Proximate determinant Fertilitas Kerangka Pemikiran

36 4. Kontrol suami terhadap istri melalui intimidasi dan paksaan – apakah mereka takut untuk tidak setuju dengan pendapat suami karena khawatir suami akan marah, dan apakah suami pernah memukul mereka? 5. Selain keempat aspek tersebut, Mason dan Smith 2003 juga mengusulkan aspek kelima dalam menelusuri hubungan relasi gender dan fertilitas, yakni sikap gender di level komunitas yang dipahami oleh individu. Hal ini penting karena bagaimanapun, karakteristik perempuan yang tinggal dalam sebuah komunitas, setidaknya sebagian adalah produk dari sistem gender komunitas.

2.3. Proximate determinant Fertilitas

Relasi gender adalah variabel sosial budaya, sementara fertilitas hanya dapat dihasilkan melalui sebuah proses biologis. Oleh karena itu, upaya untuk menghubungkan langsung variabel gender dengan fertilitas seringkali menemukan inkonsistensi. Bongaarts 1978 menyebutkan bahwa cara ini bermasalah dalam aplikasinya; karena sering ditemukan bahwa perbedaan besar dan arah antar kedua variabel dalam setting tempat dan waktu yang berbeda. Kompleksitas ini dimungkinkan karena fertilitas adalah variabel yang bersifat biologis, sementara gender adalah variabel sosial budaya sehingga tidak dapat dihubungkan secara langsung melainkan harus melalui variabel antara. Untuk mengatasi hal ini, Bongaarts 1978 telah mengusulkan variabel antara proximate determinant fertilitas yang ia definisikan sebagai faktor-faktor biologis dan perilaku melalui mana variabel sosial ekonomi, budaya dan lingkungan mempengaruhi fertilitas. Ide Bongaarts ini merujuk pada ide awal yang dilontarkan oleh Davis dan Blake pada tahun 1956 yang mengusulkan 11 variabel. Bongaarts pada awalnya mengusulkan 8 variabel, tetapi kemudian pada kesimpulannya terhadap data nasional beberapa negara maju dan berkembang dengan metode kuantitatif, Bongaarts menemukan bahwa hanya usia menikah, kontrasepsi, aborsi yang disengaja dan infekundabilitas karena laktasi yang menjadi proximate determinant utama. Bongaarts, 1978 37 Beberapa penelitian kemudian mencoba menggali fenomena fertilitas dengan memanfaatkan proximate determinant yang ditawarkan Bongaarts Baschieri dan Hinde, 2007; Guengant, tidak ada tahun; Moses dan Kayizzi, 2007. Ketiganya melakukan penelitian dalam konteks makro dan menemukan bahwa proximate determinant Bongaart dapat menjelaskan penurunan atau kenaikan fertilitas dengan baik.

