Orientalisme timur atas timur wacana `Pembangunan` dalam program transmigrasi pemerintah orde baru di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

(1)

vi ABSTRAK

Asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa orientalisme yang terjadi di negara-negara Timur Tengah dilakukan oleh orang Barat terhadap orang-orang Timur. Sebagaimana yang disampaikan oleh Edward W. Said dalam buku Orientalism, orang-orang Barat selalu merasa diri lebih superior dari orang-orang Timur yang mereka anggap inferior. Oleh karena itu, ketika bangsa Barat menjajah bangsa Timur, orang-orang Barat tidak merasa bahwa mereka sedang menjajah orang-orang Timur melainkan orang-orang Barat merasa bahwa mereka telah membantu orang-orang Timur untuk mendirikan pemerintahannya sendiri. Dengan demikian, muncul anggapan bahwa orang-orang Timur tidak akan mampu menjalankan pemerintahannya dengan baik tanpa bantuan orang-orang Barat.

Bertolak dari kesadaran itu, penelitian ini berusaha melihat bagaimana orientalisme di Indonesia terus berlanjut pada masa pascakolonial dengan fokus pada wacana pembangunan yang dibawa oleh pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan program transmigrasi di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Untuk melihat apakah kasus transmigrasi yang berlangsung di Melawi serupa dengan orientalisme yang terjadi di Timur Tengah, penelitian tesis ini menggunakan teori Orientalisme Edward Said. Dengan menggunakan teori orientalisme akan diketahui bagaimana cara pandang Barat dalam menilai Timur, juga digunakan oleh orang Timur untuk menilai sesama orang Timur.

Hasil penelitian tesis ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, Orientalisme itu tidak hanya terjadi di negara-negara Timur Tengah, melainkan juga terjadi di negara-negara Asia seperti Indonesia. Kedua, orientalisme yang terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial lebih buruk lagi karena baik pelaku maupun korbannya adalah sama-sama orang Timur. Ketiga, berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa Orde Baru, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan di Melawi.

Kata Kunci: Orientalisme, Kolonialisme, Berlanjutnya Kolonialisme, Pemerintah Orde Baru, Pembangunan, Program Transmigrasi.


(2)

vii ABSTRACT

The fundamental assumption in this thesis is that the orientalism happened in the Middle-East countries is done by the people of the West to the people in the East. As stated by Edward W. Said in Orientalism, the West always considers themselves as superior to the East. Therefore, when the West colonized the East, they believed that they were assisting the East to build their own government. As a result, a condition where the East is believed would not be able to administer its own government without the help from the West emerges.

Based on this understanding, this thesis would like to investigate how the orientalism in Indonesia keeps on going in the postcolonial era in the context of transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province by promoting the development discourse. In order to examine whether the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province is similar to the orientalism in the Middle-East, thus this thesis uses Edward Said’s Orientalism theory. This theory will lead us to the reality in the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province that the way the West perceived the East is also used by the East to perceive the East.

This thesis draws some conclusions. First, Orientalism is not only happens in the Middle-East, but also in Asia such as Indonesia. Second, Orientalism in postcolonial Indonesia is even worse since either the perpetrators or the victims are Indonesian (the East). Third, the continuity of colonialism in Indonesia under the New Order regime is reflected in the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province.

Key words: Orientalism, Colonialism, The Continuity of Colonialism, The New Order Government, Development, Transmigration Program.


(3)

i

ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR

WACANA “PEMBANGUNAN” DALAM PROGRAM TRANSMIGRASI PEMERINTAH ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI,

KALIMANTAN BARAT TESIS

Dibuat Sebagai Persyaratan Untuk Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Disusun Oleh Septian Peterianus

126322001

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Septian Peterianus.

Nomor Mahasiswa : 126322001

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR

WACANA “PEMBANGUNAN” DALAM PROGRAM TRANSMIGRASI PEMERINTAH ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI, KALIMANTAN

BARAT

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem-berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 15 Januari 2015 Yang menyatakan


(5)

ii i


(6)

(7)

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Septian Peterianus Nim : 126322001

Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya

Demi kepentingan ilmu pengetahuan, saya menyerahkan sepenuhnya kepada pihak Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:

ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR: WACANA “PEMBANGUNAN” DALAM PROGRAM TRANSMIGRASI PEMERINTAH ORDE BARU DI

KABUPATEN MELAWI, KALIMANTAN BARAT

Untuk menyimpan, menggunakan, serta mempublikasikan karya tesis ini demi kepentingan akademis tanpa harus meminta ijin maupun memberi royalti selama tetap mencantumkan nama penulis aslinya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Yogyakarta, 15 Januari 2015 Hormat saya


(8)

vi

ABSTRAK

Asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa orientalisme yang terjadi di negara-negara Timur Tengah dilakukan oleh orang Barat terhadap orang-orang Timur. Sebagaimana yang disampaikan oleh Edward W. Said dalam buku Orientalism, orang-orang Barat selalu merasa diri lebih superior dari orang-orang Timur yang mereka anggap inferior. Oleh karena itu, ketika bangsa Barat menjajah bangsa Timur, orang-orang Barat tidak merasa bahwa mereka sedang menjajah orang-orang Timur melainkan orang-orang Barat merasa bahwa mereka telah membantu orang-orang Timur untuk mendirikan pemerintahannya sendiri. Dengan demikian, muncul anggapan bahwa orang-orang Timur tidak akan mampu menjalankan pemerintahannya dengan baik tanpa bantuan orang-orang Barat.

Bertolak dari kesadaran itu, penelitian ini berusaha melihat bagaimana orientalisme di Indonesia terus berlanjut pada masa pascakolonial dengan fokus pada wacana pembangunan yang dibawa oleh pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan program transmigrasi di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Untuk melihat apakah kasus transmigrasi yang berlangsung di Melawi serupa dengan orientalisme yang terjadi di Timur Tengah, penelitian tesis ini menggunakan teori Orientalisme Edward Said. Dengan menggunakan teori orientalisme akan diketahui bagaimana cara pandang Barat dalam menilai Timur, juga digunakan oleh orang Timur untuk menilai sesama orang Timur.

Hasil penelitian tesis ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, Orientalisme itu tidak hanya terjadi di negara-negara Timur Tengah, melainkan juga terjadi di negara-negara Asia seperti Indonesia. Kedua, orientalisme yang terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial lebih buruk lagi karena baik pelaku maupun korbannya adalah sama-sama orang Timur. Ketiga, berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa Orde Baru, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan di Melawi.

Kata Kunci: Orientalisme, Kolonialisme, Berlanjutnya Kolonialisme, Pemerintah Orde Baru, Pembangunan, Program Transmigrasi.


(9)

vii

ABSTRACT

The fundamental assumption in this thesis is that the orientalism happened in the Middle-East countries is done by the people of the West to the people in the East. As stated by Edward W. Said in Orientalism, the West always considers themselves as superior to the East. Therefore, when the West colonized the East, they believed that they were assisting the East to build their own government. As a result, a condition where the East is believed would not be able to administer its own government without the help from the West emerges.

Based on this understanding, this thesis would like to investigate how the orientalism in Indonesia keeps on going in the postcolonial era in the context of transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province by promoting the development discourse. In order to examine whether the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province is similar to the orientalism in the Middle-East, thus this thesis uses Edward Said’s Orientalism theory. This theory will lead us to the reality in the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province that the way the West perceived the East is also used by the East to perceive the East.

This thesis draws some conclusions. First, Orientalism is not only happens in the Middle-East, but also in Asia such as Indonesia. Second, Orientalism in postcolonial Indonesia is even worse since either the perpetrators or the victims are Indonesian (the East). Third, the continuity of colonialism in Indonesia under the New Order regime is reflected in the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province.

Key words: Orientalism, Colonialism, The Continuity of Colonialism, The New Order Government, Development, Transmigration Program.


(10)

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan penyertaannya penulis mampu menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Penyertaan Tuhan Yesus dalam kehidupan penulis sungguh luar biasa, sehingga tidak pernah sekalipun penulis merasa putus asa saat menghadapi cobaan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Untuk itu, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah penulis mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik secara materi maupun moril pada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.

Ucapan terima kasih yang pertama penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya yang selama ini telah berjuang keras untuk memberikan ilmu dan mendidik penulis selama menempuh studi di Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada Prof. Dr. Agustinus Supratiknya, Dr. St. Sunardi, Dr. G. Budi Subanar, S.J., Dr. Haryatmoko, S.J., Dr. Budi Susanto, S.J., Dr. Bagus Laksana, S.J., Dr. Benny Juliawan, S.J, dan kepada Mbak Desi seketaris IRB.

Secara khusus pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kepada kedua dosen pembimbing yakni, Dr. FX. Baskara T. Wardaya dan Dr. Katrin Bandel yang selama ini telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk mendampingi penulis selama proses penyelesaian tesis ini dari awal hingga akhirnya karya ilmiah inipun selesai ditulis.


(11)

ix

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para narasumber yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis selama berlangsungnya proses penelitian di lapangan. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Muhamad Nazarudin yang menjabat sebagai Kepala Bagian di Dinas Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Geovani Anton yang menjabat sebgai staf di Dinas Transmigrasi Kabupaten Melawi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Matius yang menjabat sebagai Seketaris Desa di SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi.

Selanjutnya tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada para narasumber lainnya. Pertama, bapak Mahrudin peserta transmigrasi yang berasal dari kota Jawa Barat. Kedua, bapak Rohim peserta transmigrasi yang berasal dari kota Malang, Jawa Timur. Ketiga, bapak Siregar yang menjabat sebagai Kepala Puskesmas di Kecamatan SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi. Keempat, bapak Yusnono dari Institut Dayakologi kota Pontianak.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, tidak lupa penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman IRB angkatan 2012, yang banyak memberikan masukan maupun tanggapan selama proses penulisan tesis ini berlangsung. Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan pada Mbak Dwi, Nurani, Mas Saman, Taufik Darwis, Totok, Miko, Om Willy, Mbak Ajeng, Mas Hendra, Perdinan, Om Rudi, dan Mbak Lani. Besar harapan penulis, karya tesis ini dapat membantu penulis berpikir lebih kritis untuk menghasilkan karya-karya akademik lainnya.


