Ciri-ciri Orientalisme Orientalisme timur atas timur wacana `Pembangunan` dalam program transmigrasi pemerintah orde baru di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

dunia Timur. Kedua, sebagai sebuah gaya Barat untuk menguasai dunia Timur. Ketiga, sebagai sebuah wacana dalam pengertian Foucauldian. Shelley Walia 2003, dalam buku berjudul Edward Said dan Penulisan Sejarah, mencoba untuk mengeksplorasi lebih dalam mengenai tiga definisi orientalisme yang Said jelaskan dalam buku Orientalism. Menurut Walia, orientalisme adalah sebagai kajian akademis atas Orient Timur oleh para sarjana Barat. Dengan menggunakan konsep Foucault mengenai kekuasaan dan pengetahuan, Walia menjelaskan bahwa Said mencoba untuk menghubungkan definisi pertama dengan kedua, bahwa kajian tentang Orient menciptakan satuan pengetahuan yang digunakan oleh kalangan imperialis Barat yang lebih pragmatis dan utilitarian sebagai sarana untuk meraih kekuasaan. 48 Walia memberi contoh mengenai minat akademis terhadap bahasa-bahasa oriental – diilhami dari seorang ahli bahasa sansekerta bernama Sir William Jones – telah dimanfaatkan oleh orang-orang Inggris yang utilitarian untuk tujuan-tujuan politik. Menurut Walia, seluruh bidang kajian beserta dengan lembaga-lembaga akademis yang dibuka oleh orang-orang Inggris penuh dengan berbagai kepentingan. Pada abad ke-19, kajian mengenai Orient kemudian menjadi sebuah disiplin ilmu yang menandai puncak ekspansi kolonial. Hal ini, menurut Walia, semakin membuktikan bahwa pengetahuan tentang Orient adalah awal dari permulaan wacana tentang kekuasaan. 49 Oleh sebab itu, Walia dalam buku Edward Said dan Penulisan Sejarah juga mengeksplorasi lebih lanjut mengenai diciptakannya perbedaan efistemologis dan ontologis antara Orient dan Occident 48 Shelley Walia. Edward Said dan Penulisan Sejarah. Terjemahan. Sigit Djatmiko.Yogyakarta: Jendela. 2003, hal. 44 49 Ibid, hal. 45 yang melestarikan berbagai stereotip-stereotip berupa majubarbar, berkembangprimitif, unggulrendah, rasionalmenyimpang dan seterusnya, yang semuanya menurut Said bermuara pada pengkutuban yang lebih besar berupa “diri” dan “yang lain”. 50 John McLeod 2000, dalam buku Beginning Poscolonialism, mencoba untuk menguraikan tentang orientalisme dengan cara menunjukkan enam bentuk orientalisme dan enam striotipe tentang Timur yang sering dipakai oleh para akademisi Barat dalam menjelaskan dunia Timur. Menurut Mcleod, enam bentuk orientalisme tersebut antara lain: pertama, orientalisme merupakan konstruksi divisi biner. Dalam pengertian ini orientalisme membuat pemisahan antara Barat dan Timur yang memiliki perbedaan nyata. Baik Barat dan Timur diasumsikan bertentangan satu sama lain. Namun, menurut McLeod, posisi Barat dan Timur bukanlah sebagai mitra yang setara karena Timur selalu digambarkan dalam rangkaian negatif yang bertujuan untuk menopang superioritas Barat. Dalam pandangan McLeod, jika Barat diasumsikan sebagai pusat pengetahuan, maka Timur justru sebaliknya dianggap sebagai kenaifan. Dengan kata lain, bentuk orientalisme menurut McLeod menunjukkan bahwa Timur dan Barat diposisikan melalui pembangunan sebuah dikotomi yang tidak sama. Bentuk kedua, orientalisme dimaknai sebagai sebuah fantasi Barat. Dalam pengertian ini, Mcleod menanamkan bahwa bagian ini sangat penting untuk memahami argumen Said yang mengatakan bahwa pandangan Barat terhadap Timur tidak hanya didasarkan pada apa yang diamati ada di tanah Timur, akan 50 Ibid, hal. 45 tetapi seringkali muncul dari hasil mimpi, fantasi, dan asumsi tentang apa itu Timur yang dipelajari oleh orang-orang Barat. 51 Bentuk orientalisme ketiga, adalah orientalisme dipahami sebagai sebuah lembaga institusi. Dalam pengertian ini, orientalisme dipahami sebagai salah satu studi tentang Timur yang dipelajari oleh orang-orang Barat. Keempat, orientalisme adalah sebuah karya sastra. Dalam pengertian ini, orientalisme diciptakan melalui karya sastra yang banyak dijumpai dalam tulisan-tulisan sastra, seperti novel dan sebagainya. Kelima, orientalisme adalah legitimasi. Dalam pengertian ini, digarisbawahi bahwa orientalisme merupakan sebuah sistem representasi yang terikat dengan struktur dominasi politik. Dengan kata lain, representasi orientalis berfungsi untuk membenarkan penguasaan kolonial Barat atas dunia Timur. Bentuk orientalisme keenam, adalah berupa laten dan nyata. Menurut McLeod, dalam rangka untuk menekankan antara asumsi imajinatif orientalisme dan efek materialnya, maka orientalisme dibagi menjadi dua, yaitu orientalisme laten dan orientalisme nyata. Orientalisme laten menggambarkan mimpi dan fantasi tentang Timur, yang dalam pandangan Said tetap relatif konstan dari waktu ke waktu. Sedangkan orientalisme nyata adalah versi yang berbeda dengan orientalisme laten, meskipun pada dasarnya memiliki disain yang sama. Misalnya, ketika seorang penulis membuat representasi tentang Timur, mereka akan menulis dengan asumsi yang sama terlepas dari gaya penulisan yang berbeda. 52 51 John Mcleod. Beginning Postcolonialism. New York: Manchester University Press. 2000, hal. 41 52 Ibid, hal. 43 Selain orientalisme memiliki bentuk-bentuknya sendiri, menurut McLeod, orientalisme juga mampu menciptakan berbagai stereotip tentang Timur yang oleh orang-orang Barat selalu dipakai untuk menilai dunia Timur. Orang-orang Barat juga meyakini bahwa berbagai stereotip tentang Timur ini sebagai sebuah kebenaran murni. Berbagai stereotip tentang Timur antara lain: pertama, Timur adalah abadi. Dalam pengertian ini, Timur diasumsikan oleh Barat tidak pernah berubah. Barat selalu menganggap Timur berada jauh di belakang perkembangan modern yang dimiliki dunia Barat. Meskipun zaman telah berganti, namun orang-orang Timur dianggap tetap tidak bisa berkembang seperti orang-orang Barat. Kedua, stereotip yang diberikan pada Timur adalah adalah Timur itu aneh. Dalam pengertian ini, sangat penting bagi orientalisme membuat stereotip tentang Timur yang tidak hanya dianggap berbeda dari Barat, tetapi juga dianggap aneh bagi orang-orang Barat sendiri. Jika Barat itu rasional masuk akal dan terkenal, maka Timur dianggap tidak rasional dan tidak normal. 53 Stereotip ketiga, orientalisme membuat asumsi tentang ras. Dalam pengertian ini, orientalisme membuat klasifikasi mengenai ras Timur yang berbeda dengan ras Barat. Sebagai contoh dalam buku Orientalism, Said mengutip pernyataan Cromer yang mengatakan bahwa orang-orang Timur adalah ras yang sudah sepatutnya diperintah oleh Barat. Dengan kata lain, Barat berusaha untuk menjelaskan bahwa ras orang-orang Barat lebih superior dari ras orang-orang Timur yang dianggap inferior. 53 Ibid, hal. 44 Stereotip keempat, orientalisme membuat asumsi tentang gender. Dalam pengertian ini, untuk menggambarkan bahwa Timur itu berbeda dari Barat orientalisme membuat stereotip gender yang memposisikan Barat sebagai laki-laki dan Timur sebagai perempuannya. Kelima, Timur itu feminim. Terakhir, stereotip yang keenam, Timur itu merosot. Dalam pengertian ini, orientalisme membuat stereotip tentang orang-orang Timur yang dianggap memiliki kepribadian seperti: penakut, nafsu seks tidak terkontrol, dan penuh dengan kekerasan. Karena berbagai stereotip di atas, orientalisme hadir untuk menawarkan sebuah gagasan bahwa masyarakat Timur perlu beradab dengan cara belajar dari orang-orang Barat. 54

