Kerangka Teoritis Orientalisme timur atas timur wacana `Pembangunan` dalam program transmigrasi pemerintah orde baru di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

Penggunaan teori Orientalisme Said juga dimaksudkan untuk melihat apakah cara pandang pemerintah Indonesia Orde Baru di Jakarta memiliki kesamaan dengan cara pandang orientalistik yang dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap orang-orang di Timur Tengah. Orientalisme yang terjadi di negara- negara Timur Tengah telah menunjukkan bagaimana orang-orang Barat mewacanakan orang-orang Timur. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan kebijakan transmigrasi yang berlangsung di Indonesia, secara khusus di Kabupaten Melawi, yakni dapat menunjukkan bagaimana orang-orang Timur yang diwakili oleh pemerintah Orde Baru mewacanakan sesama orang Timur orang-orang Dayak. Wacana tentang orang Dayak dapat dengan mudah ditemukan dalam buku- buku penelitian yang sudah ada sejak masa kolonial hingga pascakolonial. Dari hasil penelitian buku-buku tersebut dapat diketahui bahwa orang-orang Dayak memiliki karakter maupun sifat yang tidak jauh berbeda dari karakter orang-orang Timur yang ada di negara-negara Timur Tengah. Misalnya, orang-orang Dayak dalam banyak buku hasil penelitian disebutkan sebagai salah satu suku “tertinggal”, yang manusianya masih dianggap “primitip”, terbelakang, dan belum beradab. Sebagaimana telah kita lihat dalam buku Orientalism, Said menjelaskan bahwa orientalisme adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan pengetahuan tentang dunia Timur yang diteliti oleh Barat. Menurut Said, pengetahuan tentang Timur yang dipahami oleh orang-orang Barat mereka peroleh dari karya tulis intelektual Barat yang meneliti tentang dunia Timur. Hasil penelitian tersebut dengan mudah dapat dijumpai dalam buku-buku, novel, laporan-laporan perjalanan, teks-teks orientalis, media televisi maupun karya sastra lainnya. Dengan kata lain menurut Said, orang-orang Barat dapat mengetahui seperti apa orang-orang Timur itu hanya dengan membaca karya-karya tulis orientalis. Untuk mengkaji ulang orientalisme, Said menggunakan gagasan Foucault tentang wacana discourse dalam buku The Archeology of Knowleadge dan dalam buku Discipline and Punish. Gagasan Foucault tentang wacana digunakan Said untuk mengidentifikasi kajian orientalisme. Menurut Said, tanpa mengkaji orientalisme sebagai suatu diskursus, akan sangat sulit untuk memahami orientalisme sebagai suatu disiplin keilmuan yang bekerja secara sistematis, yang bersamaan dengannya kebudayaan Eropa mampu mengatasi bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, ilmiah dan imajinatif yang berlangsung sejak masa pascapencerahan. 24 Orientalisme, bagi Said, merupakan sebuah diskursus yang tidak hanya berkaitan dengan satu kekuasaan politis saja, melainkan juga dihasilkan melalui pertukaran berbagai jenis kekuasaan. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan yang dibongkar oleh Said menunjukkan bahwa pengetahuan yang diciptakan oleh Barat telah berhasil merekonstruksi pikiran orang-orang Barat dalam melihat dunia Timur. Melalui wacana orientalis yang merupakan bagian dari wacana kolonial, orang-orang Barat ketika menjajah negara-negara Timur merasa bahwa mereka lebih superior dari Timur yang dianggap inferior karena menjadi daerah jajahan bangsa Barat. 