(12)

x DAFTAR ISI

Halaman Judul ……….. i

Pernyataan Keaslian Karya ………..... ii

Halaman Pengesahan ……….... iii

Persetujuan Pembimbing ………..... iv

Abstrak ………... v

Abstract ……….. vi

Kata Pengantar ………..... vii

Daftar Isi ……….... viii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A.Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ……….. 12

C.Tujuan Penelitian ...……… 12

D.Pentingnya Penelitian ……… 14

E. Tinjauan Pustaka ……… 14

F. Kerangka Teoritis ……….. 24

F. 1. Teori Orientalisme Edward W. Said ………... 24

F. 2. Orientalisme dan Wacana Kolonial ………... 29

G.Teknik Pengumpulan Data ……….... 35

G. 1. Lokasi Penelitian ………... 35

G. 2. Jenis Penelitian ………... 35

G. 3. Sumber Data ………... 36

G. 4. Teknik Pengumpulan Data ……… 36

H. Sistematika Penulisan ……….... 37

BAB II IDEOLOGI KOLONIAL DI INDONESIA: DULU DAN SEKARANG ……….. 39

A.Orientalisme dalam Sejarah Indonesia ……….. 39

B. Ciri-ciri Orientalisme ………. 47

C.Dilema Orientalisme, Kolonialisme dan Imperalisme ………... 52

D.Kolonialisme dalam Sejarah Indonesia ……….. 56

E. Berlanjutnya Kolonialisme di Indonesia ……… 59

F. Transmigrasi sebagai Kolonialisme Internal ………. 60

G.Pembangunan sebagai Ideologi di Masa Pemerintahan Orde Baru ………... 66

H.Pemerintah Orde Baru dan Pelatihan Pembangunan ………. 69

I. Pembukaan Studi Politik di Indonesia ………... 73

J. Daerah-daerah “Tertinggal” dan Solusi Pembangunan ………. 77


(13)

xi BAB III BERLANJUTNYA ORIENTALISME DI INDONESIA DAN PROGRAM TRANSMIGRASI ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI,

PROVINSI KALIMANTAN BARAT ……….

81

A.Transmigrasi dalam Sejarah Indonesia ……….. 81

B. Transmigrasi dalam Sejarah Kalimantan Barat ………. 87

C.Transmigrasi dalam Sejarah Kabupaten Melawi ………... 89

D.Orang Dayak dalam Wacana Transmigrasi ………... 91

E. Asal Mula Istilah Dayak ……… 96

F. Penelitian tentang Suku Dayak di Masa Pascakolonial ………. 101

G.Transmigrasi dan Pembangunan Nasional ………. 107

H.Pelatihan untuk Calon Peserta Transmigrasi ………. 110

I. Pembangunan dan “Solusi” Memajukan Daerah-daerah Transmigrasi ……. 113

J. Transmigrasi untuk “Mensejahterakan”……… 116

K. “Maju”-nya Sistem Pertanian Pulau Jawa ………. 119

L. “Buruk”-nya Sistem Pertanian Tradisional ……… 122

M.Catatan Penutup ………. 125

BAB IV PROGRAM TRANSMIGRASI PEMERINTAH ORDE BARU SEBAGAI BENTUK ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR …………... 127

A.Kebijakan Transmigrasi Pemerintah Orde Baru dan Orientalisme di Timur Tengah ………... 127

B. Orientalisme dan Kemampuan untuk Menguasai ……….. 131

C.Orientalisme dan Program Transmigrasi di Kabupaten Melawi ….……….. 134

D.Orientalisme di Kabupaten Melawi ………... 136

E. Transmigrasi di Kabupaten Melawi dan Orientalisme Timur atas Timur …. 140 F. Catatan Penutup ………. 146

BAB V PENUTUP ………. 148


(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam bukunya Orientalism (1978), Edward W. Said mencoba untuk mendefinisikan ulang istilah “orientalisme”. Menurut Said, ada tiga pengertian mengenai orientalisme. Pertama, orientalisme sebagai sebuah bidang studi yang mempelajari “orient” (Timur)dengan menggunakan kata “orient” (Timur) sebagai tanda pengenalnya, sebagaimana sering dilakukan oleh para akademisi Barat dalam mempelajari seputar dunia ketimuran. Kedua, orientalisme sebagai suatu gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologi dan epistemologi antara “Timur” dan (hampir selalu) “Barat”. Pengertian ini digunakan oleh orang-orang dari berbagai kalangan, seperti para satrawan, filsuf, dan sebagainya. Ketiga, orientalisme sebagai sebuah wacana dalam artian Foucauldian.1

Untuk memberi batasan mengenai kajian orientalisme, Said dalam buku Orientalism mengambil konteks abad kedelapan belas sebagai suatu batasan kajiannya. Menurut Said, orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai suatu lembaga hukum (corporate institution) yang menangani permasalahan dunia Timur. Dalam pandangan Said, berurusan dengan dunia Timur berarti juga membuat istilah-istilah tentang Timur, menguasai cara pandangnya, dan mendeskripsikannya dengan jalan mengajarinya, menempatinya, dan


(15)

mengaturnya. Dengan kata lain, orientalisme merupakan gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali, dan menguasai dunia Timur.2

Melalui buku Orientalism, Said ingin menunjukkan bagaimana budaya Eropa mampu mendapatkan kekuatan dan identitasnya dengan cara menempatkan diri mereka berhadapan dengan dunia Timur sebagai semacam wali atau pelindung, bahkan sebagai “diri” (the self) yang tersembunyi.3 Dalam hal ini Barat mendefinisikan diri dengan memposisikan dirinya berhadapan dengan Timur dan menjelaskan bahwa Barat tidak seperti Timur. Barat juga mempersepsikan Timur sebagai wujud dari sisi diri Barat yang tersembunyi. Dalam artian ini, orang-orang Barat pada satu sisi juga merasa punya sisi “irasional” dan spiritual, namun hal tersebut disembunyikan dan diposisikan berada di luar diri orang-orang Barat.

Said menunjukkan bahwa orientalisme yang merupakan suatu bidang kajian mengenai dunia ketimuran ternyata bersumber dari keberadaan orang-orang Inggris dan Prancis yang telah memiliki hubungan khusus dengan dunia Timur, terutama India dan tanah injili sebelum awal abad XIX. Sejak awal abad XIX, Inggris dan Prancis mendominasi dunia Timur. Akan tetapi, sesudah berakhirnya Perang Dunia II dominasi tersebut diambil alih oleh Amerika Serikat dengan melakukan pendekatan terhadap dunia Timur seperti yang pernah dilakukan oleh Inggris dan Prancis. Namun, pendekatan yang digunakan AS lebih bersifat akademis.

Said mengawali uraiannya tentang orientalisme dengan mengacu pada asumsi dasar bahwa dunia Timur bukanlah sebuah fakta alam yang bersifat statis.

2 Edward W. Said. Orientalism. New York: Vintage Books. 1978, hal. 3 3 Edward W. Said, hal. 3


(16)

Dunia Timur tidak mata hadir seperti halnya Barat yang juga tidak semata-mata ada.4 Oleh karena itu, untuk dapat memahami hal tersebut, Said lalu mempelajari pernyataan Vico yang mengatakan bahwa manusia mengukir dan menciptakan sejarahnya sendiri, bahwa apapun yang bisa manusia ketahui merupakan sesuatu yang telah mereka ciptakan.5 Menurut Said jika pernyataan Vico ditarik dalam konteks yang lebih luas, misalnya dalam konteks geografi, maka dapat dipahami bahwa menurut Vico setiap manusia menciptakan lokalitas, wilayah, serta tempat-tempat geografisnya sendiri. Misalnya, saat mereka menciptakan “Barat” dan “Timur” merupakan konsekuensi dari faktor geografis, kultural, dan historis.

Untuk dapat memahami Orientalisme secara utuh, menurut Said, ada tiga pengertian (hal), yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, sangatlah keliru jika menyimpulkan bahwa dunia Timur pada dasarnya merupakan sebuah ide atau gagasan imajiner yang tidak memiliki realitas. Kedua, bahwa semua ide-ide, kebudayaan, hingga sejarah tidak mungkin mampu dipelajari dan dipahami secara sungguh-sungguh tanpa mempelajari kekuatan atau lebih tepatnya pembentukan dari kekuasaan itu sendiri. Ketiga, jangan pernah beranggapan bahwa struktur orientalisme tidak lebih dari struktur kebohongan atau merupakan mitos belaka, yang jika kebenaran tentangnya diungkapkan maka dengan mudah akan menghilang. Said meyakini bahwa orientalisme secara khusus lebih bermakna sebagai suatu tanda kekuasaan Atlantik-Eropa atas dunia Timur daripada sebagai

4 Edward W. Said, hal. 4-5


(17)

sebuah wacana murni dan jujur mengenai Timur (seperti yang sering dituduhkan, baik dalam karya akademis maupun kesarjanaan).6

Said dalam buku yang sama mengatakan bahwa tujuan dari penulisan buku Orientalism adalah untuk menunjukkan bahwa orientalisme yang terjadi secara sistematis tersebut merupakan bagian dari wacana kolonial. Dengan kata lain, orientalisme mendukung kolonialisme Eropa. Begitupun sebaliknya, kolonialisme Eropa atas negara-negara jajahan tidak akan terwujud tanpa dukungan orientalisme. Dengan demikian, Said ingin mengatakan bahwa pada dasarnya orientalisme dan kolonialisme itu sama-sama merupakan cara Barat untuk menegaskan kekuasaan kolonialnya atas negara-negara yang menjadi wilayah kekuasaan Barat.

Orientalisme sebagai sebuah gagasan memberikan gambaran tentang sosok Barat yang dianggap lebih superior dari Timur yang dianggap inferior. Melalui orientalisme, Barat berusaha untuk melegitimasi kekuasaannya atas dunia Timur dengan cara menguasai dunia Timur melalui ilmu pengetahuan yang telah diproduksi ulang oleh para intelektual Barat. Menurut Said, produksi ilmu pengetahuan Barat atas Timur dapat dengan mudah ditemukan dalam naskah-naskah literer dan buku-buku orientalis yang menggambarkan adanya perbedaan nyata antara dunia Barat dengan dunia Timur.

