kekuatan besar yang saling bersaing untuk menguasai Indonesia saat itu, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Menurut Simpson dalam bukunya Economist
with Guns, saat terjadinya Perang Dingin antara blok Barat yang diwakili oleh Amerika Serikat dengan blok Timur yang diwakili oleh Uni Soviet, pemerintahan
AS beserta organisasi non-pemerintahan dan organisasi internasional lainnya mulai mengarahkan perhatian mereka pada tantangan untuk menjelaskan berbagai
upaya yang mengarah pada perubahan di negara-negara yang dikenal sebagai dunia ketiga, di mana salah satunya adalah Indonesia.
78
Pihak AS merasa bahwa Indonesia sangat penting bagi pemerintahan Amerika Serikat. Hal ini yang melatar belakangi dibukanya program kajian
wilayah pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an. Pembukaan kajian wilayah ini yang dilakukan oleh sekelompok lembaga akademik, yayasan-yayasan
kemanusiaan dan para cendekiawan AS merupakan bagian dari perkembangan yang sangat penting dalam sejarah hegemoni pemerintahan AS di negara-negara
dunia ketiga, seperti Indonesia. Tujuan AS membuka program kajian wilayah untuk Indonesia merupakan bentuk dukungan dari intelektual Amerika pada
penciptaan national security state yang ada di tingkat universitas AS seperti: Harvard University, University of Chicago, University of California at Berkeley,
MIT, John Hopkins University, dan Cornel University yang pada akhirnya sangat berperan penting dalam mengonstruksi dan menyebarkan pemikiran sosial ilmiah
78
Lihat Bradley R. Simpson. Ibid, hal. 26
mengenai pembangunan politik dan ekonomi di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia.
79
Simpson dalam buku yang sama mengatakan bahwa tidak ada negara lain selain Indonesia di mana program-program yang didanai oleh Ford Foundation
terbukti telah berhasil menciptakan kesamaan pengertian antara Amerika Serikat maupun Indonesia mengenai berbagai peluang dan keterbatasan pembangunan di
Indonesia. Simpson lalu mengutip pernyataan dari sejarawan Henry Benda yang mengatakan bahwa Indonesia mendapat perhatian khusus dari pemerintahan
Amerika Serikat. Pernyataan Benda yang dikutip Simpson pada tahun 1964 berbunyi:
Pada tahun-tahun setelah perang, tidak ada negara lain di Asia Tenggara yang mendapatkan perhatian, dukungan kelembagaan, dan
beasiswa yang diberikan kepada individu yang lebih besar dari pada Indonesia.
80
Berbagai pelatihan untuk pembangunan Indonesia dilakukan pemerintahan Amerika dengan cara memberikan bantuan berupa beasiswa bagi para pelajar
Indonesia untuk belajar ke universitas yang ada di Amerika Serikat. Tujuan dari pemberian beasiswa ini adalah untuk mereproduksi ilmu pengetahuan Barat dan
menanamkan gagasan-gagasannya di Indonesia. Untuk dapat menciptakan pembangunan Indonesia, pihak Amerika melalui lembaga Ford Foundation dan
Rockefeller Foundation memberikan bantuan dana mencapai 20 juta untuk
79
Ibid, hal. 26
80
Ibid, hal. 27
mendanai pendidikan, pertanian, kesehatan, dan bantuan teknis lainnya baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia.
81
Berbagai bantuan keuangan dari kedua lembaga kemanusiaan di atas tidak hanya memfasilitasi ekspansi yang dramatis dalam berbagai riset ilmu sosial
tentang Indonesia, akan tetapi lembaga ini juga terlibat dalam pembiayaan program-program relawan dan pertukaran pendidikan bagi para teknisi, ahli
ekonomi, guru, ahli agraria, personel militer, dan insinyur, yang oleh duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia tahun 1958-1965, Howard Jones, disebut
sebagai bentuk dari “perjuangan jangka panjang untuk otak Indonesia.” Menurut Simpson, berbagai pelatihan pendidikan yang didanai oleh lembaga Amerika
untuk pakar ilmu sosial Indonesia telah memberikan implikasi langsung terhadap pemikiran pembangunan Indonesia.
Tampak bahwa berbagai pelatihan mengenai pembangunan di Indonesia yang didanai oleh lembaga-lembaga kemanusiaan AS merupakan cara Amerika
Serikat untuk menguasai orang-orang Indonesia melalui ilmu pengetahuan Barat. Melalui ilmu pengetahuan, pihak Barat yang diwakili Amerika Serikat berhasil
merekonstruksi pemikiran orang-orang Indonesia mengenai pembangunan Indonesia yang berorientasi pada negara Amerika Serikat. Dengan demikian,
ideologi pembangunan yang digunakan Amerika Serikat terhadap Indonesia tidak jauh berbeda dengan ideologi orientalisme yang digunakan Inggris saat menguasai
dunia Timur, seperti Mesir maupun India. Dengan kata lain, orientalisme dan
81
Ibid, hal. 27
pembangunan sama-sama merupakan ilmu pengetahuan Barat yang sengaja diciptakan untuk menguasai dunia Timur.
