56
4.2.3. Konteks Sosial Budaya
Sebagian besar penduduk Provinsi Jawa Barat adalah suku Sunda. Bahasa yang digunakan oleh sebagian besar penduduk adalah Bahasa Sunda, di beberapa
kota di pesisir utara, dituturkan bahasa Jawa dialek Cirebon, yang mirip dengan Bahasa Banyumasan dialek Brebes. Di daerah perbatasan dengan DKI Jakarta
seperti sebagian Bekasi, sebagian Depok, dan Kabupaten Bogor bagian utara dituturkan bahasa Indonesia dialek Betawi. TMII-Taman Mini Indonesia Indah,
tidak ada tahun Secara umum, Suku Sunda adalah suku yang jarang merantau meninggalkan
wilayah sukunya. Hal ini tercermin dalam salah satu pepatahnya: Bengkung ngariung bongkok ngaronyok
Arti dari pepatah ini adalah bahwa sesulit apapun, tinggal bersama-sama lebih baik daripada tinggal terpisah. Hal ini tampak pula dari rumah tangga-rumah
tangga di pedesaan Jawa Barat yang terdiri dari lebih dari satu keluarga, atau meskipun tidak tinggal dalam satu rumah, tetapi tetap tinggal berdekatan.
Mengenai pandangan terhadap wanita, Budaya Sunda lama memiliki pandangan yang mengutamakan perempuan. Hal ini tampak dalam kisah sastra
yang populer di Jawa Barat “Lutung Kasarung”. Dalam kisah ini, banyak wanita menempati posisi sebagai tokoh utama. Salah satunya ialah tokoh wanita Sunan
Ambu. Tokoh wanita ini, menurut Ayip Rosyidi, merupakan tokoh tertinggi dalam sistem budaya orang Sunda. Ekadjati, 1984 dalam Karman, tidak ada
tahun Satu ungkapan yang menunjukkan penghargaan Suku Sunda kepada
perempuan adalah ungkapan berikut Ari munjung ulah ka gunung muja ulah ka nu bala; ari munjung kudu ka
indung muja mah kudu ka bapa. Ungkapan di atas merupakan simbol pancakaki hubungan seseorang dengan
orang lain menurut silsilah dalam masyarakat Sunda, artinya adalah yang harus disembah itu bukan gunung atau tempat-tempat angker, melainkan ibu dan ayah.
57
Dari segi susunan kalimatnya ungkapan di atas mengandung pola yang cukup menarik yaitu penempatan kata indung ibu lebih didahulukan daripada kata
bapa ayah. Hal tersebut menunjukkan penghormatan kepada Ibu adalah harus didahulukan daripada penghormatan kepada ayah. Selain ungkapan tersebut,
terdapat ungkapan lain yang menunjukkan penghormatan lebih kepada ibu, yakni; Indung tunggulna rahayu; bapa catangna darajat.
Arti dari ungkapan tersebut adalah bahwa ibu itu fondasi kehidupan sedangkan ayah merupakan jembatan untuk mencapai kehormatan atau derajat. Karman,
tidak ada tahun Hal yang menarik ialah bahwa masyarakat Sunda ada satu keyakinan; dosa
yang tidak akan terampuni ialah dosa ka indung dosa kepada ibu, sebelum ibu memaafkannya. Meskipun sudah bertobat kepada Tuhan, Suku Sunda percaya jika
Tuhan tidak akan mengampuni dosa seseorang sebelum ibunya memaafkan dosa tersebut Karman, tidak ada tahun.
Namun kemudian dalam perkembangan budaya Sunda, pandangan terhadap perempuan mengalami pergeseran. Ungkapan-ungkapan yang saat ini lebih akrab
di telinga adalah ungkapan seperti yang disampaikan sebagai berikut; Awewe mah dulang tinande.
Arti dari ungkapan ini adalah bahwa perempuan adalah wadah yang terbuka, yang mengharapkan isi dari orang lain. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang
tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan harus “diisi” oleh orang lain laki-laki agar dapat bertahan hidup. Ungkapan lain yang senada dengan
ungkapan tersebut adalah; Awewe mah heureut deuleu pondok lengkah.
Awewe mah tempatna di dapur. Arti dari ungkapan pertama adalah bahwa perempuan memiliki pandangan dan
langkah yang pendek, atau dapat diartikan sebagai anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kehandalan dalam mengoptimalkan daya pikirnya. Karena itulah,
58
tempat perempuan yang pantas adalah di dapur dan tidak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan Ekadjati, 1995, sebagaimana dinyatakan dalam
ungkapan kedua. Setelah membahas Provinsi Jawa Barat secara ringkas, berikut ini disampaikan gambaran mengenai desa lokasi penelitian.
4.3. Desa Neglasari