Dalam pandangan Said, melalui reproduksi ilmu pengetahuan orang-orang Barat yang telah mempelajari studi orientalisme akan merasa punya pengetahuan obyektif mengenai apa itu Orient (Timur) sehingga mereka menciptakan Timur,

6 Ibid, hal. 5-6


(18)

merekonstruksi citra tertentu tentang Timur yang seakan-akan citra tersebut merupakan suatu “kebenaran” (murni).

Bagi Said, berbagai pandangan obyektif orang-orang Barat dalam

memandang Timur bukanlah suatu bentuk “kebenaran” (murni), melainkan

sebuah konstruksi yang digunakan oleh para orientalis Barat untuk mendominasi, menata kembali, dan menghegemoni dunia Timur. Melalui ilmu pengetahuan orientalisme yang dipelajari oleh orang-orang Barat, para orientalis membawa pandangan abstrak mengenai dunia Timur yang seolah-olah menujukkan bahwa orang-orang Barat lebih tahu tentang dunia Timur melebihi orang-orang Timur sendiri.

Said mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang telah direproduksi Barat mampu melegitimasi kekuasaannya atas dunia Timur. Untuk membuktikan hal tersebut, Said lalu mengambil satu contoh kasus yang terjadi di Timur Tengah, yaitu pendudukan Inggris atas Mesir. Menurut Said, orang-orang Inggris tidak memahami pendudukan negaranya atas Mesir sebagai bentuk dari penjajahan, melainkan sebagai upaya untuk membantu bangsa Mesir memerintah dirinya sendiri.

Orang-orang Inggris merasa bahwa mereka mengenal orang-orang Mesir dengan baik, dan tahu betul apa yang dibutuhkan oleh bangsa Mesir agar menjadi bangsa yang maju. Orang-orang Barat meyakini bahwa ketika Inggris menduduki Mesir tujuannya bukanlah untuk menjajah bangsa Mesir, melainkan untuk membantu orang-orang yang ada di Mesir mendirikan pemerintahannya secara modern dengan cara menduduki Mesir.


(19)

Untuk menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan orientalisme mampu merubah cara pandang Barat dalam menilai di dunia Timur Said lalu mempelajari kutipan pidato dari salah satu anggota Parlemen Inggris bernama Arthur James Balfour yang menyampaikan orasinya di depan Majelis Rendah Inggris. Dalam pidatonya, Balfour menyampaikan bahwa pendudukan Inggris atas Mesir bukan dimaksudkan untuk menjajah bangsa tersebut, melainkan untuk membawa kebaikan bagi bangsa Mesir.

Dalam pidato yang dikutip oleh Said, Balfour mengatakan bahwa bangsa Mesir adalah bangsa yang besar. Akan tetapi, orang-orang pribumi di Mesir tidak memiliki kemampuan untuk memimpin negaranya sendiri. Oleh karena itu, menurut Balfour, Inggris memang harus menduduki Mesir agar bisa membantu orang-orang Mesir menyelenggarakan pemerintahannya di negara Timur Tengah tersebut. Dalam pidato yang disampaikan tanggal 13 Juni 1910, Balfour mengatakan:

First of all, look at the facts of the case. Western nations as soon as they emerge into history show the beginnings of those capacities for self government. Having merits of their own. You may look through the whole history of the Orientals in what is called, broadly speaking, the Fast, and you never find traces of self government. All their great centuries and they have been very great have been passed under despotisms, under absolute government. All their great contributions to civilisation and they have been great have been made under that form of government. Conqueror has succeeded conqueror, one domination has followed another, but never in all the revolutions of fate and fortune have you seen one of those nations of its own motion establish what we, from a Westren point of view, call self government. That is the fact. It is not a question of superiority and inferiority. I suppose a true Eastern sage would say that the working government which we have taken upon ourselves in Egypt and elsewhere is not a


(20)

work worthy of a philosopher that it is the dirty work, the inferior

work, of carrying on the necessary labour.7

Pernyataan Balfour dalam pidatonya di atas seperti yang dikutip oleh Said, berangkat dari asumsi bahwa Mesir memang harus diduduki oleh Inggris karena menurut pandangan Balfour, orang-orang Mesir tidak akan mampu untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri tanpa bantuan orang-orang Inggris. Bagi Balfour, kehadiran orang-orang Eropa di Mesir akan membantu orang-orang Mesir menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Untuk itu, Balfour kembali berkata:

Is it a good thing for these great nations, I admit their greatness that this absolute government should be exercised by us? I think it is a good thing. I think that experience shows that they have got under it far better government than in the whole history of the world they ever had before, and which not only is a benefit to them, but is undoubletedly a benefit to the whole of the civilised West. We are in Egypt not merely for the sake of the Egyptians, though we are there

for their sake; we are there also for the sake of Europe at large.8

Bagi Said, pernyataan sikap Balfour dalam pidatonya tentang penguasaan Inggris di Mesir sangatlah kompleks. Said menilai bahwa dalam pidatonya itu Balfour melupakan satu hal, yakni sikap orang-orang Mesir terhadap kehadiran orang Inggris. Mengenai hal ini, Balfour tidak menjelaskan apa-apa ataupun memberi bukti apakah orang-orang Mesir menghargai atau benar-benar menerima kebaikan yang diberikan oleh pendudukan kolonial Inggris. Bukannya memberi bukti, Balfaour justru menutup kemungkinan bagi orang-orang Mesir untuk berbicara mengenai dirinya sendiri.

7 Ibid, hal. 32-33


(21)

Dalam pandangan Said, Balfour benar-benar mengabaikan kerugian yang dialami orang-orang Mesir akibat kehadiran Inggris. Hal ini terjadi karena Balfour yakin bahwa orang Mesir sudah pasti akan menerima keberadaan orang-orang Inggris di negara mereka. Menurut Said, pidato yang disampaikan Balfour tentang Mesir di depan Parlemen Inggris yang disaksikan oleh orang-orang Inggris sendiri menunjukkan bahwa orang-orang Barat merasa diri lebih superior daripada orang-orang Timur yang mereka anggap inferior.

Menarik bahwa sikap-sikap orientalistik seperti itu tidak hanya terjadi di Timur Tengah, melainkan juga terjadi di negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Di Indonesia, sikap orientalistik pernah dilakukan oleh orang-orang Eropa pada masa kolonial, secara khusus pemerintah Hindia Belanda terhadap penduduk pribumi yang ada di wilayah Indonesia (dulunya Nusantara). Sikap orientalistik tersebut ditunjukkan dengan berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda saat mereka menjajah Indonesia. Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mencerminkan sikap orientalistik adalah dengan melaksanakan kebijakan kolonisasi.

Dalam pandangan pemerintah Hindia Belanda, kebijakan kolonisasi ini dilaksanakan atas pertimbangan bahwa sebagian besar penduduk pribumi yang ada di Pulau Jawa menderita kemiskinan akibat kebijakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel), yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830-1870).9 Kebijakan Tanam Paksa telah menyebabkan penderitaan bagi

9 Nyoman Kutha Ratna. Poskolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008, hal. 11


(22)

sebagaian besar penduduk pribumi yang dipekerjakan secara paksa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda demi mendapatkan keuntungan ekonomis.

Keprihatinan terhadap penduduk pribumi Indonesia yang dipekerjakan secara paksa oleh pemerintahan Kolonial Belanda pada akhirnya melahirkan Politik Etis yang merupakan politik balas budi terhadap penduduk pribumi Indonesia. Politik Etis pada dasarnya berakar pada masalah kemanusiaan, meskipun dalam pelaksanaannya politik ini juga digunakan untuk mencari keuntungan ekonomis. Dalam melaksanakan Politik Etis, ada tiga tujuan pokok yang hendak dicapai oleh pemerintahan Hindia Belanda. Tiga tujuan tersebut adalah10:

1. Edukasi, yakni memperluas bidang pengajaran dan pendidikan.

2. Irigasi (pengairan), yakni membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.

3. Emigrasi, yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi

Tampak bahwa kebijakan kolonisasi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda dilaksanakan atas pemahaman bahwa pemerintah Hindia Belanda merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh penduduk pribumi di Pulau Jawa agar bisa mengubah nasib mereka menjadi lebih sejahtera. Dengan melaksanakan kebijakan kolonisasi, pemerintah Hindia Belanda merasa bahwa kebijakan kolonisasi akan membantu orang-orang pribumi di Indonesia mengubah

10 M. C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005, hal. 327


(23)

kehidupan mereka yang tadinya miskin menjadi sejahtera dengan cara ikut program kolonisasi.

Menariknya, pada masa pascakolonial kebijakan kolonisasi pemerintah Belanda itu diadopsi oleh pemerintah Indonesia dan dilaksanakan secara besar-besaran oleh pemerintahan Orde Baru. Pada masa kemerdekaan Indonesia, program kolonisasi berganti nama menjadi program transmigrasi, tepatnya pada tahun 1948 oleh Kementerian Pembangunan dan Pemuda.11 Namun demikian, meskipun namanya diganti, kebijakan ini tetaplah berkaitan dengan usaha memindahkan penduduk dari daerah yang padat di Pulau Jawa menuju ke luar Pulau Jawa.

Dengan melanjutkan kebijakan transmigrasi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru sebenarnya telah melanjutkan kebijakan kolonial dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan demikian, di masa pascakolonial pemerintah Orde Baru telah melanjutkan kolonialisme bangsa Barat dengan tujuan untuk menguasai sumber daya alam-sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah-daerah tujuan transmigrasi yang ada di Indonesia.

Tesis ini ingin menunjukkan bahwa orientalisme di Indonesia terus berlanjut pada masa pascakolonial. Berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa pascakolonial, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, secara khusus pemerintah Orde Baru di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Menurut pemerintah Orde Baru, tujuan


(24)

dilaksanakannya program transmigrasi adalah untuk memenuhi tiga hal. Pertama, memindahkan penduduk dari Pulau Jawa menuju ke luar Pulau Jawa. Kedua, melaksanakan proyek-proyek pembangunan di daerah-daerah yang konon dianggap “tertinggal”. Ketiga, mensejahterakan seluruh penduduk yang mengikuti program transmigrasi.

Program transmigrasi pemerintah Orde Baru yang berlangsung di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, pada tahun 1990-an, menunjukkan bahwa pemerintah di Jakarta lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh penduduk lokal (khususnya orang-orang Dayak) di Melawi agar menjadi maju melebihi pengetahuan orang-orang Melawi sendiri. Bagi pemerintah Jakarta, program transmigrasi di Kabupaten Melawi tidak hanya bertujuan untuk memindahkan penduduk dari Pulau Jawa saja, melainkan juga bertujuan untuk membangun daerah-daerah “tertinggal” yang ada di Kabupaten Melawi.

