proceed Green. Menurut Green, pengetahuan termasuk faktor yang mempredisposisi perilaku GreendanKreuter, 2000. Jika seseorang memiliki pengetahuan yang
cukup baik terkait suatu isu, maka individu atau kelompok tersebut memiliki kecenderungan untuk berperilaku sesuai dengan apa yang telah diketahuinya.
Namun perlu diingat, pengetahuan bukan faktor tunggal yang mempengarui perilaku. Selalu ada faktor lain yang juga mempengaruhi perilaku dan dapat pula
berinteraksi denga faktor pengetahuan tersebut.
6.7 Hubungan Sikap dengan Perilaku Sekual Remaja Pria di Indonesia Tahun
2012
Hasil analisis univariat diketahui bahwa 56.9 remaja pria bersikap negatif terkait perilaku seksual yang berisiko IMS. Artinya lebih dari separuh remaja pria
memiliki permisifitas yang cukup tinggi terkait terhadap perilaku seksual. Temuan ini cukup mengkhawatirkan. Sikap remaja yang negatif terhadap isu kesehatan
reproduksi atau cenderung persmisif terhadap perilaku seksual. Sikap yang demikian berpotensi pada perilaku seksual.
Sikap merupakan salah satu domain yang menetukan perilaku Notoatmodjo, 2010. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, yang tertera pada hasil
bahwa remaja yang bersikap negatif lebih banyak berperilaku seksual berisiko IMS 24 dibandingkan remaja yang bersikap positif 2.7. Berdasarhan hasil analisis
bivariat diperoleh p value sebesar 0.000 yang berarti terdapat hubungan signifikan antara sikap dengan perilaku seksual remaja pria di Indonesia tahun 2012.
Pernyataan Notoatmojo dan hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Andriani 2013 di Program Studi DIII Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Respati Yogyakarta Andriani, 2013 dan Puspita 2012 di SMKN 4
Jeneponto bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dan perilaku seksual remaja Puspita et al., 2012. Hasil penelitian Andriani juga ditemukan
bahwa responden dengan sikap negatif lebih banyak melakukan perilaku seksual berisiko 54.6 dibandingkan responden yang bersikap positif 28.1 Andriani,
2013. Terdapat kesamaan antara penelitian ini dengan penelitian andriani 2013 yakni kesamaan subjek penelitian, yaitu remaja. Selain itu analisis bivariat yang
dilakukan Andriani 2013 juga sama dengan yang peneliti lakukan, yakni menggunakan uji chi-square. Demikian pula halnya dengan penelitian Puspita et. al.
2012, responden yang memiliki perilaku seks berat dengan sikap negatif 82,1 lebih banyak dari sikap positif 29,1. Penelitian Puspita et al serupa dengan yang
dilakukan peneliti, dari segi metode sama-sama menggunakan uji chi-square untuk analisis bivariat dan subjek penelitian juga pada remaja.
Pratiwi dan Basuki pada studinya yang dilakukan tahun 2011 juga menemukan adanya hubungan yang signifikan antara sikap dengan perilaku seksual tak aman
PratiwidanBasuki, 2011. Hasil studi Hakim 2012 pun menunjukkan hasil serupa, dimana ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan kejadian perilaku seks
berisiko pada remaja tunarungu di SMALB Kota Padang Hakim, 2012. Jika memiliki sikap positif terkait suatu isu, seseorang memiliki kecenderungan
berperilaku yang sesuai dengan isu tersebut. Begitupun sebaliknya, jika memiliki sikap negatif, cukup besar potensi seseorang untuk berperilaku berlawanan dengan
isu tersebut. Jadi tidaklah janggal bila lebih banyak remaja Indonesia yang bersikap negatif berperilaku seksual berisiko IMS lebih banyak daripada yang bersikap
positif.
6.8 Hubungan Peran Sekolah dengan Perilaku Sekual Remaja Pria di Indonesia
Tahun 2012
Sekolah merupakan salah satu tempat dimana remaja yang masih sekolah menghabiskan waktu cukup banyak. Sekitar sepertiga waktu dalam sehari kecuali
hari libur dihabiskan di sekolah. Oleh sebab itu sekolah dirasa dapat berperanmemiliki peran cukup penting sebagai penyedia informasi kesehatan
reproduksi bagi remaja. Tidak harus pada jam pelajaran, informasi ini bisa juga disampaikan melalui kegiatan ekstrakulikuler atupun pelajaran tambahan lainnya.
Sekolah merupakan institusi pendidikan yang resmi, diharapkan sekolah dapat berperan sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi yang komperhensif bagi
siswa. Hal ini disebabkan karena bersumber dari lembaga sekolah diharapkan informasinya dapat dipertanggungjawabkan, sehingga siswa tidak mencari informasi
dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan dengan cara yang tidak tepat.
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa lebih dari separuh remaja pria tidak merasakan adanya peran sekolah sebagai penyedia informasi kesehatan reproduksi
52.3. Diduga hal ini disebabkan oleh tabunya pembicaraan terkait pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi. Sekalipun sudah masuk dalam kurikulum, namun
pelaksanaan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi dirasa belum cukup efektif dan komperhensif. Remaja yang memiliki rasa penasaran akan mencari
informasi dari berbagai sumber yang kebenarannya belum tentu dapat dipertangguungjawabkan. Pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih
berbahaya bagi remaja, karena menantang remaja untuk mencoba-coba dan dapat menimbulkan kesalahan persepsi Surono, 1997.
Berdasarhan hasil analisis bivariat diperoleh p value sebesar 0.025 yang berarti terdapat hubungan signifikan antara peran sekolah dengan perilaku seksual remaja
pria di Indonesia tahun 2012. Hal ini tidak sejalan dengan Sabon yang dalam studinya berdasarkan SKRRI 2002-2003 menyatakan berdasarkan analisis
inferensial variabel eksternal, pengaruh variabel sekolah sebagai sumber informasi HIVAIDS tidak signifikan. Hal ini diduga karena kesehatan reproduksi saat itu
belum dimasukkan dalam kurikulum Sabon, 2003. Saat ini materi kesehatan reproduksi sudah mulai dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan. Saat Sabon
2003 pendidikan kesehatan reproduksi belum masuk kedalam kurikulum. Hal inilah yang mendasari perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitan yang
dilakukan Sabon pada tahun 2003. Di sekolah, guru merupakan pihak yang cukup dominan dan memiliki
wewenang. Menurut penelitian Sulistyoningrum 2013 yang dilakukan pada siswa slow learner SMP Galuh Handayani Maria Montessori Surabaya, ada hubungan
antara dukungan sosial dukungan guru: p = 0.002, r = 0.514 dengan perhitungan perilaku sehat reproduksi. Penelitian tersebut menunjukkan hubungan positif yang
konsisten antara dukungan guru dan perilaku sehat reproduksi. Sulistyoningrum menyarankan adanya peningkatan dukungan guru untuk meningkatkan perilaku
sehat reproduksi pada remaja slow learner. Peran sekolah sebagai menyedia informasi kesehatan reproduksi tak lepas dari
kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah. Pendidikan kesehatan reproduksi dianggap cukup berperan dalam peningkatan pengetahuan dan sikap
remaja terkait isu kesehatan reproduksi. Oleh sebab itu, secara tidak langsug pendidikan kesehatan reproduksi khususnya yang diberikan oleh pihak sekolah