Ruang Gerak Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

111 Dalam kaitannya dengan penggunaan kontrasepsi, sebagian responden menganggap bahwa penggunaan kontrasepsi adalah “berdosa” dan dilarang oleh agama. Pandangan ini ditemukan pada beberapa responden yang berusia di atas 55 tahun. Namun, saat ini pandangan tersebut hanya dimiliki oleh sebagian kecil responden. Responden umumnya menegosiasikan nilai tentang larangan kontrasepsi dengan nilai larangan menelantarkan anak. Pada upaya negosiasi ini, saat kemudian mereka menginternalisasi nilai bahwa menelantarkan anak lebih berdosa dibandingkan menggunakan kontrasepsi, mereka akan berani mengambil keputusan menggunakan kontrasepsi. Hal lain yang kemudian mungkin terjadi adalah bahwa sang suami telah menginternalisasi nilai yang sama sehingga kemudian sang istri menggunakan kontrasepsi, atau sang suami masih menginternalisasi nilai bahwa apapun alasannya, penggunaan kontrasepsi tetap salah sehingga ia melarang sang istri menggunakan kontrasepsi. Pada sebagian besar kasus tersebut, sang istri menuruti kemauan suami untuk tidak menggunakan kontrasepsi. Namun terdapat sebuah kasus di mana sang istri melakukan kontrasepsi secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan suami karena pandangan yang berbeda tersebut. Nilai-nilai di level komunitas yang dipahami oleh individu sangat mempengaruhi keputusan individu untuk menggunakan kontrasepsi atau tidak. Jika mereka memiliki pandangan yang kaku mengenai “haramnya” penggunaan kontrasepsi, pada saat mereka memiliki desired fertility yang sebenarnya rendah, mereka tetap tidak akan menggunakan kontrasepsi sehingga actual fertility mereka tetap tinggi atau mendekati jumlah anak potensial mereka.

