2.1.8. Pola Penguasaan dan Kepemilikan Lahan
Menurut Wiradi 1984, Kata “pemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Lahan
yang tergolong kedalam lahan milik mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara sah yang mengikat lahan tersebut dengan pemiliknya. Sebagaimana diungkapkan
oleh Kano 1984, pola kepemilikan lahan dibagi menjadi tiga kategori yakni: milik perorangan turun menurun
9
, tanah komunal dan tanah bengkok. Adapun milik perorangan dapat diperoleh melalui proses jual beli dan pemindahtanganan
dengan cara waris dan hibah. Adapun penguasaan lahan berkenaan dengan sejumlah lahan yang
digarap dan dimanfaatkan yang menurut Wiradi 1984 meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Dengan demikian pemilikan lahan
tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena ada berbagai jalan untuk menguasai tanah yaitu melalui sewa, sakap, gadai dan sebagainya. Selanjutnya,
laporan Tjondronegoro 1869 menerangkan tentang bagi hasil yang terjadi di atas tanah sendiri yang disewakan, dimana penyewa bertindak sebagi pemberi tanah
garapan, sedangkan pihak yang menyewakan tanah, yaitu pemiliknya, bertindak sebagai penyakap. Adapun bentuk-bentuk bagi hasil dan sewa menyewa tanah
seperti studi yang dilakukan oleh Biro Penelitian Umum RI di pedesaan Jawa Barat Kroef, 1896 meliputi:
9
Milik perorangan turun menurun adalah suatu bentuk penguasaan tanah dimana seseorang menduduki sebidang tanah secara kekal, dapat menyerahkannya kepada ahli warisnya beik melalui pemindahtangannan
hak penguasaan tersebut sebelum ia meninggal, atas kemauannya atau pemindahtanganan tersebut pada saat meninggalnya.
1. Mertelu, Pemilik tanah menanggung biaya benih sampai pada saat
penghapusan sistem ini, juga membayar pajak-pajak tanah dan memungut 23 hasil panen, sisanya merupakan hak penyewa atau penyakap.
2. Merapat, Persyaratannya sama dengan di atas, kecuali bahwa pemilik
tanah mendapat ¾ bagian hasil panen dan bagian untuk penyakap. 3.
NyeblokNgepak: Dalam hal ini penggarap melakukan semua pekerjaan, dari membajak, menyiang sampai menanam. Kemudian pemilik tanah
mengambil alih pekerjaan mengatur pengairan dan panen. Penggarap menerima 15 hasil panen.
4. Derep:Penggarapburuh terutama menanam padi, tetapi dapat diminta
membantu pekerjaan lain sampai panen tiba. Bagian buruh adalah 15 padi bulir, tetapi bilamana hasilnya jelek bagiannya dapat berkurang.
5. Gotong royong: Suatu kegiatan yang biasanya mengikutsertakan anggota
keluarga saja. Penggarap mendapat bagian yang telah ditentukan sebelumnya dan sesuai dengan kebiasaan.
Pemilik tanah yang luas biasanya tidak selalu menggarap tanahnya sendiri, sebaliknya, pemilik tanah yang sempit dapat pula menggarap tanah orang
lain melalui sewa atau sakap, disamping menggarap tanahnya sendiri. Dengan demikian, penduduk pedesaan tidak hanya menggarap tanah milik, namun juga
menggarap lahan orang lain, sehingga menurut pola penguasaannya dapat dikelompokkan menjadi:
1. Pemilik Penggarap murni, yakni petani yang hanya menggarap tanahnya
sendiri.
2. Penyewa dan penyakap murni, yakni mereka yang tidak memiliki tanah
tapi mempunyai tanah garapan melalui sewa dan atau bagi hasil. 3.
Pemilik penyewaanatau pemilik penyakap, yaitu mereka yang disamping menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah orang lain
4. Pemilik bukan penggarap
5. Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang tidak memiliki tanah dan tidak
memilik tanah garapan. Sebagian dari mereka adalah buruh tani dan hanya sedikit yang memang tidak bekerja di bidang pertanian.
2.2. Kerangka Pemikiran