Asal Mula Istilah Dayak
kolonial Hindia Belanda. Akan tetapi, istilah Dayak juga dipakai oleh para peneliti kolonial yang menulis tentang Pulau Kalimantan.
Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai suku Dayak yang merupakan penduduk lokal Pulau Kalimantan bukanlah hal yang baru. Sejauh ini sudah
banyak para peneliti yang melakukan riset serta menulis hasil penelitian mereka mengenai suku Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan. Penelitian mengenai
orang-orang Dayak di Pulau Kalimantan sudah pernah dilakukan oleh para peneliti Barat pada masa kolonial. Namun demikian, penulis hanya akan
menggunakan beberapa literatur yang penulis anggap bisa membantu penelitian tesis ini.
P. J. Veth 2012 misalnya menulis buku berjudul “Borneo‟s
Westerafdeeling: Geographisch, Statistisch, Historisch” 1854.
106
Buku ini merupakan hasil penelitian dari seorang antropolog Belanda di masa kolonial,
tepatnya pada tahun 1856. Hasil penelitian ini diterbitkan ulang dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh P. Yeri dan diterbitan kembali oleh Institut
Dayakologi, Pontianak pada tahun 2012. Tujuan dari penerbitan ulang buku ini adalah untuk melihat bagaimana sejarah orang-orang Dayak menurut perspektif
orang-orang Belanda. Di dalam buku Veth terdapat gagasan bahwa orang-orang Dayak adalah
penduduk asli yang mendiami Pulau Borneo Kalimantan. Penelitian Veth menunjukkan bahwa orang-orang Dayak yang ada di wilayah kepulauan Borneo
kehidupannya menyebar hingga ke wilayah pedalaman. Dengan kata lain, hasil
106
P. J. Veth. Borneo Bagian Barat: Geografis, Statistis, Historis. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Jilid 1. Pontianak: Institut Dayakologi, 2012
penelitian Veth menunjukkan bahwa orang-orang Dayak menjalankan pola kehidupan nomaden. Hal ini dilakukan karena sebagian besar dari orang-orang
Dayak memang memilih tinggal di daerah-daerah yang dekat dengan sumber makanan.
Selanjutnya dalam buku Veth juga terdapat gagasan bahwa sebagian besar dari orang-orang Dayak yang tinggal di Pulau Kalimantan lebih memilih untuk
bertempat tinggal di daerah pinggiran sungai. Hal ini disebabkan oleh selain sungai dipakai sebagai jalur transportasi. Selain itu, tinggal di daerah pinggiran
sungai juga membuat orang-orang Dayak dapat dengan mudah memanfaatkan sungai sebagai sumber mata pencarian bagi orang-orang Dayak yang bekerja
sebagai nelayan. Dalam buku yang sama, Veth juga menguraikan tentang sifat dan karakter
orang-orang Dayak yang bermukim di Pulau Kalimantan. Dalam uraiannya, Veth mengatakan bahwa orang-orang Dayak tidak memiliki kemampuan dalam hal
perdagangan. Oleh karena itu, sistem perdagangan yang ada di Pulau Kalimantan selalu dikuasai oleh orang-orang Cina dan Melayu. Karena kalah bersaing dari
orang-orang Cina dan Melayu, orang-orang Dayak akhirnya memilih untuk pindah ke daerah-daerah baru yang tidak ditempati oleh orang-orang Cina maupun
Melayu. Hasil penelitian Veth juga memperlihatkan gagasannya bahwa orang-orang
Dayak yang dikenal sebagai penduduk lokal Pulau Kalimantan merupakan salah satu suku
“tertinggal” yang memiliki sifat “liar,” “primitif,” “tidak beradab,”
“kasar,” dan percaya pada hal-hal yang bersifat “tahayul.”
107
Orang-orang Dayak dalam menjalani kehidupan sehari-hari sangat bergantung pada alam. Mereka
sangat percaya pada hal yang bersifat mistis. Orang-orang Dayak juga tidak memiliki tulisan maupun dokumentasi berupa catatan mengenai sejarah suku
Dayak yang ada di Pulau Kalimantan. Pengalaman sejarah yang dimiliki oleh orang-orang Dayak hanya
disimpan dan diteruskan dalam bentuk cerita lisan dari mulut ke mulut. Oleh karena itu, cerita-cerita tentang sejarah Dayak yang mereka peroleh berasal dari
cerita nenek moyang mereka tidak banyak menjelaskan tentang asal-usul mengenai sejarah orang-orang Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan dan
bagaimana mereka bisa tinggal di daerah tersebut.