Bagi pemerintah Orde Baru, program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi bukan untuk mencari keuntungan ekonomi semata, melainkan lebih dimaksudkan untuk membantu orang-orang Dayak membangun daerah-daerah mereka yang oleh pemerintah di Jakarta dianggap sebagai salah satu daerah “tertinggal” dalam hal pembangunan nasional. Dalam pandangan pemerintah di Jakarta, program transmigrasi adalah solusi untuk memajukan daerah-daerah “tertinggal” yang ada di Kabupaten Melawi.

Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi hanyalah salah satu contoh yang dapat menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru telah melanjutkan praktek-praktek kolonial di daerah-daerah transmigrasi yang ada di


(25)

Kabupaten Melawi. Kasus transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi juga menunjukkan bahwa praktek-praktek kolonial di Indonesia, yang dulunya dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, pada masa pascakolonial dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia sendiri, secara khusus pemerintah Orde Baru.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari penjelasan latar belakang masalah di atas, ada beberapa permasalahan yang bisa dikaji dalam penelitian tesis ini. Permasalahan itu dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan:

1. Bagaimana kolonialisme di Indonesia berlanjut pada masa pascakolonial, secara khusus di masa pemerintahan Orde Baru?

2. Apa wacana yang mampu melegitimasi kekuasaan pemerintah Orde Baru terhadap penduduk lokal (orang-orang Dayak) di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat?

3. Apakah wacana yang mengiringi kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru di Melawi mempunyai kesamaan dengan orientalisme yang terjadi terhadap Timur Tengah?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana telah disampaikan di depan dalam buku Orientalism, Edward W. Said menjelaskan bagaimana orang-orang Barat membicarakan orang-orang Timur. Dengan memakai konsep orientalisme, orang-orang Barat merasa dirinya lebih superior dari orang-orang Timur yang menurut mereka inferior. Karena


(26)

Barat merasa bahwa dirinya superior dari Timur, maka orang-orang Barat yang sedang menguasai dunia Timur tidak merasa bahwa mereka sedang menjajah dunia Timur. Orang-orang Barat justru merasa bahwa mereka sedang berjuang untuk membantu orang-orang Timur mendirikan pemerintahannya sendiri. Dengan kata lain, orang Barat merasa bahwa tanpa bantuan Barat, orang-orang di dunia Timur tidak akan mampu untuk mendirikan pemerintahannya sendiri.

Tesis ini memiliki beberapa tujuan, yaitu: pertama, memahami, mengetahui, menganalisis, serta mencari tahu apakah kolonialisme di Indonesia pada masa pascakolonial terus berlanjut atau tidak. Kedua, menunjukkan bahwa konsep orientalisme itu tidak hanya digunakan oleh orang-orang Barat untuk menilai dunia Timur, tetapi juga bisa digunakan oleh orang-orang Timur sendiri dalam menilai sesama orang Timur.

Ketiga, menunjukkan bahwa kolonialisme yang berlanjut di Indonesia pada masa pascakolonial, pelakunya bukanlah orang-orang Eropa pada umumnya (pemerintah kolonial Hindia Belanda), melainkan pelakunya adalah pemerintah Indonesia sendiri, secara khusus pemerintah Orde Baru. Keempat, menunjukkan bahwa dengan melanjutkan program transmigrasi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru telah bertindak sebagai agen kolonialisme baru dengan menjadikan suku Dayak di Kabupaten Melawi sebagai korbannya.


(27)

D. Pentingnya Penelitian

Penelitian tesis ini menjadi sangat penting bagi penulis karena teori Orientalisme Edward W. Said ternyata tidak hanya berlaku di negara-negara Timur Tengah (Mesir), melainkan juga berlaku di negara-negara Asia lainnya seperti Indonesia. Dengan kata lain, argumen Said mengenai orientalisme tidak hanya digunakan oleh orang-orang Barat dalam memandang dunia Timur, akan tetapi juga bisa digunakan oleh orang-orang Timur sendiri dalam memandang sesama orang Timur.

Bertolak dari gagasan-gagasan di atas, tesis ini ditulis dengan beberapa tujuan. Pertama, penelitian ini dapat menunjukkan bagaimana teori Orientalisme Edward W. Said tidak hanya berlaku di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir, akan tetapi juga berlaku di Indonesia. Kedua, tesis ini menjadi penting, karena berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaannya adalah penelitian ini tidak mengambil contoh kasus di negara-negara Timur Tengah, melainkan mengambil kasus program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Ketiga, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah kajian ilmu Humaniora yang dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri dalam mengembangkan Kajian Ilmu Budaya.

E. Tinjauan Pustaka

Di Indonesia, kajian tentang Orientalisme memang merupakan hal yang asing karena belum banyak orang yang meneliti hal tersebut. Akan tetapi, bukan berarti bahwa tidak ada kajian yang menjelaskan mengenai Orientalisme di


(28)

Indonesia. Di kalangan akademisi sendiri, sejauh ini sudah ada karya tulis tesis yang membicarakan mengenai Orientalisme. Hasan Basri (2010), menulis tesis berjudul Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Buku Orientalisme Karya

Edward Said.12 Meskipun demikian, fokus penelitian Basri pada akhirnya

menunjukkan dua hal. Pertama, Basri menunjukkan bahwa para intelektual Muslim di Indonesia sulit untuk menerima perspektif kritis yang disampaikan oleh Said dalam buku Orientalisme. Kedua, para peneliti di Indonesia, secara khusus kaum intelektual Muslim, cenderung menerima dan mengafirmasi karya orientalis Barat.

Dalam pandangan Basri, tujuan utama penulisan tesisnya adalah untuk melihat respon intelektual Muslim di Indonesia terhadap buku Orientalisme Said. Untuk melihat respon intelektual muslim Indonesia, Basri dalam tesisnya menggunakan teori empat wacana Lacanian (Lacanian four discourses).13 Akan tetapi, fokus Basri dalam penelitian tesis ini hanya ingin melihat bagaimana kaum Muslim terdidik di Indonesia merespon buku karya Edward Said serta melihat bagaimana implikasi buku Said terhadap kaum muslim Indonesia terdidik.

Hasil penelitian tesis Basri merupakan hasil karya tulis orang Indonesia dalam merespon buku Orientalisme karya Edward Said. Meskipun demikian, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, baik itu yang pernah diteliti oleh para akademisi Barat maupun oleh peneliti Indonesia. Dalam penelitian ini, penulis ingin menguraikan bahwa argumen Said dalam bukunya

12 Tesis Hasan Basri. Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Buku Orientalisme Karya Edward Said. Mahasiswa IRB, 2010.

13 Tesis Hasan Basri. Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Buku Orientalisme Karya Edward Said. Mahasiswa IRB, 2010. Abstrak, hal. xii


(29)

Orientalism dapat diperluas dengan mengambil contoh kasus di Indonesia. Dalam kasus yang terjadi di Indonesia, penelitian ini ingin menunjukkan bahwa sikap orientalistik ternyata juga bisa dilakukan oleh orang-orang Timur sendiri terhadap sesama orang Timur. Dalam buku Orientalism, Said menjelaskan bagaimana orang-orang Barat memandang Timur dan membicarakannya. Oleh karena itu, untuk memasuki wilayah Indonesia maka penulis akan menggunakan beberapa literatur mengenai Indonesia yang ditulis oleh para peneliti Barat.

Sejauh ini sudah banyak para peneliti Barat yang menulis tentang Indonesia. Namun, dalam penelitian ini penulis hanya akan menggunakan beberapa literatur yang penulis anggap dapat membantu melihat permasalahan yang akan penulis teliti. Simon Philpott (2000), misalnya menulis Rethinking Indonesia:

Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity.14 Menurut Philpott, Indonesia

di masa kolonial dikuasai oleh orang-orang Eropa seperti, Portugis, Inggris, dan Belanda yang menggunakan pendekatan filosofis, sedangkan di masa pascakolonial hegemoni atas Indonesia yang awalnya dipengaruhi oleh Belanda digantikan oleh Amerika Serikat dan Australia dengan menggunakan pendekatan berbeda dari penjajah Belanda, yakni social sciences (akademis).

Dengan berakhirnya kolonialisme Eropa (Belanda) atas Indonesia, tidak membuat bangsa Indonesia benar-benar terbebas dari pengaruh asing. Hal ini tampak dari terus direproduksinya ilmu pengetahuan Barat di negara-negara Asia yang baru saja merdeka, misalnya Indonesia. Sebagai sebuah negara yang baru saja merdeka, bangsa Indonesia di masa pascakolonial memang telah terbebas dari

14 Simon Philpott. Rethingking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press LTD. 2000.


(30)

pengaruh pemerintah Belanda. Namun, pengaruh pemerintah Belanda atas Indonesia di masa pascakolonial diambil alih oleh pemerintah Amerika Serikat dengan cara menanamkan gagasan-gagasan Barat di bidang ekonomi dan kajian politik.

Tujuan pemerintah AS menanamkan gagasan-gagasan Barat di Indonesia adalah untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh komunis dan untuk menguasai kembali Indonesia. Untuk melaksanakan tujuan tersebut, pemerintah AS mendirikan lembaga studi Ford Foundation yang bertugas untuk mengirim para ilmuan Barat ke Indonesia. Selain bertugas mengirim ilmuan Barat ke Indonesia, lembaga ini juga bertugas mengirim para pelajar Indonesia untuk belajar di universitas-universitas yang ada di AS.

