BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini, peneliti akan membahas latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat, dan
batasan pengertian yang akan dilakukan.
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di semua jenjang pendidikan dan mempunyai peran yang penting.
Matematika dikatakan penting karena sebagai bekal untuk dapat berpikir kritis, keatif dan sistematis yang berguna bagi dirinya ketika hidup di
masyarakat. Mengingat peranannya yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, maka pendidikan matematika khususnya di
sekolah dasar memerlukan perhatian yang serius. Permendiknas 2006 mengungkapkan bahwa tujuan matematika yaitu 1 memecahkan masalah
yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh,
dan 2 memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Matematika berdasarkan pendapat Susanto 2013:185 adalah salah satu
disiplin ilmu pasti yang mengungkapkan ide-ide abstrak yang berisi bilangan- bilangan serta simbol-simbol operasi hitung yang terdapat aktivitas berhitung
1
dan mampu meningkatkan kemampuan berpikir dan berpendapat dalam memecahkan masalah dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Tujuan
utama pembelajaran matematika yang diajarkan kepada siswa adalah memahami sebuah konsep. Konsep yang telah tertanam pada diri siswa akan
membantunya untuk mengenali dan memecahkan masalah matematis. Oleh karena itu pembelajaran matematika digunakan untuk membekali siswa agar
dapat menerapkan apa yang telah mereka pelajari dalam kehidupan sehari- hari. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka pembelajaran di sekolah dasar
sebaiknya dapat mengajak siswa untuk berproses. Siswa usia sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit, sedangkan matematika merupakan
ilmu yang abstrak.
Sehingga pembelajaran matematika sebaiknya
menggunakan media dan mengaitkan materi dengan kehidupan siswa. Siswa akan mudah menangkap materi apabila materi yang mereka pelajari dibangun
melalui pengalaman yang sudah ada atau nyata. Banyaknya peran penting matematika bagi kehidupan tersebut justru
banyak siswa yang beranggapan bahwa matematika adalah mata pelajaran yang ditakuti dari beberapa mata pelajaran lainnya. Syaifudin 2009: 1
menyebutkan bahwa matematika menjadi mata pelajaran yang memiliki hasil belajar rendah diantara bidang studi lainnya. Hal tersebut diperkuat dengan
adanya “Third Mathematics and Science Study TIMSS yang
diselenggarakan oleh International Association for Evolution of Educational Achievement IEA
tahun 2003 bahwa di Indonesia kemampuan matematika menduduki peringkat ke 35 dari 45 negara. Peneliti melakukan wawancara
singkat pada tanggal 28 Juli 2015 kepada siswa kelas 5A SD Negeri Perumnas Condongcatur bahwa sebagian besar dari mereka juga menganggap
matematika itu adalah mata pelajaran yang sulit. Mereka menganggap banyaknya rumus dan angka yang harus diolah sedemikian rupa serta
membutuhkan ketelitian. Tanggapan-tanggapan para peserta didik mengenai sulitnya matematika tersebut dapat dilihat melalui rendahnya hasil belajar dan
kemampuan berpikir kritis. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas VA SDN Perumnas
Condongcatur pada tanggal 28 Juli 2015 didapat informasi bahwa hasil belajar siswa yang paling rendah ada pada materi Kelipatan Persekutuan
Terkecil KPK dan Faktor Persekutuan Terbesar FPB. Kriteria Ketuntasan Minimal KKM yang dicapai adalah 65 dari skala 100. Kriteria Ketuntasan
Minimal diperoleh dari kompleksitas kesulitan dan kerumitan, daya dukung, dan intake siswa tingkat kemampuan rata-rata. Kenyataannya rata-rata nilai
ulangan pada materi KPK dan FPB dua tahun terakhir masih dibawah KKM. Tahun pelajaran 20132014 menunjukkan bahwa dari 26 siswa hanya terdapat
13 siswa 50 yang mencapai KKM. Rata-rata nilai kelas masih dibawah KKM yaitu 62,93. Peneliti juga meminta data hasil ulangan KPK dan FPB
pada tahun ajaran 20142015, bahwa hanya terdapat 11 siswa 52,38 dari 21 siswa yang tuntas. Rata-rata nilai ulangan tahun ajaran 20142015 juga
masih jauh di bawah KKM yaitu 52,38. Berdasarkan hasil ulangan dua tahun terakhir tersebut, didapatkan rata-rata yaitu 57,66 dengan persentase
ketuntasan 51,19 yang tergolong masih rendah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Salah satu tujuan matematika adalah agar siswa memiliki kemampuan berpikir kritis. Menurut Kuswana 2011: 19 berpikir kritis berdasarkan
perspektif deskriptif, adalah analisis suatu masalah melalui evaluasi potensi, pemecahan masalah, dan sintesis informasi untuk menentukan keputusan.
Sutarmo 2012: 94 mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti
memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah.
