Penelitian tentang Suku Dayak di Masa Pascakolonial

konflik antar suku yang melibatkan suku Dayak dengan suku pendatang. Namun, para peneliti lokal yang menulis tentang sejarah Dayak cenderung mengamini hasil penelitian orang-orang Barat dalam memberikan definisi mengenai orang- orang Dayak yang tinggal di wilayah kepulauan Kalimantan Barat. Hasil penelitian Sujarni Aloy dkk 2008, misalnya yang menulis Mozaik Dayak - Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Aloy dkk, dalam buku yang sama menguraikan bahwa pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, sudah banyak peneliti Barat yang terdiri dari bidang studi antropologi, linguistik, arkeologi, maupun sosiologi, tertarik untuk melakukan penelitian terhadap orang-orang Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan Borneo. 112 Hasil penelitian Aloy dkk juga memperlihatkan bahwa sejak masa kolonial Hindia Belanda, Pulau Kalimantan sudah dianggap oleh peneliti Barat sebagai sebuah pulau yang unik, nan eksotik, karena memiliki hutan belantara yang lebat, memiliki kekayaan dan keindahan alam, serta keunikan yang dimiliki oleh penduduk lokal orang-orang Dayak yang mendiaminya. Menurut Aloy dkk, penelitian tentang penduduk lokal di Pulau Kalimantan sudah berlangsung sejak tahun 1800-an, di mana pada waktu itu banyak peneliti Barat yang melakukan riset tentang orang-orang Dayak, siapa mereka, dari mana asal usulnya, dan seperti apa bahasa yang digunakan oleh orang-orang Dayak tersebut. Menariknya, Aloy dalam buku yang sama juga cenderung meyakini pendapat para peneliti asing yang mengatakan bahwa istilah Dayak digunakan 112 Sujarni Alloy, Albertus, Istiyani, Chatarina Pancer. Mozaik Dayak - Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi. 2008, Hal. 11. untuk memberi nama pada penduduk asli yang mendiami pulau Kalimantan. Menurut Aloy, pada awalnya orang-orang Dayak menolak untuk menggunakan nama ini sebagai identitas mereka. Penolakan ini disebabkan oleh makna Dayak sendiri yang mulanya berkonotasi buruk karena mengarah pada hal-hal negatif seperti: perilaku jorok, kotor, terbelakang primitif, dan tidak berperadaban. Pada masa kolonial, orang-orang Barat menurut Aloy mendefinisikan orang-orang Dayak sebagai “manusia pedalaman”, non Muslim, primitif, tidak berperadaban, dan dengan berbagai citra negatif lainnya. 113 Dalam pandangan Aloy dkk, penggunaan nama Dayak ini tidak muncul begitu saja. Sebelum istilah ini menjadi populer di kalangan umum dan menjadi nama identitas penduduk Kalimantan, banyak istilah yang sering digunakan untuk menyebut penduduk Pulau Borneo ini di antaranya: Daya, Daya, Dyak, Dadjak, Dayaker, hingga Dayak. Baru pada tahun 1992, atas persetujuan Institute of Dayakology Research and Development yang saat ini bernama Institut Dayakologi, istilah Dayak secara resmi digunakan sebagai identitas penduduk yang mendiami Pulau Kalimantan. 114 Menurut Aloy dkk, sebelum istilah Dayak menjadi populer di kalangan para peneliti dan kalangan umum, orang-orang asing, secara khusus bangsa Eropa yang pernah berkunjung ke Pulau Kalimantan, menyebut orang-orang Dayak dengan istilah Borneers dan Beyajos. 115 Dengan demikian, Aloy dkk berpendapat bahwa 113 Ibid, hal. 11 114 Alloy, Sujarni, Albertus, Istiyani, Chatarina Pancer. Mozaik Dayak - Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi. 2008, Hal. 9. 115 Ibid, hal. 11 istilah Dayak sendiri merupakan hasil dari rekonstruksi para peneliti Barat untuk memberi nama pada penduduk asli yang mendiami Pulau Kalimantan. Peneliti lokal lainnya yang menulis tentang sejarah Dayak adalah Nico Andalas dan Stefanus Djuweng 1996, yang menulis buku berjudul Manusia Dayak: Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi. 116 Menurut Andalas dan Djuweng, Dayak adalah nama kolektif yang kemudian membentuk sebuah label etnik untuk menyebut kira-kira 450 suku asli non-Muslim yang mendiami Pulau Kalimantan Borneo. 