I. Pembukaan Studi Politik di Indonesia
Dengan berakhirnya kolonialisme Belanda di Indonesia, dominasi
pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia memang telah berakhir. Namun demikian, di masa kemerdekaan Indonesia pengaruh Barat tetap berlanjut atas
negara yang baru saja merdeka ini. Di masa kemerdekaan Indonesia pengaruh pemerintah Hindia Belanda digantikan oleh Amerika Serikat yang mencoba untuk
menanamkan gagasan-gagasan tentang pembangunan, ekonomi, dan politik atas Indonesia yang berorientasi ke arah Amerika Serikat.
Pengaruh AS yang tampak jelas terhadap Indonesia di masa pascakolonial, salah satunya ditunjukkan dengan pembukaan studi politik di Indonesia yang
berorientasi ke arah AS. Pembukaan studi politik di Indonesia, menunjukkan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang baru saja merdeka dari tangan
penjajahan asing menjadi sangat penting bagi pemerintah AS. Oleh karena itu, dibukanya studi politik Indonesia merupakan salah satu cara pemerintah AS untuk
mengambil alih kontrol serta dominasi atas Indonesia dari pemerintah Hindia Belanda.
Sebagaimana yang telah kita lihat dalam buku Rethinking Indonesia, Simon Philpott menjelaskan bahwa pembukaan studi politik Indonesia pada masa
kemerdekaan merupakan suatu perkembangan pasca berakhirnya Perang Dunia II. Menurut Philpott, kemerdekaan Indonesia dideklarasikan pada 17 Agustus 1945
dalam sebuah proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Pada saat itu, Indonesia merupakan salah
satu dari sekian banyak negara yang baru berdiri pasca berakhirnya Perang Dunia II. Oleh karena itu, studi politiknya dipengaruhi oleh banyak faktor yang secara
khusus berkaitan dengan masa pasca berakhirnya Perang Dunia tersebut.
82
Dalam pandangan Philpott, jika dikaitkan dengan politik internasional, Indonesia memperoleh kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda itu pada masa-
masa awal Perang Dingin. Antara tahun 1945 dan 1975, kebanyakan imperium Eropa di wilayah Afrika dan Asia telah mengalami kemunduran. Sebagian usaha
dekolonisasi formal berhubungan dengan tuntutan Perang Dingin. Pada masa Perang Dingin keterlibatan Amerika Serikat sangat jelas saat mereka menguasai
Vietnam. Akan tetapi, dengan terbentuknya banyak negara baru merdeka, maka memicu perkembangan berbagai teori dan wacana akademik. Wacana yang
berkembang ini memusatkan perhatiannya pada permasalahan yang sedang dihadapi oleh negara-negara baru merdeka, seperti masalah keterbelakangan
ekonomi, sosial, dan politik. Hal ini ditambah dengan absennya lembaga-lembaga politik yang mapan untuk membangun bangsa dari berbagai kelompok etnik yang
seringkali terpecah-belah,
bahkan saling
bermusuhan; komunisme,
pemberontakan, kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan modern, dan sebagainya.
Dalam buku yang sama Philpott mengatakan bahwa dengan cepat wacana akademik dan wacana pemerintahan Amerika Serikat mengelompokkan berbagai
82
Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal. 46-47
negara baru ke dalam klasifikasi Dunia Ketiga. Menurut Philpott, istilah Dunia Ketiga ini muncul untuk melambangkan suatu wilayah yang membutuhkan
kesejahteraan dan keahlian Barat untuk membantu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di negara-negara baru yang tergabung dalam Dunia
Ketiga. Dalam hal ini, Barat dijadikan sebagai contoh model kemajuan dan kesempurnaan, dan tentunya bertolak belakang dengan kondisi negara-negara
Dunia Ketiga yang dianggap sangat kekurangan, memerlukan bantuan, kurang sempurna, dan terbelakang. Dengan kata lain, menurut Philpott, negara-negara
Dunia Ketiga menjadi objek dari belas kasihan dunia Barat.
83
Setelah berakhirnya Perang Dunia II serta dimulainya Perang Dingin, menurut Philpott, Amerika Serikat menjadi pusat “kekuasaan” akademik.
Pemerintahan Amerika Serikat melakukan investasi besar-besaran untuk pengembangan program-program studi kawasan demi mendukung status baru AS
sebagai penguasa global. Bantuan militer dan non-militer dari pemerintahan AS dan kegiatan lembaga non-pemerintahan yang memang difokuskan pada negara-
negara Dunia Ketiga beriringan dengan pembentukan analisis dan teori akademik. Menurut Philpott, kemajuan dan modernisasi menjadi kunci penekanan dalam
kebanyakan teori yang diajukan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara Dunia Ketiga. Philpott lalu mengutip pernyataan
James Scott yang menegaskan bahwa keberhasilan studi-studi Asia Tenggara di universitas-universitas di Amerika Serikat sangat terkait erat dengan tumbuh dan
83
Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal.47
tumbangnya Amerika Serikat sebagai kekuatan global. Penyataan Scott yang dikutip oleh Philpott menegaskan bahwa studi-studi Asia Tenggara:
Dominated by the social sciences which themselves were expanding rapidly in American universities during the 1950s and 1960s. Not only
was the knowledge of Southeast Asian languages, societies, and cultures deemed essential for America‟s new global role, but the
social scienties were seen as directly germane to understanding economic growth, modernization, and political stability or instability.