24 Edward W. Said, hal. 3 Menurut Said, ada relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana Orientalisme. Oleh karena itu, Said lalu membaginya ke dalam empat jenis kekuasaan. Pertama, kekuasaan politis pembentukan kolonialisme dan imperialisme. Kedua, kekuasaan intelektual mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain. Ketiga, kekuasaan kultural kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya Timur memiliki kategori estetika kolonial, yang dengan sangat mudah bisa kita jumpai di negara India, Mesir dan negara-negara bekas koloni lainnya. Keempat, kekuasaan moral apa yang baik dilakukan dan tidak baik dilakukan oleh Timur. Empat jenis kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme menunjukkan bahwa dunia Timur dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi Timur yang sesuai dengan standar Barat. 25 Dalam pandangan Said, melalui kajian orientalisme, seorang yang berpikir secara orientalis akan merasa bahwa dirinya lebih tahu tentang dunia Timur dibandingkan dengan orang-orang Timur itu sendiri. Seorang orientalis akan menganggap Timur sebagai objek dari kajiannya. Untuk membuktikan hal tersebut, Said lalu memberi contoh bahwa seorang orientalis yang melakukan perjalanan wisata ziarah ke negara-negara Timur seperti Mesir, India, Afrika dan negara-negara Asia lainnya akan selalu membawa pandangan yang abstrak bahwa mereka sudah mengetahui mengenai peradaban negara tersebut. Pandangan semacam ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka terima dari membaca naskah-naskah, teks-teks dan literatur yang menceritakan tentang dunia Timur, sifat-sifat dari manusianya dan karakteristik yang dimiliki orang-orang Timur. 25 Ibid Dengan membaca teks-teks orientalis, orang-orang Barat akan mengetahui seperti apa karakter serta sifat-sifat dari orang Timur. Said dalam bukunya yang sama lalu mengutip pernyataan Lord Cromer yang mengatakan bahwa “bangsa- bangsa Timur pada hakikatnya berwatak platonis, 26 yang bisa dikaji, dipahami atau diekspos, bahkan oleh seorang orientalis atau penguasa bangsa-bangsa Timur sekalipun. ” 27 Pernyataan Cromer seperti yang dikutip Said menunjukkan bahwa dianggap ada perbedaan signifikan antara orang-orang Barat dengan orang Timur. Perbedaannya antara lain menyangkut soal kecerdasan dan pemikiran. Orang-orang Barat, kata Cromer, adalah penalar yang baik. Pengetahuan mereka mengenai ilmu pengetahuan tidak ada yang meragukannya. Orang Barat memiliki pemikiran yang jenius dan sangat skeptis. Pemahaman orang Barat dalam melihat sesuatu selalu menuntut bukti sebelum meyakini kebenarannya. Orang-orang Timur menurut Cromer, tidak bisa berpikir dengan baik. Kemampuan mereka mengenai logika tidak ada yang baik. Meskipun sejarah mencatat bahwa orang-orang Arab kuno memiliki ilmu dialektika yang tinggi, namun keturunan mereka tidak mewarisi kemampuan ini. Mereka tidak mampu mengambil sebuah kesimpulan dari pernyataan yang sangat sederhana sekalipun. Mereka bukan pemikir yang cerdas. Dalam menjelaskan sesuatu biasanya akan sangat panjang lebar dan tidak jelas. Bahkan saat penjelasan mereka diuji, orang- orang Timur akan mengalami kesulitan untuk menjawabnya. Keterbatasan yang 26 Yang saya maksud dengan platonis platonic essence, adalah semacam esensi yang tetap, tidak b erubah sifat ketimuran yang akan selalu terwujud kapanpun dan dimanapun di dunia Timur 27 Edward W. Said, hal. 38 mereka miliki membuat mereka orang-orang Timur kelabakan jika pernyataan mereka diuji. Orang-orang Timur adalah makhluk yang mudah dikecoh, yang tidak memiliki kemampuan untuk berusaha sendiri serta tidak memiliki inisiatif dalam mengatasi masalah. Orang Timur dianggap suka “menjilat”, penuh dengan kepura-puraan, licik serta tidak menyenangi binatang. Orang-orang Timur tidak mengerti peradaban modern. Sebagai contoh, jika mereka berjalan di jalan raya dan trotoar, otak mereka yang bermasalah tidak mampu untuk memahami apa yang bisa dipahami oleh otak orang-orang Eropa yang cerdas bahwa sesungguhnya trotoar dan jalan raya itu diciptakan untuk pejalan kaki. Pernyataan Cromer di atas, seperti yang dikutip Said, hanyalah salah satu contoh bagaimana orang-orang Barat menilai buruk orang-orang Timur. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika orang-orang Barat merasa diri lebih superior dari orang-orang Timur yang mereka anggap inferior. Dengan demikian, tampak jelas bahwa wacana orientalisme juga berfungsi sebagai alat untuk melegitimasi kolonialisme. F.2. Orientalisme dan Wacana Kolonial Ania Loomba dalam bukunya ColonialismPostcolonialism telah menjelaskan bahwa sifat dari pengetahuan itu tidak polos, namun sangat berkaitan dengan operasi-operasi kekuasaan. 28 Menurut Loomba, Said mencoba untuk menguraikan kembali bagaimana kajian formal tentang dunia Timur yang 28 Ania Loomba. ColonialismPostcolonialism. NewYork: Routledge. 1998, hal. 43 sekarang disebut Timur Tengah dengan cara menggunakan naskah-naskah kunci literer dan kultural, dengan mencoba mengkonsolidasikan cara-cara tertentu untuk melihat, memikirkan, dan membantu berfungsinya kekuasaan kolonial. Apa yang terjadi bukanlah materi yang telah dibahas oleh analis tradisional mengenai kolonialisme, namun saat ini itu semua bisa terlihat sangat penting dalam pembentukan serta berfungsinya masyarakat-masyarakat kolonial yang terjadi dengan adanya buku Orientalism serta perubahan perspektif tentang ideologi dan budaya. Dalam pandangan Loomba, buku Orientalism karya Said bisa dikatakan mampu untuk mengantarkan pada suatu jenis studi baru atas kolonialisme. Loomba mengutip peryataan Said yang mengatakan bahwa penggambaran “Timur” dalam berbagai buku, naskah-naskah literer Eropa, kisah-kisah perjalanan, dan tulisan-tulisan Orientalis lainnya telah membantu terciptanya suatu dikotomi antara Eropa dan wilayah-wilayah lainnya, suatu dikotomi yang mampu menempati posisi sentral dalam pembentukan budaya Eropa dalam mempertahankan serta menyebarluaskan hegemoni Eropa atas negeri-negeri lain di luar Eropa. Tugas utama yang dilakukan oleh Said adalah menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang orang-orang non-Eropa adalah bagian dari sebuah proses untuk mempertahankan kekuasaan atas mereka; menjadikan sebuah status “pengetahuan” itu didemistifikasi, serta batas-batas antara yang ideologis dengan yang objektif dibuat kabur. Menurut Loomba, semua ilmu pengetahuan yang dimiliki para orientalis yang sangat mengesankan itu disaring melalui bias kultural mereka karena “studi” atas Timur itu bersifat tidak objektif melainkan bersifat: A political vision of reality whose structure promoted the difference between the familiar Europe, the West, „us‟ and the strange the Orient, the East, „them‟. When one uses categories like Oriental and Western as both the starting and the end point of analysis, research, public policy. The result is usually to polarize the distinction-the Oriental becomes more Oriental, the Westerner more Western-and limit the human encounter between different cultures, traditions, and societies. 