Pola kepemilikan Sumberdaya Agraria

BAB VIII RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN

DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

8.1. Pola Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria

Pola Kepemilikan dan Penguasaan merupakan dua hal yang berbeda. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Wiradi 1984 bahwa “kepemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal sedangkan “penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif”. Kepemilikan dapat dilakukan dengan cara membeli, mewarisi dan hibah, sedangkan penguasaan lebih jauh dalam hal ini diartikan sebagai penguasaan atas sumberdaya agraria yang bukan saja melalui hak milik, namun juga hak garap atau hak pemanfaatan. Perbedaan kepemilikan dan penguasaan lahan ini akan menciptakan pola-pola kepemilikan dan penguasaan pada masing-masing rumahtangga, dengan pola kepemilikan masing-masing komponen individu di dalamnya.

8.1.1. Pola kepemilikan Sumberdaya Agraria

Kebiasaan yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya baik laki-laki, maupun perempuan dalam pengelolaan sumberdaya agraria sedari dini menjadi pola tersendiri bagi perkembangan keduanya, sehingga sangat dimungkinkan ketika keduanya beranjak dewasa, baik laki-laki dan perempuan akan mengelola lahannya sendiri. Hal ini akan mempengaruhi laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan lahan, termasuk pengambilan keputusan atas lahan yang dimilikinya. Berdasarkan kelompok diskusi terarah FGD yang dilaksanakan pada tiga kampung kasus dengan melibatkan laki-laki dan perempuan di dalamnya, serta hasil wawancara mendalam telah diketahui adanya pengakuan kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria. Hal ini berarti baik laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama atas kepemilikan sumberdaya agraria yang diperoleh baik dengan cara membeli, mewarisi dan hibah. Penduduk Desa Cipeuteuy sendiri, seperti telah diuraikan sebelumnya mempunyai tiga cara dalam pewarisan, dimana salah satunya diberikan melalui dua tahapan, yakni sistem pewarisan secara islam dengan pembagian 2:1 dan dilanjutkan dengan pembagian secara merata, tergantung pada kebijakan yang dimiliki keluarga. Dengan demikian peluang laki-laki dan perempuan untuk memiliki sumberdaya agraria, sama besarnya. Berangkat dari adanya sistem pewarisan yang terjadi pada masyarakat sunda yang bilateral, maka di lapangan diperoleh dua kategori kepemilikan sumberdaya agraria. Adapun kepemilikan yang pertama adalah kepemilikan sumberdaya agraria oleh laki-lakisuami dan perempuanistri secara individu, dimana kepemilikannya dapat berlangsung sebelum individu tersebut menikah melalui proses pembelian maupun hasil dari pemberian dari orang tua berupa warisanhibah yang ketika mereka menikah-pun, harta tersebut merupakan harta pribadi dan apabila mereka sudah bercerai-pun, mereka akan tetap dapat memilikinya. Kategori kedua adalah gono-gini atau guna kaya, dimana kepemilikannya merupakan kepemilikan bersama yang diperoleh setelah menikah melalui pembelian dari hasil keduanya dan jika terjadi perceraian, maka harta tersebut akan dibagi agar masing-masing memperoleh bagiannya. Dari bentuk kepemilikan tersebut kemudian ditemukan kombinasi tiga bentuk kepemilikan dan pola-pola kepemilikan. Kombinasi yang pertama adalah kombinasi satu bentuk kepemilikan saja, yakni milik suami S, milik istri I dan gono-gini G. Selanjutnya adalah kombinasi dua bentuk kepemilikan yakni milik suami dan milik istri S-I, milik suami dan gono-gini S-G, milik istri dan gono- gini I-G. Yang terakhir adalah kombinasi tiga bentuk kepemilikan dalam satu rumahtangga yakni milik suami, milik istri dan gono-gini S-I-G. Pada Tabel 17 menunjukkan jumlah rumahtangga survei dengan pola kepemilikan lahan pada masing-masing rumahtangga. Secara umum rumahtangga petani yang tercatat memiliki kepemilikan lahan berjumlah 70 rumahtangga dan sebesar 30 persen dari total rumahtangga yang disurvei tidak memiliki sumberdaya agraria, termasuk 15 persen rumah tangga yang hanya memiliki hak garap. Pada Tabel 17 diketahui bahwa dari total rumahtangga yang di survey, sebanyak 70 persen RTP yang memiliki sumberdaya agraria dengan pola kepemilikan yang beragam pada tiap stratum dengan 18 persen RTP pada stratum atas, 20 persen pada stratum menengah, dan 32 persen pada stratum bawah. Adapun jumlah