Menurut Philpott, Ford Foundation tidak hanya bertugas untuk mengirim para ilmuan Barat ke Indonesia, melainkan juga ikut mendanai pendirian Modern Indonesia Project di Cornell University yang oleh Philpott kajian ini bisa dikatakan sebagai program studi tentang Indonesia paling berpengaruh selama empat puluh tahun terakhir. Untuk menunjukkan hal tersebut, Philpott lalu mengutip pernyataan Kahin yang mengatakan bahwa pengaruh intelektual Barat atas Indonesia sudah tidak perlu lagi diragukan:

(e)ven Indonesian universities must use Cornell‟s elite-oriented studies to

teach post-independence politics and history…”Most of the people at the

university came from essentially bourgeois or bureaucratic families”, recalls Kahin. “They knew precious little of their society”.15

15 Simon Philpott. Rethingking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press LTD. 2000, hal. 119


(31)

Tampak jelas, pernyataan Kahin yang dikutip oleh Philpott menunjukkan bahwa hanya sedikit para elit Indonesia yang mengetahui tentang kehidupan orang-orang di Indonesia dalam konteks diskursus baru setelah berakhirnya Perang Dunia II. Namun, menurut Philpott, justru dari asumsi inilah genealogi orientalis dari studi kawasan terlihat jelas. Dalam pandangan Philpott, cara tradisional bisa digunakan untuk mengetahui bahwa “sejarah” tunduk pada ilmu -ilmu sosial yang dianggap lebih superior.16

Selain itu, Philpott juga menyoroti reaksi kaum elit Indonesia dalam menyikapi urusan pendanaan Ford Foundation. Dalam buku yang sama, Philpott memberikan ilustrasi bagaimana ketika presiden Soekarno mengeluhkan perubahan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menjadi „sekolah ekonomi, statistik, dan administrasi bisnis yang bergaya AS, Presiden Soekarno justru mendapat perlawanan dari lembaga Ford Foundation:

„When Sukarno threatened to put an end to Western economics‟ says John

Howard, long-time director of Ford‟s International Training and

Research Program, „Ford threatened to cut off all programs, and that changed Sukarno‟s direction.‟17

Kutipan di atas menunjukkan bagaimana bangsa Indonesia yang sudah merdeka dari tangan penjajahan Belanda, di masa pascakolonial ternyata sangat bergantung pada bantuan pemerintah AS. Tampak jelas pula bahwa pendirian lembaga Ford Foundation dimaksudkan untuk menanamkan pengaruh Barat atas Indonesia dengan cara menanamkan gagasan-gagasan Barat seperti pembangunan ekonomi dan politik yang berbasis ke AS. Pemberian beasiswa bagi pelajar

16Ibid, hal. 119 17 Ibid, hal. 119


(32)

Indonesia serta pengiriman para ahli AS ke Indonesia merupakan bagian dari usaha pemerintah AS untuk mereproduksi ilmu pengetahuan Barat di Indonesia.

George McTurnan Kahin (1970), menulis Nationalism and Revolution in

Indonesia.18 Dalam Bab I bukunya, Kahin menguraikan bahwa pengaruh

orang-orang Belanda terhadap kehidupan sosial penduduk pribumi di Indonesia dimulai sejak perusahaan Belanda mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) tahun 1602. Tujuan dari pendirian ini adalah untuk memonopoli ekspor-impor rempah-rempah dari Indonesia (dulunya Nusantara). VOC memusatkan kegiatannya di Pulau Jawa dengan cara ikut campur dalam urusan politik dan ekonomi. Namun pada tahun 1798 perusahaan VOC mengalami kebangkrutan akibat ulah para pejabatnya yang melakukan korupsi. Tahun 1799 perusahaan VOC ditutup dan wilayah kekuasaannya diambil alih oleh pemerintahan Belanda.

Setelah VOC ditutup, pemerintahan Belanda membuat kebijakan baru yang bernama Cultivation System (Tanam Paksa) yang mewajibkan rakyat pribumi untuk membayar pajak pada pemerintahan Belanda. Sistem ini pada akhirnya hanya menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi. Selanjutnya, pada tahun 1901, berdiri sebuah perusahaan dagang Islam bernama Sarekat Dagang Islam, yang awalnya hanya mengurusi perdagangan namun dalam perkembangannya mengarah pada tujuan politik. Jadi, menurut Kahin, Sarekat Dagang Islam adalah gerakan nasionalis pertama yang bersifat anti-kolonial. Setelah berdirinya perusahaan dagang Islam, pada tahun 1906-1908 berdiri sebuah organisasi nasionalis pertama, yaitu Boedi Utomo.

18George McTurnan Kahin. Nationalism and Revolution In Indonesia. London: Cornell


(33)

Bradley R. Simpson (2010) menulis buku Economists with Guns: Amerika

Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru.19 Dalam

bukunya Simpson menguraikan bagaimana Indonesia pascakolonial dipengaruhi oleh Amerika Serikat (AS) dalam hal politik, ekonomi, maupun budaya. Buku karya Simpson ini menguraikan bagaimana pada masa pemerintahan Eisenhower, AS berusaha untuk mengubah arah politik Indonesia dengan cara menggulingkan presiden Soekarno yang oleh AS dianggap cenderung sosialis. Buku ini juga menguraikan bagaimana usaha AS mengusai Indonesia karena dipengaruhi oleh Perang Dingin. Pada masa Perang Dingin, tujuan utama bantuan AS pada Indonesia menurut Simpson bersifat sangat politis. Tujuan politis ini bertujuan untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh Uni Soviet.

Dalam penelitian ini, penulis ingin menunjukkan bahwa kolonialisme yang terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial tidak lagi dilakukan oleh orang-orang Barat pada umumnya, melainkan dilakukan oleh orang-orang-orang-orang Indonesia sendiri terhadap sesama orang Indonesia. Berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa pascakolonial, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia dan dilanjutkan secara besar-besaran oleh pemerintah Orde Baru.

Di Indonesia sendiri pada masa pascakolonial, kajian mengenai program transmigrasi bukanlah hal yang asing. Sejauh ini sudah banyak para peneliti yang menulis tentang kajian transmigrasi di Indonesia. Namun, di dalam penelitian ini

19 Bradley R. Simpson. Ekonomist With Guns: Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2010


(34)

penulis hanya akan menggunakan beberapa literatur yang menurut penulis dapat membantu dalam melihat persoalan transmigrasi di Indonesia.

Sri Edi Swasono dan Masri Singarimbun (1986), misalnya menulis

Transmigrasi di Indonesia (1905-1985).20 Mereka menyoroti permasalahan yang

terjadi dalam program transmigrasi di Indonesia. Permasalahan transmigrasi yang terjadi di Indonesia diakibatkan oleh adanya kontak budaya antara penduduk pendatang dengan penduduk lokal. Kontak budaya tersebut diakibatkan adanya pertemuan budaya baru dengan budaya lama. Jika tidak diatasi dengan baik, tidak jarang akan menimbulkan gesekan antara penduduk pendatang dengan penduduk lokal. Berbagai gesekan bisa terjadi karena faktor kesenjangan sosial antara penduduk pendatang dengan penduduk pribumi.

Menurut Swasono, biasanya warga pendatang kehidupan ekonominya jauh lebih baik dari warga lokal. Sebagai contoh, Swasono dan Singarimbun dalam buku yang sama melakukan penelitian dengan mengambil lokasi transmigrasi di wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Di wilayah ini, program transmigrasi telah berhasil mengubah nasib penduduk pendatang, sedangkan untuk penduduk lokal program transmigrasi dianggap gagal menyejahterakan penduduk lokal.

H. J. Heeren (1979) menulis buku berjudul Transmigrasi di Indonesia.21 Heeren membahas persoalan transmigrasi yang terjadi di Indonesia, secara khusus di Sumatera Selatan pada tahun 1952-1958. Penjelasannya dimulai dengan mempertanyakan mengapa perlu adanya program transmigrasi di Indonesia.

20 Sri Edi Swasono, Masri Singarimbun. Tranmigrasi di Indonesia (1905-1985). Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.


(35)

Menurut Heeren, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemerintahan melanjutkan program transmigrasi. Pertama, jumlah penduduk pulau Jawa bertambah pesat, namun sebagian besar penduduknya menderita kemiskinan. Kedua, pembangunan nasional dianggap tidak merata ke setiap daerah karena hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Oleh karena itu, pemerintahan melanjutkan program transmigrasi dengan tujuan dapat memindahkan penduduk sekaligus menyediakan lapangan kerja baru di lokasi transmigrasi. Namun, menurut Heeren, program transmigrasi yang sudah berlangsung sejak tahun 1905 hingga tahun 1974 di masa pemerintahan Orde Baru tidak berhasil mengatasi jumlah penduduk pulau Jawa-Madura dan Bali yang setiap tahun terus meningkat.

Rukmadi Warsito dkk (1984), menulis Transmigrasi: dari Daerah Asal

sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman.22 Rukmadi Warsito dkk

menjelaskan berbagai persoalan yang terjadi dalam kebijakan transmigrasi di Indonesia. Menurut Warsito, ada tiga persoalan mendasar yang terjadi dalam pelaksanaan program transmigrasi di Indonesia. Pertama, permasalahan dengan daerah asal para transmigrasi. Kedua, benturan sosial budaya antara penduduk pendatang dengan penduduk lokal. Ketiga, kerja sama dengan dinas terkait yang berhubungan dengan kebijakan transmigrasi tidak maksimal. Rukmadi dkk dalam buku yang sama menjelaskan bahwa kebijakan transmigrasi terjadi karena permasalahan sosial masyarakat di pulau Jawa-Madura dan Bali yang sudah terjadi sejak masa kolonial Belanda. Masalah kemiskinan dan kurangnya lahan untuk pertanian memaksa pemerintahan Hindia Belanda menjalankan Politik Etis

22 Rukmadi Warsito dkk. Transmigrasi Dari Daerah Asal Sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman. Jakarta: CV. Rajawali, 1984


(36)

yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan sosial-ekonomi yang dialami masyarakat pedesaan Jawa. Untuk itu pemerintahan Hindia Belanda melaksanakan program ini dengan tujuan dapat mengatasi permasalahan sosial masyarakat Jawa di pedesaan.

