Latar Belakang Masalah Orientalisme timur atas timur wacana `Pembangunan` dalam program transmigrasi pemerintah orde baru di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.
mengaturnya. Dengan kata lain, orientalisme merupakan gaya Barat untuk mendominasi, menata kembali, dan menguasai dunia Timur.
2
Melalui buku Orientalism, Said ingin menunjukkan bagaimana budaya Eropa mampu mendapatkan kekuatan dan identitasnya dengan cara menempatkan
diri mereka berhadapan dengan dunia Timur sebagai semacam wali atau pelindung, bahkan sebagai “diri” the self yang tersembunyi.
3
Dalam hal ini Barat mendefinisikan diri dengan memposisikan dirinya berhadapan dengan Timur dan
menjelaskan bahwa Barat tidak seperti Timur. Barat juga mempersepsikan Timur sebagai wujud dari sisi diri Barat yang tersembunyi. Dalam artian ini, orang-orang
Barat pada satu sisi juga merasa punya sisi “irasional” dan spiritual, namun hal
tersebut disembunyikan dan diposisikan berada di luar diri orang-orang Barat. Said menunjukkan bahwa orientalisme yang merupakan suatu bidang kajian
mengenai dunia ketimuran ternyata bersumber dari keberadaan orang-orang Inggris dan Prancis yang telah memiliki hubungan khusus dengan dunia Timur,
terutama India dan tanah injili sebelum awal abad XIX. Sejak awal abad XIX, Inggris dan Prancis mendominasi dunia Timur. Akan tetapi, sesudah berakhirnya
Perang Dunia II dominasi tersebut diambil alih oleh Amerika Serikat dengan melakukan pendekatan terhadap dunia Timur seperti yang pernah dilakukan oleh
Inggris dan Prancis. Namun, pendekatan yang digunakan AS lebih bersifat akademis.
Said mengawali uraiannya tentang orientalisme dengan mengacu pada asumsi dasar bahwa dunia Timur bukanlah sebuah fakta alam yang bersifat statis.
2
Edward W. Said. Orientalism. New York: Vintage Books. 1978, hal. 3
3
Edward W. Said, hal. 3
Dunia Timur tidak semata-mata hadir seperti halnya Barat yang juga tidak semata- mata ada.
4
Oleh karena itu, untuk dapat memahami hal tersebut, Said lalu mempelajari pernyataan Vico yang mengatakan bahwa manusia mengukir dan
menciptakan sejarahnya sendiri, bahwa apapun yang bisa manusia ketahui merupakan sesuatu yang telah mereka ciptakan.
5
Menurut Said jika pernyataan Vico ditarik dalam konteks yang lebih luas, misalnya dalam konteks geografi,
maka dapat dipahami bahwa menurut Vico setiap manusia menciptakan lokalitas, wilayah, serta tempat-tempat geografisnya sendiri. Misalnya, saat mereka
menciptakan “Barat” dan “Timur” merupakan konsekuensi dari faktor geografis, kultural, dan historis.
Untuk dapat memahami Orientalisme secara utuh, menurut Said, ada tiga pengertian hal, yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, sangatlah keliru
jika menyimpulkan bahwa dunia Timur pada dasarnya merupakan sebuah ide atau gagasan imajiner yang tidak memiliki realitas. Kedua, bahwa semua ide-ide,
kebudayaan, hingga sejarah tidak mungkin mampu dipelajari dan dipahami secara sungguh-sungguh tanpa mempelajari kekuatan atau lebih tepatnya pembentukan
dari kekuasaan itu sendiri. Ketiga, jangan pernah beranggapan bahwa struktur orientalisme tidak lebih dari struktur kebohongan atau merupakan mitos belaka,
yang jika kebenaran tentangnya diungkapkan maka dengan mudah akan menghilang. Said meyakini bahwa orientalisme secara khusus lebih bermakna
sebagai suatu tanda kekuasaan Atlantik-Eropa atas dunia Timur daripada sebagai
4
Edward W. Said, hal. 4-5
5
Ibid, hal. 5
sebuah wacana murni dan jujur mengenai Timur seperti yang sering dituduhkan, baik dalam karya akademis maupun kesarjanaan.
