Orientalisme dalam Sejarah Indonesia

Simon Philpott 2000, menulis Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. 35 Untuk menjelaskan orientalisme yang terjadi di Indonesia, Philpott memberikan definisi mengenai orientalisme dengan mengacu pada buku Said Orientalism. Menurut Philpott, orientalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir yang menerima pemisahan yang tegas dan mendasar antara Orient dan Occident. Philpott lalu mengutip pernyataan Said yang mengatakan bahwa: Under the general heading of knowledge of the Orient, and within the umbrella of Western hegemony over the Orient during the period from the end of the eighteenth century, there emerged a complex Orient suitable for study in the academy, for display in the museum, for reconstruction in the colonial office, for theoretical illustration in anthropological, biological, linguistik, racial, and historical theses about mankind and the universe, for instances of economic and sociological theories of development, revolution, cultural personality, national or religious character. Additionally, imaginative examination of things Oriental was based more or less exclusively upon a sovereign Western consciousness out of whose unchallenged centrality an Oriental world emerged, first according to a detailled logic governed not simply by empirical reality but by a battery of desires, repressions, investments, and projections. 36 Menurut Philpott, Edward Said dalam menjelaskan Orientalisme banyak berhutang pada pemikiran Michael Foucault. Akan tetapi, baik Said maupun Foucault sama-sama tidak memiliki pengaruh yang banyak terhadap studi politik Indonesia. Oleh karena itu, Philpott dalam menguraikan kajian atas studi politik di Indonesia berangkat dari ide-ide yang ditawarkan oleh Foucault dan Said. Menurut Philpott, hampir serupa dengan saat Indonesia pada masa kolonial yang 35 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000. 36 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal. 4 menjadi subjek dari agenda penelitian budaya, di masa pascakolonial Philpott tertarik pada “Indonesia” yang dihasilkan melalui kajian politik. Indonesia pada masa pascakolonial adalah “Indonesia” yang sangat banyak dipengaruhi oleh gagasan dari Amerika Serikat. Pengaruh kuat yang diterima dari AS dapat dilihat dari: kekuatan militer, ekonomi, dan kekuatan kulturalintelektual AS yang bersifat intergral dengan cara memunculkan Indonesia dalam studi ilmu-ilmu sosial pascaPerang Dunia II. Dalam buku yang sama, Philpott berpendapat bahwa Indonesia telah diproduksi, ditandai secara khusus oleh teori serta asumsi diskursus mengenai politik Indonesia. Buku Rethinking Indonesia, mencoba untuk mengeksplorasi Indonesia sebagai sebuah negara yang muncul dari berbagai upaya yang panjang dalam studi politik pasca Perang Dunia II. Dalam pandangan Philpott, Indonesia memiliki keunikan tersendiri dan secara historis Indonesia bersifat spesifik, dengan artian bahwa Indonesia dicirikan oleh lingkungan di mana ia dikaji dan ditulis. Oleh karena itu, dalam pandangan Philpott, diskursus tentang Perang Dingin, antikomunisme, teori modernisasi, teori ketergantungan, analisis perbandingan rezim, politik kebudayaan, negara industri baru, dan nilai-nilai Asia, semuanya telah mengambil bagian dalam memberi kontribusi pada “penciptaan” Indonesia ini. 37 Dalam buku yang sama, Philpott berpendapat bahwa dalam upaya memahami dan menjelaskan politik di Indonesia, para ilmuan, pemerintahan, pekerja sosial, dan diplomat Barat terpaksa menggunakan kategori-kategori serta 37 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal. xx konsep-konsep yang hingga saat ini telah berhasil menjadikan Indonesia bermakna bagi audiens “Barat”. 