Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan Pengembangan Wilayah Perdesaan. (Studi Kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)

(1)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN

(Studi Kasus Pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)

NANDANG MULYANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis yang berjudul :

PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN

(Studi Kasus Pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)

Adalah benar merupakan karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2009

Yang menyatakan,

Nandang Mulyana NRP. A155050151


(3)

ABSTRACT

NANDANG MULYANA, Community Development as Rural Development Approach, case study at Geothermal Industry Kabandungan district region of Sukabumi Province of West Java, under supervision of ARYA HADI DHARMAWAN and SLAMET SOEDARSONO.

The existence of Gunung Salak geothermal industry at Kabandungan district, Sukabumi region which established by CHV is expected to give significant contribution especially for the local community welfare and Sukabumi societies in general. As a realization of the corporate social responsibility (CSR) to the local community development welfare, CHV has implemented the community development. In implementing the community development, CHV has limited effect with regard to economic contribution. The objectives of this research is to analyze the implementation of community development program to the local community in project areas, and find out the real contribution of community development program to the local community. The qualitative data method is used in this research. The qualitative data obtained by interviewing the concern parties whose involve in CHV community development program to obtain the factual information and respondent experience based on the information which linked to the research objective. Data analysis was conducted descriptively. Results of the research show that CHV runs the community development program by their own. The company determines community/group which received the assistance, based on community/group requirement. This is one way method, where the company has the authority to run the program and the community is the receiver. The research found the low program coordination and integration, the cooperation between CHV and local government is not running smoothly.. This condition cause the relation between community development and and regional development are relatively in minimum level.

The program tends to strengthen the degree of community depedency without a proper management, CSR is also potential to creat horizontal or vertical conflict.

Keywords: Community Development, local community, Rural development and CHV


(4)

RINGKASAN

NANDANG MULYANA, Pengembangan Masyarakat sebagai pendekatan pengembangan kawasan perdesaan, (Studi kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN sebagai ketua dan SLAMET SOEDARSONO sebagai anggota komisi pembimbing.

Diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, diyakini dapat membawa angin baru untuk kemajuan pembangunan wilayah. Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah juga dituntut untuk mengembangkan serta mengoptimalkan semua potensi wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigma pembangunan, cara pandang pembangunan yang berorientsi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi luar semata (persepektif materialistik), telah bergeser ke arah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannya. Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteran sosial dan material, termasuk meningkatkan keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian.

Salah satu tantangan pembangunan wilayah yang strategis dalam rangka mengatasi ketidakberdayaan yang selama ini terjadi adalah melalui upaya pemberdayaan masyarakat. Munculnya konsep pemberdayaan masyarakat sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang bersumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan, kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan

Kehadiran industri pertambangan disuatu wilayah dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan percepatan (akselerasi) pembangunan wilayah dimana perusahaan beroperasi ataupun wilayah-wilayah yang terbelakang yang diakibatkan oleh ketimpangan distribusi pembangunan. Keberadaan tambang disuatu wilayah juga secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah pada lokasi tersebut. Keberadaan industri panas bumi (geothermal) Gunung Salak di wilayah Desa Kabandungan Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi yang dikelola oleh CHV, diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan masyarakat sekitar. Sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility) terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan perusahaan maka perusahaan melaksanakan program pengembangan masyarakat (community development).

Tujuan kajian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi CHV Gunung Salak terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan,


(5)

serta menganalisis apakah terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah.

Dalam penyusunan kajian digunakan metode kualitatif, pemilihan metode kualitatif dalam studi ini dikarenakan temuan-temuan pada studi kualitatif lebih menjawab persoalan sebenarnya daripada sekadar angka-angka. Dalam studi ilmu sosial, terlihat bahwa angka-angka yang diperoleh dalam studi belum cukup menjawab persoalan yang sebenarnya, sangat sulit melihat keadaan yang sebenarnya jika hanya menggunakan kecenderungan angka saja. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang tidak bisa dinilai melalui angka-angka, seperti faktor budaya dan faktor sosiologis.

Metode dan pendekatan studi yang digunakan untuk pengumpulan data primer adalah wawancara mendalam (indepth interview), terhadap informan kunci (key informan), serta diskusi kelompok bersama parapihak (stakeholders) yang terkait dengan program pengembangan masyarakat CHV serta telaah pustaka. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dari berbagai buku, makalah dan laporan terkait.

Hasil kajian pelaksanaan program pengembangan masyarakat CHV menunjukkan bahwa pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh pihak oleh CHV antara lain meliputi bidang Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat Masyarakat /kelompok penerima program ditentukan sepihak oleh perusahaan berdasarkan pengajuan proposal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pelaksanaan program pengembangan masyarakat CHV lebih banyak berupa pemberian bantuan-bantuan kepada masyarakat dan belum mampu memberdayakan ekonomi. Pola kerjasama bersifat searah dimana perusahaan sebagai pemilik program dan masyarakat sebagai sasaran program.

Kajian ini juga menemukan bahwa pengoordinasian dan pengintegrasian program masih rendah, kerjasama antara CHV dengan Pemerintah daerah (kecamatan Kabandungan) belum berjalan dengan baik, belum ada kelembagaan yang menjembatani hubungan keduanya. Sehingga keterkaitan program pengembangan masyarakat CHV dengan program pembangunan daerah relatif kecil. Disamping itu program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan juga menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan serta berpotensi menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal.

Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah, tetapi kontribusi tersebut masih sangat rendah dan belum sesuai dengan harapan, komitmen perusahaan terhadap pengembangan masyarakat masih rendah serta program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV secara umum masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat derma (karitatif).

Kata kunci: Masyarakat lokal , Pengembangan Masyarakat , pengembangan wilayah perdesaan dan CHV.


(6)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN

(Studi Kasus Pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)

NANDANG MULYANA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departermen Ekonomi dan Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Judul tesis : Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan Pengembangan Wilayah Perdesaan.

(Studi Kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat) nama : Nandang Mulyana

Nomor Pokok : A155050151

Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr Ir. Slamet Soedarsono,M.PP Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan Institut Pertanian Bogor Wilayah dan Perdesaan

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dengan judul : “Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Pada Industri Panas Bumi (geothermal) (Studi kasus di kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sain pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan yang telah diberikan selama penyusunan tugtesis ini, penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan,M.Sc.Agr. dan Bapak Ir. Slamet

Soedarsono,M.PP. selaku Ketua Dan Anggota Komisi Pembimbing yang dengan tulus dan ikhlas telah meluangkan waktu dan kesempatan untuk memberikan memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Dr.Ir.H. Bambang Juanda. selaku ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas segala bantuan dan kesempatan yang diberikan selama mengikuti pendidikan .

3. Prof. Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro,MS. Selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas kesediaannya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan magister di IPB.

4. Para Dosen Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas bekal ilmu yang diberikan serta pandangan dan kekeluargaan yang terjalin selama ini.

5. Bapak Ir. Daden Gunawan,M.Si selaku Camat Kabandungan, Bapak Iwan S. Azof,Msc,MM. selaku manager PGPA Chevron geothermal salak,Ltd,Bapak Drs. Willy Ekariono,MS. Selaku manager Salak community affair Serta Bapak Ir. Asrul Maulana selaku community affair officer atas data-data dan kesempatan untuk berdiskusi yang telah diberikan.


(10)

6. Orangtua tercinta, Ayahanda J.Junaedi dan Ibunda Icoh Holisoh serta Mertua tercinta ayahanda Abdul Munir dan Ibunda Nurahmi atas do’a yang tak pernah henti serta dukungan baik moril mapun materil, selama penulis menjalankan studi.

7. Istriku Lili Suciati,SE atas do’a, kesabaran dan dukungannya serta anakku tercinta Papang dan Zona yang selalu memberikan semangat setiap saat dimana do’a dan airmatanya menjadi darah juangku.

8. Keluarga besar Nunung Aswari (Alm.) yang telah memberikan motivasi dan inspirasi kepada penulis.

9. Rekan-rekan mahasiswa program studi PWD, atas “social capital”, kebersamaan yang terbina selama ini dalam menuntut ilmu di kampus tercinta khususnya angkatan 2005 : Teh Rosda Malia (komti ‘05), Mbak Sherly Gladys Jocom, Albertus Girik Allo, Erenda, Rosa Delima, A. Syiaruddin Hasby, Laurentius Wisnu Whardana dan M’bak Elfa.

10. Para responden dan narasumber, yang telah meluangkan waktu yang telah menerima penulis dan memberikan informasi kepada penulis selama penelitian berlangsung.

11. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selama ini telah banyak memberikan bantuan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan studi ini.

Akhirnya disadari penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan penulis. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan kritik dan saran diharapkan dari berbagai pihak. Semoga tesis ini dapat memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan, serta bermanfaat untuk. semua pihak . Amin.