6
Said dalam buku yang sama mengatakan bahwa tujuan dari penulisan buku Orientalism adalah untuk menunjukkan bahwa orientalisme yang terjadi secara
sistematis tersebut merupakan bagian dari wacana kolonial. Dengan kata lain, orientalisme mendukung kolonialisme Eropa. Begitupun sebaliknya, kolonialisme
Eropa atas negara-negara jajahan tidak akan terwujud tanpa dukungan orientalisme. Dengan demikian, Said ingin mengatakan bahwa pada dasarnya
orientalisme dan kolonialisme itu sama-sama merupakan cara Barat untuk menegaskan kekuasaan kolonialnya atas negara-negara yang menjadi wilayah
kekuasaan Barat. Orientalisme sebagai sebuah gagasan memberikan gambaran tentang sosok
Barat yang dianggap lebih superior dari Timur yang dianggap inferior. Melalui orientalisme, Barat berusaha untuk melegitimasi kekuasaannya atas dunia Timur
dengan cara menguasai dunia Timur melalui ilmu pengetahuan yang telah diproduksi ulang oleh para intelektual Barat. Menurut Said, produksi ilmu
pengetahuan Barat atas Timur dapat dengan mudah ditemukan dalam naskah- naskah literer dan buku-buku orientalis yang menggambarkan adanya perbedaan
nyata antara dunia Barat dengan dunia Timur. Dalam pandangan Said, melalui reproduksi ilmu pengetahuan orang-orang
Barat yang telah mempelajari studi orientalisme akan merasa punya pengetahuan obyektif mengenai apa itu Orient Timur sehingga mereka menciptakan Timur,
6
Ibid, hal. 5-6
merekonstruksi citra tertentu tentang Timur yang seakan-akan citra tersebut merupakan
suatu “kebenaran” murni. Bagi Said, berbagai pandangan obyektif orang-orang Barat dalam
memandang Timur bukanlah suatu bentuk “kebenaran” murni, melainkan sebuah konstruksi yang digunakan oleh para orientalis Barat untuk mendominasi,
menata kembali, dan menghegemoni dunia Timur. Melalui ilmu pengetahuan orientalisme yang dipelajari oleh orang-orang Barat, para orientalis membawa
pandangan abstrak mengenai dunia Timur yang seolah-olah menujukkan bahwa orang-orang Barat lebih tahu tentang dunia Timur melebihi orang-orang Timur
sendiri. Said mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang telah direproduksi Barat
mampu melegitimasi kekuasaannya atas dunia Timur. Untuk membuktikan hal tersebut, Said lalu mengambil satu contoh kasus yang terjadi di Timur Tengah,
yaitu pendudukan Inggris atas Mesir. Menurut Said, orang-orang Inggris tidak memahami pendudukan negaranya atas Mesir sebagai bentuk dari penjajahan,
melainkan sebagai upaya untuk membantu bangsa Mesir memerintah dirinya sendiri.
Orang-orang Inggris merasa bahwa mereka mengenal orang-orang Mesir dengan baik, dan tahu betul apa yang dibutuhkan oleh bangsa Mesir agar menjadi
bangsa yang maju. Orang-orang Barat meyakini bahwa ketika Inggris menduduki Mesir tujuannya bukanlah untuk menjajah bangsa Mesir, melainkan untuk
membantu orang-orang yang ada di Mesir mendirikan pemerintahannya secara modern dengan cara menduduki Mesir.
Untuk menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan orientalisme mampu merubah cara pandang Barat dalam menilai di dunia Timur Said lalu mempelajari
kutipan pidato dari salah satu anggota Parlemen Inggris bernama Arthur James Balfour yang menyampaikan orasinya di depan Majelis Rendah Inggris. Dalam
pidatonya, Balfour menyampaikan bahwa pendudukan Inggris atas Mesir bukan dimaksudkan untuk menjajah bangsa tersebut, melainkan untuk membawa
kebaikan bagi bangsa Mesir. Dalam pidato yang dikutip oleh Said, Balfour mengatakan bahwa bangsa
Mesir adalah bangsa yang besar. Akan tetapi, orang-orang pribumi di Mesir tidak memiliki kemampuan untuk memimpin negaranya sendiri. Oleh karena itu,
menurut Balfour, Inggris memang harus menduduki Mesir agar bisa membantu orang-orang Mesir menyelenggarakan pemerintahannya di negara Timur Tengah
tersebut. Dalam pidato yang disampaikan tanggal 13 Juni 1910, Balfour mengatakan:
First of all, look at the facts of the case. Western nations as soon as they emerge into history show the beginnings of those capacities for
self government. Having merits of their own. You may look through the whole history of the Orientals in what is called, broadly speaking,
the Fast, and you never find traces of self government. All their great centuries and they have been very great have been passed under
despotisms, under absolute government. All their great contributions to civilisation and they have been great have been made under that
form of government. Conqueror has succeeded conqueror, one domination has followed another, but never in all the revolutions of
fate and fortune have you seen one of those nations of its own motion establish what we, from a Westren point of view, call self government.
