BAB VI SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN
TOKOH MASYARAKAT
6.1. Sistem Kekerabatan
6.1.1. Sistem Nilai yang Mengakui Status Laki-laki dan Perempuan dalam
Keluarga
Status laki-laki dan perempuan dalam keluarga berkaitan dengan bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Pada Desa
Cipeuteuy, laki-laki dan perempuan memiliki perlakuan yang berbeda dalam keluarga, sebagaimana halnya tercermin dari pembagian kerja gender dalam
keluarga baik pembagian peran di rumah maupun pada kegiatan usahatani. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan telah terinternalisasi pada tiap
keluarga, dan mempengaruhi bagaimana mereka memperlakukan anggota keluarga laki-laki dan perempuan baik pada lingkungan keluarga hingga
lingkungan yang lebih tinggi yakni lingkungan sosial ART laki-laki dan ART perempuan.
Anak perempuan dan anak laki-laki sedari dini telah diperkenalkan mengenai pembagian kerja gender, dimana laki-laki ditempatkan pada sektor
pekerjaan yang menghasilkan pendapatan untuk menafkahi keluarga dan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan reproduktif yang berkaitan dengan pola
pengasuhan dan pekerjaan domestik di rumah. Dengan demikian peran reproduktif sangat melekat pada individu laki-laki sebagaimana halnya peran
reproduktif pada ART perempuan.
Menurut hasil dari diskusi kelompok terarah FGD, mekanisme kerja dalam keluarga yang terbentuk secara umum adalah perempuan bekerja di rumah
sedangkan laki-laki mencari rumput, mencangkul dan bekerja di sawah. Ketika seorang anak laki-laki beranjak dewasa dan memasuki usia produktif, maka selain
bersekolah ia pun mulai diajarkan pada pola-pola pekerjaan yang berkaitan dengan usahatani sebagai salah satu sektor alternatif sumber nafkah bagi
penduduk Desa Cipeuteuy yang tercermin pada tiga kampung kasus. Pada awalnya anak laki-laki akan diajarkan untuk mengambil rumput
untuk pakan ternak ngajukut yang kemudian akan menjadi tugaspekerjaan rutin yang dilakukan oleh anak laki-laki sebelum bersiap untuk melakukan praktek-
praktek usahatani. Selain ngajukut anak laki-laki juga bertugas untuk mengambil kayu bakar di hutan untuk bahan bakar masak ngala’ hawu. Kayu yang diambil
berasal dari hutan TNGHS, dimana kayu-kayu tersebut bukan merupakan hasil tebangan baru, namun kayu bekas tebangan atau ranting-ranting yang telah jatuh,
dengan demikian diperlukan sedikit ketrampilan memilih kayu dan mengemas kayu sedemikian rupa untuk mempermudah dalam memindahkan hasil kayu yang
di’panen’. Selain daripada itu, anak laki-laki juga telah diajarkan untuk menyisiri kawasan hutan, sehingga ia tidak akan pernah tersesat saat mencari kayu dan
selanjutnya, mengingat tiga kampung kasus tersebut seringkali mendapat kunjungan dari turis, peneliti ataupun pendatang, maka ketrampilan tersebut dapat
digunakan untuk memandu mereka menyusuri hutan, seperti yang dilakukan oleh Bapak ‘AH’, yang pernah menemani peneliti dari Jepang mengelilingi TNGHS
selama tujuh hari tujuh malam. Anak laki-laki yang telah dapat mandiri dalam
kegiatan ngajukut dan ngala’ hawu dapat membantu meringankan pekerjaan orang tuanya.
Lain halnya dengan perempuan yang sedari dini telah diajarkan untuk melakukan pekerjaan domestik seperti membantu ibu memasak, menyediakan
makanan untuk para pekerja dan membantu orang tua mereka mengasuh adik- adiknya. Namun demikian, anak perempuan juga diperkenalkan pada kegiatan
usahatani yang nantinya akan menjadi pekerjaan mereka, baik sebagai pekerja keluarga maupun sebagai buruh tani. Anak perempuan, sepulang dari sekolah
mulai diperkenalkan kepada pekerjaan usahatani yang dilakukan oleh ibu mereka, meliputi kegiatan persemaian ngabungbung, penyiangan ngarambet,
penanaman tandur dan proses panen. Pada beberapa rumahtangga petani, ditemukan bahwa kegiatan mengambil rumput untuk pakan ternak ngajukut juga
dilakukan oleh anak perempuan. Pembagian kerja yang terjadi juga turut mendorong perbedaan perlakuan
laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Perbedaan perlakuan antara RTP satu dengan lainnya relatif berbeda menurut perspektif tiap keluarga dalam
memandang kebutuhan laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, dalam hal pendidikan, mayoritas ART menyatakan bahwa kecenderungan laki-laki memiliki
pendidikan yang tinggi lebih besar dari perempuan dikarenakan laki-laki kelak akan menjadi penopang keluarga yang diasumsikan dapat bekerja lebih layak
ketika mempunyai status pendidikan yang tinggi. Lain halnya dengan beberapa ART yang melalui wawancara mendalam mengungkapkan bahwa mereka lebih
mementingkan pendidikan untuk anak perempuannya. Responden tersebut menyatakan bahwa laki-laki sebagai calon kepala rumahtangga harus memiliki
ketrampilan yang mencukupi sehingga ia dapat berkontribusi dalam pendapatan keluarga, pun dapat membina keluarga sejak dini, sehingga laki-laki lebih
diarahkan pada peningkatan kapasistas dalam melakukan praktek-praktek usahatani daripada mengenyam pendidikan tinggi, yang hasilnya pun belum tentu
dapat menjamin masa depan sang anak untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak. Anggapan tersebut muncul, karena anak laki-laki kerabattetangga
mereka yang mengenyam pendidikan tinggi pada akhirnya kembali lagi ke kampung mereka dan melakukan kegiatan usahatani dengan alasan sulitnya
mencari pekerjaan di kota. RTP yang beranggapan demikian cenderung membina anak laki-lakinya mengelola usahatani dan menyekolahkan anak perempuan
mereka, agar meningkatkan status mereka dengan harapan nantinya memperoleh jodoh yang lebih baik. Ketika anak mengenyam pendidikan tinggi maka ia akan
bertemu dengan lingkungan yang lebih luas, sehingga akan mempengaruhinya dalam penyeleksian pasangan hidup. Mereka mengharapkan pasangan hidup yang
diperoleh anaknya berasal dari luar kampungdesa dengan pendidikan yang setara bahkan lebih tinggi.
6.1.2. Hukum Adat yang Mengatur Kepemilikan Sumberdaya Agraria