan nilai IFAS dan EFAS tersebut, maka untuk memilih salah satu dari empat alternatif strategi dibuat diagram Matrik SPACE seperti dapat dilihat
pada Gambar 8.
Gambar 8. Diagram Analisis SWOT
d. Analytic Hierarchy Process AHP
Untuk menentukan prioritas program pengembangan pengelolaan TNBT, berdasarkan faktor internal dan eksternal yang mempunyai nilai pengaruh penting,
serta mempertimbangkan preferensi dari aktor yang terlibat, perlu dilakukan analisis AWOT yang merupakan integrasi antara analisis SWOT dan AHP Analytic
Hierarchy Process. Berbagai Peluang
Berbagai Ancaman Kekuatan Internal
Kelemahan Internal
1.
Mendukung Strategi Agresif
3.
Mendukung Strategi Turn Arraound
4.
Mendukung Strategi Defensif
2..
Mendukung Strategi Diversifikasi
48 Analytic Hierarchy Process AHP, yaitu suatu metode pengambilan keputusan
dengan kriteria majemuk yang dikembangkan oleh Saaty 1993. Pada dasarnya metode AHP adalah sebuah hierarki fungsional dengan input utamanya persepsi
manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi
suatu bentuk hirarki. Tahapan analisis dalam penentuan prioritas program dengan metode AWOT
sebagai berikut : 1
Penyusunan model program pengembangan pengelolaan TNBT secara terintegrasi berbasis ekowisata. Penyusunan model program ditujukan untuk
menyederhanakan kompleksitas permasalahan pengelolaan ekowisata TNBT yang dihadapi sehingga dapat dianalisis secara sistematis. Model ini disusun
dengan cara membuat struktur hierarki permasalahan yang terdiri dari lima tingkatan seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Dalam hal ini, model program
disusun berdasarkan hasil analisis SWOT dan pertimbangan dari pakar yang kompeten.
2 Penentuan tingkat kepentingan relatif antar elemen model. Tingkat kepentingan
relatif dari elemen-elemen model kebijakan ditentukan melalui perbandingan berpasangan painwise comparison. Pada masing-masing tingkatan hierarki,
responden pakar terpilih diminta untuk membandingkan tingkat kepentingan relatif antara satu elemen terhadap elemen lainnya.
3 Penentuan prioritas dari alternatif-alternatif program.
Untuk menentukan prioritas dari alternatif-alternatif program, bobot kepentingan dari masing-masing elemen model pada setiap tingkatan hierarki digabungkan
dengan cara penjumlahan terboboti weighted summation. Dalam penelitian ini, proses tersebut dilakukan dengan bantuan perangkat lunak ExpertChoice.
Hasil akhir yang diperoleh adalah bobot kepentingan yang menunjukkan prioritas dari alternatif-alternatif program yang dianalisis.
49
Keterangan : Faktor-faktor SWOT
: sesuai hasil analisis SWOT Alternatif program
: sesuai hasil penelitian di lapangan
Komponen SWOT
STRENGHTS Kekuatan
Pengembangan Pengelolaan TNBT secara Terintegrasi Berbasis Ekowisata
Tujuan
THREATS Ancaman
OPPORTUNITIES Peluang
WEAKNES Kelemahan
Faktor B
Program 1.
Faktor SWOT
Alternatif Program
Aktor
Faktor A
Faktor D Faktor C
Faktor E Faktor B
Faktor A
Faktor D Faktor C
Faktor E Faktor B
Faktor A
Faktor D Faktor C
Faktor E Faktor B
Faktor A
Faktor D Faktor C
Faktor E
Program 2. Program 5.
. Program 4. Program 3.
Gambar 9. Struktur Hirarki dengan Metode Analisis AWOT
Aktor 1. Aktor 2.
Aktor 5. . Aktor 4.
Aktor 3.
50
e. Analisis Sistem Dinamis
Untuk membuat model pengembangan pengelolaan TNBT secara
terintegrasi berbasis ekowisata dilakukan analisis sistem dinamis. Sesuai dengan Purnomo 2005, analisis sistem dinamis dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut : 1
Identifikasi isu, tujuan, dan batasan Dalam penelitian ini isu utamanya adalah pengelolaan TNBT secara
terintegrasi. Tujuannya adalah membuat model pengelolaan TNBT secara terintegrasi yang berbasis pada pengembangan ekowisata
2 Konseptualisasi model Berdasarkan isu yang telah ditetapkan kemudian dilakukan konseptualisasi
model. Berdasarkan model konseptual selanjutnya dirinci menjadi sebuah diagram stok atau aliran. Diagram ini dibuat dengan bantuan perangkat lunak
STELLA 9.02. serial number : 90047796426 3 Spesifikasi model
Pada tahapan ini kuantifikasi dan perumusan hubungan antar komponen dilakukan sehingga model bisa dijalankan pada komputer.
