Daerah-daerah Orientalisme timur atas timur wacana `Pembangunan` dalam program transmigrasi pemerintah orde baru di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

merata di seluruh wilayah Indonesia. 87 Pembangunan nasional yang dimaksudkan Sahudin dalam GBHN tersebut meliputi beberapa hal seperti: pembangunan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional. Semua aspek yang telah disebutkan di atas, menurut Sahudin, harus diperhatikan secara berimbang oleh pemerintahan pusat. Soetandyo Wignjosoebroto 2010, menulis makalah berjudul “Pokok- Pokok Pikiran T entang Nasionalisme Pembangunan dan Kebudayaan Daerah.” 88 Wignjosoebroto mengatakan bahwa pembangunan nasional pada hakekatnya adalah upaya berencana untuk mempertinggi ketahanan suatu bangsa. Dengan demikian, setiap upaya dari pembangunan nasional harus menghasilkan semangat nasionalisme yang mampu mengilhami dan menjiwai manusia itu sendiri. Pembangunan model ini meliputi bidang pemerintahan politik, dunia usaha ekonomi, dan kehidupan masyarakat sipil sosial-budaya. Pembangunan nasional sebagai sebuah upaya yang sadar dan terencana sesungguhnya merupakan suatu fenomena baru yang muncul di negara-negara yang sedang berkembang, antara tahun 1945-1962, di mana mereka telah berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Barat. Pembangunan nasional muncul sebagai upaya untuk membangun negara yang baru merdeka menjadi negara yang berkembang dalam hal ekonomi. 87 Lihat Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010, hal. 99 88 Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010 Wariso Ram 2010, menulis makalah berjudul “Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan dan Pengambilan Keputusan Pembangunan.” 89 Menurut Ram, pembangunan nasional meliputi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan pembangunan di daerah-daerah, dan stabilitas nasional yang mantap. 90 Meskipun demikian, menurut Ram, dalam pelaksanaan pembangunan nasional ternyata antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di daerah- daerah “tertinggal” tidaklah selalu seiring sejalan. Secara umum, target pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dapat tercapai, akan tetapi belum tentu pertumbuhan ekonomi tersebut dibarengi dengan keberhasilan pembangunan di daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu, sebagai akibat dari tidak seimbangnya pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pembangunan, maka kenaikan pendapatan tidak dapat diperoleh seluruh lapisan masyarakat secara merata. Bertolak dari beberapa hasil penelitian di atas, dalam penelitian ini penulis ingin menunjukkan bahwa logika pembangunan telah dipakai oleh pemerintah Orde Baru untuk membangun daerah-daerah tujuan transmigrasi yang dilabeli “tertinggal” oleh pemerintah di Jakarta. Dengan melaksanakan program transmigrasi, pemerintah Orde Baru merasa bahwa kebijakan ini merupakan solusi untuk mengatasi masalah pemerataan pembangunan yang dinilai belum merata di daerah- daerah “tertinggal” yang ada di Indonesia. 89 Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010 90 Lihat Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010, hal. 140

K. Catatan Penutup

Tampak jelas bahwa dengan berakhirnya kolonialisme Eropa Belanda di Indonesia, tidak berarti pula bahwa praktek-praktek kolonialisme tersebut ikut berakhir di Indonesia. Uraian dalam bab ini menunjukkan bahwa meskipun kolonialisme Eropa telah berakhir di Indonesia, namun reproduksi ilmu pengetahuan kolonial terus berlanjut. Dengan kata lain, kolonialisme di Indonesia pada masa pascakolonial hanya berganti pakaian saja, yakni dari kolonialisme Eropa pemerintah Hindia Belanda, digantikan oleh kolonialisme internal pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru. Kolonialisme di Indonesia yang terjadi pada masa pascakolonial, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang diadopsi dari pemerintah Hindia Belanda dan dilaksanakan secara besar-besaran oleh pemerintah Orde Baru. Dengan melanjutkan program transmigrasi dari pemerintah Belanda, pemerintah pusat Orde Baru secara tidak langsung telah melanjutkan kebijakan kolonial pemerintah Belanda. Dengan kata lain, tampak jelas bahwa program transmigrasi di masa Orde Baru adalah contoh nyata dari kolonialisme internal yang pelakunya bukan lagi pemerintah Belanda, melainkan pemerintah Indonesia sendiri. 81

BAB III BERLANJUTNYA ORIENTALISME DI INDONESIA DAN PROGRAM

TRANSMIGRASI ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI, PROVINSI KALIMANTAN BARAT Pada bab ini akan diuraikan mengenai peran pemerintah Indonesia, secara khusus pemerintah Orde Baru, yang melanjutkan kebijakan transmigrasi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dengan membawa konsep pembangunan, pemerintah Orde Baru melegitimasi kebijakannya dengan argumentasi bahwa program transmigrasi benar-benar bertujuan untuk mensejahterakan penduduk Indonesia yang mengikuti program ini. Selain itu, pemerintah Orde Baru juga melegitimasi kebijakan transmigrasi dengan argumentasi bahwa program transmigrasi sebagai solusi untuk pemerataan pembangunan di daerah-daerah yang konon dianggap “tertinggal.”

A. Transmigrasi dalam Sejarah Indonesia

Seperti yang telah dijelaskan pada Bab II, kebijakan yang berkaitan dengan program transmigrasi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Kebijakan ini telah berlangsung sejak masa kolonial. Pada masa kolonial kebijakan yang berkaitan dengan pemindahan penduduk ini dikenal dengan istilah kolonisasi. Menurut pemerintahan Belanda, tujuan dari pelaksanaan program ini adalah untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa serta memperbaiki taraf hidup penduduk pribumi yang berada di daerah-daerah pedesaan di Pulau Jawa.