Bogor, Februari 2009


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, Nandang Mulyana, dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 2 September 1973 dari ayah Jujun Junaedi dan ibu Icoh Holisoh. Penulis merupakan putra ke-tiga dari delapan bersaudara.

Pendidikan sekolah dasar ditempuh di SDN Jayanegara Sukabumi dan tamat pada tahun 1987, pendidikan sekolah menengah pertama ditempuh pada SMPN Kalapanunggal Sukabumi dan tamat pada tahun 1990 selanjutnya pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas ditempuh pada Sekolah Menengah Ekonomi Atas Jakarta I di Jakarta Barat dan tamat pada tahun 1993. Pendidikan sarjana pada Jurusan Akutansi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan tamat pada tahun 1999 dan pada tahun 2005 penulis mengikuti pendidikan Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pada tahun 2000, penulis menikah dengan Lili Suciati, SE dan telah dikaruniai dua orang putera, yaitu: Muhammad Pandu Aria Pratama (Papang) serta Muhammad Giri Aria Dwinugraha (Zona).


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR MATRIKS ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1 Pengembangan Masyarakat... 11

2.2 Pengembangan Wilayah... 24

2.3 Konsep Wilayah dan Pembangunan ... 31

2.4 Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Alam ... 35

2.5 Industri Panas Bumi (geothermal) ... 40

2.6 Dampak Industri Pertambangan ... 43

2.7 Hubungan Industri dan Pengembangan Masyarakat... 45

2.8 Karakteristik Lokal... 48

2.9 Partisipasi Masyarakat... 50

2.10 Kelembagaan Lokal... 55

2.11 Teori Konflik... 56

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 59

3.1 Kerangka Pemikiran... 59

3.2 Hipotesis. ... 64

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian... 65

3.4 Pengumpulan Data... 65


(13)

3.6 Metode Analisis Data... 67

3.7 Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak... 67 3.8 Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak Terhadap Pengembangan Wilayah... 67 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 69

4.1 Geografi dan Administrasi Pemerintahan... 69

4.2 Kependudukan.. ... 72

4.3 Infrastruktur Dasar... 73

4.4 Sistem Transportasi... 75

4.5 Sistem Ekonomi. ... 75

4.6 Sumberdaya Lokal... 78

4.7 Struktur Komunitas... ... 79

4.8 Masalah Sosial... 4.8.1. Kemiskinan... 4.8.2. Pendidikan... 4.8.3. Kesehatan... 4.8.4. MasalahLingkungan... a. Krisis Air... b. Bencana Longsor. ... 79 81 82 82 83 83 83 4.9 CHV ... 84

4.10 Ikhtisar... 85

V. EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PADA INDUSTRI GEOTHERMAL GUNUNG SALAK... 87 5.1

5.2

5.3

Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang Pendidikan...

Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang Kesehatan... Program pengembangan masyarakat dalam bidang

Pemberdayaan Ekonomi Lokal... 96

101


(14)

5.4

5.5

5.6

Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang Lingkungan... Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang Infrastruktur...

Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang Komunikasi & Hubungan Sosial Masyarakat...

108

109

112 5.7 Pelaksanaan Terbaik (Best Practice) Program

Pengembangan Masyarakat………. 114 5.8 Ikhtisar ... 118

VI. KONTRIBUSI PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT INDUSTRI PANAS BUMI GUNUNG SALAK

TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH... 132

6.1 Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak Terhadap Pertumbuhan Perekonomian Daerah dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat……….

134

6.2 Ketergantungan Masyarakat Terhadap Perusahaan... 138 6.3 Pengorganisasian dan pengoordinasian program

pengembangan masyarakat dengan program lain... 140 6.4 Jaringan Kelembagaan Lokal... 142 6.5 Konflik Yang muncul dalam Masyarakat... 144

6.5.1. CHV dengan masyarakat... 6.5.2. CHV dengan Pemerintah Daerah... 6.5.3. CHVdengan LSM lokal... 6.5.4. Masyarakat dengan Masyarakat... 6.5.5. Masyarakat dengan LSM... 6.5.6. LSM dengan LSM... 6.5.7. Pemerintah daerah dengan LSM...

146 148 149 150 151 151 153 6.6 Hubungan Program pengembangan masyarakat dan

pengembangan wilayah lokal... 153 6.7 Analisis badan swasta (profit-maximizing body) dalam

pembangunan wilayah... 155 6.8 Ikhtisar ... 156


(15)

VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 161 7.1 Kesimpulan... 161 7.2 Saran...

7.2.1. Ilmu perencanaan pembangunan wilayah dan perdesaan……… 7.2.2. Pihak Perusahaan... 7.2.3. Pihak Pemerintah Daerah Sukabumi... 7.2.4. Pihak Desa dan kecamatan Kabandungan... 7.2.5. Pihak Masyarakat...

162

162 163 164 164 164

DAFTAR PUSTAKA... ... 165 LAMPIRAN ... 169


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Nama-nama Desa Kecamatan Kabandungan... 69 Tabel 4.2. Pemerintahan Desa Se-Kecamatan Kabandungan……… 70 Tabel 4.3. Luas Wilayah Menurut Ketinggian Tanah kecamatan

Kabandunga tahun 2005……… 71

Tabel 4.4. Kondisi Tanah di Kecamatan Kabandungan……….. 71 Tabel 4.5. Jenis Tanah di Kecamatan kecamatan Kabandungan……. 72 Tabel 4.6 Jenis Penggunaan Lahan Di Kecamatan Kabandungan….. 72 Tabel 4.7. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kecamatan

Kabandungan……… 73

Tabel 4.8. Kondisi Jalan di Kecamtan Kabandungan (dalam Km)……. 73 Tabel 4.9. Jumlah Jembatan di Kecamatan Kabandungan……… 74 Tabel 4.10 Jumlah Sekolah di Kecamtan Kabandungan……… 74 Tabel 4.11. Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Kabandungan... 74 Tabel 4.12. Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan

Kabandungan……… 75

Tabel 4.13. Luas Tanah Menurut Jenis Penggunaannya di kecamatan

Kabandungan (dlm Ha)... 76 Tabel 4.14. Produksi Daging Menurut Jenis Ternak Dan Telur Unggas

di kecamatan Kabandungan (Kg)... 77 Tabel 4.15. Jumlah Pemeluk Agama di kecamatan Kabandungan…… 79 Tabel 4.16. Rumah Tangga Miskin Penerima BLT di Kecamatan

Kabandungan Tahun 2005/2006………. 80 Tabel 4.17. Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) Menurut Jenisnya di kecamatan Kabandungan…

80

Tabel 4.18. Jumlah Murid Drop Out (DO) Menurut Umur Sekolah…….. 81 Tabel 4.19. Keadaan Tenaga Kependidikan Sekolah Dasar di

kecamatan Kabandungan……… 82


(17)

Kabandungan……….…..

Tabel 4.21. Jumlah Kejadian Bencana Alam Menurut Jenisnya……… 83 Tabel 4.22. Jumlah Kerugian Akibat Kejadian Bencana Alam Dan

taksiran Nilai Kerugian... 83 Tabel 4.23. Luas Lahan Kritis di kecamatan Kabandungan (Ha)……… 84 Tabel 6.1. PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Sukabumi

Menurut sektor usaha tahun 2000-2005 (dalam miliar

rupiah)………... 135

Tabel 6.2. Rumah Tangga Miskin Penerima BLT di Kecamatan

Kabandungan Tahun 2005/2006………. 136 Tabel 6.3. Jumlah kelompok Tani menurut kelas kelompok... 143


(18)

DAFTAR MATRIKS

Halaman

Matriks 2.1 Perbedaan Pengembangan Masyarakat Klasik Dan

Kontemporer……… 19

Matriks 2.2 Definisi Nomenklatur Kewilayahan……… 33 Matriks 5.1 Hubungan Antara Pengembangan Wilayah, Sumberdaya

Alam, Sumberdaya Manusia Dan Teknologi……… 88 Matriks 5.2 Motif Perusahaan dalam Manjalankan Program

Pengembangan Masyarakat………... 90 Matriks 5.3 Time line Pelaksanaan Program Pegembangan

Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak

….

121 Matriks 5.4 Ikhtisar Analisis Pelaksanaan Program Pegembangan

Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak…. 123 Matriks 6.1 LSM yang melakukan kegiatan di Kecamatan

Kabandungan……….. 143

Matriks 6.2 Potensi Konflik yang Terjadi di Kecamatan Kabandungan. 145 Matriks 6.3 Bentuk konflik dan sumber konflik di Kecamatan

Kabandungan... 152 Matriks 6.4 Ikhtisar Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan

Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Hubungan Antara Pengembangan Wilayah, Sumberdaya

Alam, Sumberdaya Manusia Dan Teknologi……… 29 Gambar 2.2. Peta Distribusi Lokasi dan Wilayah Pertambangan Panas

Bumi……… 42


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Wilayah Penelitian ……….………

2 Panduan Wawancara ……….………

3 Program Tahunan Community Engagement CHV……….……… 4 Struktur Organisasi Community Afairs CHV……… 5 Struktur Organisasi Community Afairs Antam……… 6 Kronologis Pelaksanaan Program Community Development-

CHV Di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi...