6.3.9. Ruang Gerak Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

Ruang gerak perempuan dalam pengambilan keputusan merujuk pada keleluasaan yang dimiliki perempuan dalam setiap pengambilan keputusan. Keleluasaan di sini merujuk pada ada atau tidaknya intimidasi atau sanksi yang dialami perempuan saat dia membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan suaminya. Lebih jauh, hal ini juga merujuk pada ada atau tidaknya kekhawatiran perempuan setiap kali dia memiliki pendapat atau membuat keputusan yang mungkin berbeda dengan pendapat atau keputusan sang suami. 112 Hal yang digali antara lain adalah apakah para perempuan tersebut pernah mengalami kekerasan fisik atau psikologis dari suaminya, dan apakah mereka memiliki kekhawatiran bahwa mereka akan mendapatkan kekerasan tersebut dari sang suami jika memiliki pendapat atau keputusan yang berbeda. Berdasarkan informasi dari seorang informan, di desa pernah terdengar adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga, tetapi kasus ini tidak pernah dibesar-besarkan dan para tetangga maupun tokoh merasa segan untuk turut campur dalam masalah tersebut. Namun, berdasarkan diskusi informal dengan para ibu, kasus seperti ini sangat jarang terdengar di desa studi. Di desa studi, secara umum ditemukan bahwa hampir semua perempuan memiliki ruang gerak dalam pengambilan keputusan yang luas dalam hal pembelian kebutuhan sehari-hari. Hampir semua perempuan merasa nyaman untuk membuat keputusan dalam hal ini tanpa konfirmasi dengan suami dan tanpa memiliki kekhawatiran atas perbedaan pendapat. Sementara pada hal-hal lain perbedaan pendapat umumnya dapat diselesaikan dengan meminta pertimbangan pada keluarga yang lebih luas dan atau salah satu anggota pasangan biasanya istri melakukan penyesuaian terhadap pendapat pasangannya. Hal yang kemudian terlihat berbeda adalah bahwa ada perempuan- perempuan yang memiliki ruang gerak dalam pengambilan keputusan lebih luas dan ada perempuan yang lebih sempit. Pada perempuan-perempuan dengan ruang gerak yang lebih luas dalam pengambilan keputusan, mereka merasa lebih nyaman untuk mempertahankan dan menegosiasikan pendapatnya dengan suami untuk menemukan konsensus. Sementara pada perempuan dengan ruang gerak yang lebih sempit, mereka cenderung untuk memiliki tingkat penyesuaian level of conformity yang lebih tinggi terhadap suaminya, alih-alih menegosiasikan pendapat mereka yang berbeda. Lebih lanjut, temuan di lapangan menunjukkan bahwa para responden yang diwawancara tidak pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan jarang sekali mendengar tentang hal tersebut. Penulis menduga hal ini ada hubungannya dengan para istri yang berasal dari Desa Neglasari dengan orangtua dan keluarga besar tinggal di desa, sehingga mereka memiliki jejaring pengaman yang lebih 113 kuat dibandingkan jika mereka adalah orang asing. Hubungan antar tetangga di desa ini juga sangat kuat, para ibu dan bapak yang tinggal di desa seringkali menghabiskan waktu dengan duduk-duduk dan berbicara satu sama lain, sehingga ruang privat yang tersedia sangat sempit bagi setiap pasangan, hal ini mungkin pula yang menjadi faktor penekan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Wawancara dengan para istri menunjukkan bahwa saat pertanyaan apakah mereka takut bahwa suaminya akan memukul mereka saat terjadi perbedaan pendapat, mereka terkejut. Keterkejutan ini dipicu oleh jauhnya isu tersebut dari kehidupan sehari-hari mereka. Lebih lanjut, mereka menyatakan bahwa tidak pernah terpikir dalam pikiran mereka jika suaminya akan memukul mereka. “Kalau suami saya mukul, saya tidak akan mau masakin.” “Kalau sampai mukul ya tinggalin aja Mbak.” Ungkapan-ungkapan yang muncul dari para responden perempuan selama wawancara dan diskusi informal tersebut menunjukkan bahwa isu kekerasan dalam rumah tangga adalah isu yang cukup jauh dari kehidupan sehari-hari mereka. Meski demikian, ketika digali lebih jauh mengenai bagaimana perbedaan pendapat diselesaikan dalam rumah tangga, terdapat perbedaan yang nyata antara para responden, sebagaimana telah disinggung di atas. Beberapa pernyataan berikut menunjukkan hal ini. “Saya jarang beda pendapat sama suami, kalau urusan yang gede-gede biasanya suami mutusin, saya sih ikut saja.” ”Beda pikiran dalam rumah tangga kan biasa, tapi kalau sampai ribut sih gak pernah. Suami lebih ngerti, jadi saya nurut suami.” Pernyataan-pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa para perempuan tersebut memiliki tingkat penyesuaian yang tinggi terhadap suaminya. Pernyataan tersebut kemudian dapat dibandingkan dengan pernyataan-pernyataan berikut. “Namanya rumah tangga pasti adalah beda-beda pendapat, tapi Alhamdulillah bisa diselesaikan tanpa sampai ribut-ribut. Kadang-kadang 114 saya yang ngalah, kadang-kadang suami yang ngalah, tergantung sikonnya situasi dan kondisi.” Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perempuan memiliki ruang gerak dalam pengambilan keputusan yang lebih luas, sehingga tidak merasa harus selalu menuruti sang suami setiap kali memiliki pendapat yang berbeda. Para perempuan ini masih memiliki rasa nyaman untuk menegosiasikan perbedaan pendapatnya dengan suami dibandingkan dengan perempuan lain yang memiliki ruang gerak yang lebih sempit. Luas atau sempitnya ruang gerak perempuan dalam pengambilan keputusan di desa studi terlihat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan diri yang dimiliki oleh perempuan. Tingkat kepercayaan diri yang tinggi umumnya ditemukan pada perempuan dengan kebebasan bergerak yang relatif tinggi sehingga memungkinkannya untuk melakukan transfer informasi dengan orang-orang selain orang-orang yang berada di lingkungannya. Transfer informasi tersebut memungkinkannya untuk menerima dan menyerap pandangan-pandangan baru mengenai berbagai isu yang terkait dengan kehidupannya. Selain itu, luas atau sempitnya ruang gerak istri juga terlihat dipengaruhi oleh faktor suami. Suami dengan pandangan yang lebih fleksibel mengenai peran istri dan suami dalam rumah tangga terlihat mampu berbagi ruang keputusan dengan istri dan lebih dapat menerima pandangan istri. Suami dengan karakter tersebut umumnya ditemukan pada suami yang pernah tinggal di luar desa untuk bekerja atau bersekolah, atau memang berasal dari luar desa.

6.3.10. Ruang Gerak Perempuan dalam Pengambilan Keputusan dan

Dokumen yang terkait

Cost Analysis of Madu Odeng in Bantar Jaya Village Bogor District, West Java

0 24 146

Gender Roles of Farmer Families in Vegetable Agro Forestry System (A Case Study At Nanggung SubDistrict, Bogor District, West Java Province)

0 9 17

Utilization of information by the vegetable farmers (Case of Ciaruteun Ilir Village, Cibungbulang Subdistrict, Bogor Regency, West Java Province)

4 19 260

The Response of Smallholder Private Forest Bussines Actors About The Origin Certificate of Wood (Case Studies in Jugalajaya Village, Jasinga District, Bogor Regency, West Java).

0 6 72

Management Model of Islamic Boarding School Forest (A case study in Darunnajah 2 Islamic Boarding School Cipining, Argapura Village, Cigudeg Sub District, Bogor Regency, West Java)

0 10 190

ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 13

INTRODUCTION ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 8

LITERATURE REVIEW ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 4 11

CONCLUSION AND RECOMMENDATION ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 9

Strategy of Local Government in Household Waste Management in Jatinangor District Sumedang Regency West Java Province

0 0 25