29 Kutipan pernyataan Loomba di atas menunjukkan bahwa analisis wacana memungkinkan kita menelusuri hubungan-hubungan antara yang kelihatan dengan yang tersembunyi, yang dominan dengan yang marjinal, gagasan-gagasan dengan lembaga-lembaga. Semuanya dapat memungkinkan kita melihat bagaimana kekuasaan itu bekerja melalui bahasa, sastra, budaya, dan semua lembaga- lembaga pemerintahan yang telah mengatur kehidupan kita sehari-hari. Dengan menggunakan pengertian yang diperluas mengenai kekuasaan ini, Said mampu meninggalkan pemahaman sempit dan teknis tentang otoritas kolonial serta menunjukkan bagaimana otoritas ini berfungsi dengan menghasilkan suatu “wacana” tentang Timur, yaitu dengan melahirkan struktur-struktur pemikiran yang terdapat dalam produksi literer dan artistik, dalam tulisan-tulisan politis dan ilmiah, terutama dalam penciptaan studi-studi Timur. 30 Dalam pandangan Loomba, tesis dasar yang ingin disampaikan oleh Said dalam bukunya Orientalism adalah bahwa Orientalisme atau studi mengenai dunia 29 Ibid, hal. 45 30 Ibid, hal. 47 Timur, pada akhirnya merupakan suatu visi yang bersifat politis mengenai realitas yang wilayah strukturnya mengemukakan suatu perlawanan biner antara yang dikenal Eropa, Barat, “kita” dengan yang asing Orient, Timur, “mereka”. Said menunjukkan bahwa perlawanan ini menjadi sangat penting bagi konsepsi diri Eropa. Said memberi contoh jika rakyat terjajah itu irasional, maka orang-orang Eropa disebut rasional. Selanjutnya, jika yang pertama tidak beradab, sensual, dan malas, Eropa adalah peradaban itu sendiri, dengan nafsu seksual yang terkendali dan etik dominannya adalah kerja keras. Dengan kata lain, jika Timur itu statis, Eropa dilihat berkembang dan maju ke depan, dan Timur harus feminin agar Eropa bisa menjadi maskulin. Dalam pandangan Loomba, orientalisme telah menunjukkan sejauh mana pengetahuan tentang Timur yang dihasilkan oleh orang-orang di Eropa merupakan penggiring ideologis kekuasaan kolonial. Menurut Loomba, buku Orientalism karya Edward Said bukanlah berisi tentang budaya-budaya non Barat melainkan tentang pandangan Barat terhadap budaya-budaya di luar Eropa dalam disiplin penelitian orientalisme. 31 Loomba mengatakan bahwa Said mencoba untuk menunjukkan bagaimana pandangan Barat atas Timur diciptakan bersamaan dengan penetrasi yang dilakukan orang- orang Eropa ke wilayah “Timur Dekat” serta bagaimana hal tersebut mendapat dukungan dari berbagai disiplin ilmu lain seperti filologi, sejarah, antropologi, filsafat, arkeologi, dan sastra. Loomba mengatakan bahwa orientalisme memakai konsep wacana untuk menata kembali studi mengenai kolonialisme. Buku Said, menurut Loomba, 31 Ania Loomba. ColonialismPostcolonialism. London New York: Routledge, 1999, hal. 43 melihat bagaimana sebuah studi formal atas “Timur” yang saat ini disebut Timur Tengah bersama dengan naskah-naskah kunci literer dan kultural, mengkonsolidasi cara-cara tertentu untuk melihat serta memikirkan segala sesuatu yang pada akhirnya akan membantu berfungsinya kekuasaan kolonial. Semua ini bukanlah naskah-naskah yang telah dibahas oleh para analis tradisional tentang kolonialisme. Namun, saat ini hal tersebut bisa dilihat sangat penting sebagai pembentukan masyarakat kolonial yang dihasilkan oleh buku orientalisme serta perubahan pandangan tentang ideologi dan budaya. Loomba mengutip tulisan Said tentang naskah-naskah yang diberi: The authority of academics, institutions, and government. Most important, such texts can create not only knowledge but also the very reality they appear to describe. In time such knowledge and reality produce a tradition, or what Michel Foucault calls a discourse, whose material presence or weight, not the originality of a given author, is really responsible for the texts produced out of it. 32 Pada akhirnya, orientalisme menurut Loomba akan mampu mengantarkan suatu jenis studi baru atas kolonialisme. Hal ini disebabkan