(21)

I. P E N D A H U L U A N

1.1. Latar Belakang

Paradigma baru pembangunan wilayah dengan diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, diyakini dapat membawa angin baru untuk kemajuan pembangunan wilayah. Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perudang-undangan. Daerah juga dituntut untuk mengembangkan serta mengoptimalkan semua potensi wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan tingkat kemandirian yang tinggi.

Otonomi daerah sebenarnya merupakan sebuah peluang bagi daerah otonom (Kabupaten/Kota) untuk memperbaiki fungsi pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. Sebab otonomi yang mentransfer berbagai kewenangan akan melahirkan diskresi di tingkat lokal dalam membuat kebijakan pembangunan daerah yang sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat di daerah. Namun peluang tersebut tidak serta merta dapat merubah pola pembangunan daerah menjadi semakin baik untuk masyarakat daerah. Komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dan kesiapan masyarakat adalah faktor operasional yang cukup signifikan membuat peluang tersebut terealisasi secara empirik. Jika komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dan kapasitas masyarakat lokal lemah maka berbagai peluang tersebut cenderung hanya bersifat retoris yang indah dalam kata-kata dan tidak pernah terwujud dalam kehdupan nyata. Sebaliknya apabila komitmen dan konsistensi pemerintah daerah kuat yang terlihat dari adanya keinginan untuk mensejahterakan masyarakat melalui pembaharuan, baik secara struktural dan kultural serta internal dan eksternal institusi pemerintah daerah dan kehendak masyarakat cukup antusias membangun daerahnya maka peluang itu akan menjadi “pintu masuk” bagi kesejahteraan masyarakat lokal.

Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigma pembangunan, cara pandang pembangunan yang berorientsi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi luar


(22)

semata (persepektif materialistik), telah bergeser ke arah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannya.

Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteran sosial dan material, termasuk meningkatkan keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian.

Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini telah banyak menimbulkan dampak masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks. Semakin melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi, degradasi dan tingkat kerusakan lingkungan yang semakin parah, beban dan ketergantungan pada utang luar negeri yang semakin berat adalah bukti-bukti nyata atas kegagalan praksis pembangunan. Realitas-realitas tersebut telah mendorong perubahan pemikiran dan konsepsi pembangunan wilayah yang lebih mendorong keterlibatan masyarakat.

Berbagai ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut, secara substansial di arahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan kemampuan masyarakat, yaitu diharapkan akan mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Di sisi lain, melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self-sustaining capacity masyarakat menuju sustainable development.

Salah satu tantangan pembangunan wilayah yang strategis dalam rangka mengatasi ketidakberdayaan yang selama ini terjadi adalah melalui upaya pemberdayaan masyarakat. Munculnya konsep pemberdayaan masyarakat sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang bersumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan, kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan. Disaat yang bersamaan, pendekatan pembangunan lebih bersifat sentralistik yang mengedepankan perencanaan top down serta keseragaman telah berhasil melemahkan kemandirian masyarakat.


(23)

Hadirnya konsep pemberdayaan masyarakat merupakan respon kritis terhadap pola pembangunan yang sentralistik dan seragam tersebut. Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat sebenarnya berakar pada paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centered development). Pengalaman dilapangan menunjukkan bahwa ketidakberdayaan masyarakat selama ini terjadi hampir di semua sektor kehidupan, di antaranya masih terbatasnya akses masyarakat terhadap berbagai sumberdaya ekonomi dan sumberdaya alam. Dalam kasus ini misalnya terbatasnya akses bagi para petani kecil untuk mendapatkan kredit dan ketiadaan akses bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam disekitarnya karena telah dikuasai oleh negara atau oleh perusahaan swasta. Ketidakberdayaan secara politik juga terjadi, banyak produk kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga politik tidak pro-poor, karena masyarakat tidak sanggup untuk mempengaruhi keputusan tersebut. Juga terjadi ketidakberdayaan berprakasrsa, hal ini terjadi karena tidak dilakukannya pengambilan keputusan secara partisipatif yaitu prosese-proses yang melibatkan pihak-pihak yang terkena pengaruh/dampak dari keputusan yang bersangkutan, sehingga masyarakat akhirnya menjadi tidak mau bepartisipasi karena tidak dilibatkan dalam setiap tahapan prosesnya.

Pemberdayaan masyarakat berarti menghilangkan ketidakberdayaan tersebut diatas dan memberdayakan masyarakat dengan membuka peluang yang sebesar-besarnya dalam proses perencanaan pembangunan wilayah, begitu juga dalam pelaksanaannya dan untuk menumbuhkan keberdayaan mesti bersandar pada aspirasi dan partisipasi masyarakat.

Dalam pengembangan masyarakat pertisipatif, masyarakat ditempatkan sebagai subyek pembangunan yang potensial sehingga membentuk motivasi dan perubahan partisipasi aktif masyarakat. Dengan pengembangan masyarakat partisipatif yang mengutamakan inner construction masyarakat, diharapkan masyarakat selanjutnya dapat membentuk dirinya sendiri dan bersikap mandiri dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul.

Kehadiran industri pertambangan disuatu wilayah dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan percepatan (akselerasi) pembangunan wilayah dimana perusahaan beroperasi ataupun wilayah-wilayah yang terbelakang yang diakibatkan oleh ketimpangan distribusi pembangunan. Keberadaan tambang disuatu wilayah juga secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah pada lokasi


(24)

tersebut. Di beberapa wilayah, sumbangan sektor pertambangan dan migas terhadap PDRB menempati urutan teratas dan jumlah penyerapan tenaga kerja sangat besar.

Hubungan pengembangan masyarakat dengan industri juga memberikan arti penting bagi pemerintah daerah mengingat adanya kecendrungan peningkatan perkembangan sektor industri merupakan potensi bagi peningkatan PAD serta peluang untuk melakukan pembangunan wilayah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks tersebut, pemerintah daerah tidak hanya dituntut untuk dapat menciptakan iklim bagi kelangsungan dunia usaha, tetapi juga menciptakan ketentuan hukum yang dapat memayungi program kemitraan antara pemerintah daerah, industri dan masyarakat.

Menurut Saleng (2004) dalam Hamzah (2005), dampak positif secara langsung kehadiran perusahaan pertambangan didaerah adalah adanya kesempatan kerja dan kesempatan usaha baru bagi masyarakat sekitar sehingga mengurangi pengangguran dan dapat memberikan kontribusi kepada pembangunan ekonomi, peningkatan kualitas hidup para pekerja maupun masyarakat disekitarnya

.

Sehingga dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi hal ini juga berarti meningkatnya pendapatan masyarakat. Dampak positif tidak langsung adalah meningkatnya kualitas sumberdaya manusia karena terbukanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sebagai dampak dari meningkatnya pendapatan, meningkatnya arus informasi yang dapat diterima oleh masyarakat karena adanya interaksi dengan para pendatang.

Dampak negatif secara langsung adalah berupa menurunnya tingkat kualitas lingkungan hidup karena adanya eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Dampak negatif secara tidak langsung adalah dampak sosial yaitu adanya pergeseran nilai sosial dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya interaksi dengan masyarakat luar yang lebih modern seperti misalnya masyarakat menjadi lebih permisif terhadap hal-hal negatif yang dulu sangat dilarang seperti perjudian, alkoholisme dan pergaulan bebas.

Kehadiran CHV diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan masyarakat sekitar. Hal ini diperlukan mengingat area pengelolaan sumberdaya panas bumi berada pada wilayah perdesaan yang

1


(25)

aksesibilitas masyarakatnya rendah karena berada jauh dari pusat Pemerintahan.

Letak yang jauh ini sering menjadi penyebab minimnya porsi pembangunan yang diterima masyarakat sehingga tidak hanya menyebabkan ketertinggalan perkembangan fisik wilayah tetapi juga dapat menciptakan masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang, serta semakin memperbesar disparitas antara wilayah maju dengan wilayah yang belum maju sehingga dalam proses pembangunannya menimbulkan ketergantungan terhadap wilayah yang sudah maju.

Oleh karena itu, suatu rancangan strategi pengembangan masyarakat yang dilakukan selayaknya adaptif terhadap pembangunan wilayah, sehingga perlu dibangun secara partisipatif dan berdasarkan inisiataif lokal. Diabaikannya partisipasi warga dalam mekanisme perencanaan pembangunan, membuat sebagian besar anggaran digunakan untuk kepentingan pemerintah, sampai saat ini, alokasi dana yang dikucurkan ke desa masih sangat kecil. Ini menyebabkan desa-desa sarat dengan berbagai persoalan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi yang lamban.