117 Menurut Andalas dan Djuweng, pembagian suku ini dilakukan oleh para peneliti Barat di masa kolonial atas dasar kesamaan bahasa, hukum adat dan ritus kematian. Dengan demikian, pemberian nama Dayak pada penduduk Pulau Kalimantan adalah semata-mata untuk mempermudah proses administrasi pendataan. Peneliti lainnya yang menulis tentang orang-orang Dayak di Pulau Kalimantan adalah J .U. Lontaan 1975, yang menulis buku berjudul Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. 118 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lontaan menguraikan bahwa sifat dan karakter orang-orang Dayak yang meskipun terdiri dari ratusan suku, tetapi orang-orang Dayak pada umumnya memiliki karakter dan sifat yang hampir sama, seperti percaya pada hal-hal yang 116 Nico Andalas dan Stefanus Djuweng. Manusia Dayak, Orang Kecil Yang Terperangkap Modernisasi. Pontianak: Institut Dayakologi, 2006. 117 Ibid, hal. 4 118 J.U. Lontaan. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I Kal-Bar, 1975. bersifat mistis, tahayul, percaya pada mimpi, mempercayai suara burung tertentu, menghormati leluhur yang telah meninggal dan macam-macam kuasa gaib. 119 Untuk menjelaskan mengenai karakter dan sifat orang-orang Dayak, Lontaan dalam buku yang sama lalu mempelajari pernyataan F. Ukur dalam buku berjudul Tantang Jawab Suku Dayak, yang mengatakan bahwa orang-orang Dayak memang cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat tahayul dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Lontaan lalu memberi contoh: dalam hal menjalani kehidupan sehari-hari orang-orang Dayak selalu dihantui perasaan sangsi, jika ingin keluar rumah biasanya mereka melihat ke langit atau memandang tanah untuk mengetahui tanda-tanda yang diberikan oleh alam. Menurut Lontaan, tanda-tanda yang orang-orang Dayak terima dari alam akan menentukan langkah mereka untuk mengambil keputusan apakah akan pergi ke ladang, berburu, ke hutan mencari kayu, atau tinggal di rumah saja. Tampak jelas bahwa hasil penelitian yang dilakukan Lontaan menunjukkan bahwa orang- orang Dayak sangat mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan mistis dan tahayul. Bahkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari orang-orang Dayak juga sangat bergantung pada alam. Peneliti lokal lainnya yang menulis tentang orang-orang Dayak di masa pascakolonial adalah Nistain Odop dan Frans Lakon yang menulis buku berjudul Dayak Menggugat: Sejarah Masa Lalu, Hak atas Sumber-sumber Penghidupan, dan Diskriminasi Identitas. 120 Hasil penelitian Odop dan Lakon menguraikan 119 J.U. Lontaan. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I Kal-Bar. 1975, hal. 38 120 Nistain Odop dan Frans Lakon. Dayak Menggugat: Sejarah Masa Lalu, Hak Atas Sumber- Sumber Penghidupan, dan Diskriminasi Identitas. Yogyakarta: Pintu Cerdas 2009 tentang beberapa hal. Pertama, membicarakan tentang sejarah orang Dayak yang digambar dengan berbagai stereotip buruk seperti memiliki pola hidup yang misterius, sakti, tradisional, nomaden, ketinggalan zaman, kanibal dan sebagainya. 121 Kedua, Odop dan Lakon juga menguraikan tentang penggunaan istilah Dayak yang baru dikenal dunia setelah diperkenalkan oleh seorang sosiolog Belanda bernama August Kanderland pada tahun 1803. Menurut Kanderland, sebagaimana dikutip oleh Odop dan Lakon, menjelaskan bahwa penduduk yang mendiami pedalaman Borneo mengaku diri mereka sebagai “orang Daya”, komunitas penduduk yang tinggal di kawasan hulu sungai dan memeluk kepercayaan non-Muslim. Buku karya Odop dan Lakon ini mencoba untuk mengkritisi pandangan umum tentang orang-orang Dayak yang selama masa pemerintahan Orde Baru menganggap bahwa orang- orang Dayak sebagai salah satu suku “tertinggal” yang masih dianggap suka mengayau, tidak bisa maju, kolot, nomaden, dan dengan berbagai stereotip buruk lainnya. Buku ini juga tidak hanya berbicara mengenai kebudayaan orang Dayak saja, melainkan juga bicara mengenai kehidupan politik, sosial, lingkungan dan sistem religi yang dianut oleh orang-orang Dayak. Selanjutnya, peneliti lain yang melakukan penelitian tentang sejarah Pulau Kalimantan adalah Tjilik Riwut yang menulis buku berjudul Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. 