4 Evaluasi model Untuk mengetahui ketepatan model yang dibuat akan dilakukan evaluasi
dengan cara validasi model evaluasi kelogisan model, uji sensitivitas model perilaku model, dan simulasi model perbandingan dengan dunia nyata.
Validasi model dilakukan dengan uji validasi struktur yang menekankan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran. Uji sensitivitas model dilakukan
dengan melihat respon model terhadap suatu stimulus. 5
Penggunaan model Model yang telah dievaluasi selanjutnya akan digunakan untuk menguji
hipotesis dan atau menentukan skenario-skenario pemecahan masalah. Secara garis besar, masing-masing metode analisis tersebut disajikan pada
Tabel 4., sedangkan diagram aliran informasi dapat dilihat pada Gambar 10.
51 Tabel 4. Metode Analisis Data
M e t o d e Analisis
Tahapan Analisis Data yg Dianalisis
T u j u a n
Analisis Spasial Tahap
persiapan :
pengumpulan data
peta administrasi
lokasi, peta topografi, peta geologi dan Citra
Landsat TM,
pengkajian dan studi pustaka,
dan mempersiapkan
peralatan survey. Inventarisasi
awal dilakukan
dengan analisis citra landsat
TM dan kelasifikasi penggunaan lahan
Analsis citra dilakukan untuk
mendapatkan kelas penutup lahan.
Kelasifikasi penggunaan
lahan dilakukan
dengan berdasarkan informasi
yang diekstrak dari
citra Landsat
TM, didukung
dengan informasi
peta topografi dan informasi
lain digunakan untuk membuat
peta penutupan lahan.
Citra landsat
Peta kawasan
TNBT
Peta wilayah kerja perusahaan di
daerah penyangga TNBT
Mendapatkan peta kondisi
tutupan hutan TNBT dan peta
tata ruang daerah
penyangga TNBT
Mengetahui laju kerusakan hutan
TNBT
Analisis Penawaran
supply dan Permintaan
demand Rekapitulasi data hasil
pengamatan lapangan, pengisian kuesioner
oleh responden pegawai Balai TNBT
untuk komponen penawaran, dan
responden ekowisatawan untuk
komponen permintaan.
Membandingkan antara kondisi
penawaran dan permintaan.
Motivasi
ekowisatawan,
Daya tarik obyek wisata alam,
Fasilitas ekowisata
Layanan
ekowisata,
Persepsi dan harapan terhadap
pengembangan ekowisata TNBT.
Mengetahui kondisi
penawaran supply dan
permintaan demand
ekowisata TNBT .
52
M e t o d e Analisis
Tahapan Analisis Data yg Dianalisis
T u j u a n
Menganalisis adanya kesenjangan antara
kondisi penawaran dan permintaan.
Analisis SWOT
Menentukan unit manajemen yang
dianalisis : Balai TN.
FGD untuk mengidentifikasi
faktor internal dan eksternal yang
berpengaruh terhadap ekowisata
TNBT.
Menentukan nilai
pengaruh faktor
Analisis dengan strategi : SO, ST
WO, dan WT Rangkuti, 1998
Faktor internal :
kekuatan strength dan
kelemahan weakness
Faktor eksternal :
peluang opportunity dan
ancaman threat. Menentukan
faktor internal dan eksternal
yang mempunyai
nilai pengaruh penting
strategis terhadap
ekowisata TNBT
Analisis AWOT integrasi antara
SWOT dan AHP
Menyusun model kebijakan struktur
hierarki Menentukan tingkat
kepentingan relative antar elemen model
oleh pakar terpilih Menentukan prioritas
dari alternatif-alternatif kebijakan
Saaty ,1988
Faktor internal dan eksternal yang
mempunyai nilai pengaruh penting
strategis terhadap
ekowisata TNBT. Menentukan
prioritas kebijakan
pengembangan pengelolaan
TNBT secara terintegrasi
berbasis ekowisata
Analisis Sistem Dinamik
Identifikasi isu, tujuan, dan batasan
Konseptualisasi model Spesifikasi model
Evaluasi model Penggunaan model
Purnomo, 2005 Data sub model
kebijakan Data sub model
jumlah ekowisatawan
Data sub model pendapatan
masyarakat. Membuat
model pengembangan
pengelolaan TNBT secara
terintegrasi berbasis
ekowisata
Tabel 4 lanjutan
53
Gambar 10. Diagram Aliran Informasi file terpisah
54
BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh TNBT dan daerah penyangganya. Keadaan umum lokasi penelitian sebagai berikut :
A. Taman Nasional Bukit Tigapuluh 1. Luas, Letak, dan Sejarah Kawasan
Taman Nasional Bukit Tigapuluh TNBT ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 539Kpts-II1995 dengan luas 127.698 ha. Setelah dilakukan penataan batas di lapangan, TNBT ditetapkan dengan SK Menteri
Kehutanan No.607KPTS-II2000 tanggal 21 Juni 2002 dengan luas 144.223 ha. Secara geografis kawasan TNBT terletak antara koordinat 0,40’– 1, 25’ LS dan
102, 10’–102, 50’ BT. Sedangkan secara administratif pemerintahan, TNBT termasuk dalam empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Indragiri Hulu seluas
81.223 ha. dan Kabupaten Indragiri Hilir seluas 30.000 ha. di Provinsi Riau, serta Kabupaten Tebo seluas 23.000 ha. dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat seluas
10.000 ha. di Propinsi Jambi. Sejarah penunjukan dan penetapan kawasan TNBT sebagai berikut :
1982 Dikeluarkan Rencana Konservasi Nasional Indonesia. Mengakui
penting dan tingginya nilai ekosistem Bukit Tigapuluh, yang terdiri dari kawasan Suaka Margasatwa Bukit Besar 200.000 ha dan Cagar
Alam Seberida 120.000 ha. 1988
Dikeluarkan instrumen Perencanaan RePProt Regional Physical Planning Programme for Transmigration. Ekosistem Bukit Tigapuluh
terkategori sebagai perbukitan dan pegunungan yang hanya sesuai untuk kawasan hutan lindung dengan luas yang diusulkan 350.000 ha.
