Gejala Tekanan Penduduk Desa Neglasari

67 Ketidakmampuan pertanian untuk menyediakan penghidupan bagi masyarakat desa studi disebabkan semakin sempitnya lahan pertanian yang ada. Hal ini umumnya disebabkan oleh pembagian lahan dari orangtua ke anak-anak yang cukup banyak dalam keluarga dan konversi lahan pertanian ke rumah tinggal. Merosotnya pertanian sebagai sumber pendapatan juga disebabkan oleh rusaknya sistem irigasi 3 atau 4 tahun lalu. Rusaknya sistem irigasi ini menyulitkan penduduk untuk bertani terutama di musim kemarau. Sejak rusaknya irigasi, penduduk mengandalkan hujan untuk mengairi padi mereka sehingga saat ini mereka hanya mampu panen sekali dalam setahun, di sela-sela itu mereka bertanam singkong dengan hasil yang tidak seoptimal tahun-tahun sebelumnya.

4.3.5. Gejala Tekanan Penduduk

Dengan situasi sosial ekonomi sebagaimana disampaikan di atas, penduduk Desa Neglasari saat ini tidak memiliki banyak pilihan untuk memperoleh penghidupan. Para penduduk pada kategori usia yang lebih tua generasi kedua, sudah bercucu, usia sekitar 45-59 tahun umumnya adalah generasi yang dahulu masih sempat menikmati masa indah bertani sehingga tidak memiliki keahlian di bidang lain. Generasi ini pada saat ini umumnya memilih untuk tetap bertani dengan sumber daya yang ada dan mendapat dukungan keuangan dari anak- anaknya yang sudah bekerja. Generasi ketiga sudah beranak dan belum bercucu, sekitar usia 30-44 tahun sebagian masih memilih pekerjaan sebagai petani, terutama bagi pemilik lahan dan atau yang tidak memiliki keahlian lain selain sebagai buruh tani. Sementara sebagian yang lain dari generasi ini memilih untuk bekerja di bidang lain, terutama di sektor informal, misalnya pedagang keliling, sopir, kuli atau tukang. Generasi yang lebih muda di bawah 30 tahun adalah anak-anak muda yang tidak lagi memiliki pilihan di desa karena lahan pertanian masih dimiliki oleh orangtua mereka dan saat tiba waktunya mereka memperoleh lahan tersebut, lahan sudah dalam luasan yang sangat kecil karena dibagi dengan saudara- saudaranya. Selain itu, ada pula anggapan di kalangan pemuda perempuan dan laki-laki bahwa pertanian identik dengan pekerjaan yang kotor dengan tanah sehingga mereka merasa enggan terlibat dalam kegiatan ini. Temuan ini sejalan 68 dengan temuan White 2011 pada studinya di berbagai belahan dunia mengenai pemuda dan masa depan pertanian. Para pemuda ini umumnya adalah pemuda yang hanya tamat SMP dan sebagian SMA, kurang dari 10 orang pemuda yang mampu mencapai pendidikan lebih tinggi dari SMA. Hal ini selain disebabkan oleh situasi ekonomi orangtua, pada sebagian kecil kasus juga disebabkan oleh rendahnya prioritas orangtua dan anak pada pendidikan anak. Wawancara dengan putri salah seorang terkaya di desa menunjukkan bahwa dia dan orangtuanya hanya menginginkan sekolah sampai SMA, menemukan pria yang baik lalu menikah dan mengurus rumah tangga. Para pemuda dengan pendidikan dan keterampilan yang rendah ini pada umumnya akan melakukan migrasi ke kota-kota industri terdekat seperti Jakarta dan Tangerang dan melakukan pekerjaan-pekerjaan informal dengan bayaran rendah. Pekerjaan ini misalnya sebagai penjaga toko, asisten rumah tangga, pekerja bengkel atau sales pedagang eceran dari produk tertentu yang berkeliling dari rumah ke rumah dengan bayaran rendah, berkisar Rp 300 ribu – 1,5 juta per bulan. Hasil wawancara dan diskusi dengan responden menunjukkan bahwa hanya sedikit dari pemuda yang tidak menemukan tempatnya di desa ini, mampu menemukan tempatnya di kota konsep displaced sebagaimana dinyatakan oleh Li, 2009, umumnya mereka bekerja dengan bayaran di bawah Rp 1 juta per bulan. Reaksi terhadap tekanan penduduk dapat dikategorikan menjadi adaptasi ke dalam dan adaptasi ke luar. Pada kasus ini, terlihat adaptasi keluar atas tekanan penduduk terjadi dalam bentuk migrasi sirkuler yang dilakukan ke kota-kota industri seperti Tangerang dan Jakarta untuk mencari pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan tinggi. Dengan kapasitas sumber daya yang rendah baik dari segi pendidikan dan keterampilan, para migran ini berpotensi menimbulkan tekanan baru bagi lingkungan baru mereka. Dengan keterbatasan kapasitas tersebut, mereka akan tersingkir dari persaingan memperoleh penghidupan yang layak di kota, dan kemungkinan hanya akan mampu mengisi wilayah-wilayah kumuh di sana. Di dalam desa sendiri, situasi ini memunculkan 69 pengangguran yang tidak terserap ke dalam pekerjaan di desa dan gagal di kota. Meski sampai saat ini para pengangguran tersebut tidak menimbulkan masalah di dalam desa, tanpa ada tindak lanjut, para penganggur ini akan menimbulkan keresahan sendiri, baik didalam diri penganggur tersebut, maupun bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya. Respon demografi yang mulai terasa adalah ungkapan sebagian responden dan informan yang menginginkan jumlah anak lebih sedikit dibandingkan jumlah anak yang dimiliki oleh orangtuanya dahulu. Alasan yang mereka kemukakan adalah karena lahan pertanian yang semakin sempit dan sumber penghidupan layak menurut mereka yang saat ini tidak mudah dicari. 70 71