That is the fact. It is not a question of superiority and inferiority. I suppose a true Eastern sage would say that the working government
which we have taken upon ourselves in Egypt and elsewhere is not a
work worthy of a philosopher that it is the dirty work, the inferior work, of carrying on the necessary labour.
7
Pernyataan Balfour dalam pidatonya di atas seperti yang dikutip oleh Said, berangkat dari asumsi bahwa Mesir memang harus diduduki oleh Inggris karena
menurut pandangan Balfour, orang-orang Mesir tidak akan mampu untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri tanpa bantuan orang-orang Inggris. Bagi
Balfour, kehadiran orang-orang Eropa di Mesir akan membantu orang-orang Mesir menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Untuk itu, Balfour kembali
berkata: Is it a good thing for these great nations, I admit their greatness that
this absolute government should be exercised by us? I think it is a good thing. I think that experience shows that they have got under it
far better government than in the whole history of the world they ever had before, and which not only is a benefit to them, but is
undoubletedly a benefit to the whole of the civilised West. We are in Egypt not merely for the sake of the Egyptians, though we are there
for their sake; we are there also for the sake of Europe at large.
8
Bagi Said, pernyataan sikap Balfour dalam pidatonya tentang penguasaan Inggris di Mesir sangatlah kompleks. Said menilai bahwa dalam pidatonya itu
Balfour melupakan satu hal, yakni sikap orang-orang Mesir terhadap kehadiran orang Inggris. Mengenai hal ini, Balfour tidak menjelaskan apa-apa ataupun
memberi bukti apakah orang-orang Mesir menghargai atau benar-benar menerima kebaikan yang diberikan oleh pendudukan kolonial Inggris. Bukannya memberi
bukti, Balfaour justru menutup kemungkinan bagi orang-orang Mesir untuk berbicara mengenai dirinya sendiri.
7
Ibid, hal. 32-33
8
Edward W. Said, opcit, hal. 33
Dalam pandangan Said, Balfour benar-benar mengabaikan kerugian yang dialami orang-orang Mesir akibat kehadiran Inggris. Hal ini terjadi karena Balfour
yakin bahwa orang-orang Mesir sudah pasti akan menerima keberadaan orang- orang Inggris di negara mereka. Menurut Said, pidato yang disampaikan Balfour
tentang Mesir di depan Parlemen Inggris yang disaksikan oleh orang-orang Inggris sendiri menunjukkan bahwa orang-orang Barat merasa diri lebih superior
daripada orang-orang Timur yang mereka anggap inferior. Menarik bahwa sikap-sikap orientalistik seperti itu tidak hanya terjadi di
Timur Tengah, melainkan juga terjadi di negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Di Indonesia, sikap orientalistik pernah dilakukan oleh orang-orang
Eropa pada masa kolonial, secara khusus pemerintah Hindia Belanda terhadap penduduk pribumi yang ada di wilayah Indonesia dulunya Nusantara. Sikap
orientalistik tersebut ditunjukkan dengan berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda saat mereka menjajah Indonesia. Salah satu
kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mencerminkan sikap orientalistik adalah dengan melaksanakan kebijakan kolonisasi.
Dalam pandangan pemerintah Hindia Belanda, kebijakan kolonisasi ini dilaksanakan atas pertimbangan bahwa sebagian besar penduduk pribumi yang
ada di Pulau Jawa menderita kemiskinan akibat kebijakan Tanam Paksa Cultuurstelsel, yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1830-1870.
9
Kebijakan Tanam Paksa telah menyebabkan penderitaan bagi
9
Nyoman Kutha Ratna. Poskolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008, hal. 11
sebagaian besar penduduk pribumi yang dipekerjakan secara paksa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda demi mendapatkan keuntungan ekonomis.