122 Dalam bukunya yang terdiri dari tiga puluh tiga bab, Riwut menjelaskan banyak hal mengenai sejarah perkembangan 121 Ibid, hal. 1 122 Tjilik Riwut. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: NR. Publishing. 1993 Pulau Kalimantan, mulai dari sejarah Kalimantan Barat, Tengah, Timur, maupun Kalimantan Selatan. Riwut dalam buku yang sama juga menguraikan bahwa sebutan kata Dayak adalah sebutan umum di Pulau Kalimantan. Menurut Riwut, sebutan Dayak diberikan kepada penduduk lokal yang tidak beragama Islam dan mereka bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman pulau Kalimantan. 123 Dalam pandangan Riwut, sebutan Dayak ini diberikan oleh orang- orang Melayu untuk mengatakan bahwa Dayak penduduk lokal yang mereka sebut juga dengan istilah orang gunung. Selain itu, menurut Riwut istilah Dayak diberikan oleh orang-orang Inggris untuk penduduk lokal yang mendiami Pulau Kalimantan. Bertolak dari beberapa hasil penelitian di atas, tampak jelas bahwa penelitian tentang suku Dayak yang dilakukan oleh peneliti Indonesia sekalipun cenderung mengakui hasil penelitian orang-orang Eropa di masa kolonial. Meskipun di satu sisi para peneliti Indonesia di masa pascaolonial mencoba untuk lebih kritis terhadap hasil penelitiannya, namun di sisi lainnya para peneliti Indonesia juga tidak bisa lepas dari sumber-sumber acuan para peneliti Barat di masa kolonial.

G. Transmigrasi dan Pembangunan Nasional

Pada masa pemerintahan Orde Baru, program transmigrasi selalu dikaitkan dengan usaha memajukan daerah-daerah transmigrasi dengan cara pemerataan pembangunan nasional. Dalam hal ini, muncul anggapan bahwa pemerintah 123 Ibid, hal. 261 Indonesia, secara khusus Orde Baru di Jakarta, ingin memajukan daerah-daerah transmigrasi dengan cara melaksanakan “pemerataan pembangunan.” Pemerataan pembangunan di daerah-daerah transmigrasi berupa pembangunan di bidang infrastruktur dan ekonomi. Pembangunan di bidang insfrastruktur berkaitan dengan proyek-proyek pembangunan, seperti jalan raya, jembatan, sarana pendidikan, sarana kesehatan, kantor-kantor pemerintahan, koperasi dan sebagainya. Sedangkan pembangunan ekonomi selalu dikaitkan dengan kesejahteraan penduduk yang mengikuti program transmigrasi. Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, program transmigrasi di Indonesia merupakan salah satu kebijakan kolonial yang sudah pernah dilaksanakan pada masa pemerintahan Hindia Belanda saat mereka menjajah Indonesia dulunya Nusantara. Tujuan awal pemerintah Belanda melaksanakan program transmigrasi ini adalah untuk mengatasi masalah kemiskinan dan memindahkan penduduk yang padat di Pulau Jawa menuju ke luar Pulau Jawa. Menariknya, pada masa kemerdekaan Indonesia, kebijakan transmigrasi ini diadopsi oleh pemerintah Indonesia dan dilaksanakan secara besar-besaran pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa Orde Baru kebijakan transmigrasi tidak hanya bertujuan untuk mengurangi jumlah penduduk, melainkan juga bertujuan untuk membangun daerah-daerah “tertinggal.” Program transmigrasi di masa pemerintahan Orde Baru, dilaksanakan dalam bentuk Pembangunan Lima Tahun Pelita. Menurut pemerintah Orde Baru, waktu lima tahun menjadi tolak ukur pemerintah di Jakarta untuk menilai apakah program transmigrasi mampu membangun daerah-daerah transmigrasi yang