By European standart, Southeast Asian studies here is somenthing of a freak, relatively overdeveloped when it comes to political science
and anthropology, woefully underdeveloped when it comes to literature, art, music, classical studies, and contemporary popular
culture. Lacking a tradition of Orientalism that, for all its prejudices, would have given us somenthing of an anchor against political winds,
we moved in the direction the wind blew.
84
Pernyataan di atas mencoba untuk menghubungkan perkembangan studi politik-studi politik tentang Asia Tenggara yang berbasis di Amerika Serikat
dengan perhatian global pihak Amerika Serikat yang dapat memicu keraguan mengenai kemandirian serta objektifitas para ilmuan dalam menentukan
kepentingan-kepentingan penelitian.
85
Pihak Amerika Serikat dalam hal ini mengambil peran penting dalam “menciptakan Indonesia.” Menurut Philpott,
tujuan utama AS mendukung kemerdekaan Indonesia dari Belanda adalah untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh kekuatan “kiri,” secara khusus komunis dari
kekuatan politik formal di Indonesia. Untuk menjelaskan hal ini, Philpott lalu mengutip pernyataan Southwood dan Flanagan yang menegaskan bahwa
Indonesia telah menjadi bagian sentral dari pemikiran strategis AS tentang Asia
84
Simon Philpott. Rethinking Indonesia, Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal. 48
85
Ibid
Tenggara saat berakhirnya Perang Dunia II dan menurut Philpott, Indonesia dijadikan tonggak dominasi AS atas wilayah kepulauan Asia-Pasifik.
J. Daerah-daerah
“Tertinggal” dan Solusi Pembangunan
Kebijakan pemerintahan Orde Baru yang berkaitan dengan program transmigrasi selalu dikaitkan dengan pembangunan nasional di daerah-daerah
transmigrasi yang konon katanya dianggap sebagai daerah “tertinggal” dan “terbelakang” oleh pemerintah pusat. Bagi pemerintahan Orde Baru, program
transmigrasi adalah solusi untuk mengatasi permasalahan pembangunan di daerah-
daerah yang dianggap “tertinggal,” terutama yang berada di luar Pulau Jawa. Dalam pandangan pemerintahan pusat, Pulau Jawa adalah contoh sebuah
wilayah maju karena telah merasakan suksesnya pembangunan nasional. Oleh karena itu, pemerintahan pusat menjadikan Pulau Jawa sebagai standar untuk
menilai daerah-daerah lain yang ada di luar Pulau Jawa. Sejauh ini sudah ada beberapa peneliti yang menulis tentang pembangunan
nasional di daerah-daerah yang ada di Indonesia. Beberapa peneliti tersebut antara lain: R. A. Rachmad Sahudin 2010, menulis makalah berjudul
“Hak dan Kewajiban Dewan Adat dalam Pembangunan.”
86
Sahudin berpendapat bahwa untuk memaknai pembangunan daerah-daerah yang ada di Indonesia kita bisa
merujuk pada Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN, yang mana telah dirumuskan bahwa pada dasarnya hakekat pembangunan nasional adalah
pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia secara
86
Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010.
merata di seluruh wilayah Indonesia.
87
Pembangunan nasional yang dimaksudkan Sahudin dalam GBHN tersebut meliputi beberapa hal seperti: pembangunan
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional. Semua aspek yang telah disebutkan di atas, menurut Sahudin, harus diperhatikan
secara berimbang oleh pemerintahan pusat. Soetandyo Wignjosoebroto 2010, menulis makalah berjudul
“Pokok- Pokok Pikiran T
entang Nasionalisme Pembangunan dan Kebudayaan Daerah.”
88
Wignjosoebroto mengatakan bahwa pembangunan nasional pada hakekatnya adalah upaya berencana untuk mempertinggi ketahanan suatu bangsa. Dengan
demikian, setiap upaya dari pembangunan nasional harus menghasilkan semangat nasionalisme yang mampu mengilhami dan menjiwai manusia itu sendiri.
Pembangunan model ini meliputi bidang pemerintahan politik, dunia usaha ekonomi, dan kehidupan masyarakat sipil sosial-budaya. Pembangunan
nasional sebagai sebuah upaya yang sadar dan terencana sesungguhnya merupakan suatu fenomena baru yang muncul di negara-negara yang sedang
berkembang, antara tahun 1945-1962, di mana mereka telah berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Barat. Pembangunan nasional muncul
sebagai upaya untuk membangun negara yang baru merdeka menjadi negara yang berkembang dalam hal ekonomi.
87
Lihat Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010, hal. 99
88
Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010