Menurut Warsito, kebijakan emigrasi telah dilaksanakan pada tahun 1905 melalui suatu program yang diberi nama kolonisasi. Tujuan dari program ini adalah untuk mengatasi kemiskinan, sekaligus untuk mengatasi kepadatan penduduk yang ada di pulau Jawa-Madura dan Bali. Di masa pemerintahan Orde Baru, program ini diadopsi dan dilanjutkan oleh pemerintahan. Tujuan pemerintahan Orde baru melanjutkan program ini adalah untuk mempercepat pembangunan daerah yang ada di Indonesia. Rukmadi dkk, dalam buku yang sama mengutip pidato presiden Soeharto di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berlangsung pada tanggal 16 Agustus 1975. Dalam pidatonya, Soeharto menyampaikan bahwa ada empat tujuan dari transmigrasi antara lain:

Pertama, transmigrasi bertujuan untuk memindahkan penduduk dari pulau Jawa, Bali, Madura, dan Lombok ke pulau-pulau lain di Indonesia. Kedua, transmigrasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di daerah-daerah yang kurang padat penduduknya dan membutuhkan tenaga kerja. Ketiga, transmigrasi bertujuan untuk memperluas lahan pertanian agar produksinya dapat ditingkatkan. Keempat, transmigrasi bertujuan untuk memperkuat keamanan dan pertahanan nasional.23

Bertolak dari uraian buku-buku di atas, tampak bahwa penelitian tesis ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian tesis ini tidak akan

23 Rukmadi Warsito dkk. Transmigrasi Dari Daerah Asal Sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman. Jakarta: C.V. Rajawali. 1984, hal. vii.


(37)

menguraikan menguraikan tentang kajian transmigrasi di Indonesia, melainkan hanya memakai program transmigrasi sebagai salah satu contoh yang bisa menunjukkan bahwa kolonialisme di Indonesia terus berlanjut pada masa pascakolonial, secara khusus di masa pemerintahan Orde Baru.

F. Kerangka Teoritis

F.1. Teori Orientalisme Edward W. Said

Tesis ini akan menggunakan teori orientalisme Edward W. Said untuk dapat meneropong beberapa hal. Pertama, dengan menggunakan teori Orientalisme Said, akan tampak bahwa orientalisme tidak hanya terjadi di negara-negara Timur Tengah saja, melainkan juga terjadi di negara-negara lain seperti Indonesia. Kedua, dengan menggunakan teori Orientalisme Said, akan tampak pula bahwa sikap orientalistik ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap orang Timur saja, melainkan juga dapat dilakukan oleh orang-orang Timur sendiri terhadap sesama orang Timur.

Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat hanyalah salah satu contoh yang bisa menunjukkan bahwa orientalisme itu benar-benar terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial. Meskipun demikian, orientalisme yang tercermin dalam program transmigrasi di Kabupaten Melawi, berbeda dari orientalisme yang terjadi di Timur Tengah. Perbedaannya adalah pelaku dari tindakan orientalistik di Indonesia bukan lagi orang-orang Barat pada umumnya, melainkan baik pelaku maupun korbannya adalah sama-sama orang-orang Timur sendiri.


(38)

Penggunaan teori Orientalisme Said juga dimaksudkan untuk melihat apakah cara pandang pemerintah Indonesia (Orde Baru) di Jakarta memiliki kesamaan dengan cara pandang orientalistik yang dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap orang-orang di Timur Tengah. Orientalisme yang terjadi di negara-negara Timur Tengah telah menunjukkan bagaimana orang-orang Barat mewacanakan orang-orang Timur. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan kebijakan transmigrasi yang berlangsung di Indonesia, secara khusus di Kabupaten Melawi, yakni dapat menunjukkan bagaimana orang-orang Timur yang diwakili oleh pemerintah Orde Baru mewacanakan sesama orang Timur (orang-orang Dayak).

Wacana tentang orang Dayak dapat dengan mudah ditemukan dalam buku-buku penelitian yang sudah ada sejak masa kolonial hingga pascakolonial. Dari hasil penelitian buku-buku tersebut dapat diketahui bahwa orang-orang Dayak memiliki karakter maupun sifat yang tidak jauh berbeda dari karakter orang-orang Timur yang ada di negara-negara Timur Tengah. Misalnya, orang-orang Dayak dalam banyak buku hasil penelitian disebutkan sebagai salah satu suku “tertinggal”, yang manusianya masih dianggap “primitip”, terbelakang, dan belum beradab.

Sebagaimana telah kita lihat dalam buku Orientalism, Said menjelaskan bahwa orientalisme adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan pengetahuan tentang dunia Timur yang diteliti oleh Barat. Menurut Said, pengetahuan tentang Timur yang dipahami oleh orang-orang Barat mereka peroleh dari karya tulis intelektual Barat yang meneliti tentang dunia Timur. Hasil penelitian tersebut


(39)

dengan mudah dapat dijumpai dalam buku-buku, novel, laporan-laporan perjalanan, teks-teks orientalis, media televisi maupun karya sastra lainnya. Dengan kata lain menurut Said, orang-orang Barat dapat mengetahui seperti apa orang-orang Timur itu hanya dengan membaca karya-karya tulis orientalis.

Untuk mengkaji ulang orientalisme, Said menggunakan gagasan Foucault tentang wacana (discourse) dalam buku The Archeology of Knowleadge dan dalam buku Discipline and Punish. Gagasan Foucault tentang wacana digunakan Said untuk mengidentifikasi kajian orientalisme. Menurut Said, tanpa mengkaji orientalisme sebagai suatu diskursus, akan sangat sulit untuk memahami orientalisme sebagai suatu disiplin keilmuan yang bekerja secara sistematis, yang bersamaan dengannya kebudayaan Eropa mampu mengatasi bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, ilmiah dan imajinatif yang berlangsung sejak masa pascapencerahan.24

Orientalisme, bagi Said, merupakan sebuah diskursus yang tidak hanya berkaitan dengan satu kekuasaan politis saja, melainkan juga dihasilkan melalui pertukaran berbagai jenis kekuasaan. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan yang dibongkar oleh Said menunjukkan bahwa pengetahuan yang diciptakan oleh Barat telah berhasil merekonstruksi pikiran orang-orang Barat dalam melihat dunia Timur. Melalui wacana orientalis yang merupakan bagian dari wacana kolonial, orang-orang Barat ketika menjajah negara-negara Timur merasa bahwa mereka lebih superior dari Timur yang dianggap inferior karena menjadi daerah jajahan bangsa Barat.

24 Edward W. Said, hal. 3


(40)

Menurut Said, ada relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana Orientalisme. Oleh karena itu, Said lalu membaginya ke dalam empat jenis kekuasaan. Pertama, kekuasaan politis (pembentukan kolonialisme dan imperialisme). Kedua, kekuasaan intelektual (mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain). Ketiga, kekuasaan kultural (kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya Timur memiliki kategori estetika kolonial, yang dengan sangat mudah bisa kita jumpai di negara India, Mesir dan negara-negara bekas koloni lainnya). Keempat, kekuasaan moral (apa yang baik dilakukan dan tidak baik dilakukan oleh Timur). Empat jenis kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme menunjukkan bahwa dunia Timur dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi Timur yang sesuai dengan standar Barat.25

Dalam pandangan Said, melalui kajian orientalisme, seorang yang berpikir secara orientalis akan merasa bahwa dirinya lebih tahu tentang dunia Timur dibandingkan dengan orang-orang Timur itu sendiri. Seorang orientalis akan menganggap Timur sebagai objek dari kajiannya. Untuk membuktikan hal tersebut, Said lalu memberi contoh bahwa seorang orientalis yang melakukan perjalanan wisata (ziarah) ke negara-negara Timur seperti Mesir, India, Afrika dan negara-negara Asia lainnya akan selalu membawa pandangan yang abstrak bahwa mereka sudah mengetahui mengenai peradaban negara tersebut. Pandangan semacam ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka terima dari membaca naskah-naskah, teks-teks dan literatur yang menceritakan tentang dunia Timur, sifat-sifat dari manusianya dan karakteristik yang dimiliki orang-orang Timur.

25 Ibid


(41)

Dengan membaca teks-teks orientalis, orang-orang Barat akan mengetahui seperti apa karakter serta sifat-sifat dari orang Timur. Said dalam bukunya yang sama lalu mengutip pernyataan Lord Cromer yang mengatakan bahwa “bangsa -bangsa Timur pada hakikatnya berwatak platonis,26 yang bisa dikaji, dipahami atau diekspos, bahkan oleh seorang orientalis (atau penguasa bangsa-bangsa Timur) sekalipun.”27 Pernyataan Cromer seperti yang dikutip Said menunjukkan bahwa dianggap ada perbedaan signifikan antara orang-orang Barat dengan orang Timur. Perbedaannya antara lain menyangkut soal kecerdasan dan pemikiran. Orang-orang Barat, kata Cromer, adalah penalar yang baik. Pengetahuan mereka mengenai ilmu pengetahuan tidak ada yang meragukannya. Orang Barat memiliki pemikiran yang jenius dan sangat skeptis. Pemahaman orang Barat dalam melihat sesuatu selalu menuntut bukti sebelum meyakini kebenarannya.

Orang-orang Timur menurut Cromer, tidak bisa berpikir dengan baik. Kemampuan mereka mengenai logika tidak ada yang baik. Meskipun sejarah mencatat bahwa orang-orang Arab kuno memiliki ilmu dialektika yang tinggi, namun keturunan mereka tidak mewarisi kemampuan ini. Mereka tidak mampu mengambil sebuah kesimpulan dari pernyataan yang sangat sederhana sekalipun. Mereka bukan pemikir yang cerdas. Dalam menjelaskan sesuatu biasanya akan sangat panjang lebar dan tidak jelas. Bahkan saat penjelasan mereka diuji, orang-orang Timur akan mengalami kesulitan untuk menjawabnya. Keterbatasan yang

26 Yang saya maksud dengan platonis (platonic essence), adalah semacam esensi yang tetap, tidak berubah (sifat ketimuran yang akan selalu terwujud kapanpun dan dimanapun di dunia Timur)


(42)

mereka miliki membuat mereka orang-orang Timur kelabakan jika pernyataan mereka diuji.

Orang-orang Timur adalah makhluk yang mudah dikecoh, yang tidak memiliki kemampuan untuk berusaha sendiri serta tidak memiliki inisiatif dalam mengatasi masalah. Orang Timur dianggap suka “menjilat”, penuh dengan kepura-puraan, licik serta tidak menyenangi binatang. Orang-orang Timur tidak mengerti peradaban modern. Sebagai contoh, jika mereka berjalan di jalan raya dan trotoar, otak mereka yang bermasalah tidak mampu untuk memahami apa yang bisa dipahami oleh otak orang-orang Eropa yang cerdas bahwa sesungguhnya trotoar dan jalan raya itu diciptakan untuk pejalan kaki.

