61
4.3.3. Konteks Sosial-Budaya
Semua penduduk Desa Neglasari beragama Islam. Saat ini di Desa Neglasari terdapat 9 pesantren tradisional. Keberadaan pesantren banyak
berpengaruh terhadap kondisi sosial warga desa, tetapi tidak banyak mempengaruhi kondisi ekonomi meski banyak santri datang dari luar desa untuk
belajar di pesantren. Jumlah santri yang belajar di 9 pesantren saat ini cukup banyak. Masing-masing pesantren mampu menampung sekitar 100 santri. Santri
tinggal di asrama yang dimiliki oleh kiai di lingkup pesantrennya, dan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari mereka memasak sendiri dengan beras
yang umumnya dibawa dari rumah. Para santri sebagian besar berasal dari desa di luar Desa Neglasari. Terdapat warung-warung kecil berjualan makanan pokok,
makanan ringan dan jajanan, tetapi jumlahnya terbatas, mengingat santri memenuhi sebagian besar kebutuhan makannya dengan memasak sendiri
menggunakan bekal yang mereka bawa dari rumah. Keberadaan para kiai sangat mempengaruhi kondisi sosial budaya warga.
Kiai adalah tokoh yang dihormati dan menetapkan ritual yang dijalankan oleh seluruh warga. Penghormatan ini tidak terlepas dari anggapan bahwa para kiai dan
keturunannya adalah tetua desa, sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa Desa Neglasari baru berdiri sekitar tahun 1980-an, sementara pesantren telah ada
yang berdiri sejak tahun 1945- an. Ritual yang menonjol adalah “sedekah”.
Sedekah di sini berarti bahwa setiap bulan para warga disarankan menyumbang masakan biasanya berupa ayam panggang untuk dibawa ke masjid dan dimakan
bersama-sama oleh para santri. Hal ini berlaku untuk semua warga baik yang mampu atau tidak. Tidak ada sanksi yang pasti atas pelanggaran, namun warga
yang diwawancara yang berasal dari berbagai lapisan ekonomi menyatakan bahwa akan “tidak pantas” jika mereka tidak memberikan sumbangan. Ritual ini terutama
dilakukan di Dusun bawah, di mana pesantren-pesantren berlokasi. Seorang responden yang bersuamikan pendatang dari Cirebon menyatakan bahwa ritual ini
telah membuatnya tidak mungkin menyisihkan dana untuk tabungan. Norma sosial yang berlaku adalah norma yang bereferensi pada norma
agama, termasuk mengenai anak. Semua responden yang diwawancara lima
62
responden perempuan dan dua responden laki-laki dengan jumlah anak berkisar dari lima-dua belas menyatakan bahwa jumlah anak adalah urusan Tuhan,
sebagaimana menurut kata kiai yang berdasarkan aturan agama. Di antara responden tersebut ada yang menggunakan kontrasepsi ada pula yang tidak.
Meskipun demikian, saat peneliti menanyakan lebih jauh jika boleh menyarankan kepada anak perempuan mereka, apakah mereka akan menyarankan anak dalam
jumlah banyak; semua responden menyatakan bahwa jika boleh memberi saran, mereka akan menyarankan jumlah anak dua atau tiga, dengan maksimal empat
untuk memenuhi kelengkapan jenis kelamin. Bagi para kiai, memiliki istri lebih dari satu adalah hal yang wajar. Seorang
kiai terkemuka saat ini memiliki 2 istri, sebelumnya 4, tetapi yang 1 diceraikan dan yang 1 meninggal. Dari kedua istrinya, dia memiliki 8 anak. Tidak ada konsep
pembatasan kelahiran dalam pandangan kiai, namun istri-istrinya menggunakan kontrasepsi tanpa sepengetahuan suami karena merasa jumlah anak yang dimiliki
sudah terlalu banyak. Kiai di desa studi memiliki padangan yang ketat mengenai norma keagaamaan sehingga seringkali terjadi gesekan dengan penduduk desa
yang memiliki pandangan berbeda. Contohnya adalah saat warga desa dengan didampingi oleh para penyuluh dari petugas kecamatan untuk menonton tayangan
mengenai kontrasepsi di Balai Desa, tiba-tiba para santri yang diperintahkan oleh kiai menggerebek tempat tersebut dan melarang tayangan tersebut lebih lanjut.
Kepala Desa yang saat itu mengikuti program tersebut juga tidak dapat melakukan tindakan apapun karena jumlah santri terlampau banyak.
Sebagian besar remaja di Desa Neglasari mengikuti pengajian pesantren sebagai pendidikan informal. Pendidikan formal bukanlah prioritas bagi para
warga, terutama disebabkan oleh alasan ekonomi, sebagian besar warga adalah lulusan SMP. Pendidikan warga yang sampai SMP disebabkan oleh adanya SMP
yang gratis di desa, sementara SMA hanya tersedia di luar desa yang selain membutuhkan biaya transportasi juga memerlukan biaya sekolah karena tidak
gratis. Beberapa santri perempuan yang sempat ditemui oleh peneliti menyatakan bahwa tujuan akhir mereka setelah lulus adalah menemukan calon suami yang
baik, calon tersebut umumnya atas rekomendasi kiai, lalu mereka akan menikah.
63
Perceraian adalah hal yang relatif umum ditemukan di lokasi penelitian, pada generasi sekarang, perempuan umumnya menikah pada usia 17-18 tahun,
dan jauh lebih muda pada generasi sebelumnya. Penduduk yang pernah mengalami perceraian dan kemudian menikah kembali cenderung untuk memiliki
anak lebih banyak karena mereka ingin memiliki anak dari setiap pasangannya. Salah satu responden mengakui sudah memiliki tiga anak dan sudah sempat ingin
berhenti, tetapi kemudian dia bercerai dan membatalkan rencana kontrasepsinya karena ia ingin memiliki anak dari suaminya yang sekarang.
4.3.4. Konteks Sosial-Ekonomi