1990 Dikeluarkan Peta Unit Lahan Land Unit oleh Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat – Depertemen Pertanian. Berdasarkan peta tersebut, Ekosistem Bukit Tigapuluh terdiri dari grup pegunungan dan
perbukitan dimana hutan yang terdapat di grup perbukitan tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan.
1991-1992 Penelitian bersama dari para ahli Norwegia dan Indonesia Norindra
memperlihatkan arti penting dan fungsi keberadaan ekosistem Bukit
55 Tigapuluh dan merekomendasikan kawasan tersebut supaya
ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan luas 250.000 ha. 1993
Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam PHPA bersama WWF Indonesia mengusulkan program pengelolaan kawasan Bukit
Tigapuluh dalam Bukit Tigapuluh Rain Forest and Resources Management
an Integrated Conservation and Development Approach.
1994 Pemerintah Daerah Tingkat I Riau mengeluarkan Peraturan Daerah
No 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi RTRWP.
1994 Surat Dirjen PHPA kepada Menteri Kehutanan RI No 103Dj-
VIBinprog94 mengusulkan Kawasan Bukit Tigapuluh dan Bukit Besar sebagai Taman Nasional
1995 Menteri Kehutanan melalui SK No. 539Kpts-II1995, menetapkan
ekosistem ini menjadi Taman Nasional Bukit Tigapuluh dengan luas hanya 127.698 ha. Luas tersebut diambil dari 57.488 Hutan Produksi
Terbatas dan 37.250 ha Hutan Lindung yang ada di Propinsi Riau serta 33.000 ha Hutan Lindung di Propinsi Jambi. Luas yang
tercantum dalam SK Menteri Kehutanan lebih kecil dari yang diusulkan oleh instrumen perencanaan di atas 250.000 ha karena
adanya konflik kepentingan dari pemilik HPH yang ada saat itu. 2002
Badan Inventarisasi dan Pemetaaan Departemen Kehutanan melakukan temu gelang, kawasan TNBT secara defakto seluas
143.143 ha. Namun dalam SK Penetapan oleh Menteri Kehutanan No 607Kpts-II2000, tanggal; 21 Juni 2002, kawasan TNBT ditetapkan
dengan luas 144.223 ha. Peta usulan rencana konservasi Bukit Tigapuluh berdasarkan dokumen
Rencana Konservasi Nasional Indonesia oleh UNDP FAO tahun 1982, dapat dilihat pada Gambar 11.
56 Gambar 11. Peta Rencana Konservasi Bukit Tigapuluh Berdasarkan
Rencana Konservasi Nasional Indonesia UNDP FAO 1982
2. Kondisi Fisik a. Topografi
Taman Nasional Bukit Tigapuluh merupakan kawasan perbukitan dengan ketinggian berkisar 60 meter sampai 843 meter di atas pemukaan laut. Secara
fisiografis , topografi kawasan ini dapat dibagi menjadi tiga bagian Wahyunto, 1990 dalam SBKSDA Riau, 1977, yaitu : 1. Pegunungan dengan lereng sangat curam
75, 2. Pegunungan dengan lereng yang agak curam - sangat curam 25- 75, dan 3. Daratan antar pegunungan dan perbukitan kecil 16.