108
Veth juga mengatakan bahwa salah satu sifat buruk yang dimiliki oleh orang-orang Dayak adalah melakukan kebiasaan mengayau yang oleh orang-
orang Dayak sudah dianggap sebagai tradisi yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka masih hidup.
109
Dalam hal mengayau, Veth mencoba untuk menunjukkan bahwa orang-orang Dayak memiliki sifat yang kasar dan bengis
karena setelah melakukan hal tersebut mereka juga memiliki kebiasaan yang aneh, yaitu mengumpulkan kepala-kepala manusia yang menjadi korban dan
menyimpannya sebagai tanda kemenangan.
110
Dalam pandangan Veth, kebiasaan
107
P. J. Veth. Borneo Bagian Barat, Geografis, Statistis, Historis. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut Dayakologi, 2012, hal. 1x.
108
P. J. Veth. Borneo Bagian Barat, Geografis, Statistis, Historis. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut Dayakologi, 2012, hal. 160
109
Mengayau adalah cara orang Dayak mengalahkan musuh dengan cara memenggal kepala korban. Kebiasaan ini seakan-akan oleh para peneliti Dayak merupakan tradisi Suku Dayak
yang dianggap kejam dan membuktikan bahwa suku Dayak adalah suku primitif.
110
P. J. Veth. Borneo Bagian Barat, Geografis, Statistis, Historis. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut Dayakologi, 2012, hal. 247
orang-orang Dayak melakukan kebiasaan mengayau ini menunjukkan bahwa orang-orang Dayak memang masih
“primitif” dan “belum beradab.” Penelitian orang-orang Barat lainnya yang menulis tentang kehidupan
penduduk lokal yang tinggal di Pulau Kalimantan adalah J. J. K. Enthoven 1905, yang menulis buku berjudul
Bijdragen Tot De Geographie van Borneo‟s Wester- Afdeeeling.
111
Hasil penelitian Enthoven juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh P. Yeri dan di terbitkan ulang oleh Institut Dayakologi,
Pontianak pada tahun 2013. Tujuan dari penerbitan ulang buku juga tidak jauh berbeda dengan buku P. J. Veth, yakni untuk melihat bagaimana sejarah dan
geografi Pulau Kalimantan Barat menurut perspektif peneliti Barat. Hasil penelitian Enthoven menguraikan tentang sifat dan tingkah laku
orang-orang Dayak yang dianggap suka meminta-minta dan terkesan tidak tahu malu. Enthoven dalam buku yang sama memberikan contoh bahwa manakala ada
orang-orang asing yang datang dan berinteraksi langsung dengan orang-orang Dayak ini, maka orang asing tersebut harus menyerahkan apa yang mereka miliki
sebagai hadiah untuk orang-orang Dayak. Misalnya, Enthoven menjelaskan bahwa ketika ada orang asing yang ingin bermalam di rumah orang-orang Dayak,
maka mereka harus siap untuk terus menerus diganggu oleh orang-orang Dayak terutama para wanitanya yang tidak akan berhenti mengganggu sebelum mereka
diberikan hadiah oleh orang asing tersebut. Hasil penelitian Enthoven mengenai kebiasaan hidup orang-orang Dayak
yang tinggal di wilayah kepulauan Kalimantan juga menunjukkan bahwa orang-
111
J. J. K. Enthoven, 1905. Bijdragen Tot De Geographie Van Borneo’s Wester-Afdeeling.
Dialihbahasakan oleh: P. Yeri, OFM. Cap. Sejarah dan Geografi Daerah Sungai Kapuas Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi, 2013
orang Dayak memiliki pola hidup yang masih jauh dari kesan modern sehingga sangatlah wajar jika orang-orang Dayak memang dianggap sebagai manusia
“primitif,” terbelakang dan belum beradab. Dari hasil penelitian tentang orang-orang Dayak yang dilakukan oleh orang-
orang Barat di masa kolonial di atas menunjukkan bahwa orang-orang Dayak yang merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan memang dianggap sebagai salah
satu suku “tertinggal” yang memiliki karakter dan sifat buruk oleh para peneliti Barat. Dalam pandangan para peneliti Barat, sebagaimana yang diuraikan oleh
Veth dan Enthoven di atas, keterbelakangan yang dialami oleh orang-orang Dayak dapat dilihat dari sifat mereka yang kasar, liar dan percaya pada hal-hal yang
bersifat mistis tahayul.