77
BAB VII PENUTUP
7.1 Simpulan
a.  14.  8  remaja  pria  di  Indonesia  tahun  2012  berperilaku  seksual  berisiko
IMS
b.  Lebih  dari  separuh  53.9  remaja  pria  di  Indonesia  tahun  2012  yang menjadi sampel penelitian berasal dari kelompok umur remaja awal
c.  Lebih  dari  separuh  56.6  remaja  pria  di  Indonesia  tahun  2012  yang
menjadi sampel penelitian tinggal di daerah perkotaan
d.  Sebagian  besar  65.1  remaja  pria  di  Indonesia  tahun  2012  yang  menjadi
sampel penelitian memiliki tingkat pendidikan tinggi
e.  Sebagian  besar  68.3  remaja  pria  di  Indonesia  tahun  2012  memiliki
pengetahuan kesehatan reproduksi yang kurang.
f.  Lebih  dari  separuh  56.9  remaja  pria  di  Indonesia  tahun  2012  memiliki
sikap negatif terkait perilaku seksual yang berisiko IMS.
g.  Lebih  dari  separuh  52.3  remaja  pria  di  Indonesia  tahun  2012 menganggap  sekolahnya  tidak  berperan  sebagai  penyedia  informasi
kesehatan reproduksi.
h.  Sebagian  besar  72.4  remaja  pria  di  Indonesia  tahun  2012  tidak merasakan  adanya  pengaruh  teman  sebaya  dalam  pembentukan  perilaku
seksualnya.
i.  Terdapat  hubungan  yang  signifikan  antara  umur  dengan  perilaku  seksual remaja pria di Indonesia tahun 2012
j.  Tidak  terdapat  hubungan  yang  signifikan  antara  tempat  tinggal  dengan perilaku seksual remaja pria di Indonesia tahun 2012
k.  Terdapat  hubungan  yang  signifikan  antara  tingkat  dengan  perilaku  seksual remaja pria di Indonesia tahun 2012
l.  Terdapat  hubungan  yang  signifikan  antara  pengetahuan  kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual remaja pria di Indonesia tahun 2012
m.  Terdapat  hubungan  yang  signifikan  antara  sikap  dengan  perilaku  seksual remaja pria di Indonesia tahun 2012
n.  Terdapat  hubungan  yang  signifikan  antara  peran  sekolah  sebagai  penyedia informasi  kesehatan  reproduksi  dengan  perilaku  seksual  remaja  pria  di
Indonesia tahun 2012 o.  Terdapat  hubungan  yang  signifikan  antara  pengaruh  teman  sebaya  dengan
perilaku seksual remaja pria di Indonesia tahun 2012 p.  Secara  umum,  faktor-faktor  yang  berhubungan  dengan  perilaku  seksual
remaja  pria  di  Indonesia  tahun  2012  adalah  umur,  tingkat  pendidikan, pengetahuan,  sikap,  peran  sekolah  sebagai  penyedia  informasi  kesehatan
reproduksi, dan pengaruh teman sebaya. Hal ini sesuai dengan teori precede- proceed  GreendanKreuter,  2000.  Ada  variabel  yang  tidak  berhubungan
dengan perilaku seskual remaja, yakni variabel tempat tinggal.
7.2 Saran
7.1.1 Untuk Penyelenggara SDKI BKKBN, Kemenkes, BPS
Pada  penyelenggaraan  SDKI  selanjutnya  diharapkan  untuk  lebih memperhatikan
dan meminimalisasi
human error  baik  pada
pengumpulan  maupun  entri  data.  Pada  pengumpulan  data  hendaknya
dipastikan  bahwa  responden  menjawab  seleuruh  pertanyaan  yang  ada pada  kuesioner.  Pada  entri  data  hendaknya  lebih  diperhatikan  pengisian
untuk  pertanyaan  loncatan,  untuk  menjaga  kualitas  data,  menghindari tingginya missing data.
7.1.2 Untuk Peneliti Selanjutnya
Sebaiknya  dilakukan  penelitian  dengan  mengukur  nilai  OR  agar diketahui  berapa  besar  potensi  suatu  variabel  terhadap  perilaku  seksual.
Selain  itu  dapat  pula  dilakukan  penelitan  hingga  tahap  multivariat  agar dapat  diketahui  variabel  mana  yang  paling  dominan  mempengaruhi
perilaku seksual berdasarkan data SDKI.
7.1.3 Untuk Kementerian Kesehatan, Kemendibud, dan Kemenristekdikti
Kementerian  Kesehatan  disarankan  untuk  melakukan  intervensi pada sasaran dan dengan cara yang tepat berdasarkan hasil penelitian ini
untuk  menurunkan  proporsi  perilaku  seksual  pada  remaja,  khususnya yang berisiko IMS. Misalnya dengan membuat program nasional edukasi
dan  promosi  kesehatan  terkait  kesehatan  reproduksi  untuk  remaja,  dan memantau pelaksanaan program sejenis yang sudah dibuat. Hal ini untuk
mengatasi  rendahnya  pengetahuan  remaja  pria  terkait  perilaku  seksual berisiko IMS.
Selain  itu,  untuk  mengatasi  rendahnya  pengetahuan  remaja  terkait perilaku  seksual  berisiko  IMS  dan  rendahnya  peran  sekolah  yang
dirasakan  remaja  sebagai  penyedia  informasi  kespro,  Kementerian
kesehatan sebagai perancang regulasi dan program hendaknya membuat regulasi  dan  program  intervensi  yang  dapat  mengatasi  masalah  terkait
perilaku seksual remaja, khususnya yang berisiko IMS tingkat nasional. Kemendikbud  dan  Kemenristekdikti  misalnya  dapat  membuat
regulasi  dan  memantau  berlangsungnya  pelaksanaan  pendidikan kesehatan reproduksi komprehensif. Hal ini diharapkan dapat mengatasi
permaslahan  seputar  rendahnya  peran  institusi  pendidikan  sebagai penyedia  informasi.    Diperlukan  adanya  evaluasi,  lebih  baik  lagi  jika
dapat  diberlakukan  reward  dan  punishmen  agar  pihak  pelaksana  lebih bersemangat.
Namun yang
lebih penting
adalah bagaimana
menumbuhkan dan meningatkan kesadaran institusi dan tenaga pendidik akan  pentingnya  pemberian  pendidikan  kesehatan  reperoduksi
komprehensif bagi peserta didiknya dan seluruh anak Indonesia.
7.1.4 Untuk Institusi Pendidikan Dasar, Pendidikan Tinggi dan
Masyarakat
Institusi  pendidikan  disarankan  untuk  lebih  memperhatikan perencanaan  dan  memantau  pelaksanaan  kurikulum  pendidikan
kesehatan reproduksi secara komprehensif. Hal ini untuk mengatasi rasa penasaran  siswa  seputar  kesehatan  reproduksi  dan  menghindarkan
mereka dari sumber informasi dan pengetahuan  yang tidak tepat.  Selain itu,  disiapkan  juga  guru  sebagai  konselor  kesehatan  reproduksi  di  luar
kegiatan  belajar  mengajar,  misalnya  kegiatan  ekstra  kulikuler  atau bimbingan  konseling.  Tahap  ini  diharapkan  dapat  mengatasi  rendahnya