Keprihatinan terhadap penduduk pribumi Indonesia yang dipekerjakan secara paksa oleh pemerintahan Kolonial Belanda pada akhirnya melahirkan
Politik Etis yang merupakan politik balas budi terhadap penduduk pribumi Indonesia. Politik Etis pada dasarnya berakar pada masalah kemanusiaan,
meskipun dalam pelaksanaannya politik ini juga digunakan untuk mencari keuntungan ekonomis. Dalam melaksanakan Politik Etis, ada tiga tujuan pokok
yang hendak dicapai oleh pemerintahan Hindia Belanda. Tiga tujuan tersebut adalah
10
: 1.
Edukasi, yakni memperluas bidang pengajaran dan pendidikan. 2.
Irigasi pengairan, yakni membangun dan memperbaiki pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
3. Emigrasi, yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
Tampak bahwa kebijakan kolonisasi pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda dilaksanakan atas pemahaman bahwa pemerintah Hindia Belanda
merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh penduduk pribumi di Pulau Jawa agar bisa mengubah nasib mereka menjadi lebih sejahtera. Dengan melaksanakan
kebijakan kolonisasi, pemerintah Hindia Belanda merasa bahwa kebijakan kolonisasi akan membantu orang-orang pribumi di Indonesia mengubah
10
M. C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005, hal. 327
kehidupan mereka yang tadinya miskin menjadi sejahtera dengan cara ikut program kolonisasi.
Menariknya, pada masa pascakolonial kebijakan kolonisasi pemerintah Belanda itu diadopsi oleh pemerintah Indonesia dan dilaksanakan secara besar-
besaran oleh pemerintahan Orde Baru. Pada masa kemerdekaan Indonesia, program kolonisasi berganti nama menjadi program transmigrasi, tepatnya pada
tahun 1948 oleh Kementerian Pembangunan dan Pemuda.
11
Namun demikian, meskipun namanya diganti, kebijakan ini tetaplah berkaitan dengan usaha
memindahkan penduduk dari daerah yang padat di Pulau Jawa menuju ke luar Pulau Jawa.
Dengan melanjutkan kebijakan transmigrasi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru sebenarnya telah
melanjutkan kebijakan kolonial dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan demikian, di masa pascakolonial pemerintah Orde Baru telah melanjutkan
kolonialisme bangsa Barat dengan tujuan untuk menguasai sumber daya alam- sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah-daerah tujuan transmigrasi yang ada
di Indonesia. Tesis ini ingin menunjukkan bahwa orientalisme di Indonesia terus berlanjut
pada masa pascakolonial. Berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa pascakolonial, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, secara khusus pemerintah Orde Baru di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Menurut pemerintah Orde Baru, tujuan
11
Departemen Transmigrasi. Historiografi Transmigrasi. Jakarta: 1984, hal. 24
dilaksanakannya program transmigrasi adalah untuk memenuhi tiga hal. Pertama, memindahkan penduduk dari Pulau Jawa menuju ke luar Pulau Jawa. Kedua,
melaksanakan proyek-proyek pembangunan di daerah-daerah yang konon dianggap “tertinggal”. Ketiga, mensejahterakan seluruh penduduk yang mengikuti
program transmigrasi. Program transmigrasi pemerintah Orde Baru yang berlangsung di
Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, pada tahun 1990-an, menunjukkan bahwa pemerintah di Jakarta lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh penduduk lokal
khususnya orang-orang Dayak di Melawi agar menjadi maju melebihi pengetahuan orang-orang Melawi sendiri. Bagi pemerintah Jakarta, program
transmigrasi di Kabupaten Melawi tidak hanya bertujuan untuk memindahkan penduduk dari Pulau Jawa saja, melainkan juga bertujuan untuk membangun
daerah- daerah “tertinggal” yang ada di Kabupaten Melawi.
Bagi pemerintah Orde Baru, program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi bukan untuk mencari keuntungan ekonomi semata, melainkan
lebih dimaksudkan untuk membantu orang-orang Dayak membangun daerah- daerah mereka yang oleh pemerintah di Jakarta dianggap sebagai salah satu
daerah “tertinggal” dalam hal pembangunan nasional. Dalam pandangan pemerintah di Jakarta, program transmigrasi adalah solusi untuk memajukan
daerah- daerah “tertinggal” yang ada di Kabupaten Melawi.
Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi hanyalah salah satu contoh yang dapat menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru telah
melanjutkan praktek-praktek kolonial di daerah-daerah transmigrasi yang ada di
Kabupaten Melawi. Kasus transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi juga menunjukkan bahwa praktek-praktek kolonial di Indonesia, yang dulunya
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, pada masa pascakolonial dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia sendiri, secara khusus pemerintah Orde Baru.