2.4. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan studi pustaka di atas, dirumuskan sebuah kerangka penelitian untuk menjawab permasalahan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya yakni sebagai disampaikan pada Gambar 1. Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Relasi Gender – Fertilitas Fertilitas sebagai salah satu perhatian dalam ilmu kependudukan adalah sebuah fenomena biologis yang menarik karena keterlekatannya pada manusia yang memiliki relasi sosial. Berbeda dengan fertilitas pada makhluk lain yakni hewan atau tumbuhan, manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk melakukan rekayasa fertilitas sesuai dengan keinginanannya; berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi dan budayanya. 38 Dalam mengkaji fertilitas, melihat relasi gender menjadi penting karena keterlekatan fungsi fertilitas pada perempuan. Penelitian terdahulu telah mengkaji gender dari berbagai aspek, misalnya dari pendidikan perempuan, selisih usia antara suami dan istri, partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Namun, sampai saat ini belum ada aspek-aspek relasi gender yang disepakati secara umum memiliki pengaruh terhadap fertilitas. Dalam penelitian ini, peneliti merujuk ke Mason dan Smith 2003 untuk mengukur relasi gender melalui otonomi dan kuasa perempuan. Aspek otonomi dan kuasa perempuan dalam lima hal yakni; 1 Kuasa perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi rumahtangga, 2 Kuasa perempuan dalam pengambilan keputusan tentang ukuran keluarga 3 Kebebasan dalam bergerak, 4 Kontrol koersif interpersonal dan 5 Sikap gender di level komunitas yang dipahami oleh individu Mason dan Smith, 2003. Mason dan Smith 1999 telah menguji aspek otonomi perempuan secara kuantitatif dengan menggunakan data survey 56 komunitas pada lima negara Asia, yakni Pakistan Punjab, India Uttar Pradesh dan Tamil Nadu, Malaysia, Thailand dan Filipina 9 . Mereka menemukan bahwa terdapat pola hubungan yang cukup konsisten di level makro bahwa pada komunitas-komunitas di mana perempuan memiliki kekuasaan pengambilan keputusan lebih besar dan kebebasan bergerak, mereka memiliki actual fertility yang lebih rendah, keinginan yang lebih rendah untuk menambah anak, dan penggunaan kontrasepsi yang lebih tinggi. Temuan Mason dan Smith 1999 ini sejalan dengan temuan Hakim et al. 2003 di Pakistan. Hakim et al. 2003 menemukan bahwa di Pakistan, indikator otonomi perempuan sebagaimana yang digunakan oleh Mason dan Smith 1999 berkorelasi positif dengan penggunaan kontrasepsi. Lebih lanjut, Hakim et al. 2003 menemukan bahwa aspek otonomi perempuan yang terkuat pengaruhnya terhadap penggunaan kontrasepsi adalah pengambilan keputusan ekonomi rumah tangga dalam hal pembelian makanan. Baik Mason dan Smith 1999 maupun Hakim et al. 2003 setuju bahwa bagaimana cara otonomi perempuan mempengaruhi fertilitas belum dapat 9 Pada penelitian ini, Mason dan Smith 1999 merumuskan aspek otonomi perempuan ke dalam 3 indikator, yakni pengambilan keputusan ekonomi, pengambilan keputusan terkait jumlah anak dan mobilitas perempuan. Pada tulisan merekaselanjutnya 39 dipastikan. Hakim et al. 2003 menyatakan bahwa kepastian ini belum dapat ditemukan karena penelitian kualitatif yang menggali mengenai hubungan antara kedua variabel ini belum dilakukan. Penelitian kualitatif diperlukan untuk mengetahui makna di balik otonomi dan kuasa perempuan yang akhirnya dapat mempengaruhi actual fertilitynya. Pada komunitas-komunitas yang berbeda, akan terdapat norma-norma komunitas yang mengatur relasi gender secara berbeda. Meski demikian, keunikan antar individu dalam sebuah komunitas memungkinkan adanya variasi relasi gender antar individu-individu di dalamnya. Pada kerangka penelitian tersebut, kemudian aspek otonomi dan kuasa perempuan melalui 2 jalan sebelum akhirnya mempengaruhi actual fertility. Pertama, aspek otonomi dan kuasa perempuan terlebih dahulu mempengaruhi desired fertility perempuan. Lalu di antara para perempuan yang kemudian menginginkan jumlah anak yang sedikit tersebut, akan ada upaya pembatasan jumlah anak melalui proximate determinant yakni aborsi dan penggunaan kontrasepsi. Aborsi dan penggunaan kontrasepsi ini pada akhirnya akan mempengaruhi actual fertility yang dimiliki oleh perempuan. Kedua, aspek otonomi dan kuasa perempuan langsung mempengaruhi proximate determinant yakni usia kawin dan infekundabilitas setelah melahirkan. Usia kawin dan infekundabilitas setelah melahirkan kemudian akan mempengaruhi actual fertility yang dimiliki oleh perempuan. Temuan-temuan di atas berupaya menghubungkan variabel relasi gender dengan fertilitas melalui variabel lain, yakni penggunaan kontrasepsi Mason dan Smith, 1999 dan Hakim, 2003, dan jumlah anak yang dilahirkan, keinginan untuk memiliki anak lagi Mason dan Smith, 1999. Upaya ini sesuai dengan saran Bongaarts 1978 menyebutkan bahwa cara menghubungkan variabel relasi gender dan fertilitas secara langsung akan bermasalah dalam aplikasinya; karena sering ditemukan bahwa perbedaan besar dan arah antar kedua variabel dalam setting tempat dan waktu yang berbeda. Kompleksitas tersebut dimungkinkan karena fertilitas adalah variabel yang bersifat biologis, sementara kemiskinan adalah variabel sosial budaya sehingga tidak dapat dihubungkan secara langsung melainkan harus melalui variabel antara. 40 Bongaarts 1978 lalu mengusulkan variabel antara proximate determinant fertilitas yang ia definisikan sebagai faktor-faktor biologis dan perilaku melalui mana variabel sosial ekonomi, budaya dan lingkungan mempengaruhi fertilitas. Ide Bongaarts ini merujuk pada ide awal yang dilontarkan oleh Davis dan Blake pada tahun 1956 yang mengusulkan 11 variabel. Bongaarts 1978 pada awalnya mengusulkan 8 variabel, tetapi kemudian pada kesimpulannya terhadap data nasional beberapa negara maju dan berkembang dengan metode kuantitatif, Bongaarts menemukan bahwa hanya usia menikah, kontrasepsi, aborsi yang disengaja dan infekundabilitas karena laktasi yang menjadi proximate determinant utama. Keempat proximate determinant yang diusulkan Bongaarts 1978 inilah yang dimanfaatkan oleh peneliti dalam penelitian ini untuk menjadi variabel antara relasi gender dan actual fertility.

2.5. Hipotesis Pengarah

Dokumen yang terkait

Cost Analysis of Madu Odeng in Bantar Jaya Village Bogor District, West Java

0 24 146

Gender Roles of Farmer Families in Vegetable Agro Forestry System (A Case Study At Nanggung SubDistrict, Bogor District, West Java Province)

0 9 17

Utilization of information by the vegetable farmers (Case of Ciaruteun Ilir Village, Cibungbulang Subdistrict, Bogor Regency, West Java Province)

4 19 260

The Response of Smallholder Private Forest Bussines Actors About The Origin Certificate of Wood (Case Studies in Jugalajaya Village, Jasinga District, Bogor Regency, West Java).

0 6 72

Management Model of Islamic Boarding School Forest (A case study in Darunnajah 2 Islamic Boarding School Cipining, Argapura Village, Cigudeg Sub District, Bogor Regency, West Java)

0 10 190

ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 13

INTRODUCTION ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 8

LITERATURE REVIEW ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 4 11

CONCLUSION AND RECOMMENDATION ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 9

Strategy of Local Government in Household Waste Management in Jatinangor District Sumedang Regency West Java Province

0 0 25