Program pengembangan masyarakat harus disesuaikan dengan perkembangan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tahapan perkembangan masyarakat yang berbeda menuntut adanya upaya pendekatan pengembangan yang berbeda pula. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kegiatan pengembangan masyarakat yang adaptif terhadap pembangunan wilayah dan mendorong percepatan pembangunan wilayah menjadi penting.

1.2. Perumusan Masalah

Keberadaan industri panas bumi Gunung Salak yang dikelola oleh CHV akan menimbulkan dampak baik bersifat positif maupun negatif, secara langsung maupun tidak langsung. Dampak ini dapat terjadi pada aspek lingkungan, tata ruang, lahan dan tanah, aspek fisik-kimia-biologi maupun aspek sosial-ekonomi dan budaya.

Pengusahaan pertambangan di wilayah yang relatif terpencil atau wilayah yang baru dibuka, seringkali masyarakat pendatang jauh lebih maju dan sejahtera serta memiliki semangat bersaing (competition spirit) yang tinggi ketimbang masyarakat asli setempat. Perbedaan kesejahteraan dan semangat


(26)

bersaing ini pada akhirnya akan menjadi penyebab konflik sosial antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang. Ketidakadilan akses dan ketidakmerataan pembagian keuntungan ekonomi wilayah yang diterima oleh lokalitas berpotensi memicu terjadinya konflik sosial. (Saleng 2004 dalam Hamzah 2005 ).

Keberadaan perusahaan pengelolaan sumberdaya alam di suatu wilayah sering tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pengembangan masyarakat dan pengembangan wilayah. Padahal dalam Undang-undang nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi pasal 29 huruf f diamanatkan bahwa Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Panas Bumi wajib melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam program pengembangan masyarakat menggambarkan semakin menurunnya tingkat keberdayaan masyarakat, hal tersebut diakibatkan oleh: (1) semua pihak (stake holders) yang melakukan program ini lebih memandang masyarakat sebagai obyek. Hal ini diperlihatkan dengan banyaknya program yang dibuat tidak sesuai kebutuhan (needs) masyarakat tetapi lebih disesuaikan dengan keinginan (wants) pihak pembuat program (dalam hal ini perusahaan atau Pemda). (2) Para stakeholders dalam melaksanakan program-programnya seringkali tidak saling berkoordinasi sehingga bisa terjadi di satu wilayah banyak dilakukan program pemberdayaan masyarakat, di wilayah lainnya tidak ada satu program pun yang dilakukan, sehingga terjadi ketimpangan wilayah, juga sering terjadi program pengembangan masyarakat yang dijalankan tidak saling mengisi dan saling menguatkan akibatnya sering terjadi tumpang tindih program baik tempat pelaksanaan maupun persoalan yang digarapnya, (3) program-program yang dilakukan lebih bersifat sentralistik, tidak memperhatikan karakteristik wilayah, akibatnya tidak semua program dapat mencapai tujuannya karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, (4) banyaknya program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan tidak berkesinambungan. Hal tersebut diatas menjadi masalah, karena persoalan-persoalan pemberdayaan masyarakat seringkali membutuhkan waktu yang lama dan tidak selalu bisa terlihat hasilnya secara fisik, sementara disisi lain perusahaan berkeinginan hasil dari pemberdayaan masyarakat yang mereka jalankan dapat segera dilihat/dirasakan dalam waktu yang singkat, (5) berbagai kajian atau penelitian telah dilakukan,


(27)

namun pada kenyataannya tidak selalu menjadi acuan dalam membuat berbagai kebijakan yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat.

Eksistensi keberadaan industri dan interaksinya ditengah masyarakat membawa perubahan-perubahan, industri mempengaruhi polapikir dan pola kehidupan masyarakat dan sebaliknya masyarakat sekitar juga mempengaruhi pola-pola kebijakan manajemen sebuah perusahaan industri. Dalam perjalanannya, pola hidup bersama yang saling mempengaruhi tersebut juga menyimpan potensi konflik mengingat masing-masing pihak berangkat dari sisi kepentingan dan persepsi yang berbeda. Oleh karena itu pola hubungan yang dibangun oleh industri dengan masyarakat sekitar harus dapat menciptakan sinergitas, tidak hanya sebagai upaya meredam konflik tetapi yang terpenting adalah dalam spirit untuk mengembangkan masyarakat dan wilayah.

Dilihat dari perspektif positive social forces, kehadiran CHV dapat memberikan manfaat tidak hanya terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan tetapi juga terhadap pembangunan wilayah. Namun sumberdaya alam yang melimpah tidaklah dengan sendirinya memberikan kemakmuran bagi warga masyarakat, jika sumberdaya manusia yang ada tidak mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi guna memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Sektor pertambangan memang memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan negara, namun kegiatan pertambangan tersebut belum berpihak pada masyarkat. Hal ini ditandai dengan besarnya penerimaan yang diterima oleh negara (pusat) melalui royalti dan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan pertambangan, tetapi hanya sedikit sekali dari jumlah dana yang diterima tersebut dikembalikan lagi kepada daerah penghasilnya.

Hubungan pengembangan masyarakat dengan insdustri juga memberikan arti penting bagi pemerintah daerah mengingat adanya kecendrungan peningkatan perkembangan sektor industri merupakan potensi peningkatan PAD serta peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan wilayah. Dalam konteks tersebut, pemerintah daerah tidak hanya dituntut untuk dapat menciptakan iklim bagi kelangsungan dunia usaha, tetapi juga menciptakan ketentuan hukum yang dapat memayungi program kemitraan antara pemerintah daerah, industri dan masyarakat sehingga dampak positif dari keberadaan perusahaan dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar,


(28)

diantaranya melalui pesatnya pembangunan wilayah dimana perusahaan beroperasi.

Jika dilihat dari sisi negative social forces maka keberadaan CHV juga dapat memberikan dampak yang besar terhadap degradasi dan kerusakan lingkungan yang terjadi, juga berpotensi untuk tumbuh dan berkembangnya permasalahan-permasalahan sosial serta degradasi nilai-nilai budaya lokal masyarakat sekitar lokasi pertambangan.

Dampak negatif secara sosial yaitu adanya pergeseran nilai sosial dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya interaksi dengan masyarakat luar yang lebih modern seperti misalnya masyarakat menjadi lebih permisif terhadap hal-hal negatif yang dulu sangat dilarang seperti perjudian, alkoholisme dan pergaulan bebas.

Keberadaan industri pertambangan disamping memberikan dampak terhadap degradasi dan kerusakan lingkungan juga berpotensi untuk tumbuh dan berkembangnya permasalahan-permasalahan sosial serta degradasi nilai-nilai budaya lokal masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Pada umumnya lokasi industri pertambangan terletak di daerah-daerah terpencil dengan tingkat pendidikan masyarakat yang sangat rendah dan tidak memiliki keahlian (skill) tentang industri pertambangan serta jauh dari sentuhan teknologi dan arus informasi sehingga menyebebkan masyarakat disekitar perusahaan pertambangan kurang mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut karena tidak mampu bersaing dengan pekerja-pekerja yang berasal dari luar daerah yang lebih memiliki kemampuan (skill) dan pengalaman dalam bidang industri pertambangan. Ketidakmampuan masyarakat lokal untuk bersaing dengan para pekerja yang berasal dari luar daerah akan menimbulkan kecemburuan sosial.

Akumulasi dari persoalan-persoalan diatas pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan (beserta pendatang) yang akan berujung pada resistensi dan penolakan masyarakat terhadap keberadaan perusahaan pertambangan di wilayah mereka. Untuk menciptakan perubahan yang konstruktif dan tidak menimbulkan resistensi masyarakat, diperlukan partisipasi dan inisiatif lokal untuk menciptakan kesesuaian dengan karakteristik lokal .

Peningkatan partisipasi aktif dan inisiatif lokal diperlukan dalam rangka mendekatkan masyarakat dengan sumberdaya sosial ekonomi yang menjadi hak


(29)

mereka. Masyarakat selayaknya mendapat bagian yang proporsional dari manfaat yang diperoleh dalam pengelolaan sumberdaya alam mereka oleh piha lain diluar komunitas, memperoleh akses untuk menggali dan mengembangkan potensi sosial ekonominya serta mengelola beragam potensi tersebut untuk berkembang secara mandiri dan berkelanjuan.

Untuk menjembatani ketimpangan-ketimpangan tersebut maka program pengembangan masyarakat menjadi suatu pilihan untuk meminimalisir dampak negatif dari kegiatan pertambangan dengan strategi pengembangan masyarakat yang berorientasikan pada upaya reduksi intensitas dampak, strategi netralisasi dampak negatif, strategi remediasi atau kuratif (pengobatan).

Salah satu upaya mengatasi dampak negatif tersebut serta untuk menjembatani ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, maka CHV melaksanakan program pengembangan masyarakat (community development). Program ini dimaksudkan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dan keterampilan melalui bantuan teknis, pendampingan usaha atau bantuan modal dari industri yang bersangkutan.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka didalam penelitian ini penulis merumuskan dan mengkaji:

1. Bagaimana pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak?

2. Apakah terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah?.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pernyataan diatas, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan.

2. Menganalisis apakah terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah.


(30)

1.4. Kegunaan Penelitian

Laporan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dalam program pengembangan masyarakat, menjadikan masukan referensi dalam semua kegiatan-kegiatannya dan sebagai bahan/dasar bagi kajian lebih lanjut tentang masalah ini.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengembangan masyarakat

Munculnya konsep pengembangan masyarakat (community development) sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang besumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan, kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan. Di saat yang bersamaan, pendekatan pembangunan lebih bersifat sentralistik yang mengedepankan perencanaan top down serta keseragaman telah berhasil melemahkan kemandirian masyarakat. Hadirnya konsep pemberdayaan masyarakat merupakan respon kritis terhadap pola pembangunan yang sentralistik dan seragam tersebut. Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat sebenarnya berakar pada paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusi (people centered development). Berbagai ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut, secara substansial diarahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan kemampuan masyarakat, yaitu diharapkan akan mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Disisi lain, melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat menuju sustainable development.

Menurut TR. Batten dalam Surjadi (1979), seperti dikutip oleh Hamzah (2005) pengembangan masyarakat merupakan suatu proses dimana anggota-anggota masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan mereka. Sedangkan pengembangan masyarakat menurut Dunham dalam Rukminto (2001) adalah berbagai upaya yang terorganisir yang dilakukan guna meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, terutama melalui usaha yang kooperatif dan mengembangkan kemandirian dari masyarakat perdesaan, tetapi hal tersebut dilakukan dengan bantuan teknis dari pemerintah ataupun lembaga-lembaga sukarela.


(32)

12

Definisi pengembangan masyarakat yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1956, yaitu :

Community development is the processes by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrate these communities into the life of the nation and to enable them to contribute fully to national progress.

This complex of processes is thus made up of two essential elements: the participation of the people themselves in efforts to improve their level of living with as much reliance as possible on their own initiative, and the provisions of technical and other service in ways which encourage initative, self-helf and mutual help and make these more effective, it is expressed in programmes designed a wide variety of specific improvements.

These programmes are usually concerned with local communities because of the fact that the people living together in a locality have many and varied interests in common. Some of their interests are expressed in functional groups organized to further a more limited range of interests not primarily determined by lokality.

(20th Repport to ECOSOC of the UN Administrative Communittee on Coordination, E/ 2931, annex III, New York, October 18th 1956, seperti dikutip oleh J. Bhattacharyya, 1972:4 dalam Taliziduhu Ndraha, 1987 : 72-73).

Berdasarkan definisi tersebut, pengembangan masyarakat merupakan: (1) suatu proses baik upaya masyarakat yang bersangkutan berdasarkan prakarsa sendiri maupun kegiatan pemerintah, jadi lebih ditekankan sebagai suatu proses, metode dan gerakan daripada sebagai program, (2) meliputi dua komponen utama yaitu : pertama. Partisipasi masyarakat lokal, Kedua, bantuan dan pelayanan teknis dari pemerintah untuk mengembangkan partisipasi dan inisiatif tersebut serta (3) bekerja pada tingkat komunitas yang diikat dengan kepentingan yang sama sedangkan urusan yang bersifat khusus atau kepentingan kelompok ditangani oleh kelompok fungsional karena bukan merupakan kepentingan umum komunitas.

Menurut Budimanta (2005) secara umum pengembangan masyarakat dapat didefinisikan sebagai kegiatan mengembangkan masyarakat yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan sebelumnya, sehingga masyarakat ditempat tersebut diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.


(33)

13

Sedangkan Marzali (2003) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai sebuah proses tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri mereka dalam perencanaan dan tindakan, menentukan kebutuhan dan masalah individu/bersama, membuat rencana individu/kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan persoalan, melaksanakan rencana dengan menyesuaikan diri secara maksimal dengan sumberdaya yang ada dalam komunitas, dan jika diperlukan menambah sumberdaya ini dengan jasa dan materi dari badan-badan pemerintah dan non-pemerintah yang berasal dari luar komunitas.

Lebih lanjut Marzali (2003) mengemukakan bahwa program pengembangan masyarakat tergantung kepada ditemukannya “felt needs” dari komunitas tersebut. Ini bukanlah hal yang sederhana karena “felt needs” dari komunitas secara keseluruhan, belum tentu sama dengan “felt needs” dari anggota-anggota komunitas secara individu, apalagi dengan pimpinan komunitas. Selanjutnya “felt needs” dari komunitas belum tentu sama dengan kepentingan utama komunitas. Gagal dalam menentukan “felt needs” dari komunitas bisa berakibat kegagalan dari program pengembangan masyarakat.

Terminologi pemberdayaan dipahami oleh sebagian para ahli sebagai proses stimulus pemberian daya (power atau kekuatan) kepada masyarakat untuk mampu berbuat lebih dengan mengandalkan potensi dan kekuatannya sendiri. Menurut Rees dalam Trijono (2001), esensi pemberdayaan adalah proses perolehan kekuasaan (achieving power) dan segala perubahan sikap, perilaku dan tindakan politik untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Mengacu pendapat seperti ini maka kita tidak bisa memahami proses pemberdayaan secara sempurna kalau kita tidak memahami dua elemen penting pemberdayaan, yaitu kekuasaan (power) dan politik (politics). Kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam arti luas yaitu kapasitas untuk bertindak, untuk mampu melakukan atau menghasilkan sesuatu. Sedangkan politik merupakan turunan dari eleman kekuasaan karena dalam setiap upaya memperoleh kekuasaan akan selalu membutuhkan adanya tindakan politik tertentu. Esensi politik yaitu aktivitas yang selalu diwarnai kerjasama, konflik, keputusan diantara orang, kelompok atau organisasi dalam alokasi dan penggunaan sumberdaya ekonomi, nilai dan ide. Dalam konteks pemberdayaan, politik mendorong masyarakat untuk terlibat dalam alokasi sumberdaya yang ada baik melalui kerjasama, konflik dan memutuskannya. Dengan dua elemen ini secara operasional, pemberdayaan


(34)

14

mampu menciptakan kesadaran masyarakat akan masalah yang dihadapi, tahu modal untuk menyelesaikan masalah, mampu menyusun alternatif pemecahan masalah serta akurat memilih alternatif terbaik penyelesaian masalah.

Mengacu pada pemikiran tersebut, upaya pemberdayaan menurut (Sumodiningrat 1996 dalam Hamzah 2005), harus dilakukan melalui 3 (tiga) pandangan mendasar, yaitu Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan meningkatkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat. Dalam kerangka ini, diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya memanfaatkan peluang. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Artinya proses pemberdayaan harus mencegah yang lemah menjadi bertambah lemah.

Pengembangan masyarakat merupakan suatu strategi dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada rakayat (people centered development) yang menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal serta kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya sosial ekonomi yang dimiliki, “ruh” pengembangan masyarakat adalah populisme atau popularisme, yaitu menempatkan masyarakat sebagai bagian terpenting energi pembangunan dengan keseluruhan hak dan kewajiban serta harkat dan martabatnya.

Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat sebenarnya berakar pada paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centered development) seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Berbagai ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut, secara substansial diarahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan kemampuan masyarakat, yaitu diharapkan akan mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Disisi lain pula, melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat menuju sustainable development.


(35)

15

Pengembangan masyarakat harus didasarkan atas kekuatan-kekuatan lokal yang bersumber dari masyarakat sebagai pilar utama dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh (Hellen Miller dalam Wiryosoemarto 1977 seperti dikutip oleh Khairuddin 2006) bahwa: “communitiy development is the term used to describe the approach wich many government have employed to reach their village people and to make more effective use lokal initiative and energy for increased production and better living standards”. Menurut UNDP dalam Rustiadi et al. (2005) pembangunan dan khususnya pembangunan manusia didefinisikan sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagimana yang dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu.

Dalam kaitan dengan karakteristik pengembangan masyarakat, (Glen dalam Rukminto, 2001) menggambarkan bahwa ada tiga unsur dasar yang menjadi ciri khas pendekatan pengembangan masyarakat, yaitu :

1. Tujuan dari pendekatan ini adalah memampukan masyarakat untuk mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan mereka, menetapkan rasa kebersamaan sebagai suatu komunitas berdasarkan ketetanggaan (neighbourhood) dimana basis ketetanggaan merupakan salah satu bentuk lokalitas kegiatan.

2. Proses pelaksanaannya melibatkan kreatifitas dan kerjasama masyarakat ataupun kelompok dalam masyarakat tersebut. Komunitas dilihat sebagai kelompok masyarakat yang secara potensial kereatif dan kooperatif merefleksikan idealisme sosial yang positif terhadap upaya-upaya kolaboratif dan pembentukan identitas komunitas.

3. Praktisi yang menggunakan model intervensi ini pada umumnya menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat yang bersifat nondirektif, artinya lebih banyak difokuskan pada peran sebagai “pemercepat perubahan” (enabler), ”pembangkit semangat” (encourager) dan “Pendidik” (educator). Masyarakat lebih cenderung untuk bertindak sesuai dengan apa yang mereka pilih, daripada apa yang telah diyakinkan oleh community worker untuk yang seharusnya mereka lakukan. Tetapi dalam kondisi tertentu


(36)

16

dapat memainkaan peran proaktif, terutama ketika individu ataupun kelompok tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengorganisir suatu kegiatan di masyarakat.

Dalam pengembangan masyarakat pertisipatif, masyarakat ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang potensial sehingga mendorong pembentukan motivasi dan perubahan partisipasi aktif masyarakat. Dengan pengembangan masyarakat partisipatif yang mengutamakan inner construction masyarakat, diharapkan masyarakat selanjutnya dapat membentuk dirinya sendiri dan bersikap mandiri dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul.

Menurut Rustiadi et al., (2005), Pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu bukan dari “nol”, atau membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada di masyarakat tetapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki kapasitas sama sekali) namun perlu ditingkatkan kapasitasnya (capacity building).

Sorotan pemberdayaan juga tidak terlepas dari peran pelaku-pelaku (aktor) yang terlibat didalamnya. Keberhasilan upaya pemberdayaan sangat ditentukan oleh peran pelaku-pelaku (aktor) untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan fungsi yang dimiliki dengan dilandasi prinsip kolaboratif. Pelaku-pelaku dimaksud meliputi dua kelompok yaitu kelompok yang harus diberdayakan, dalam hal ini adalah masyarakat dan kelompok yang menaruh kepedulian seperti pemerintah, organisasi sosial masyarakat (LSM), tokoh agama/ masyarakat serta pers.

Menurut mazhab komunitarianisme pengembangan masyarakat harus dilaksanakan dengan pendekatan komunitas serta serba kolektivitas dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi kemasyarakatan. Mazhab ini memandang pengembangan masyarakat sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui partisipasi aktif penuh dan berdasarkan inisiatif lokal. Menurut mazhab ini juga, keterlibatan komunitas sangat penting dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi masyarakat, sehingga keterlibatan masyarakat lokal menjadi suatu keharusan. Peningkatan partisipasi aktif dan inisiatif lokal diperlukan dalam rangka mendekatkan


(37)

17

masyarakat dengan sumberdaya sosial ekonomi yang menjadi hak mereka. Masyarakat selayaknya mendapat bagian yang proporsional dari manfaat yang diperoleh dalam pengelolaan sumberdaya alam mereka oleh pihak lain diluar komunitas, memperoleh akses untuk menggali dan mengembangkan potensi sosial ekonominya serta mengelola beragam potensi tersebut untuk berkembang secara mandiri dan berkelanjuan.

Sedangkan mazhab institusionalisme memandang pendekatan pengembangan masyarakat harus dilaksanakan melalui pengaturan oleh kelembagaan dan atau organisasi sosial dalam menangani masalah sosial-kemasyarakatan. Menurut mazhab ini, pengembangan masyarakat didekati melalui perubahan kelembagaan (institutional change) dan penataan kelembagaan sebagai infrastruktur pengembangan wilayah. Menurut pendekatan ini kelembagaan menjadi kata kunci penting suatu perubahan sosio-ekonomi regional. Model pendekatan ini melibatkan aktor pembangun (swasta, masyarakat, dan pemerintah daerah sebagai mediator). Di tingkat masyarakat, keberhasilan pendekatan ini akan dirasakan oleh masyarakat dalam upaya mengorganisir diri, meningkatkan proses demokratisasi, meningkatkan peran serta (partisipatif), serta mendudukkan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Keberhasilan model pendekatan ini akan mampu "memberdayakan" aset potensi daerah guna mempercepat kemampuan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berkaitan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah.

Oleh karena itu, dalam pengembangan masyarakat bukan hanya sekedar membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat khususnya dalam rangka peningkatan taraf hidupnya, tetapi terpenting adalah sebagai upaya untuk menciptakan kemandirian masyarakat sehingga mau dan mampu mengatasi segala permasalahan yang terjadi.

Menurut Ife (2002) terdapat enam dimensi penting dari pengembangan masyarakat, yaitu:

1. Pengembangan Sosial, berkaitan dengan pemberian akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Yang berkaitan dengan program ini adalah seperti pengembangan dan penguatan kelompok-kelompok swadaya masyarakat, masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi profesi serta peningkatan kepasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based), serta aspek sosial


(38)

18

yang menekankan bagaimana kebutuhan masyarakat dan perusahaan perlu diakomodasikan dan dikomunikasikan, serta peran apa yang dapat dilakukan perusahaan untuk membantu kehidupan masyarakat sekitar

2. Pengembangan Ekonomi, mengoptimalkan penggalian,pemanfaatan dan pengelolaan berbagai potensi ekonomi daerah sesuai dengan kondisi obyektif daerah. Memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di daerah, memperkecil kesenjangan, pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat, serta menekankan bagaimana perusahaan dapat membantu kehidupan perekonomian masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat

3. Pengembangan Politik, memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan publik, mengembangkan dialog dan interaksi antara pemimpin dengan masyarakat. pengembangan masyarakat sebagai upaya merealisasikan dan menumbuhkan kehidupan demokrasi di masyarakat (grassroot democracy).

4. Pengembangan Budaya, perhatiana yang lebih besar kepada nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, secara keseluruhan akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu maupun suatu bangsa.

5. Pengembangan Lingkungan, kelestarian lingkungan yang menekankan bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang masalah lingkungan sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah preventif dan kuratif yang perlu dilaksanakan bersama-sama.

6. Pengembangan Pribadi/Keagamaan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia masyarakat lokal yang sarat dengan keterbatasan sehingga perlu diberdayakan dan disiapkan untuk menghadapi masa-masa setelah operasi perusahaan berakhir, juga pengembangan dari segi spiritualisme masyarakat.

Lebih lanjut, menurut Ife (2002), pengembangan masyarakat bertujuan untuk membangun kembali masyarakat dengan menempatkannya sebagai manusia yang saling berhubungan dan membutuhkan satu sama lain, bukan saling ketergantungan kepada yang lebih besar sehingga lebih tidak manusiawi, memiliki keteraturan mengenai kesejahteraan, perekonomian yang luas, birokrasi serta kemampuan untuk memilih.


(39)

19

Secara historis pengembangan masyarakat dapat dilihat dari periode pengembangan masyarakat Klasik (1950-1980) serta pengembangan masyarakat kontemporen (1990-2000), terdapat perbedaan dari kedua periode ini, diantaranya terletak pada prinsipnya, pendekatan utama, proses, peran aktor dan basis sosial untuk aktivitasnya. (Matriks.2.1)

Matriks 2.1 Perbedaan Pengembangan Masyarakat Klasik Dan Kontemporer.

Faktor Pembeda Pengembangan Masyarakat Klasik (1950-1980an) Pengembangan Masyarakat Kontemporer (>1990) Prinsip-prinsip Utama Philantropis/charitatif (derma) Populisme/Popularisme Pendekatan Utama

Assistancy approach Self-help approach

Proses Top-down Bottom-up

Area of Activities

Pembangunan infrastruktur fisik, pemberian bantuan alat, dan pemberian bantuan keuangan (Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana airbersih, olahraga, peningkatan pendapatan, dan tempat peribadatan)

• Pembangunan infrastruktur fisik, pemberian bantuan alat, dan pemberian bantuan keuangan

(Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana airbersih, olahraga, peningkatan pendapatan, dan tempat peribadatan) • Pendampingan dan

training

(pertanian dan industri rumah tangga)

• Lingkungan hidup Peran

aktor-aktor

Peran aktor dari luar komunitas sangat dominan

Peran masyarakat lokal lebih dominan

Basis Sosial untuk setiap Aktivitas

Masyarakat yang

mempunyai resiko terbesar terhadap dampak yang ditimbulkan

Masyarakat lingkar Perusahaan


(40)

20

Keterlibatan perusahaan dalam program pengembangan masyarakat di latar belakangi dengan beberapa kepentingan. Setidaknya bisa di identifikasi tiga motif keterlibatan perusahaan yaitu motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Sebagian besar perusahaan ektraksi berada di daerah pedalaman. Sementara fasilitas produksinya terbentang dalam area yang sangat luas. Secara fisikal, kontrol terhadap infrastruktur tersebut tidak mudah. Perusahaan minyak atau gas terletak di daerah terpencil dengan jaringan pipa yang panjang dan kompleks misalnya, sangat rentan dengan kemungkinan-kemungkinan dirusak atau disabotase oleh pihak yang merasa dirugikan oleh keberadaan perusahaan tersebut. Sementara itu banyak kasus menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut sarat konflik dengan masyarakat lokal. Baik konflik fisik maupun konflik laten merupakan faktor potensial untuk terjadinya kerusakan-kerusakan fasilitas produksi.

Tujuan pengembangan masyarakat pada industri pertambangan dan migas menurut Budimanta (2005) adalah sebagai berikut:

1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah daerah (Pemda) terutama pada tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik disekitar wilayah kegiatan perusahaan.

2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat.

3. Membantu pemerintah daerah (Pemda) dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi wilayah.

4. Sebagai salah satu strategi untuk mempersiapkan kehidupan komunitas di sekitar lingkar tambang manakala industri telah berakhir beroperasi (life after mining).

Di samping itu tujuan pengembangan masyarakat juga untuk meredusir dan meresolusi konflik yang terjadi antara peusahaan dengan masyarakat. Konflik tersebut tidak hanya terjadi karena masalah lingkungan hidup saja namun juga karena masalah kepemilikan tanah. Konflik mengenai masalah ini merupakan masalah umum yang terjadi pada perusahaan-perusahaan ektaktif. Sejak tahun 1980an sudah terjadi pertikaian secara sporadis yang disebabkan oleh masalah tanah misalnya adalah persengketaan yang terjadi antara masyarakat adat suku Dayak Benuaq dan Tonyoi yang tinggal di daerah


(41)

21

Kalimantan Timur dengan PT. Kelian Equatorial Mining (KEM); suku Dayak Siang, Murung, dan Bekumpai di propinsi Kalimantan Tengah dengan PT. Indomuro Kencana (Aurora Gold); masyarakat tradisional Amungme di Papua Barat dengan PT. Freeport Indonesia dan masyarakat adat di daerah Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur dengan PT. Kideco (Aman 2002).

Pada titik tertentu, kondisi seperti ini menimbulkan penolakan-penolakan baik yangterjadi pada masyarakat maupun pemerintah daerah terhadap keberadaan perusahaandan terhadap kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat. Penolakan-penolakan tersebut terepresentasi dari sinisme, keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat, atau memprotesnya. Sikap menolak seperti itu merupakan faktor penghambat terciptanya program yang keberlanjutan. Perusahaan dan masyarakat memiliki kepentingan berbeda-beda yang satu sama lain bisa saling berseberangan dan sangat mungkin merugikan pihak yang lain.

Secara philantropis perusahaan seharusnya meredistribusi keuntungannya setelah mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana masyarakat berada. Apalagi mereka dalam keadaan miskin. Ini adalah kewajiban moral. Namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan belum terlihat nyata.

Menurut Suparlan (2003) model pengembangan masyarakat sebetulnya adalah bottom up yang dalam pelaksanaan bisa dibantu oleh pemerintah atau badan-badan non pemerintah, yang dalam hal ini adalah perusahaan tambang. Dalam perspektif ini pengembangan masyarakat adalah sebuah proses yang mana anggota-anggota sebuah komunitas mengorganisasikan diri mereka dalam kelompok atau kumpulan individu yang secara bersama merasakan kebutuhan-kebutuhan yang harus mereka penuhi dan masalah-masalah yang harus mereka atasi. Kelompok ini membuat rencana kerja sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang mereka harus penuhi dan masalah-masalah yang harus mereka atasi, dan berdasarkan atas itu mereka mengorganisasikan diri dalam bentuk kelompok-kelompok atau perkumpulan-perkumpulan untuk melaksanakannya. Dalam pelaksanaannya mereka itu tergantung pada sumberdaya yang ada dalam komunitas, dan bila merasa kurang maka mereka akan meminta bantuan dari pemerintah atau badan-badan pemerintah.

Lebih lanjut Suparlan (2003) mengatakan bahwa perbedaan antara model bottom up dan top down adalah, dalam model bottom up, ide perencanaan, dan


(42)

22

pelaksanaan kegiatan berasal dari anggota komunitas itu sendiri dan untuk kepentingan serta keuntungan mereka bersama. Sedangkan dalam model top down ide dan perencanaan berasal dari pembuat kebijakan (pemerintah/perusahaan), keuntungan hanya dapat diraup dan dinikmati oleh sejumlah orang dan sejumlah orang tersebut biasanya adalah yang tergolong sebagai tokoh atau yang berkuasa dan yang sudah kaya.

Model top-down approach, menyatakan bahwa dalam mengembangkan suatu wilayah harus berawal dari penentuan kebijakan yang berasal dari pusat dengan anggapan bahwa pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan secara serentak melainkan harus memalalui beberapa sektor unggulan (leading sector) yang kemudian akan menjalar kepada sektor- sektor lainnya dan perekonomian secara keseluruhan. Proses ini terjadi karena adanya keterkaitan kedepan (foreward linkages) dan keterkaitan kebelakang (backwared linkages). Sedangkan konsep bottom-up approach, yang beranggapan, bahwa pengembangan wilayah harus dimulai dari dalam “wilayah” itu sendiri (development from below) yang bertujuan untuk menciptakan wilayah otonomi melalui integrasi berbagai sektor yang terdapat di dalam wilayah tersebut.

Model top down dapat dikatakan sebagai model chariti atau pemberian hadiah atau sedekah dari yang kaya kepada yang lebih miskin. Perbedaan yang mendasar dari kedua pendekatan ini adalah terletak pada asal dari ide, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Permasalahan dalam paradigma pembangunan yang menerapkan sistem top-down approach yang telah berlangsung lama adalah tibulnya sindroma ketergantungan, dampak ini terlihat antara lain dari ciri-ciri masyarakat lebih senang diberi ‘ikannya’ dibandingkan dengan ‘kailnya’. Masyarakat lebih senang kalau yang datang ke daerahnya adalah investor bukan pendamping/fasilitator yang dianggap tidak memiliki uang untuk mereka. Dalam konteks mentalitas seperti ini masyarakat cenderung enggan berpartisipasi meski untuk kepentingan sendiri. Mereka kebanyakan memiliki anggapan bahwa dana-dana yang datang kepada mereka bersifat hibah sehingga tidak perlu di kembalikan dan dikembangkan. Permasalahan-permasalahan ini sedikit banyak menggambarkan semakin menurunnya tingkat keberdayaan masyarakat

Budimanta (2003) mengatakan bahwa untuk komunitas yang berada dalam lingkar tambang, program pengembangan masyarakat dapat ditekankan pada tiga aspek dengan perhitungan yang sesuai dengan konteks tertentu


(43)

23

terhadap komunitas asli dan komunitas pendatang. Hal ini sangat menentukan keberhasilan program pengembangan masyarakat, ketiga aspek tersebut adalah :

1. Community services, merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat, seperti : pembangunan fasilitas umum antara lain pembangunan atau peningkatan sarana trasportasi/jalan, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana peribadatan, peningkatan/perbaikan sanitasi lingkungan, pengembangan kualitas pendidikan (penyediaan bantuan guru, operasional sekolah), kesehatan (bantuan tenaga para medis, obat-obatan dan penyuluhan peningkatan kualitas sanitasi lingkungan pemukiman), keagamaan (penyediaan kiai, pendeta maupun penceramah-penceramah agama) dan lain sebagainya.

2. Community empowering, adalah program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Yang berkaitan dengan program ini adalah seperti pengembangan dan penguatan kelompok-kelompok swadaya masyarakat, masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi profesi serta peningkatan kepasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based).

3. Community relation, yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait seperti konsultasi publik, penyuluhan dan sebagainya.

Pandangan lain melihat pengembangan masyarakat dari sifat operasionalisasinya di lapangan, yaitu:

1. Advokasi (pendampingan), advokasi merupakan salah satu praktek operasional pengembangan masyarakat yang bersentuhan dengan kegiatan politik. Melaului advokasi ini, masyarakat di bantu dan didampingi dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Advokasi dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan advokasi kelas (class advocacy). Apabila advokasi dilakukan atas nama seorang klien secara individual, maka itu adalah advokasi kasus. Advokasi kelas terjadi manakala klien yang diadvokasi bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat. 2. Technical Assistance (bantuan teknis/penyuluhan), dimana terbentuk pola

kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumberdaya yang dipakai


(1)

Lampiran. 5

Struktur organisasi pengelolaan CSR PT. Antam, Tbk

Sumber: Hendrapawoko,2008

Director General Affairs and

Corporate Social Responsibility

Senior Manager

Corporate Social Responsibility

Senior Manager

General Affairs and External Relation

ASM

Community Development

ASM

Post Mining

ASM

General Affairs

ASM


(2)

PENGEMBANGAN PROYEK PERIODE KEGIATAN

MASALAH YANG MUNCUL PROGRAM CD YANG DILAKSANAKAN PIHAK YANG

TERLIBAT DAMPAK

JUMLAH DANA

MEKANISME PROGRAM

<1979 Eksplorasi 1980-1989 • 1982

Ditandatangani Kontrak antara Pertamina, PLN dan Union

1983 – 1986

Proses studi rona awal lingkungan dan pengajuan proposal pembuktian 230 MW ke Pertamina

• 1989

Penyusunan AMDAL dan mengajukan proposal pengembangan sebesar 110 MW ke Pertamina

• Pencemaran air sungai yang digunakan oleh penduduk untuk usaha perikanan • Penduduk

menuntut ganti rugi

Ganti rugi kepada para pemilk kolam

• Tokoh-tokoh formal • Para pemilik kolam

Masyarakat merasa senang Kepala desa menghitung jumlah kerugian yang diderita oleh masyarakat, kemudian mengajukan penggantian lepada preusan

1990-1999 • 1994

Unocal memulai operasi secara komersial sebesar 110 MW

Program-program masih bersifat charitatif

Para pemimpin formal (Kepala Desa,Camat)

Memberikan bantuan acara-acara keagamaan dan perayaan hari besar nasional • 1994

Diajukan proposal pengembangan ke Pertamina sebesar 220 MW Mulai diadakan program yang mengarah ke pemberdayaan kelompok

Para pemimpin formal (Kepala Desa,Camat), Tokoh Masyarakat serta tokoh Pemuda.

Pembentukan kelompok-kelompok masyarakat, tetapi masih terbatas didaerah-daerah terdekat dengan


(3)

lokasi peusahaan • 1997

Unocal geothermal Indonesia,Ltd. (UGI) melakukan operasi secara komersial sebesar 330 MW.

• 1998

Renegosiasi Kontrak

2000-2007 • 2002

kontrak diamandemen dan disetujui oleh para pihak

Muncul tuntutan dari LSM lokal, dengan tuntutan: 1. Perekrutan

tenaga kerja lokal

2. pemberdayaan masyarakat lokal 3. adanya

tanggung jawab lingkungan dari Unocal 4. penyediaan

fasilitas BLK untuk meningkatkan keterampilan/skil l masyarakat lokal

• Pengembangan Usaha pertanian • Usaha-usaha

penghijauan • Pembangunan

dalam bidang infrastruktur (pos yandu, perbaikan jalan dan jembatan) • Pembetukan

kelompok-kelompok pemberdayaan • Dombanisasi • Bantuan gen-set

untuk para pemulung bangbung(kumba ng)

• Pembangunan Lapangan Olah raga

• LSM FORIDA • Tokoh masyarakat • Kelompok tani • Kelompok Pemuda • PPLH-IPB

• INRR

• Dengan Munculnya LSM FORIDA, mendorong munculnya LSM-LSM lokal lain yang mengadvok asi masyarakat • Munculnya

kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat Masing-masing kelompok mengajukan proposal kegiatan sendiri-sendiri.

• 2005 Muncul kembali

tuntutan yang •

Bantuan • Ketua kelompok Belum berdampak

Masing-masing kelompok


(4)

Sumber: Hasil wawancara dengan responden Diakuisisi oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) menjadi Chevron Geohermal Salak,Ltd.

disuarakan oleh LSM lokal

mengenai issu-issu seputar:

1. Tenaga Kerja 2. Pemberdayaan

Masyarakat 3. Peningkatan

kesejahteraan dan ekonomi 4. Lingkungan 5. peningkatan kesempatan berusaha

pembangunan infra struktur • Bantuan untuk

kelompok tani

• LSM

• Ketua Pemuda

terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraa n masyarakat

mengajukan proposal kegiatan sendiri-sendiri.

• 2007 Muncul kembali

tuntutan yang disuarakan oleh LSM lokal

mengenai issu-issu seputar:

1. Tenaga Kerja 2. Pemberdayaan

Masyarakat 3. Peningkatan

kesejahteraan dan ekonomi 4. Pingkungan 5. peningkatan

kesempatan berusaha

• Bantuan pembangunan infra struktur • Bantuan untuk

kelompok tani • Pembentukan UKM dan LKM

• LSM KPP

• KKMD

• PNM

• CGS

Belum berdampak secara signifikan terhadap kesejahteraa n masyarakat

Diperkirak an Rp. 5 M

Proposal harus disetujui oleh kepala desa dan camat


(5)

Lampiran 7

GLOSSARY

AMDAL

:

Analisis mengenai dampak lingkungan

Antam

:

Aneka Tambang, Tbk

Aspak 213

:

Asosiasi pemuda antar kedusunan 1, 2 dan 3 (LSM)

Barak

:

Barisan Rakyat Kecamatan Kabandungan (LSM)

BBM

:

Bahan bakar minyak

BUMN

:

Badan usaha milik negara

BLK

:

Balai latihan kerja

BLT

:

Bantuan langsung tunai

BOS

:

Bantuan operasional sekolah

BPD

:

Badan permusyawaratan desa

BP Migas

:

Badan Pelaksana minyak dan gas

BPN

:

Badan pertanahan nasional

BPS

:

Badan pusat statistik

0

C

:

Derajat celcius

CGS

:

Chevron geothermal salak, Ltd.

CHV

:

Chevron geothermal salak, Ltd.

CI

:

Concervation international

CSR

:

Corporate social resposibility

Dephut

:

Departemen kehutanan

DO

:

Drop out

dpl

:

Diatas permukaan laut

ECOSOC

:

Economic social council (UN)

GCG

:

Good corporate governance

GRI

:

Global reporting initiative

GWe

:

Giga watt electric

Ha

:

hektar

HAM

:

Hak azasi manusia

HIV/AIDS

:

Human imuno defeciency virus/acquired imuno defeciency syndrom

IUP

:

Izin usaha penambangan

JK3GS

:

Jaringan kerjasama konservasi kawasan gunung Salak

K3

:

Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Kadus

:

Kepala dusun

Kandepag

:

Kantor departemen agama

Kg

:

Kilogram

KM

:

Kilometer

KK

:

Kepala keluarga

KPP

:

Komunitas peduli pendidikan (LSM)

LSM

:

Lembaga swadaya masyarakat

LBD

:

Local business development

MWe

:

Mega watt electric

NAPZA

:

Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya

PAD

:

Pendapatan asli daerah

PDRB

:

Product domestic regional brutto

Pemda

:

Pemerintah daerah

Perda

:

Peraturan daerah


(6)

PKBL

:

Program kemitraan dan bina lingkungan

P3LH

:

Pemuda peduli pelestarian lingkunganhidup (LSM)

PLTA

:

Pembangkit listrik tenaga air

PLTD

:

Pembangkit listrik tenaga diesel

PLTU

:

Pembangkit listrik tenaga uap

PMA

:

Penanaman modal asing

PMKS

:

Penyandang masalah kesejahteraan sosial

PMT

:

Program makanan tambahan

PNBP

:

Penerimaan negara bukan pajak

PNPM

:

Program nasional pemberdayaan masyarakat

PNS

:

Pegawai negeri sipil

FPED

:

Forum pemuda empat desa (LSM)

PT

:

Perseroan terbatas

PTP VIII

:

Perseroan terbatas Perkebunan wilayah 8 (BUMN)

Pustu

:

Pusat kesehatan masyarakat pembantu

PwC

:

Price water house coopers

RSUD

:

Rumah sakit umum daerah

RT

:

Rukun tetangga

RW

:

Rukun warga

RT/RW

:

Rencana tata ruang dan tata wilayah

SDM

:

Sumberdaya manusia

Sorak

:

Solidaritas rakyat kecamatam Kabanungan (LSM)

TNCs

:

Trans national corporations

TNGHS

:

Taman nasional gunung Halimun-Salak

UGI

:

Unocal geothermal of Indonesia,Ltd

UN

:

United nataions

UU

:

Undang-undang


Dokumen yang terkait

Kontribusi Pengembangan Objek Wisata Perdesaan terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Simalungun

5 114 97

Pembinaan Dan Pemantapan Ekonomi Masyarakat Perdesaan Di Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun Kaitannya Dengan Pengembangan Wilayah

0 14 7

Peran Usaha Industri Kecil Pangan Terhadap Pengembangan Wilayah (Studi Kasus Di Kecamatan Bangko Kabupaten Merangin Provinsi Jambi)

1 53 137

Pandangan Masyarakat Dalam Pernikahan Usia Dini Studi Kasus Di Desa Cikurutug Kecamatan Cikreunghas Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat

1 12 70

Strategi Pengembangan Rekreasi Sungai Citarik Di Kecamatan Cikidang, kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

0 10 129

Pengembangan masyarakat dalam industri geothermal (studi kasus di Desa Laksana Kecamatan Ibun Kabepaten Bandung)

0 3 122

Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan Pengembangan Wilayah Perdesaan. (Studi Kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)

0 48 410

Pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan: studi kasus pada masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi Jawa Barat

0 8 50

Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

1 11 167

Pengembangan Agroforestry Berbasis Biofarmaka dan Kemitraan Pemasaran untuk Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

0 5 6