100
Dalam kaitannya dengan penggunaan kontrasepsi, perempuan yang lebih bebas bergerak lebih mampu mengakses layanan bidan dan puskesmas demi
memperoleh informasi dan layanan kontrasepsi. Transfer informasi ini berguna sehingga para perempuan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan
terkait desired fertilitynya. Mereka mampu menyebutkan dengan jelas jumlah anak yang mereka inginkan. Hal ini dimungkinkan karena perempuan dengan
kebebasan bergerak memiliki akses untuk melakukan pertukaran informasi dengan pihak-pihak luar, sehingga membentuk pandangan baru bagi mereka
setelah melihat situasi luar. Sementara perempuan-perempuan dengan kebebasan bergerak yang terbatas umumnya menyatakan rencana tentang jumlah anak
sebagai “rencana Tuhan”. Selain itu, dengan kebebasannya dalam bergerak, para perempuan tersebut
setelah memutuskan jumlah anak yang diinginkannya akan mampu mengakses layanan kontrasepsi dengan lebih mudah dibandingkan perempuan lain yang
memiliki keterbatasan dalam bergerak. Mereka akan lebih mudah untuk mengambil keputusan pergi ke puskesmas untuk mengakses layanan kontrasepsi
yang mereka butuhkan. Di desa studi, diketahui bahwa jumlah anak lahir pada perempuan yang bebas bergerak adalah lebih sedikit dibandingkan para
perempuan yang pergerakannya lebih terbatas.
6.3.7. Sikap Gender di Level Komunitas yang Dipahami oleh Individu.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, pekerjaan-pekerjaan rumah tangga umumnya dikerjakan oleh istri. Hal ini terjadi mungkin karena sebagian besar
suami tidak tinggal di desa melainkan tinggal di luar desa untuk bekerja dan hanya pulang satu sampai 4 kali dalam sebulan untuk menemui istri dan anak-anaknya.
Pengamatan yang dilakukan pada beberapa rumah tangga dengan suami yang tinggal di rumah, pembagian kerja domestik dan publik tidak terlalu ketat. Penulis
mendapati sebuah rumah tangga di mana suamilah yang mengurus semua pekerjaan rumah, sementara istri mengurus warungnya yang ramai, warungnya
adalah warung paling besar di desa. Pembagian kerja ini bukan karena suami tidak bekerja, tetapi karena pekerjaan suami sebagai penangkap ikan hanya dilakukan
101
beberapa hari dalam seminggu sehingga ia memiliki lebih banyak waktu di rumah. Pengamatan di rumah tangga lain menunjukkan ada seorang ustadz yang sering
membantu istrinya memasak, ustadz ini bukanlah asli dari Desa Neglasari. Seorang suami lain yang bekerja di desa sebagai buruh tani dan pekerjaan
serabutan lain juga terlihat membantu istri menyapu rumah atau mencuci bajunya sendiri saat mandi.
Dilihat dari asal suami atau istri, secara umum, pembagian kerja yang relatif lebih ketat umumnya ditemukan pada pasangan penduduk asli dan yang tidak
tinggal bersama. Sementara pembagian kerja yang relatif longgar ditemukan pada pasangan yang salah satu atau dua-duanya bukan penduduk asli. Dalam relatif
ketatnya pembagian kerja pada pasangan penduduk asli, hal yang menarik untuk dicatat adalah bahwa ada kecenderungan pada pasangan penduduk asli untuk
memandang bahwa pekerjaan domestik memang sepatutnya dikerjakan oleh istri. Di sisi lain, saat rumah tangga berada dalam situasi ekonomi yang kurang baik,
adalah hal yang dianggap wajar bagi istri untuk membantu berkontribusi ke dalam ekonomi rumah tangga melalui pekerjaan memburuh atau mencari kayu.
Sebaliknya, saat istri sibuk dan suami memiliki waktu yang relatif longgar, maka suami mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, meski kadang
terdapat keengganan. Pembagian kerja yang tidak begitu ketat ini sesuai dengan apa yang mereka
pahami dari ajaran agama mengenai kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga. Berikut adalah petikan pendapat ibu-ibu dalam sebuah diskusi informal
dengan peneliti. “Semua urusan rumah tangga sebenarnya adalah tanggung jawab lelaki.