oleh penggambaran- penggambaran “Timur” dalam naskah-naskah literer Eropa dan kisah perjalanan, serta tulisan-tulisan lain telah membantu terciptanya suatu dikotomi antara Eropa dan “pihak-pihak lainnya” di mana dikotomi ini mampu menempati posisi sentral dalam pembentukan budaya Eropa, serta mempertahankan dan memperluas hegemoni Eropa atas negeri-negeri lainnya. Leela Gandhi 1998, dalam buku Postcolonial Theory: A Critical Introduction, mengatakan bahwa Orientalisme adalah buku pertama dalam suatu trilogi yang dicurahkan untuk mengeksplorasi hubungan historis yang tidak 32 Ibid, hal. 44. seimbang antara dunia Islam di Timur Tengah dengan imperialisme Eropa dan Amerika di sisi lainnya. 33 Menurut Gandhi, pada dasarnya orientalisme merupakan kumpulan yang berisi suatu pemahaman unik tentang imperialisme dan kolonialisme yang merupakan sikap kultural dan efistemologis orang-orang Barat berdasarkan kebiasaan mereka untuk mendominasi dan memerintah daerah-daerah yang berada jauh dari wilayah Eropa. Untuk mempertegas penyataannya Gandhi lalu mengutip tulisan Said dalam buku Culture and Imperialism yang mengatakan: Neither imperialism nor colonialism is a simple act of accumulation and acquisition. Both are suported and perhaps even impelled by impressive ideological formations which include notions that certain tertitories and people require and beseech domination, as well as forms of knowledge affiliated with that domination Said 1993, p. 8. 34 Tulisan Said di atas, menurut Gandhi, ingin menunjukkan bahwa orientalisme menjadi bagian tak terpisahkan dari kolonialisme. Dengan kata lain, orientalisme menjadi bagian dari terbentuknya “formasi idiologi” yang mendukung dan melatarbelakangi terjadinya kolonialisme. Bagi Gandhi, orientalisme telah berhasil menempatkan posisi orang-orang Eropa berada di atas posisi orang-orang Timur. Bagi orang-orang Eropa yang menduduki daerah- daerah Timur, mereka tidak merasa bahwa orang-orang Eropa sedang mendominasi orang Timur, melainkan memang orang-orang Timur yang menginginkan untuk didominasi oleh orang-orang Eropa. 33 Leela Gandhi, hal. 66. 34 Ibid, hal. 67.

G. Teknik Pengumpulan Data

G.1. Lokasi Penelitian Penelitian tesis ini mengambil lokasi transmigrasi di Desa Satuan Pemukiman SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat. Alasan pemilihan lokasi ini karena memperhitungkan kemudahan untuk akses mencapai tempat tujuan penelitian. Alasan lain dari pemilihan lokasi transmigrasi ini adalah untuk menunjukkan bahwa kebijakan transmigrasi yang dilaksankan oleh pemerintah Orde Baru tidak hanya sekedar untuk memindahkan penduduk dari Pulau Jawa saja, melainkan bagian dari usaha pemerintah Indonesia yang ada di Jakarta untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah-daerah transmigrasi yang ada di Melawi. G.2. Jenis Penelitian Penelitian tesis ini akan menggunakan metode kualitatif di mana salah satunya menggunakan metode wawancara. Metode wawancara digunakan penulis untuk melihat bagaimana orang-orang Dayak yang ada di Kabupaten Melawi diwacanakan oleh para pejabat daerah maupun warga transmigran yang mengikuti program transmigrasi di Kabupaten Melawi. Dengan demikian, maka penelitian ini berbeda dengan penelitian Edward Said mengenai orientalisme. Perbedaannya adalah penelitian ini mencoba untuk membongkar wacana orientalisme dengan tidak menggunakan naskah-naskah maupun surat keputusan dari pemerintah Orde Baru di Jakarta, melainkan penelitian ini akan fokus pada wacana tentang orang Dayak yang dibicarakan oleh para pejabat daerah maupun warga transmigrasi. