95
keputusan ukuran keluarga hanya akan menuruti keinginan suami tentang jumlah anak. Si perempuan ini juga tidak mampu untuk menegosiasikan penggunaan
kontrasepsi dengan suami sehingga pada beberapa kasus ditemukan perempuan- perempuan dengan actual fertility yang tinggi karena tidak diizinkan oleh sang
suami untuk menggunakan kontrasepsi karena suami menginginkan anak banyak.
6.3.5. Kebebasan dalam Bergerak
Desa Neglasari terletak relatif dekat 4 km dengan Kota Kecamatan Jasinga di mana fasilitas klinik kesehatan, pasar kecamatan dan sekolah SMA Sekolah
Menengah Atas, tetapi meskipun relatif dekat, aksesibilitas dari desa menuju kota kecamatan tidaklah mudah. Akses penduduk desa ke kota kecamatan akan mudah
jika mereka memiliki kendaraan pribadi sendiri. Saat ini sekitar 40 persen penduduk memiliki sepeda motor, dan kurang dari 10 orang yang memiliki mobil.
Tidak ada transportasi umum yang melewati Desa Neglasari. Fasilitas jalan di desa juga tidak memiliki jalan umum, jalan yang ada hanyalah jalan desa, para
penduduk harus melewati jalan yang sudah beraspal selama kurang lebih 2 km untuk mencapai jalan yang dilewati angkutan umum yang menghubungkan antar
desa tapi dalam frekuensi yang masih sangat sedikit. Penduduk harus membayar ojeg Rp 6 ribu
– Rp 10 ribu untuk sekali jalan menuju kota kecamatan, yang berarti Rp 12 ribu
– Rp 20 ribu untuk perjalanan berangkat dan pulang. Dibandingkan dengan upah standar untuk pertanian di desa yakni sekitar Rp
12.500 – Rp 15 ribu bagi buruh perempuan dan Rp 25 ribu untuk buruh laki-laki
untuk kerja separuh hari jarang sekali ada pekerjaan penuh hari di sana, biaya transportasi ini cukup mahal.
Sementara itu, meski secara administratif terletak di wilayah Kabupaten Bogor, bukanlah hal yang mudah untuk bepergian dari kota Bogor menuju ke desa
ini. Beberapa pegiat Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga PKK dari Desa Neglasari mengeluhkan lamanya waktu yang mereka butuhkan setiap kali mereka
menghadiri undangan di Cibinong, ibu kota Kabupaten Bogor. Demi menghadiri undangan pada pukul 8 pagi di Cibinong, mereka harus berangkat pukul 4 pagi
dari Balai Desa. Waktu yang dibutuhkan akan semakin lama dapat mencapai 5-6
96
jam jika mereka berangkat setelah jam 6 pagi, karena terdapat beberapa titik kemacetan di antara Kecamatan Jasinga dan Kota Cibinong.
Bukanlah hal yang sulit untuk menemukan para istri yang belum pernah pergi ke kota Bogor. Sebagian besar istri pada usia 40 tahun ke atas atau yang
umumnya sudah bercucu adalah perempuan yang hampir tidak pernah meninggalkan desa seumur hidupnya, kecuali ke desa-desa tetangga untuk
menghadiri hajatan, sementara sebagian besar istri berusia di bawah 40 tahun atau yang belum bercucu pernah bekerja di luar desa pada masa mudanya
migrasi sirkuler, tetapi kembali ke desa saat menikah, mengurus anak dan kemudian sangat jarang bepergian. Bekerja di luar desa di sini umumnya adalah
ke wilayah Jakarta dan Tangerang yang secara administratif berbeda provinsi, tetapi lebih mudah diakses dibanding Cibinong sebagai ibu kota Kabupaten
Bogor. Bagi seorang perempuan yang telah memiliki anak di Desa Neglasari,
bepergian ke luar desa merupakan hal yang sangat jarang dilakukan. Kebutuhan sehari-hari mereka peroleh dari kebun, dari tetangga atau dari warung. Umumnya,
jarang sekali terdapat alasan bagi para perempuan ini untuk harus pergi meninggalkan desanya.
Saat penulis melakukan penelitian, di Desa Neglasari sedang terdapat kegiatan Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera
P2WKSS. Kegiatan ini melibatkan banyak ibu-ibu dalam berbagai bidang kegiatan; seperti kegiatan Kesehatan, ekonomi mikro, dan pertanian. Masing-
masing kegiatan tersebut masih dipecah menjadi beberapa sub kegiatan yang membutuhkan keterlibatan aktif para ibu sebagai indikator kesuksesan program.
Dalam hubungannya dengan kebebasan bergerak para perempuan, diketahui dari pelaksanaan program ini jika tidak semua perempuan memiliki kebebasan
untuk memutuskan mengikuti program tersebut. Terdapat suami yang melarang istrinya mengikuti program ini meskipun suami sedang bekerja di luar kota
dengan alasan khawatir atas terlantarnya anak-anak, meskipun program hanya dilaksanakan di Balai Desa yang masih berada dalam satu lingkup desa.
Menemukan perempuan yang bebas mengambil keputusan untuk pergi
97
menghadiri kegiatan ini di luar desa, misal di kota kecamatan atau kabupaten adalah hal yang lebih sulit lagi. Umumnya, acara di luar desa ini akan dihadiri
oleh beberapa orang yang tetap, salah satunya adalah istri kepala desa yang memang aktif mengajar di Kota Tangerang setiap harinya. Tidak berangkatnya ibu
yang ditunjuk tidak semata-mata karena alasan dilarang suami, tetapi juga alasan khawatir meninggalkan anak, ada pula yang beralasan ekonomi, tetapi alasan
ekonomi ini tidak dapat diterima karena para peserta tidak perlu mengeluarkan biaya sedikitpun untuk biaya transportasi dan akomodasi. Istri kepala desa
mengakui bahwa jauh lebih sulit untuk meminta seorang ibu mengikuti kegiatan di luar desa dibandingkan meminta suaminya untuk berangkat.
Lebih lanjut, diketahui bahwa pada umumnya tidak berangkatnya para perempuan ke kegiatan-kegiatan ini bukan semata-mata karena jauhnya perjalanan
yang ditempuh, tetapi lebih kepada lama waktu kegiatan tersebut. Seorang istri menyebutkan bahwa dia tidak perlu meminta izin pada suaminya untuk bepergian
ke pasar yang berada di luar desa jika hanya memakan waktu 2 atau 3 jam, tetapi saat ia ke balai desa yang lokasinya hanya 30 menit dari tempat ia tinggal dari
pagi sampai sore, ia perlu meminta izin sebelumnya atau suaminya akan marah. Umumnya responden yang diwawancarai memiliki suami yang bekerja di luar
desa. Seorang responden dengan suami yang tinggal di desa mengatakan bahwa ia
memang tidak ingin untuk bepergian meskipun diajak suaminya, alasan kesehatan adalah alasan utama yang ia sampaikan. Suami sang responden yang bekerja di
desa mengatakan bahwa ia kerapkali mengajak istrinya untuk bepergian saat ia mendapat acara bepergian gratis dari desa sebagai staf desa tetapi sang istri selalu
menolak karena setiap kali bepergian menggunakan mobil, ia mabuk darat. Untuk bepergian di dalam lingkup desa, istri menyatakan bahwa ia tidak perlu minta izin
kepada suami karena ia pasti mengizinkan. Selain dilihat dari situasi yang ada saat ini, kebebasan dalam bergerak
dilihat pula pada masa sebelum pernikahan sang responden. Hal ini terutama berguna untuk nantinya memperhitungkan hubungannya dengan usia kawin
perempuan. Terdapat kecenderungan bahwa perempuan memiliki kebebasan
98
bergerak saat ini, memiliki pula kebebasan bergerak pada masa lajangnya. Namun, tidak semua perempuan yang saat lajangnya memiliki kebebasan dalam
bergerak kemudian masih memilikinya setelah menikah. Meski demikian, pada satu kasus khusus, terdapat cerita bahwa perempuan
dengan kebebasan bergerak yang terbatas saat sebelum menikah, kemudian memiliki kebebasan bergerak setelah menikah. Hal ini disebabkan oleh
tanggungjawab ekonomi yang harus ia tanggung setelah menikah saat orangtuanya tiba-tiba mengalami sakit, sementara ada 2 orang adik yang masih
ditanggung. Ia dengan ijazah SMAnya mengaktifkan diri ke dalam kegiatan- kegiatan pengajaran honorer dan kegiatan-kegiatan lain di desa sambil kemudian
melanjutkan sekolah ke sebuah Universitas Terbuka. Sang suami yang merupakan lulusan SMP dan adalah pilihan orangtua perempuan tersebut tidak melarang
karena menyadari pendapatan yang ia peroleh dari berjualan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan keluarga istrinya.
6.3.6. Kebebasan dalam Bergerak dan Fertilitas Aktual