Sedangkan berdasarkan peta topografi dari Direktorat Topografi TNI AD tahun 1992, kawasan TNBT dapat dibagi tiga kelas kemiringan KKI-WARSI, 2007, yaitu:
1. Kelas kemiringan sangat curam 40 , yang meliputi sistem Bukit Pandan dan Telawi dengan ketinggian 300 m dpl dan merupakan punggungan gunung yang
sangat terjal serta memanjang, 2. Kelas kemiringan curam 26 – 40 , yang meliputi sistem Batang Anai dan Air Hitam dengan ketinggian 15 – 50 m dpl dan
merupakan punggungan bukit panjang dan sangat curam, dan 3. Kelas kemiringanlandai 16 – 25 , yang meliputi sistem lahan Sungai Alur dengan
ketinggian 15 – 50 m dpl dan merupakan bukit-bukit kecil.
57
b. Iklim
Berdasarkan klasifikasi menurut Schmidt dan Fergusson, iklim TNBT termasuk tipe iklim A dengan ciri-ciri hujannya tinggi sangat basah, vegetasi hutan hujan
tropis, curah hujan rata-rata 2.577 mmtahun dengan kelembaban relatifnya antara 50 dan 90 . Sedangkan menurut klasifikasi Koppen, iklim TNBT termasuk iklim
basah AF yang mempunyai ciri-ciri iklim tropika, rata-rata suhu dari bulan terdingin lebih dari 18 C, panas sepanjang tahun dan basah sepanjang tahun, serta curah
hujan bulanannya lebih dari 60 mm.
c. Geologi dan Tanah
Kawasan TNBT terbentuk dari batuan induk zaman pretersier Zaman Plis- plistosen dan Pliosen, Miosen Atas, Miosesn Tengah, Miosesn Bawah dan Trias
yang terdiri dari batuan metamorf dan sedimen. Batuan Metamorf ini terdiri dari Batuan Sabak Pasiran dan Batu Pasir Kerasitan serta Batu Pasir Kwarsa. Sebagian
besar dari batuan ini telah mengalami metamorfosis kontak dan berubah menjadi kompleks dan batu-batu sabak yang berbentuk modul-modul.
Sebagian besar tanah di TNBT terdiri dari Podsolik Merah Kuning yang tersebar di daerah perbukitan sebelah timur dan Latosol Merah di sebelah barat.
Tanah ini mempunyai tingkat kesuburan yang rendah. Hal ini berhubungan dengan tingkat keasaman tanah, kandungan hara yang rendah, kandungan liat tinggi dan
adanya unsur-unsur beracun dalam tanah. Kedalaman tanah bervariasi dari 40 Cm sampai lebih dari 150 Cm. Pada daerah sekitar puncak bukit dan lereng atas bukit,
kedalaman solum tanahnya 30 – 50 Cm, lereng bawah berkisar 50 – 100.
d. Hidrologi
Taman Nasional Bukit Tigapuluh merupakan kawasan perbukitan yang mempunyai fungsi penting dari aspek hidroologis bagi pantai timur Pulau Sumatera.
Kawasan TNBT merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai DAS dan Sub DAS berikut : 1. DAS Indragiri yang terdirii dari Sub DAS Cenaku, Indragragiri Hilir,
Peranap, Umbilin, dan Sinamar, 2. DAS Reteh yang terdirii dari Sub DAS Gansal Hulu dan Reteh Hulu, 3. DAS Pengabuhan Sub DAS Tungkal, dan 4. DAS
Batang Hari yang terdirii dari Sub DAS Tebo, Tembesi, Batanghari Hulu, Batanghari Hilir, Merangin, dan Tabir. Terdapat 26 sungai yang mengalir dari kawasan TNBT,
58 diantaranya merupakan sungai-sungai besar yaitu: Sungai Gansal dan Sungai
Cinaku di Propinsi Riau, serta Sungai Tungkal dan Sungai Sumai di Propinsi Jambi .
3. Kondisi Biotik a. Flora
Kawasan TNBT memiliki kekayaan flora yang tinggi, tidak kurang dari 1500 jenis spesies flora terdapat di kawasan tersebut yang sebagian besar adalah jenis-
jenis penghasil kayu, getah, kulit, buah, dan obat-obatan SBKSDA Riau, 1997. Diantara beberapa jenis flora tersebut terdapat jenis-jenis unik dan langka, seperti
cendawan muka rimau Rafflesia hasseltii, salo Johannesteijsmannia altifrons, mapau Pinanga multiflora, mapau kalui Iguanura wallichiana, Jelutung Dyera
costulata, Calamus ciliaris, Calamus exilis, ramin Gonistylus bancanus, kemenyan Styrax benzoin, pasak bumi Eurycoma longifolia, pinang bacung Nenga gajah,
kabau tupai Archidendron bubalinum, akar mendera Phanera kochiana, shorea pelatata, keduduk rimba Baccaurea racemosa, dan silima tahun Baccaurea
stipulata Wiriadinata , H., 1994. Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh NORINDRA bekerjasama
dengan LIPI, terdapat 158 jenis tumbuhan hutan yang dibudidayakan dan 486 jenis tumbuhan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan
sekitar kawasan TNBT. Jenis tumbuhan yang telah dimanfaatkan terdiri dari 27 jenis untuk tumbuhan hias, 16 jenis untuk bumbu masak, 10 jenis untuk sumber
kabohidrat, 5 jenis untuk penghasil lateks dan resin, 26 jenis untuk keperluan ritual dan magis, 18 jenis untuk papan kayu, 21 jenis untuk tali-temali dan 3 jenis untuk
sumber pewarna. Dari 660 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal, diperkirakan 20 diantaranya diperoleh dari hutan primer, 11 diperoleh dari
areal bekas tebangan, 29 dari hutan sekunder, 15 dari hutan karet, 5 dari areal ladang, dan 19 dari pekarangan Schumacer, 1994.
