90
control sebagaimana yang diusulkan oleh Mason dan Smith 2003, tetapi istilah ruang gerak perempuan dalam pengambilan keputusan dianggap peneliti lebih
sesuai dengan tujuan penelitian yang memiliki perhatian pada ruang-ruang di mana perempuan mampu memiliki akses dan kontrol sehingga mampu
bernegosiasi dengan suaminya.
6.3.1. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi Rumah
Tangga
Di lokasi penelitian, para responden perempuan mengakui bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan ekonomi dalam rumah tangga.
Hal ini berlaku untuk responden yang bekerja dan berkontribusi dalam ekonomi keluarga, maupun yang tidak. Para responden yang diwawancara, baik yang
bekerja maupun tidak umumnya mengatakan bahwa untuk alat-alat rumah tangga mereka menyampaikan kebutuhan tersebut kepada suami. Setelah itu, mereka
berdua akan mendiskusikan dan mengambil keputusan bersama, disesuaikan dengan kondisi keuangan rumah tangga. Maksud disesuaikan dengan kondisi
rumah tangga adalah bahwa pada beberapa rumah tangga, seorang istri memungkinkan untuk mengusulkan pengadaan mesin cuci atau lemari es,
sementara di rumah tangga lain tidak. Saat rumah tangga kemudian memiliki pendapatan lebih, uang tersebut dapat dialokasikan bagi kebutuhan yang
diusulkan istri tersebut. Sementara untuk kebutuhan pribadi perempuan, para responden istri pada
umumnya tidak merasa perlu untuk meminta izin sang suami. Sebagian responden mengatakan bahwa ia sering dibelikan kebutuhan pribadi seperti pakaian dan
kosmetik oleh suaminya yang bekerja di luar desa, misalnya Ciamis, Tangerang dan Jakarta. Di lokasi penelitian, para istri umumnya membeli barang-barang
termasuk pakaian dengan cara mencicil. Umumnya periode mencicil adalah setiap minggu dengan lama cicilan sebanyak 1-3 bulan. Mereka mencicil kepada para
pedagang keliling, baik yang asli dari desa maupun yang bukan penduduk asli. Keputusan atas pangan keluarga adalah wilayah keputusan terbesar yang
dimiliki oleh para perempuan. Para suami menyebutnya dengan “urusan istri”. Hal ini berarti dua hal, bahwa istri memiliki kontrol yang besar atas keputusan pangan,
91
tetapi di sisi lain, mereka memiliki wilayah ini karena suami cenderung menganggapnya sebagai urusan “tabu” bagi lelaki untuk turut campur. Anggapan
atas tabu yang membawa ke arah seolah-olah tidak peduli ini sering membawa dampak negatif bagi perempuan, bahwa mereka harus berjuang sendiri dengan
memanfaatkan sumber yang ada atau mencari pinjaman untuk memperoleh bahan makanan bagi keluarga.
Bagi perempuan di lokasi penelitian, memasak bukanlah terbatas sebagai pekerjaan domestik. Bahan pangan seringkali diperoleh dengan cara membeli atau
dengan memetik di kebun sendiri sebagai hasil mereka bercocok tanam. Mencari kayu bakar sebagai sumber energi yang digunakan untuk memasak seringkali
adalah hasil bekerja di ruang publik. Seorang responden menyebutkan bahwa ia harus pergi ke desa sebelah yang sudah berbeda provinsi untuk memperoleh kayu
bakar, tanpa jaminan bahwa ia akan pulang dengan dapat membawa kayu bakar dalam jumlah yang cukup. Responden lain menyebutkan bahwa ia saat ini sering
memulung botol dan cangkir plastik air mineral di wilayah desa dan sekitarnya sebagai pengganti bahan bakar minyak tanah yang dibutuhkan untuk menyalakan
kayu. Keputusan anggaran mengenai anak menurut para responden adalah
keputusan istri dan suami. Namun, kontrol terbesar tetap di tangan istri. Hal ini dapat dilihat pada istri-istri yang tidak tinggal bersama suaminya karena suami
bekerja di luar desa dan hanya pulang sekali dalam seminggu. Pada kasus seperti ini, istri memiliki kuasa untuk mengeluarkan uang demi kepentingan sang anak.
Salah satu contoh adalah Ibu I yang mencari pinjaman untuk kepentingan kegiatan ekstrakurikuler anak. Anggaran yang dikeluarkan tanpa persetujuan suami
tersebut relatif besar, yakni sebanyak Rp 30.000; bandingkan dengan pengeluaran untuk berbelanja yang kurang lebih Rp 10.000 setiap harinya.
Merujuk pada 5 pola pengambilan keputusan Sajogyo 1983, maka dapat disimpulkan bahwa di desa studi, keputusan ekonomi rumah tangga sehari-hari
adalah keputusan istri sendiri. Sementara untuk kebutuhan rumah tangga yang relatif besar seperti peralatan rumah tangga, hal tersebut umumnya adalah
keputusan bersama dengan suami dominan dan pada beberapa kasus merupakan keputusan setara suami dan istri.
92
6.3.2. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi Rumah