Pentingnya berpikir kritis juga diungkapkan oleh Peter 2012: 39 untuk dapat bersaing dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan pribadi, siswa
harus memiliki kemampuan pemecahan masalah dan harus bisa berpikir dengan kritis. Seperti yang disebutkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan 2006, tujuan pembelajaran matematika adalah untuk mencapai kompetensi matematika, diantaranya kemampuan berpikir kritis. Sekolah
menjadi sarana yang sangat berperan penting dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis
penting dikembangkan dalam setiap kegiatan pembelajaran di sekolah. Namun dalam kenyataannya, ketika peneliti melakukan wawancara dan 3 kali
observasi pembelajaran guru kelas VA SDN Perumnas Condongcatur dengan menggunakan indikator berpikir kritis siswa masih rendah. Keenam indikator
yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah menganalisis argumen, mampu bertanya, menjawab pertanyaan, memecahkan masalah, membuat
kesimpulan, keterampilan mengevaluasi dan menilai hasil dari pengamatan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berdasarkan hasil wawancara pada indikator menganalisis argumen terdapat 45 siswa yang dikatakan kritis. Indikator mampu bertanya terdapat
50 siswa yang dikatakan kritis. Indikator menjawab pertanyaan terdapat 35 siswa yang dikatakan kritis. Indikator memecahkan masalah terdapat
37,5 siswa yang dikatakan kritis. Sedangkan indikator membuat kesimpulan terdapat 43,33 siswa yang dikatakan kritis dan indikator keterampilan
mengevaluasi dan menilai hasil dari pengamatan terdapat 46,67 siswa yang dikatakan kritis. Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa
kemampuan berpikir kritis siswa kelas VA masih rendah. Hasil observasi peneliti menunjukkan bahwa indikator pertama yaitu
menganalisis argumen ketika pembelajaran tidak terlihat karena guru yang menjadi sumber pengetahuan bagi siswa. Indikator kedua dan ketiga yaitu
mampu bertanya dan menjawab pertanyaan hanya terdapat 30 siswa dari 24. Indikator keempat yaitu memecahkan masalah juga tidak begitu terlihat
karena guru hanya menjelaskan dan siswa langsung mengerjakan sebuah lembar kerja. Indikator kelima yaitu membuat kesimpulan memang sudah
terlihat ketika guru bertanya pada akhir pembelajaran, namun hanya beberapa siswa saja yang kembali mendominasi. Indikator terakhir, yaitu keterampilan
mengevaluasi dan menilai hasil pengamatan siswa terlihat tidak mengevaluasi dan menilai kembali hasil pekerjannya.
Herman 2006 mengemukakan bahwa salah satu penyebab rendahnya kualitas pemahaman matematika siswa di SD dan SMP menurut hasil survey
IMSTEP-JICA di kota Bandung adalah karena dalam proses pembelajaran PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
matematika guru umumnya terlalu berkonsentrasi pada latihan menyelesaikan soal yang lebih bersifat prosedural dan mekanistis daripada menanamkan
pemahaman. Rendahnya hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa tersebut juga dipengaruhi oleh pembelajaran guru di kelas yang didominasi
dengan pembelajaran yang konvensional. Hal tersebut terlihat ketika peneliti melakukan pengamatan pembelajaran di kelas VA. Kegiatan pembelajaran
guru hanya menjelaskan konsep secara singkat tanpa memberikan kesempatan siswa untuk berproses, namun hanya memberikan contoh soal,
dan memberikan soal-soal latihan. Siswa tidak dibimbing untuk menghadapi realitas serta menemukan masalah matematis terkait materi yang dipelajari
untuk dipecahkan. Guru kelas VA juga tidak menggunakan pembelajaran inovatif dan media pembelajaran.
Pembelajaran inovatif dan media pembelajaran sangat penting digunakan karena matematika mempunyai objek kajian yang dianggap
abstrak sedangkan siswa usia SD menurut Piaget berada pada tahap operasi konkrit. Proses pembelajaran di kelas hendaknya melibatkan siswa untuk
berproses sehingga mereka akan lebih memahami konsep. Mulyono 2003:13 berpendapat bahwa proses belajar matematika yang baik adalah
guru harus mampu menerapkan suasana yang dapat membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mampu memecahkan
persoalannya. Siswa sebaiknya dihadapkan pada realitas atau pengalaman yang ada pada dirinya. Permasalahan mengenai matematika pada kehidupan
sehari-hari juga dapat dihadirkan sehingga nantinya siswa dapat menerapkan pemecahannya tersebut.
Pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar dan berpikir kritis matematika salah satunya adalah pembelajaran kontekstual
atau Contextual Teaching Learning CTL. Taniredja dan Faridli 2014: 49 berpendapat bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Johnson dan Alwasilah 2007: 14 mengemukakan bahwa
pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap
maksud dalam materi akademis yang mereka terima dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru
dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa masih
rendahnya hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VA SDN Perumnas Condongcatur. Agar siswa dapat mendapatkan hasil belajar dan
kemampuan berpikir kritis yang diharapkan, maka melalui judul “Peningkatan Hasil Belajar dan Kemampuan Berpikir Kritis Matematika
Kelas VA Pada Materi KPK dan FPB Melalui Pembelajaran Kontekstual SDN Perumnas Condongcatur
” peneliti ingin mengetahui apakah penggunaan CTL dapat meningkatkan hasil belajar dan berpikir kritis.
B. Pembatasan Masalah