Sedangkan berdasarkan hasil Ekspedisi Biomedika yang dilakukan oleh LIPI dan Departemen Kesehatan pada tahun 1988 didapatkan data tentang pemanfaatan
tumbuhan untuk keperluan pengobatan oleh masyarakat tradisional yang hidup di dalam dan sekitar TNBT. Sebanyak 110 jenis tumbuhan dimanfaatkan oleh Suku
Talang Mamak untuk mengobati 56 macam penyakit dan 22 jenis cendawan untuk mengobati 18 macam penyakit. Sedangkan Suku Melayu memanfaatkan 182 jenis
59 tumbuhan untuk mengobati 45 macam penyakit, dan 8 jenis cendawan untuk
mengobati 8 macam penyakit. Dari kekayaan flora tersebut, terdapat 51 jenis tumbuhan obat dan 8 jenis cendawan obat yang mempunyai prospek sangat baik
untuk diteliti dan dikembangkan Ekspedisi Bio-Medika, 1998.
b . Fauna.
Berdasarkan hasil suvey yang dilakukan oleh Danielsen dan Heegaard 1993, bahwa kawasan TNBT mempunyai keanekaragaman jenis fauna yang tinggi.
Kawasan TNBT merupakan habitat yang ideal bagi beragam jenis satwa terutama jenis endemic Sumatera. Diantara jenis satwa liar tersebut terdapat jenis-jenis
terancam punah dan status perlindungan khusus baik menurut undang-undang Indonesia, CITES, dan IUCN, seperti harimau sumatera Panthera tigris sumatrae
dan gajah sumatera Elephas maximus sumatranus.
Mamalia.
Menurut Danielsen dan Heegaard 1993, terdapat sekitar 59 jenis mamalia di kawasan TNBT. Diantara jenis-jenis tersebut terdapat 5 jenis yang termasuk
terancam punah dengan status dilindungi, yaitu berang-berang Aonyx cinerea, macan dahan Neofelis nebulosa, harimau Panthera tigris sumatrae, gajah
sumatera Elephas maximus sumatranus dan tapir Tapirus indicus. Di mana terdapat tiga jenis yang hanya ditemukan di Sumatera, yaitu Siamang Symphangus
syndactylus, Harimau Sumatera dan Tapir melayu. Selain itu ditemukan 18 jenis kelelawar yang didominasi oleh jenis pemakan buah dari famili Pteropodidae.
Sedangkan berdasarkan laporan Program Konservasi Harimau Sumatera PKHS di TNBT, sampai tahun 2007 tercatat tidak kurang dari 32 jenis mamalia
besar dari 14 famili tidak termasuk kelompok primata yang mendiami kawasan TNBT Yunus, et al. 2008.
Primata
Menurut Yunus, et al. 2008, tercatat 9 jenis primata dari lima famili yang dijumpai di kawasan TNBT, yaitu simpai Presbytis melalophos, monyet Macaca
fascicularis, beruk Macaca nemestrina,
owa Hylobates agilis, siamang
Hylobates syndactylus, lutung Presbytis cristata, kukang abu-abu Nycticebus
60 coucang, singapuar Tarsius tarsius, dan orang utan Pongo abelii. Orang utan
sumatera yang terdapat di kawasan TNBT merupakan jenis reintroduksi.
Avifauna
Kawasan TNBT memiliki sekitar 193 jenis burung atau sepertiga jenis burung yang ada di Pulau Sumatera Danielsen dan Heegaard, 1993. Dari jenis-jenis
tersebut ditemukan jenis yang tergolong langka, yaitu: bangau storm Ciconia stormi, bangau tongtong Leptoptilos javanicus, pecuk ular Anhinga melanogaster,
mentok rimba Cairina scutulata, puyuh hitam Melanoperdix nigra, sempidan merah Lophura erytrophthalma, sempidan biru Lophura ignita, paruh kodok besar
Batrachosstamus auritius, rangkong gading Buceros vigil, paok delima Pitta granatina, dan asi dada kelabu Melacopteron albogulare. Sedangkan jenis-jenis
yang tergolong endemik Sumatera adalah : mentok rimba Cairina scutulata, rangkong papan Buceros bicornis, cucak kuning Pycnonotus melanictrus, pelatuk
Trichastoma tickelli, dan bondol tunggir putih Lonchura striata.