38 Dengan kata lain, Philpott melalui kajiannya tentang Indonesia ingin mengatakan bahwa sejak masa kolonial hingga pascakolonial Indonesia tetap menjadi objek dari reproduksi kolonialisme Eropa. Pada bagian awal buku Rethinking Indonesia, Philpott menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang Indonesia telah membantu terciptanya diskursus orientalis. Untuk menjelaskan hal ini Philpott menunjukkan bagaimana peneliti Barat mendefinisikan wilayah yang sekarang biasa disebut dengan nama Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, Philpott lalu mengutip buku karya George Earl yang memberikan beragam istilah untuk menggambarkan sebuah wilayah yang ia pahami sebagai entitas geografis yang khusus: “Kepulauan In dia”, “Kepulauan”, “Kepulauan Timur India”, “India Timur”, “Pulau India”, “India”, dan terkadang Earl menggunakan istilah “India Belanda” untuk menggambarkan wilayah Indonesia saat itu. 39 Menurut Philpott, sebelum Earl, orang Barat lainnya seperti Sir Joseph Banks juga merujuk pada wilayah yang sama dengan menggunakan istilah „Pulau Timur India‟, „Pulau di sebelah timur‟, „Hindia Timur‟, „Hindia‟, „Pulau Kecil di sebelah Timur‟, dan „India‟. Orang Barat lainnya seperti William Marsden menyebut wilayah terse but dengan istilah, “Kepulauan India”, “Hindia Timur”, “Kepulauan Malaya”, dan “Polinesia”. Sedangkan Stamford Raffles menggambarkan Indonesia dulu sebagai „Pulau di sebelah Timur‟, „Hindia Timur‟, „Pulau India‟, „Pulau Kecil Asia‟, „Kepulauan Malaya‟, „Kepulauan‟, dan 38 Ibid, hal. xx 39 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal. 1 „Pulau Malaya‟. 40 Banyaknya istilah yang digunakan untuk memberi nama pada apa yang sekarang dikenal dengan kepulauan Indonesia, menurut Philpott, dikarenakan wilayah Indonesia saat itu merupakan sesuatu yang aneh dan tidak familiar bagi kebanyakan orang Eropa yang melintasi wilayah tersebut. Sampai pada abad ke-19 Masehi, istilah yang paling sering digunakan oleh orang Eropa untuk memberi nama pada wilayah yang luasnya terbentang dari negara Pakistan modern hingga kepulauan Indonesia itu adal ah „India‟. Akan tetapi, menurut Philpott, pada tahun 1850, Earl mencatat bahwa sudah waktunya untuk memberikan nama khusus pada wilayah kepulauan India yang manusianya terdiri atas ras berkulit coklat tersebut. Pada saat itu, terlintas dalam pikiran Earl untuk memberi nama wilayah kepulauan „India‟ dengan nama „Indu-nesian‟ yang diambil dari bahasa Latin Indus India dan bahasa Yunani Nesos Pulau. Meskipun Earl pada akhirnya menolak menggunakan istilah ini. Peneliti lain yang merupakan teman Earl sendiri, yaitu James Logan, mengakui persamaannya dengan Earl dalam penciptaan dan penggunaan istilah „Indonesia‟. Saat itu, Logan menulis: The name Indian Archipelago is too long to admit of being used in an adjective or in an ethnographical form. Mr Earl suggests the ethnographical Indunesians but rejects it in favour of Malayunesians. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders, I have no affection for the multiplication of semigrecian words, and would gladly see all nesias wiped off the map if good Saxon equivalents could be substituted. The term has some claim however to be located 40 Ibid, hal. 1 in the region, for in the slightly different from of nusa it is perhaps as ancient in the Indian Archipelago as in Greece. 41 Philpott menjelaskan bahwa karya Earl dan Logan bukanlah sebuah karya leluhur Indonesia kontemporer. Namun, diskursus pemerintahan kolonial, antropologis, ahli etnografi, pedagang, serta penulis lain merupakan bagian dari ikhtiar panjang dan tidak pasti yang di kemudian hari menjadi Indonesia. Menurut Philpott, pemberian nama Indonesia sendiri berarti pengidentifikasian karakteristiknya, batas-batas spasialnya, serta memutuskan siapakah yang bisa dimasukkan sebagai orang Indonesia dan siapa pula yang tidak. Dengan kata lain, bagi Philpott, Indonesia adalah suatu invensi. 