C. Dilema Kolonialisme, Orientalisme dan Imperialisme

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kolonialisme dan imperialisme memiliki hubungan yang sangat erat dengan orientalisme. Secara keseluruhan ketiga paham tersebut merupakan alat bagi bangsa-bangsa Barat untuk mengusai bangsa Timur. Perbedaannya hanya terletak pada bahwa dua komponen pertama murni bersifat praktis, lebih nyata, dan bersifat langsung. Sementara itu, orientalisme lebih bersifat teoritis, tidak nyata, dan tidak bersifat langsung. 55 Meskipun berbeda, baik kolonialisme, kapitalisme, imperialisme maupun orientalisme pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yakni menghegemoni dunia Timur dengan menunjukkan perbedaan nyata antara Barat yang superior dengan Timur yang inferior. 54 Ibid, hal. 44-46 55 Nyoman Kutha Ratna, SU. Poskolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008, hal. 26 Menurut Nyoman, kolonialisme berasal dari kata colonia LatinRomawi, yang awalnya berarti kumpulan, perkampungan, masyarakat di perantauan. Jadi, secara etimologis kata kolonial tidak sama sekali mengandung unsur penjajahan. 56 Konotasi negatif tentang kolonial terjadi sesudah adanya hegemoni, sekaligus eksploitasi oleh satu negara terhadap negara lainnya. Dengan demikian, kolonialisme itu dapat menyangkut berbagai masalah yang berkaitan dengan hegemoni yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain yang lebih lemah. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah mengalami proses panjang dalam menunjukkan kekuasaannya secara detail, seperti yang dilakukan oleh negara- negara Eropa terhadap Asia, Afrika, Amerika Latin, secara khusus yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia, kata kolonial lebih diartikan sebagai pendudukan atau penjajahan. Imperialisme menurut Nyoman, berasal dari akar kata imperial dan isme. Imperial berasal dari bahasa Latin, dari akar kata imperareimperium yang memiliki tiga arti antara lain: pertama, memerintah. Kedua, hak untuk memerintah. Ketiga, kekaisaran atau kerajaan. 57 Nyoman lalu mengutip pernyataan Michael Doyle yang mengatakan bahwa imperialisme merupakan hubungan formal dan informal, dalam hal ini secara politis suatu negara dapat mengontrol negara lain. Dalam pandangan Nyoman, imperialisme dapat dicapai dengan cara kekuatan fisik, kolaborasi politis, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. 58 Hingga saat ini, saat kolonialisme sudah berakhir, imperialisme masih terus berlanjut dalam bentuk praktik-praktik politik, ideologi, ekonomi, dan sosial 56 Ibid, 20 57 Nyoman Kutha Ratna, SU. Ibid, hal. 23 58 Ibid, hal. 23-24