V. FERTILITAS DI DESA STUDI

5.1 Pendahuluan

Dalam bab ini akan dibahas mengenai aspek-aspek fertilitas di desa studi, sub-bab yang dibahas adalah, konteks demografis desa studi, gambaran fertilitas di desa studi, partisipasi dalam program keluarga berencana, nilai fertilitas bagi perempuan dan lelaki, nilai anak dan desired fertility. Hal-hal tersebut diharapkan untuk mampu memberi gambaran mengenai situasi fertilitas di desa studi yang akan menjadi landasan untuk sampai ke bab terakhir, yakni pembahasan mengenai pengaruh relasi gender terhadap fertilitas di desa studi. 5.2 Konteks Demografis Sebelum menggambarkan mengenai situasi fertilitas di desa studi. Terlebih dahulu akan ditampilkan data mengenai konteks demografis di desa studi. Data yang ditampilkan pada Tabel 7 menggambarkan secara ringkas jumlah penduduk dan rumah tangga di desa studi. Tabel 7 Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga Desa Neglasari, Tahun 2008 dan 2011

Dokumen yang terkait

Cost Analysis of Madu Odeng in Bantar Jaya Village Bogor District, West Java

0 24 146

Gender Roles of Farmer Families in Vegetable Agro Forestry System (A Case Study At Nanggung SubDistrict, Bogor District, West Java Province)

0 9 17

Utilization of information by the vegetable farmers (Case of Ciaruteun Ilir Village, Cibungbulang Subdistrict, Bogor Regency, West Java Province)

4 19 260

The Response of Smallholder Private Forest Bussines Actors About The Origin Certificate of Wood (Case Studies in Jugalajaya Village, Jasinga District, Bogor Regency, West Java).

0 6 72

Management Model of Islamic Boarding School Forest (A case study in Darunnajah 2 Islamic Boarding School Cipining, Argapura Village, Cigudeg Sub District, Bogor Regency, West Java)

0 10 190

ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 13

INTRODUCTION ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 8

LITERATURE REVIEW ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 4 11

CONCLUSION AND RECOMMENDATION ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 9

Strategy of Local Government in Household Waste Management in Jatinangor District Sumedang Regency West Java Province

0 0 25