42 Tampak bahwa Indonesia sejak masa kolonial telah dijadikan objek penelitian oleh orang-orang Eropa. Tampak pula bahwa kolonialisme yang terjadi di Indonesia pada masa kolonial pelakunya adalah pemerintahan Hindia Belanda yang menjadikan penduduk pribumi Nusantara sekarang Indonesia sebagai korban dari berbagai tindakan penindasan fisik maupun non-fisik. Ketika menjajah Nusantara, orang-orang Belanda merasa bahwa kehadiran mereka akan membantu penduduk pribumi di Nusantara mendirikan pemerintahannya sendiri. Pandangan semacam ini disebabkan oleh pandangan pemerintah Belanda yang menganggap bahwa penduduk pribumi Nusantara tidak akan mampu mendirikan pemerintahannya di Nusantara tanpa bantuan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, untuk dapat membantu penduduk pribumi Nusantara menjalankan pemerintahan dengan baik, maka orang-orang Belanda menduduki 41 Ibid, hal. 2 42 Ibid, hal. 2 Nusantara dan mendirikan pemerintahan yang berpusat di Pulau Jawa dengan Batavia sebagai ibu kota pemerintahannya. M. C. Ricklefs 2005, menulis buku berjudul Sejarah Indonesia Modern. 43 Dalam buku tersebut Ricklefs mengatakan bahwa kedatangan bangsa- bangsa Eropa yang pertama ke wilayah Asia Tenggara berlangsung pada abad keenam belas. 44 Orang-orang Eropa yang datang ke Nusantara pertama kali adalah bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Pada mulanya kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara hanya bertujuan untuk kepentingan perdagangan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Eropa terutama Belanda mulai memiliki kepentingan politik karena wilayah Nusantara merupakan kawasan strategis untuk mengembangkan perdagangan, terutama perdagangan rempah-rempah. Sartono Kartodirdjo 1992, dalam buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, menyatakan bahwa kedatangan bangsa-bangsa Eropa seperti Belanda ke wilayah Nusantara memang banyak dipengaruhi oleh motif-motif ekonomi. Namun, hal ini bukan berarti bahwa faktor-faktor lainnya tidak berpengaruh. Justru sebaliknya, menurut Sartono, beberapa contoh telah menunjukkan bahwa sejarah imperialisme Belanda adalah manifestasi-manifestasi dari idealisme politik dan agama. 45 Menurut Kartodirdjo, bagaimanapun bentuknya kolonialisme Belanda di Indonesia saat itu bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Namun, faktor lain seperti 43 M.C. Ricklefs 2005. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 44 M.C. Ricklefs 2005. hal. 31. 45 Sartono Kartodirdjo 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal. 5 liberalisme, humanisme, dan kristianisme juga turut serta dalam membentuk kolonialisme di Indonesia. Dalam buku Poskolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra 2008, Nyoman Kutha Ratna berpendapat bahwa tidak benar jika kolonialisme di Indonesia hanya dilatarbelakangi oleh motif-motif ekonomi semata. Sebelum tahun 1870, perkembangan kolonialisme memang didominasi oleh faktor ekonomi. Namun, setelah itu faktor-faktor lain seperti militer, agama, dan kebudayaan pada umumnya bersama-sama ikut berperan dalam menopang kepentingan ekonomi tersebut. 