Baik kewajiban untuk mencari nafkah, sampai kewajiban memasak, mencuci dan mengurus rumah. Kewajiban istri yang jelas adalah
mengandung, melahirkan dan mengurus anak. Namun, jika para istri kemudian saklek melakukan ini dan tidak melakukan apapun untuk
membantu suami, maka kita tidak akan mendapatkan ganjaran pahala”. Ibu-ibu saat diskusi informal dengan peneliti
102
Dalam konsep ini, bukanlah hal yang wajib bagi perempuan untuk mengerjakan pekerjaan domestik. Hal-hal yang kemudian mereka lakukan sifatnya hanya
membantu suami. Hal ini sedikit berbeda dengan pemahaman tentang Islam konservatif yang melekatkan tugas-tugas tersebut pada perempuan sebagai
kewajiban sebagaimana disampaikan Basya 2003. Meski sedikit berbeda, hal yang kemudian harus digarisbawahi adalah kesamaan mengenai lingkup
perempuan di wilayah domestik. Pembagian kerja lebih ketat terjadi pada pasangan suami istri yang tidak
tinggal bersama. Namun demikian hal ini tidak pula berlaku secara keseluruhan. Meski hanya pulang beberapa kali dalam sebulan, seorang istri menyatakan bahwa
suaminya sangat rajin melakukan pekerjaan rumah tangga saat sedang di rumah; istri tersebut adalah penduduk asli desa, sementara suaminya adalah pendatang.
Meski pembagian kerja tidak terlalu ketat, umumnya, bagi suami istri yang keduanya penduduk asli, pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh istri. Berikut
disampaikan petikan wawancara dengan seorang responden perempuan yang suaminya bukan orang asli Desa Neglasari dan saat ini bekerja di Jakarta sebagai
sopir pribadi. Suami hanya pulang sekali dalam dua minggu sampai satu bulan. Di rumah, perempuan tersebut saat ini tinggal dengan 3 orang anaknya.
“Saya gak tahu kalau suami-suami yang lain Teh, tapi suami saya tiap pulang rajin sapu-sapu dan cuci baju sendiri. Saya tiap mau bangun pagi-
pagi untuk masak gak dibolehin, disuruh santai-santai saja. Buat makan, tiap dia pulang, biasanya kita beli saja. Tapi lama-lama kan kasihan suami
kalau beli terus, lagian saya juga pingin masakin suami sekali-sekali pas dia di rumah, jadi saya suka maksa biar saya masakin.” Ibu S, 35 tahun
Dari kalimat tersebut, kita dapat menangkap kesan bahwa sang istri memang tidak wajib melakukan pekerjaan rumah, tetapi hal tersebut di luar wilayah
keputusannya. Dia hanya menjalankan keputusan sang suami yang memintanya untuk tidak melakukannya. Hal ini sejalan dengan petikan wawancara berikutnya
tentang mobilitas istri. ”Suami saya suka marah di telpon jika saya pergi ke balai desa sampai sore
sehingga anak- anak tidak ada yang ngurus.” Ibu S, 35 tahun
103
Alasan melarang istri untuk pergi demi mengurus anak agak janggal karena saat ini anak-anak dari ibu tersebut sudah relatif besar, ketiga anaknya saat ini
bersekolah SMA, SMP dan SD kelas 4. Pendapat para responden yang diwawancara juga menyatakan bahwa
responden yang memiliki pasangan pendatang memiliki pemikiran yang lebih fleksibel mengenai pembagian kerja domestik dibandingkan pasangan penduduk
asli. Pada pasangan penduduk asli, responden menyatakan bahwa pekerjaan domestik lebih pantas dilakukan oleh perempuan, lelaki adalah untuk mencari
nafkah. Sebagaimana tampak dalam hasil wawancara berikut. “Lelaki sih memang sudah wajibnya cari makan buat istri dan anak, biar
istri yang urus rumah. Kadang-kadang bapak bantu-bantu kerjaan rumah, tapi rasanya gak pantes kalau keseringan”Ibu M, 45 tahun
Namun, karena kondisi ekonomi yang sulit, maka mereka juga menyatakan bahwa jika memungkinkan, akan lebih baik jika para perempuan juga memiliki
kontribusi ke dalam ekonomi rumah tangga. “Sebenarnya kami juga bosan duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol seperti ini
tiap hari Mbak. Apalagi jika anak-anak sudah pada gede sudah usia sekolah dan tidak perlu diasuh lagi. Ngurus rumah dan masak sudah
selesai. Kalau ada kerjaan buat nambah-nambah jajan anak sih mau juga, tapi ngapain? Sawah gak punya, buruh sawah juga tidak ada yang
mburuhin.” Ibu-ibu saat diskusi informal dengan peneliti Sikap gender lain yang menarik adalah pandangan bahwa urusan melahirkan
adalah urusan perempuan. Pada masa kelahiran, peran utama untuk membantu urusan sebelum, menjelang dan setelah masa persalinan istri adalah oleh ibu, baik
ibu dari istri, atau ibu dari suami. Selain ibu, nenek dan saudara perempuan juga berperan penting, sementara suami hanya mengamati saja. Bukanlah hal yang