Etnozoologi
Selain memanfaatkan kekayaan fauna untuk pangan, masyarakat Suku Anak Dalam memanfaatkan hewan untuk pengobatan Etnozoologi, dimana ditemukan 9
jenis yang dimanfaatkan untuk mengobati 54 jenis penyakit Ekspedisi Bio-Medika, 1998.
c. Ekosistem
Kawasan TNBT mempunyai tipe ekosistem yang unik karena berada pada suatu kawasan perbukitan yang cukup curam di tengah dataran sebelah timur Pulau
Sumatera yang terpisah dengan gugusan pegunungan Bukit Barisan. Berdasarkan perbedaan struktur tegakan, komposisi jenis dan fisiognominya, secara umum
ekosistem TNBT dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu SBKSDA Riau, 1997 : 1
Hutan alam primer., yaitu hutan hujan tropika yang masih alami belum terganggu oleh aktifitas pembalakan kayu. Sub ekosistem ini didominasi oleh
jenis-jenis dari suku Dipterocarpaceae misalnya jenis Meranti Shorea sp. diantaranya Shorea abovoidae dan Shorea acuminate.
2 Hutan alam bekas tebangan, yaitu kawasan hutan yang telah mengalami
penebangan. Sub ekosistem ini didominasi oleh jenis-jenis dari suku Euphorbiaceae diantaranya Elatriospermum tapos dan Baccaurea rasemosa.
61 3
Semak belukar, merupakan kawasan hutan yang telah dibuka untuk dijadikan perladangan dan kemudian ditinggalkan untuk dijadikan ladang pada periode
berikutnya. Jenis-jenis yang mendominasi sub ekosistem ini pada umumnya merupakan jenis-jenis pionir, seperti Maccaranga gigantea dan Maccaranga
triloba. 4
Kebun karet, adalah kawasan yang digunakan oleh masyarakat tradisional yang tinggal dalam kawasan untuk berkebun dengan jenis tanaman utama
karet Havea brasiliensis yang tumbuh bersama tanaman hutan lainnya.
4. Masyarakat Tradisional a. Jumlah Penduduk
Masyarakat tradisional yang tinggal dalam kawasan TNBT terdiri dari 3 suku, yaitu : Suku Anak Dalam Suku Kubu atau Orang Rimba, Suku Talang Mamak, dan
Suku Melayu Tua. Masyarakat dari Suku Anak Dalam tinggal berpindah-pindah nomaden di dalam kawasan TNBT secara menyebar khususnya pada bagian
barat dan selatan. Sedangkan masyarakat dari Suku Talang Mamak dan Melayu Tua tinggal secara menetap di sepanjang Sungai Batang Gansal yang membelah
kawasan TNBT. Terdapat 5 dusun yang tersebar menjadi 15 konsentrasi permukiman yang
dihuni oleh Suku Talang Mamak dan Suku Melayu Tua di sepanjang Sungai Batang Gansal., Secara adiministrasi pemerintahan dusun -dusun tersebut termasuk
wilayah Desa Rantau Langsat Kecamatan Batang Gansal. Nama-nama dusun dan jumlah penduduk masyarakat tradisional di kawasan TNBT disajikan pada Tabel 5.
62 Tabel 5. Nama Dusun dan Jumlah Penduduk Masyarakat Tradisional
di Kawasan TNBT
No. Dusun Permukiman
Jumlah Penduduk
Jiwa Jumlah
KK Keterangan
1. Datai
Permukiman :Datai Tua dan Datai Atas
249 58
Didominasi masyarakat Talang
Mamak 2.
Suit Permukiman : Suit
102 19
Didominasi masyarakat Talang
Mamak 3.
Air Bomban-Sadan Permukiman : Air
Bomban dan Sadan 128
29 Didominasi
masyarakat Melayu Tua
4. Nunusan
Permukiman : Nunusan, Mengketung, Menyasih,
dan Tanjung Lintang 131
34 Didominasi
masyarakat Melayu Tua
5. Siamang
Permukiman : Siamang, Tebat, Rantau Dagang,
Pengayauan, Air Buluh, dan Air Tabuh
216 53
Didominasi masyarakat Talang
Mamak
Jumlah 826
193 Sumber : Yunus 2007
b. Sosial - Ekonomi
Sumber pendapatan masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan TNBT berasal dari hasil kebun karet 61 - 86 , hasil hutan non kayu , terutama jernang
7 - 25 , hasil kegiatan lain seperti berdagang dan wisata alam 3 - 14 Santoso, 2008.
Rata-rata penggunaan lahan per keluarga masyarakat tradisional pada masing-masing dusun dalam kawasan TNBT disajikan pada Tabel 6.