46 Oleh karena itu, menurut Nyoman, ekspansi bangsa Barat ke dunia Timur didasari atas tujuan untuk mencari keuntungan ekonomi, kekuasaan, dan penyebaran agama Kristen yang secara metaforis disingkat dengan istilah 3G Gold, Glory, dan God. Bagi Nyoman, sejarah kolonialisme di Indonesia harus dipahami sebagai paham yang telah menjiwai bangsa-bangsa Barat untuk menguasai Timur maupun dipahami sebagai ideologi yang telah menghantui bangsa-bangsa Timur yang pernah mengalami penjajahan bangsa Barat, seperti Indonesia. Menurut Nyoman, secara historis kolonialisme di Indonesia bisa diartikan sebagai bagian dari hegemoni politik dan penguasaan ekonomi. Penguasaan tersebut dilakukan bersamaan dengan eksploitasi sumber daya alam yang telah berlangsung sejak awal abad ketujuh belas. Berdirinya Verenigde Oost Indische Compagnie VOC, yang bertujuan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di wilayah Nusantara menjadi bukti bahwa kehadiran orang-orang Belanda di Nusantara 46 Nyoman Kutha Ratna. hal.23 bertujuan untuk menghegemoni. 47 Hegemoni politik dan sistem eksploitasi telah membawa perubahan besar dalam berbagai bidang seperti: sistem birokrasi, industrialisasi, transportasi, edukasi, komunikasi, dan berbagai bentuk hubungan sosial lainnya. Menurut Nyoman, untuk memahami orientalisme yang dilakukan atas Indonesia, kita harus memulainya dengan memahami arti kolonialisme dan imperialisme. Kasus yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru bukan lagi soal orang-orang Barat memandang rendah orang Indonesia, melainkan orang Indonesia sendiri yang memandang rendah sesama orang Indonesia. Oleh karena itu, orientalisme yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru tidak jauh berbeda dengan kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh orang-orang Belanda terhadap penduduk Indonesia saat mereka menjajah Indonesia. Dengan kata lain, orientalisme yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru merupakan kolonialisme yang berlanjut dari pemerintahan kolonial Belanda beralih ke pemerintahan Indonesia, secara khusus Orde Baru.

B. Ciri-ciri Orientalisme

Sebagaimana disampaikan oleh Edward W. Said mengenai orientalisme di bab satu, Said mencoba untuk menguraikan bahwa orientalisme adalah sebuah konsep yang digunakan oleh orang-orang Barat untuk melegitimasi kekuasaannya atas orang-orang yang ada di dunia Timur. Dalam pandangan Said, orientalisme memiliki tiga pengertian. Pertama, sebagai sebuah institusi yang mempelajari 47 Nyoman Kutha Ratna. hal. 10 dunia Timur. Kedua, sebagai sebuah gaya Barat untuk menguasai dunia Timur. Ketiga, sebagai sebuah wacana dalam pengertian Foucauldian. Shelley Walia 2003, dalam buku berjudul Edward Said dan Penulisan Sejarah, mencoba untuk mengeksplorasi lebih dalam mengenai tiga definisi orientalisme yang Said jelaskan dalam buku Orientalism. Menurut Walia, orientalisme adalah sebagai kajian akademis atas Orient Timur oleh para sarjana Barat. Dengan menggunakan konsep Foucault mengenai kekuasaan dan pengetahuan, Walia menjelaskan bahwa Said mencoba untuk menghubungkan definisi pertama dengan kedua, bahwa kajian tentang Orient menciptakan satuan pengetahuan yang digunakan oleh kalangan imperialis Barat yang lebih pragmatis dan utilitarian sebagai sarana untuk meraih kekuasaan. 48 Walia memberi contoh mengenai minat akademis terhadap bahasa-bahasa oriental – diilhami dari seorang ahli bahasa sansekerta bernama Sir William Jones – telah dimanfaatkan oleh orang-orang Inggris yang utilitarian untuk tujuan-tujuan politik. Menurut Walia, seluruh bidang kajian beserta dengan lembaga-lembaga akademis yang dibuka oleh orang-orang Inggris penuh dengan berbagai kepentingan. Pada abad ke-19, kajian mengenai Orient kemudian menjadi sebuah disiplin ilmu yang menandai puncak ekspansi kolonial. Hal ini, menurut Walia, semakin membuktikan bahwa pengetahuan tentang Orient adalah awal dari permulaan wacana tentang kekuasaan. 49 Oleh sebab itu, Walia dalam buku Edward Said dan Penulisan Sejarah juga mengeksplorasi lebih lanjut mengenai diciptakannya perbedaan efistemologis dan ontologis antara Orient dan Occident 48 Shelley Walia. Edward Said dan Penulisan Sejarah. Terjemahan. Sigit Djatmiko.Yogyakarta: Jendela. 2003, hal. 44 49 Ibid, hal. 45