Pernyataan Cromer di atas, seperti yang dikutip Said, hanyalah salah satu contoh bagaimana orang-orang Barat menilai buruk orang-orang Timur. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika orang-orang Barat merasa diri lebih superior dari orang-orang Timur yang mereka anggap inferior. Dengan demikian, tampak jelas bahwa wacana orientalisme juga berfungsi sebagai alat untuk melegitimasi kolonialisme.

F.2. Orientalisme dan Wacana Kolonial

Ania Loomba dalam bukunya Colonialism/Postcolonialism telah menjelaskan bahwa sifat dari pengetahuan itu tidak polos, namun sangat berkaitan dengan operasi-operasi kekuasaan.28 Menurut Loomba, Said mencoba untuk menguraikan kembali bagaimana kajian formal tentang dunia Timur (yang


(43)

sekarang disebut Timur Tengah) dengan cara menggunakan naskah-naskah kunci literer dan kultural, dengan mencoba mengkonsolidasikan cara-cara tertentu untuk melihat, memikirkan, dan membantu berfungsinya kekuasaan kolonial. Apa yang terjadi bukanlah materi yang telah dibahas oleh analis tradisional mengenai kolonialisme, namun saat ini itu semua bisa terlihat sangat penting dalam pembentukan serta berfungsinya masyarakat-masyarakat kolonial yang terjadi dengan adanya buku Orientalism serta perubahan perspektif tentang ideologi dan budaya.

Dalam pandangan Loomba, buku Orientalism karya Said bisa dikatakan mampu untuk mengantarkan pada suatu jenis studi baru atas kolonialisme. Loomba mengutip peryataan Said yang mengatakan bahwa penggambaran “Timur” dalam berbagai buku, naskah-naskah literer Eropa, kisah-kisah perjalanan, dan tulisan-tulisan Orientalis lainnya telah membantu terciptanya suatu dikotomi antara Eropa dan wilayah-wilayah lainnya, suatu dikotomi yang mampu menempati posisi sentral dalam pembentukan budaya Eropa dalam mempertahankan serta menyebarluaskan hegemoni Eropa atas negeri-negeri lain di luar Eropa. Tugas utama yang dilakukan oleh Said adalah menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang orang-orang non-Eropa adalah bagian dari sebuah proses untuk mempertahankan kekuasaan atas mereka; menjadikan sebuah status “pengetahuan” itu didemistifikasi, serta batas-batas antara yang ideologis dengan yang objektif dibuat kabur.


(44)

Menurut Loomba, semua ilmu pengetahuan yang dimiliki para orientalis yang sangat mengesankan itu disaring melalui bias kultural mereka karena “studi” atas Timur itu bersifat tidak objektif melainkan bersifat:

A political vision of reality whose structure promoted the difference

between the familiar (Europe, the West, „us‟) and the strange (the

Orient, the East, „them‟). When one uses categories like Oriental and Western as both the starting and the end point of analysis, research, public policy. The result is usually to polarize the distinction-the Oriental becomes more Oriental, the Westerner more Western-and limit the human encounter between different cultures, traditions, and societies.29

Kutipan pernyataan Loomba di atas menunjukkan bahwa analisis wacana memungkinkan kita menelusuri hubungan-hubungan antara yang kelihatan dengan yang tersembunyi, yang dominan dengan yang marjinal, gagasan-gagasan dengan lembaga-lembaga. Semuanya dapat memungkinkan kita melihat bagaimana kekuasaan itu bekerja melalui bahasa, sastra, budaya, dan semua lembaga-lembaga pemerintahan yang telah mengatur kehidupan kita sehari-hari. Dengan menggunakan pengertian yang diperluas mengenai kekuasaan ini, Said mampu meninggalkan pemahaman sempit dan teknis tentang otoritas kolonial serta menunjukkan bagaimana otoritas ini berfungsi dengan menghasilkan suatu “wacana” tentang Timur, yaitu dengan melahirkan struktur-struktur pemikiran yang terdapat dalam produksi literer dan artistik, dalam tulisan-tulisan politis dan ilmiah, terutama dalam penciptaan studi-studi Timur.30

Dalam pandangan Loomba, tesis dasar yang ingin disampaikan oleh Said dalam bukunya Orientalism adalah bahwa Orientalisme atau studi mengenai dunia

29 Ibid, hal. 45 30 Ibid, hal. 47


(45)

Timur, pada akhirnya merupakan suatu visi yang bersifat politis mengenai realitas yang wilayah strukturnya mengemukakan suatu perlawanan biner antara yang dikenal (Eropa, Barat, “kita”) dengan yang asing (Orient, Timur, “mereka”). Said menunjukkan bahwa perlawanan ini menjadi sangat penting bagi konsepsi diri Eropa. Said memberi contoh jika rakyat terjajah itu irasional, maka orang-orang Eropa disebut rasional. Selanjutnya, jika yang pertama tidak beradab, sensual, dan malas, Eropa adalah peradaban itu sendiri, dengan nafsu seksual yang terkendali dan etik dominannya adalah kerja keras. Dengan kata lain, jika Timur itu statis, Eropa dilihat berkembang dan maju ke depan, dan Timur harus feminin agar Eropa bisa menjadi maskulin.

Dalam pandangan Loomba, orientalisme telah menunjukkan sejauh mana pengetahuan tentang Timur yang dihasilkan oleh orang-orang di Eropa merupakan penggiring ideologis kekuasaan kolonial. Menurut Loomba, buku Orientalism karya Edward Said bukanlah berisi tentang budaya-budaya non Barat melainkan tentang pandangan Barat terhadap budaya-budaya di luar Eropa dalam disiplin penelitian orientalisme.31 Loomba mengatakan bahwa Said mencoba untuk menunjukkan bagaimana pandangan Barat atas Timur diciptakan bersamaan dengan penetrasi yang dilakukan orang-orang Eropa ke wilayah “Timur Dekat” serta bagaimana hal tersebut mendapat dukungan dari berbagai disiplin ilmu lain seperti filologi, sejarah, antropologi, filsafat, arkeologi, dan sastra.

Loomba mengatakan bahwa orientalisme memakai konsep wacana untuk menata kembali studi mengenai kolonialisme. Buku Said, menurut Loomba,


(46)

melihat bagaimana sebuah studi formal atas “Timur” (yang saat ini disebut Timur Tengah) bersama dengan naskah-naskah kunci literer dan kultural, mengkonsolidasi cara-cara tertentu untuk melihat serta memikirkan segala sesuatu yang pada akhirnya akan membantu berfungsinya kekuasaan kolonial. Semua ini bukanlah naskah-naskah yang telah dibahas oleh para analis tradisional tentang kolonialisme. Namun, saat ini hal tersebut bisa dilihat sangat penting sebagai pembentukan masyarakat kolonial yang dihasilkan oleh buku orientalisme serta perubahan pandangan tentang ideologi dan budaya. Loomba mengutip tulisan Said tentang naskah-naskah yang diberi:

The authority of academics, institutions, and government. Most important, such texts can create not only knowledge but also the very reality they appear to describe. In time such knowledge and reality produce a tradition, or what Michel Foucault calls a discourse, whose material presence or weight, not the originality of a given author, is

really responsible for the texts produced out of it.32

Pada akhirnya, orientalisme menurut Loomba akan mampu mengantarkan suatu jenis studi baru atas kolonialisme. Hal ini disebabkan oleh penggambaran-penggambaran “Timur” dalam naskah-naskah literer Eropa dan kisah perjalanan, serta tulisan-tulisan lain telah membantu terciptanya suatu dikotomi antara Eropa dan “pihak-pihak lainnya” di mana dikotomi ini mampu menempati posisi sentral dalam pembentukan budaya Eropa, serta mempertahankan dan memperluas hegemoni Eropa atas negeri-negeri lainnya.

Leela Gandhi (1998), dalam buku Postcolonial Theory: A Critical Introduction, mengatakan bahwa Orientalisme adalah buku pertama dalam suatu trilogi yang dicurahkan untuk mengeksplorasi hubungan historis yang tidak


(47)

seimbang antara dunia Islam di Timur Tengah dengan imperialisme Eropa dan Amerika di sisi lainnya.33

Menurut Gandhi, pada dasarnya orientalisme merupakan kumpulan yang berisi suatu pemahaman unik tentang imperialisme dan kolonialisme yang merupakan sikap kultural dan efistemologis orang-orang Barat berdasarkan kebiasaan mereka untuk mendominasi dan memerintah daerah-daerah yang berada jauh dari wilayah Eropa. Untuk mempertegas penyataannya Gandhi lalu mengutip tulisan Said dalam buku Culture and Imperialism yang mengatakan:

Neither imperialism nor colonialism is a simple act of accumulation and acquisition. Both are suported and perhaps even impelled by impressive ideological formations which include notions that certain tertitories and people require and beseech domination, as well as

forms of knowledge affiliated with that domination (Said 1993, p. 8).34

Tulisan Said di atas, menurut Gandhi, ingin menunjukkan bahwa orientalisme menjadi bagian tak terpisahkan dari kolonialisme. Dengan kata lain, orientalisme menjadi bagian dari terbentuknya “formasi idiologi” yang mendukung dan melatarbelakangi terjadinya kolonialisme. Bagi Gandhi, orientalisme telah berhasil menempatkan posisi orang-orang Eropa berada di atas posisi orang-orang Timur. Bagi orang-orang Eropa yang menduduki daerah-daerah Timur, mereka tidak merasa bahwa orang-orang Eropa sedang mendominasi orang Timur, melainkan memang orang-orang Timur yang menginginkan untuk didominasi oleh orang-orang Eropa.

33Leela Gandhi, hal. 66.


(48)

G. Teknik Pengumpulan Data G.1. Lokasi Penelitian

Penelitian tesis ini mengambil lokasi transmigrasi di Desa Satuan Pemukiman (SP) Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat. Alasan pemilihan lokasi ini karena memperhitungkan kemudahan untuk akses mencapai tempat tujuan penelitian. Alasan lain dari pemilihan lokasi transmigrasi ini adalah untuk menunjukkan bahwa kebijakan transmigrasi yang dilaksankan oleh pemerintah Orde Baru tidak hanya sekedar untuk memindahkan penduduk dari Pulau Jawa saja, melainkan bagian dari usaha pemerintah Indonesia yang ada di Jakarta untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah-daerah transmigrasi yang ada di Melawi.

G.2. Jenis Penelitian

Penelitian tesis ini akan menggunakan metode kualitatif di mana salah satunya menggunakan metode wawancara. Metode wawancara digunakan penulis untuk melihat bagaimana orang-orang Dayak yang ada di Kabupaten Melawi diwacanakan oleh para pejabat daerah maupun warga transmigran yang mengikuti program transmigrasi di Kabupaten Melawi. Dengan demikian, maka penelitian ini berbeda dengan penelitian Edward Said mengenai orientalisme. Perbedaannya adalah penelitian ini mencoba untuk membongkar wacana orientalisme dengan tidak menggunakan naskah-naskah maupun surat keputusan dari pemerintah Orde Baru di Jakarta, melainkan penelitian ini akan fokus pada wacana tentang orang Dayak yang dibicarakan oleh para pejabat daerah maupun warga transmigrasi.


(49)

Wawancara akan dilakukan pada para pejabat daerah yang mewakili dinas terkait dan warga transmigrasi yang mengikuti program transmigrasi di Kabupaten Melawi. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengetahui bagaimana penduduk lokal (orang-orang Dayak) di Kabupaten Melawi diwacanakan oleh para pejabat daerah, yang mewakili pemerintah Orde Baru dan orang-orang pendatang yang menjadi peserta program transmigrasi. Untuk memenuhi hal tersebut, maka penulis akan memilih orang-orang yang akan diwawancarai seperti: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Melawi, serta orang-orang pendatang yang menjadi peserta program transmigrasi.

G.3. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian tesis ini dibagi dalam dua kategori. Pertama, data lisan yang akan melibatkan beberapa narasumber wawancara. Kedua, data tertulis yang akan diambil dari beberapa buku-buku yang terkait dengan kajian orientalisme, kajian transmigrasi, Surat Keterangan Menteri Transmigrasi, serta karya tulis ilmiah lainnya yang menurut penulis dapat membantu dalam penyelesaian tesis ini.

G.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah melakukan beberapa tahapan, di antaranya observasi lapangan. Tujuan dari observasi lapangan ini adalah untuk mengetahui bagaimana kondisi di lokasi yang


(50)

dijadikan wilayah transmigrasi. Selain itu, penulis juga akan melakukan wawancara dengan beberapa narasumber sebagai berikut:

1. Wawancara dengan Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Provinsi Kalimantan Barat.

2. Wawancara dengan Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Melawi.

3. Wawancara dengan warga pendatang yang menjadi peserta program transmigrasi di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab. Masing-masing bab akan memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Pada bab pertama tesis ini akan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritis teknik pengumpulan data, dan sitematika penulisan tesis.

Dalam bab dua penulis akan menguraikan tentang ideologi kolonial di Indonesia dari masa kolonial hingga masa pascakolonial. Selain itu, dalam bab ini penulis juga akan menguraikan mengenai orientalisme dalam sejarah Indonesia, hubungan antara kolonialisme, orientalisme dan imperialisme, berlanjutnya kolonialisme di Indonesia, dan contoh kasus program transmigrasi yang menunjukkan bahwa kolonialisme di Indonesia terus berlanjut pada masa pascakolonial, secara khusus di masa pemerintahan Orde Baru.


(1)

Baru bukan lagi soal bagaimana orang Barat memandang buruk

orang-orang Timur, tapi soal bagaimana orang-orang Timur memandang buruk sesama orang-orang

Timur.

Bertolak dari beberapa gagasan di atas, tesis ini telah berusaha menunjukkan

beberapa hal penting. Pertama, orientalisme tidak hanya terjadi di negara-negara

Timur Tengah, melainkan juga terjadi di tempat-tempat lain yang berada di luar

negara Timur Tengah, seperti contoh Indonesia. Kedua, orientalisme yang terjadi

di Indonesia lebih buruk lagi dari yang terjadi di negara-negara Timur Tengah,

sebab di Indonesia yang terjadi bukan lagi soal bagaimana orang-orang Barat

menilai buruk orang-orang Timur, melainkan bagaimana orang-orang Timur

memandang buruk sesama orang Timur.

Ketiga, membongkar wacana orientalisme yang dilakukan oleh pemerintah

Orde Baru di Jakarta terhadap orang-orang Dayak yang ada di Kabupaten Melawi,

Kalimantan Barat. Dengan cara membongkar wacana orientalisme yang

diungkapkan oleh para pejabat pemerintahan daerah dan orang-orang Jawa yang

mengikuti program transmigrasi di Kabupaten Melawi, maka dapat diketahui

bagaimana orang-orang Dayak yang menjadi penduduk lokal Kabupaten Melawi

diwacanakan oleh pemerintah Orde Baru.

Sebagai penutup, penulis menyadari bahwa tesis ini hanya merupakan salah

satu contoh kecil yang bisa menunjukkan bahwa orientalisme yang pada

umumnya terjadi di negara-negara Timur Tengah, ternyata juga terjadi di

tempat-tempat lain seperti Indonesia. Dengan kata lain, penulis ingin mengatakan bahwa


(2)

satu contoh kecil yang bisa menunjukkan bahwa orientalisme juga terjadi di

Indonesia, dan pelakunya bukan lagi orang-orang Barat pada umumnya,

melainkan orang-orang Indonesia sendiri yang menjadikan orang-orang Indonesia


(3)

154

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Chatarina Pancer, Sujarni Alloy, Albertus & Istiyani (2008). Mozaik Dayak -

Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak:

Institut Dayakologi.

Departemen Transmigrasi (1984). Historiografi Transmigrasi. Jakarta: Departemen Transmigrasi.

Enthoven, J.J.K. (2013). Sejarah Dan Geografi Daerah Sungai Kapuas

Kalimantan Barat. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut

Dayakologi.

Florus, Paulus dkk (2010). Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Pontianak: Institut Dayakologi.

Gouda, Frances (2007). Dutch Culture Overseas, Praktik Kolonial di Hindia

Belanda. 1900-1942. Terjemahan. Jugiarie Soegiarto & Suma Riella

Rusdiarti. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Gandhi, Leela (1998). Postcolonial Theory, A Critical Introduction. Australia: Allen & Unwin.

Heeren, H.J (1979). Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Hardjosudarmo, Soedigdo (1965). Kebijaksanaan Transmigrasi Dalam Rangka

Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Bharatara.

Kahin, George McTurnan (1970). Nationalism and Revolution In Indonesia. London: Cornell University Press.

Kartodirdjo Sartono (1992). Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900 Dari

Emporium Sampai Imperium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Loomba, Ania (1998). Colonialism/Postcolonialism. New York: Routledge. Lontaan, J.U (1975). Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat.

Pontianak: Pemda Tingkat I Kal-Bar.

McLeod, John (2000). Beginning Postcolonialism. Manchester and New York: Manchester University Press.


(4)

Masri, Singarimbun Dan Sri Edi Swasono (1986). Transmigrasi Di Indonesia

1905-1985. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press)

Odop, Nistain dan Frans Lakon (2009). Dayak Menggugat: Sejarah Masa Lalu,

Hak Atas Sumber-Sumber Penghidupan, dan Diskriminasi Identitas.

Yogyakarta: Pintu Cerdas.

Philpott, Simon (2000). Rethingking Indonesia, Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: ST. Macmillan Press LTD.

Ratna SU, Nyoman Kutha (2008). Poskolonialisme Indonesia (Relevansi Sastra). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Riwut, Tjilik (1993). Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: NR. Publishing

Said, Edward W. (1978). Orientalism. New York: Vintage Books.

Simpson, Bradley R. (2010). Ekonomist With Guns, Amerika Serikat, CIA dan

Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru. Terjemahan. Johanes

Supriyono. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Said, Edward W. (1993). Kebudayaan Dan Kekuasaan. Terjemahan. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan Anggota IKAPI.

Said, Edward W. (2005). Bukan-Eropa, Freud dan Politik Identitas Timur

Tengah. Terjemahan. L.P. Hok. Tangerang: Marjin Kiri.

Said, Edward W. (1978). Orientalism. New York: Vintage Books.

Stefanus, Djuweng dan Nico Andalas (2006). Manusia Dayak, Orang Kecil Yang

Terperangkap Modernisasi. Pontianak: Institut Dayakologi.

Veth P.J. (2012). Borneo Bagian Barat: Geografis, Statistis, Historis. Jilid I. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut Dayakologi.

Veth, P.J. (2012). Borneo Bagian Barat: Geografis, Statistis, Historis. Jilid II. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut Dayakologi.

Warsito, Rukmadi dkk (1984). Transmigrasi Dari Daerah Asal Sampai Benturan


(5)

Walia, Shelley (2003). Edward Said dan Penulisan Sejarah. Terjemahan. Sigit Djatmiko. Yogyakarta: Jendela.

Surat Keputusan Pemerintah

Surat Keputusan Menteri Transmigrasi Republik Indonesia. Nomor: KEP. 49/MEN/1990. Tentang Penetapan Status Transmigrasi dan Pengaturan Transmigrasi Pengganti

Kumpulan Surat Keputusan Bupati Melawi. Nomor: 520/210 Tahun 2010. Tentang Penetapan Status Transmigrasi WPP/D/A.SP.I Desa Lengkong Nyadom Kecamatan Ella Hilir Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

Majalah dan Reader

Majalah Monitor. “Transmigrasi Sebuah Obsesi?”. Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya. Jakarta: 1980.

C. Teguh Dalyono. Reader. Ekonomi Pembangunan I. Pendidikan Ekonomi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat. Target dan Realisasi Program Pembangunan RTJK dan Penempatan Transmigrasi (TPS & TPA), Tahun 2012

Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Melawi. Bahan Penyuluhan Calon Warga Transmigrasi TPA Dan TPS Tahun 2012.

Narasumber Wawancara

M. Nazarudin. Kepala Bagian Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja. Pontianak Provinsi Kalimantan Barat.

Giovani Anton. Staf Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

Petrus Yusnono. Disain Visual di Institut Dayakologi Pontianak. Matius. Seketaris Desa SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi.


(6)

Rohim. Peserta transmigrasi asal Kota Malang Jawa Timur. Mahrudin. Warga transmigrasi asal Jawa Barat.

Siregar. Kepala Puskesmas Desa SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi. Lamianus Kale. Orang Dayak yang mengikuti program transmigrasi di Melawi.