Hubungan Sikap dengan Perilaku Sekual Remaja Pria di Indonesia Tahun

Berdasarhan hasil analisis bivariat diperoleh p value sebesar 0.025 yang berarti terdapat hubungan signifikan antara peran sekolah dengan perilaku seksual remaja pria di Indonesia tahun 2012. Hal ini tidak sejalan dengan Sabon yang dalam studinya berdasarkan SKRRI 2002-2003 menyatakan berdasarkan analisis inferensial variabel eksternal, pengaruh variabel sekolah sebagai sumber informasi HIVAIDS tidak signifikan. Hal ini diduga karena kesehatan reproduksi saat itu belum dimasukkan dalam kurikulum Sabon, 2003. Saat ini materi kesehatan reproduksi sudah mulai dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan. Saat Sabon 2003 pendidikan kesehatan reproduksi belum masuk kedalam kurikulum. Hal inilah yang mendasari perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitan yang dilakukan Sabon pada tahun 2003. Di sekolah, guru merupakan pihak yang cukup dominan dan memiliki wewenang. Menurut penelitian Sulistyoningrum 2013 yang dilakukan pada siswa slow learner SMP Galuh Handayani Maria Montessori Surabaya, ada hubungan antara dukungan sosial dukungan guru: p = 0.002, r = 0.514 dengan perhitungan perilaku sehat reproduksi. Penelitian tersebut menunjukkan hubungan positif yang konsisten antara dukungan guru dan perilaku sehat reproduksi. Sulistyoningrum menyarankan adanya peningkatan dukungan guru untuk meningkatkan perilaku sehat reproduksi pada remaja slow learner. Peran sekolah sebagai menyedia informasi kesehatan reproduksi tak lepas dari kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah. Pendidikan kesehatan reproduksi dianggap cukup berperan dalam peningkatan pengetahuan dan sikap remaja terkait isu kesehatan reproduksi. Oleh sebab itu, secara tidak langsug pendidikan kesehatan reproduksi khususnya yang diberikan oleh pihak sekolah berpengaruh pada perilaku seksual remaja. Rompas et. al. 2014 menyatakan bahwa pendidikan kesehatan memberikan pengaruh yang signifikan pada tingkat pengetahuam dan sikap remaja tengatng penyakit menular seksual di SMK Fajar Bolaang Mongondow Timur Rompas et al., 2014. Kepada institusi pendidikan diharapkan memperhatikan kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi bagi siswa agar dapat melindungi siswa dari pengetahuan tidak tepat yang berasal dari sumber yang tidak bertanggungjawab. Pada dasarnya pemerintah sudah menyadari pentingnya pemberian pendidikan kesehatan reproduksi secara komprehensif. Hal ini dibuktikan dengan telah terbitnya modul pendidikan Kesehatan Reprodukasi untuk Peserta Didik yang terdiri dari 3 seri yakni untuk SDMI dan Sederajat, SMPMTs dan Sederajat,SMASMKMA dan Sederajat. Modul ini dibuat atas kerja sama kementerian Pedidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, UNFPA, dan UNESCO pada tahun 2014. Menurut laporan SDKI 2012 diketahui bahwa sebagian besar anak usia sekolah 15-19 tahun masih bersekolah yakni 62 sedangkan 38 sisanya putus sekolah dengan berbagai alasan. Untuk itu, sekolah merupakan salah satu lembaga yang memiliki peran penting untuk meningkatkan pemahaman, sikap, dan membentuk perilaku remaja. Tidak hanya intitusi pendidikan resmi saja, mengingat ada 38 remaja yang putus sekolah. Diharapkan berbagai pihak lainnya ikut membantu peningkatan pengetahuan dan pemahaman remaja putus sekolah ini terkait kesehatan reprouksi, khususnya pengetahuan terkait perilaku seksual berisiko IMS. Diantara pihak tersebut adalah masyarakat yang mungkin dapat menyediakan wadah untuk remaja agar bisa mendapatkan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif.

6.9 Hubungan Pengaruh Teman Sebaya dengan Perilaku Sekual Remaja Pria di

Indonesia Tahun 2012 Teman sebaya adalah sekelompok remaja yang nilainya dianut oleh remaja lain Rice, 2005. Sanrtock 2005 menyatakan teman sebaya berfungsi sebagai tempat bagi remaja berbagi dan sering perubahan perilaku remaja disebabkan transfer perilaku sesama teman sebaya. Teman sebaya sebagai kelompok kelompok acuan untuk berhubungan dengan lingkungan sosial, dimana remaja menyerap norma dan nilai-nilai yang akhirnya menjadi standar nilai yang mempengaruhi pribadi remaja Santrock, 2005. Menurut Jones dan Furman 2010, berkeinginan untuk memiliki teman sebaya atau kelompok merupakan bagian dari proses tumbuh kembang yang dialami remaja. Teman sebaya adalah remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Teman sebaya merupakan individu atau kelompok satuan fungsi yang berpengaruh pada remaja. Kelompok remaja memiliki ciri yang khas dalam orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut StanhopedanLancaster, 2004. Hasil analisis univariat, ditemukan bahwa sebagian besar remaja pria menyatakan bahwa tidak ada pengaruh teman sebaya, yakni 72.4. Pada remaja yang berperilaku seksual berisiko IMS, 37 menyatakan ada pengaruh teman sebaya. Sementara hanya 6.3 dari remaja berperilaku seksual berisiko IMS yang merasakan bahwa teman sebaya tidak berpengaruh.