aneh meski sehari-hari sang istri hidup di rumah mertua, tetapi saat melahirkan dan beberapa minggu setelahnya ia kembali ke rumah ibunya. Atau saat pasangan
tersebut sudah tidak tinggal bersama orangtua, maka ibu dari sang istri umumnya akan mendatangi rumah mereka dan membantu sampai ibu yang baru melahirkan
bisa kembali mandiri. Peran membantu kelahiran yang dimaksud di sini termasuk
104
mengantarkan ke bidan, mengurus makanan, mencucikan baju dan mengurus bayi. Seorang ibu yang bekerja sebagai petani dengan beberapa cucu mengatakan dalam
wawancara. “Semakin banyak cucu, semakin sering saya ninggalin sawah”. Ibu J, 47
tahun memiliki 9 anak dan 5 orang cucu. Lekatnya isu fertilitas dengan perempuan dapat dilihat pula pada kasus lain, di
mana orangtua perempuan dari sang ibu baru tidak dapat atau tidak mampu mengurus anaknya yang baru saja melahirkan. Pada kasus ini, sang ibu baru akan
diurus oleh kakak perempuannya atau adik perempuan orangtuanya. Hal ini sejalan dengan temuan Wahyuni 2000 yang menemukan pada penelitiannya di
kalangan migran yang berasal dari Jawa Tengah, bahwa saat para migran tersebut bekerja di luar daerah mereka, tanggungjawab kepengurusan anak berpindah
kepada ibu atau adik perempuan istri. Mengenai pandangan mengenai poligami; meski dilakukan oleh beberapa
kiai dan tokoh lain di desa, poligami tetap menjadi pergunjingan para warga ke arah konotasi negatif. Hal ini menunjukkan secara umum ketidaksetujuan warga
terhadap poligami dengan alasan karena umumnya poligami dilakukan atas keputusan suami saja tanpa mempertimbangkan pendapat dan perasaan sang istri.
Sikap gender lain yang menarik di kalangan penduduk adalah fleksibilitas mereka dalam memandang setiap ajaran kiai. Ungkapan yang disampaikan oleh
seorang lelaki, tokoh pada pemerintahan desa mencerminkan hal tersebut. “Kalau nanya pak kiai sih, ya pasti gak boleh ikut KB; tapi memangnya
kalau anak kita banyak, dia yang mau ngasih makan?” Bapak K, tokoh
pemerintahan Desa Neglasari. Ungkapan yang disampaikan oleh Bapak K ini ditemukan pula pada
sebagian responden ibu-ibu saat diskusi informal. Tetapi ibu-ibu tersebut tidak menyatakan dengan segamblang pernyataan Bapak K.
“Ya, mungkin memang membatasi jumlah anak sebaiknya jangan dilakukan, tetapi kalau anaknya banyak terus terlantar, kita jadi dosa juga
kan ya Teh?. ” ungkapan ibu-ibu waktu diskusi informal
105
Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai keagamaan yang saat ini diinternalisasi adalah nilai-nilai yang tidak saklek, melainkan nilai-nilai yang
diadaptasikan dengan situasi yang ada saat ini. Seorang tokoh perempuan menyatakan pendapatnya mengenai kiai dengan lebih tegas.
“Kemarin saat ada penyuluhan KB dari kecamatan, ada tayangan pakai in focus ke ibu-ibu. Eh di tengah-tengah kegiatan, para santri datang ke
balai desa dan ngebubarin acara, kata kiainya gak boleh ada tayangan seperti itu di sini. Kalau begini caranya, kapan desa ini mau maju? Sedikit-
sedikit dilarang .” Ibu S, 45 tahun, tokoh penggerak kegiatan perempuan di
desa Pada kesempatan lain, ibu S menyatakan bahwa mungkin menurut kiai, dia
dianggap bukan istri yang baik karena dia sering bepergian tanpa suami. “Saya gak tahu dianggep apa sama kiai, yang penting suami saya tidak
masalah dengan apa yang saya lakukan. Mungkin saya agak beda dengan istri-istri yang sedikit-sedikit mesti izin suami. Tapi jaman sekarang jika
semua tergantung suami, perempuannya akan ketinggalan. ” Ibu S, 45
tahun Meski menunjukkan ketidaksetujuannya dengan ajaran kiai, para tokoh
tersebut tetap mendatangi pengajian yang diselenggarakan oleh para kiai walau tidak secara rutin. Pada pengajian yang pernah diikuti peneliti, para tokoh dan
peserta pengajian yang lain mendengarkan ceramah dari ustadzah tanpa berkomentar atau menanyakan apapun. Sakleknya pandangan Islam konservatif
yang dianut oleh kiai pesantren tradisional juga tampak dari pemisahan masjid. Pada satu dusun dalam Desa Neglasari terdapat 2 dusun terdapat 1 masjid baru
yang megah hasil sumbangan salah seorang terkaya di desa yang memiliki toko suku cadang mobil di Jakarta dan para kiai. Masjid tersebut khusus untuk lelaki,
sementara kegiatan keagamaan para perempuan dilakukan di sebuah mushollah yang sudah lama dan rusak di sana-sini.
Nilai lain di level komunitas yang terkait fertilitas di desa studi adalah nilai- nilai mengenai “perawan tua”. Di desa studi, masih terdapat pandangan bahwa
seorang perempuan 17 tahun yang belum menikah adalah “perawan tua”. Para
106
responden mengakui bahwa pandangan tersebut memang masih lekat di sana. Wawancara mengenai hal ini dilakukan dengan responden usia menikah dan
orangtua yang memiliki anak pada usia menikah tersebut. “Di sini sih biasanya orangtua pada malu kalau anak perempuannya belum
laku nikah juga setelah anaknya 17 tahunan. Apalagi kalau anaknya gak kerja dan tinggal di kampung. Kalau dia kerja di Jakarta sih masih
mendingan, setidaknya tidak kelihatan nganggur di rumah. ” Ibu I, 55
tahun Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya orangtua tidak
menginginkan anak perempuannya tetap melajang setelah usia 17 tahun. Apalagi jika anak perempuan tersebut menganggur. Para remaja perempuan tersebut
biasanya hanya duduk-duduk dan membantu pekerjaan rumahtangga orangtuanya, jarang sekali ditemukan remaja yang membantu pekerjaan pertanian orangtuanya
di desa. Ada pula ungkapan lain yang memperkuat hal ini. Yakni saat ditanyakan apakah para anak perempuan tersebut memang sudah tepat waktu untuk menikah
pada usia tersebut, responden menjawab. “Arek naon deui atuh?”Mau apa lagi atuh? Diskusi informal dengan para
responden orangtua dan anak perempuan usia menikah Selain hal-hal tersebut, pemahaman atas sikap gender yang lain yang
penting dan terkait dengan fertilitas adalah pandangan bahwa perempuan akan ikut suami. Pandangan tersebut masih umum ditemukan di desa studi. Meski
demikian, terdapat beberapa variasi dari pandangan ini. Beberapa ungkapan di desa studi berikut mencerminkan hal tersebut.
”Jadi perempuan tidak perlu khawatir, sebelum nikah jadi tanggung jawab orangtuanya, setelah nikah tinggal ikut suami.”
Pernyataan tersebut mencerminkan pandangan bahwa para perempuan tidak perlu mengkhawatirkan kehidupannya. Dan ia tidak pula perlu mencari bekal
hidup sebagaimana lelaki, karena ia selalu berada di bawah tanggung jawab orang lain; yakni orangtuanya sebelum menikah dan setelah menikah, menjadi tanggung
jawab sang suami. Ungkapan lain yang muncul di desa studi adalah;
107
”Memang setelah nikah, anak perempuan mesti ikut suami, tapi kalau tidak punya bekel apa-
apa kan kitanya khawatir juga.” Pernyataan tersebut disampaikan oleh orangtua lelaki yang memiliki anak
perempuan dan saat ini sedang bersekolah di sebuah akademi kebidanan. Ia menyatakan bahwa meski setelah menikah anak perempuannya akan ikut sang
suami, ia merasa wajib memberikan bekal pendidikan yang cukup sehingga anaknya mampu menghasilkan sesuatu dan sang suami akan lebih
menghormatinya. Pandangan-pandangan ini selain dimiliki oleh orangtua juga dimiliki oleh anak perempuan yang akan atau sudah menjalani pernikahan itu
sendiri. Satu catatan lain yang ditemukan di lapang adalah bahwa individu-individu
dengan pemahaman atas sikap gender yang fleksibel adalah individu-individu yang berasal dari luar desa atau penduduk asli desa tetapi pernah tinggal di luar
desa untuk bekerja atau bersekolah. Hal ini terlihat berlaku untuk individu lelaki ataupun perempuan.
6.3.8. Sikap Gender di Level Komunitas yang Dipahami oleh Individu dan