63 Tabel 6. Penggunaan Lahan per Keluarga Masyarakat Tradisional
pada Masing-masing Dusun di Kawasan TNBT
Karakteristik Dusun
Datai Tua Suit
Air Bomban Nunusan
1. Semak belukar bekas perladangan berpindah a. Rata2 luas penggunaan lahan
per keluarga b. Jumlah keluarga pengguna lahan
4,2 20
3,5 11
2,7 10
3,5 10
2. Kebun karet a. Rata2 luas penggunaan lahan
per keluarga b. Jumlah keluarga pengguna lahan
2,4 20
2,9 16
3,5 12
2,5 12
3. Kebun karet produktif a. Rata2 luas penggunaan lahan
per keluarga b. Jumlah keluarga pengguna lahan
1,2 10
2,0 10
2,0 10
1,2 9
4. Kebun karet belum produktif a. Rata2 luas penggunaan lahan
per keluarga b. Jumlah keluarga pengguna lahan
1,8 20
2,1 13
2,2 10
1,8 11
Sumber : Santoso 2008
c. Budaya
Masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan TNBT mempunyai peraturan adat yang mendukung konservasi hutan yang diwujudkan dengan adanya hutan-
hutan keramat yang tidak boleh dikelola di sekitar permukiman seperti yang terdapat di permukiman Datai Tua dan Suit Selain itu masyarakat tradisional mempunyai
kebiasaan gotong royong dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan.
B. Daerah Penyangga TNBT 1. Letak
Daerah penyangga TNBT meliputi 22 desa yang temasuk wilayah 7 kecamatan, 4 kabupaten dan 2 propinsi. Desa-desa tersebut membentuk pola
melingkar mengelilingi kawasan TNBT. Peta desa dusun di daerah penyangga TNBT disajikan pada Gambar 12.
64 Gambar 12. Peta Desa Dusun di Daerah Penyangga TNBT
2. Keadaan Bio-Fisik
Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson, daerah penyangga TNBT termasuk tipe iklim B dengan rerata curah hujan per tahun mencapai 2577
mm. Sedangkan menurut Oldeman, wilayah ini termasuk zona Agroklimat BI dimana bulan basah 7-9 bulan dan curah hujan rata-rata 2500-3000 mmtahun.
Jenis tanah yang terdapat di daerah penyangga TNBT terdiri dari : 1 Tanah Podsolik, kandungan bahan organik sedang dan unsur hara N, P dan K
rendah dan sampai sangat rendah. Untuk jenis tanah ini perlu pemupukan serius, cocok untuk pengembangan tanaman keras seperti: karet, kelapa sawit,
kakao dan lain-lain 2 Tanah Latosol, penggunaan tanah ini hampir sama saja dengan jenis tanah
podsolik, yaitu pada pengembangan tanaman keras. 3 Tahah Alluvial, bahan induk tanah ini berupa alluvium yang kesuburannya
sangat tergantung sekali terhadap endapan yang dibawa oleh aliran sungai, bila sumber endapannya subur, maka hasil endapannya berupa tanah alluvial juga
subur dan sebaliknya.
65 4 Tanah Gley Humus, ciri tanah ini hampir sama dengan tanah alluvial akan tetapi
tanah ini bukan merupakan hasil sedimentasi akibat banjir, kebanyakan tanah jenis Gley Humus memiliki drainase yang jelek.
Kondisi biologi kawasan penyangga TNBT tidak jauh berbeda dengan dalam kawasan TNBT di mana kawasan tersebut juga merupakan hutan hujan dataran
rendah yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Beberapa jenis tumbuhan langka yang terdapat di daerah penyangga TNBT antara lain: cendawan muka rimau
Raflesia haseltii,
bunga bangkai
Amorphopallus sp.,
dan salo
Johannestajmannia altifrons. Sedangkan jenis satwa liar yang terdapat di daerah penyangga TNBT antara lain : harimau sumatera Panthera tigris sumatrae, gajah
sumatera Elephas maximus sumatranus dan tapir Tapirus indicus.
3. Demografi a. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang tinggal di daerah penyangga TNBT sebanyak 44.388 jiwa Balai TNBT dan FZS, 2009
. Jumlah penduduk pada masing-masing desa di
daerah penyangga TNBT dapat dilihat pada Tabel 9. Rata-rata pertambahan penduduk di desa penyangga wilayah Propinsi Riau
dari tahun 2002 sampai tahun 2006 sebesar 241 jiwa, sedangkan untuk wilayah Propinsi Jambi sebesar 232 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk yang relatif tinggi
di desa penyangga wilayah Propinsi Riau terjadi di desa-desa sepanjang jalan Lintas Timur Sumatera, yaitu : Desa Talang lakat, Desa Sungai Akar , Desa Kritang,
Desa Batu Ampar dan Desa Selensen. Relatif tingginya pertambahan jumlah penduduk di daerah tersebut disebabkan oleh adanya arus pendatang migran dari
daerah lain, khususnya dari Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Sumatera Utara. Sedangkan rata-rata pertambahan jumlah penduduk di wilayah Propinsi Jambi yang
relatif tinggi terjadi di Desa Lubuk Mandrasah .
b. Agama
Sebagian besar sekitar 87 penduduk yang tinggal di daerah penyangga TNBT beragrama Islam, sekitar 10 beragama Kristen yang sebagian besar
merupakan suku pendatang dari Sumatera Utara, dan sekitar 3 masih memegang agama adat yang umumnya adalah masyarakat Talang Mamak.