persentase pola kepemilikan yang paling banyak adalah RTP dengan pola kepemilikan individu suami saja, dimana persentase tertinggi ada pada stratum atas yang diikuti kemudian oleh stratum bawah dan menengah. Persentase selanjutnya ada pada RTP dengan kepemilikan berpola gono-gini, dimana persentase tertinggi pada stratum bawah, kemudian disusul oleh stratum atas dan menengah. Hal ini diduga karena pasangan suami istri pada stratum yang rendah cenderung membeli sumberdaya agraria secara bersama-sama setelah menikah dengan hasil usaha bersama. Untuk rumahtangga yang mempunyai pola kepemilikan oleh istri saja hanya ditemui pada rumahtangga dengan stratum menengah dan bawah Selanjutnya pada dua pola kepemilikan, khusus pada kepemilikan dengan kombinasi suami-istri dan suami-gono-gini, persentase lebih besar ada pada RTP stratum atas, menengah dan pada stratum bawah yang terkecil. Pada pola istri - gono-gini hanya ditemui pada stratum menengah, sedangkan untuk tiga bentuk kombinasi dapat dipastikan hanya ditemui pada stratum atas dan menengah. Tabel 17. Pola Kepemilikan Lahan Pada Tiga Kampung Kasus Tahun 2007 dalam Persen Pola Kepemilikan Stratum Atas Stratum Menengah Stratum Bawah Total S 11,43 8,57 15,71 35,71 I 0,00 4,29 7,14 11,43 G 4,29 7,14 14,29 25,71 S-I 2,86 1,43 4,29 8,57 S-G 4,29 4,29 1,43 10,00 I-G 1,43 0,00 2,86 4,29 S-I-G 1,43 2,86 0,00 4,29 Total Persen 25,71 28,57 45,71 100,00 Total Jumlah 18 20 32 70 Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 70 Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32 Distribusi sumberdaya agraria menurut pola kepemilikannya ditunjukkan pada pada Tabel 18. Data tersebut menjelaskan bahwa distribusi sumberdaya kepada laki-lakisuami masih lebih banyak daripada RTP yang hanya istrinya saja yang memiliki sumberdaya agraria. Persentase luasan sumberdaya agraria tertinggi selanjutnya terdistribusi pada pola kepemilikan suami,istri dan gono-gini. Dan persentase luasan terkecil ada pada dua pola kepemilikan yakni kepemilikna istri-gono-gini. Lebih lanjut ditemukan bahwa RTP yang memiliki pola kepemilikan individu lebih banyak dari RTP yang memiliki pola kepemilikan bersama. Tabel 18 Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi, dan Pola Kepemilikan Sumberdaya Agraria Tahun 2007 dalam persen dan total jumlah dalam are Pola Kepemilikan Stratum Atas Stratum Menengah Stratum Bawah Total S 38,75 4,43 2,73 45,91 I 0,00 2,17 1,13 3,30 G 6,44 6,89 3,67 17,00 S-I 4,71 1,71 1,02 7,44 S-G 3,37 3,51 0,20 7,08 I-G 1,15 0,00 0,83 1,98 S-I-G 16,55 0,76 0,00 17,30 Total Persen 70,97 19,48 9,57 100,00 Total Jumlah 1501 412 202 2115 Sumber: Hasil Penelitian Peneliti Tahun 2007 Keterangan: n= 70 Stratum A=18, Stratum B=20, Stratum C=32 Kampung Sukagalih dan Cisalimar memiliki lima pola kepemilikan dimana RTP dengan pola kepemilikan individu masih lebih banyak di RTP dengan pola kepemilkan bersama, pun demikian halnya pada Kampung Pasir Masigit dimana pada kampung tersebut hanya ditemukan empat pola kepemilikan, yakni kepemilikan individukombinasi satu bentuk kepemilikan dan dua bentuk kepemilikan dan tidak ada rumahtangga yang memiliki komposisi tiga bentuk kepemilikan.

8.1.2. Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria

Dokumen yang terkait

Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara)

1 109 111

Analisis Produksi dan Efisiensi Ekonomi Relatif Usahatani Jagung Manis (Kasus di Desa Titisan, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat).

1 9 147

Dimensi Gender dalam Agroforestry Kajian pada Komunitas Petani di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat

0 18 7

Peranan Pariwisata dalam Perekonomian Daerah Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat

1 17 86

Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan Pengembangan Wilayah Perdesaan. (Studi Kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)

0 48 410

Struktur Penguasaan Tanah Masyarakat dan Upaya Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

1 13 176

Pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan: studi kasus pada masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi Jawa Barat

0 8 50

Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

1 11 167

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan Pengembangan Wilayah Perdesaan. (Studi Kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)

2 29 200