66 Tabel 7. Jumlah Penduduk di Daerah Penyangga TN. Bukit Tigapuluh
Prop Kabupaten
Kecamatan Desa
Jumlah Jiwa
Propinsi Riau
Indragiri Hulu Batang Cinaku
1. Sanglap 777
2. Lahai Kemuning 1.228
3. Sipang 600
4. Alim 707
5. Puntianai 567
6. Aur Cina 1.647
7. Pejangki 300
Batang Gansal 8. Rantau Langsat
1.273 9. Siambul
1.398 10. Usul
1.261 11. Talang Lakat
2.015 12. Sungai Akar
6.182 Indragiri Hilir
Kemuning 13. Keritang
4.172 14. Batu Ampar
2.711 15. Selensen
2.124
Propinsi Jambi
Tebo Sumai
16. Muara Sekalo 520
17. Suo-suo 1.572
18. Semambu 822
19. Pemayungan 433
Tengah Ilir 20. Lubuk Mandarsah
8.748 Tanjung Jabung
Barat Merlung
21. Lubuk Kambing 3.057
Tungkal Ulu 22. Suban
2.274 J u m l a h
44.388 Keterangan :
desa enclave dalam kawasan TNBT memiliki 5 dusun di dalam kawasan TNBT
c. Budaya
Bagi sebagian masyarakat tradisional, hutan merupakan bagian penting dalam kehidupan adat maupun dalam menjalankan ritual, karena sebagian besar peralatan
adat tersebut berasal dari hutan. Selain itu, konsepsi hutan sangat penting bagi masyarakat Melayu dan Talang Mamak karena hutan merupakan bagian kosmologi
yang penting dalam kehidupan alam nyata maupun gaib. Masyarakat lokal khusunya Melayu dan Talang Mamak masih mengenal
beberapa puaka hutan keramat dan juga mengenai cerita-cerita kejadian alam yang dapat mendukung konservasi. Salah satu kawasan yang dijaga dan dinilai
angker adalah Goa Pintu Tujuh, Bukit Tobat, beberapa daerah puaka di sepanjang Sungai Gangsal.
67 Masyarakat Melayu dan Talang Mamak masih kental adat, pepatah mereka
menyatakan “biar mati anak asal jangan mati adat” menunjukkan betapa mereka mengangungkan adat diatas kepentingan yang lainnya. Mereka juga memiliki cerita
tentang hewan dan legenda alam di sekitar hutan mereka. Misalnya harimau merupakan anak manusia yang pergi ke hutan untuk menguasai hutan, begitu juga
gajah dikenal sebagai datuk lumahan yang dipersepsikan memiliki kekuatan besar. dewa babi tunggal merupakan dewa pembawa rejeki dan legenda Pintu tujuh yang
menceritakan kedurhakaan anak terhadap ibunya.
d. Pendidikan
Generasi tua dari penduduk yang tinggal di daerah penyangga TNBT pada umumnya buta huruf, hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa membaca dan
menulis. Namun generasi muda dari mereka pada umumnya sudah mengenal pendidikan. Rata-rata anak-anak hanya bersekolah hingga jenjang SD, hanya sedikit
dari mereka yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sarana pendidikan yang tersedia di desa-desa daerah penyangga TNBT masih sangat
terbatas, dan pada umumnya hanya Sekolah Dasar SD dan Madrasah Tsanawiyah MTs. Bagi anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
harus meninggalkan desanya dan menetap di ibukota kecamatan atau kabupaten, hal ini karena jarak ke tempat sekolah yang relatif jauh dan sarana transportasi yang
terbatas. Keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan dan keterbatasan sarana pendidikan menyebabkan anak muda tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi.
e. Mata Pencaharian
Sebagian besar sekitar 82 , mata pencaharian utama masyarakat di daerah penyangga TNBT wilayah Kabupaten Indragiri Hulu adalah bertani. Secara umum
aktifitas pertanian penduduk asli adalah membuka hutan eks HPH untuk dijadikan kebun karet yang dipelihara secara tidak intensif. Mata pencaharian penduduk
pendatang yang pada umumnya memiliki modal yang lebih memadai, memilih usaha membuka kebun sawit. Sedangkan mata pencaharian utama masyarakat di
daerah penyangga TNBT wilayah Kabupaten Indragiri Hilir baik penduduk asli maupun pendatang adalah berkebun sawit, hanya sebagian kecil penduduk yang
mengelola kebun karet Anonim, 2006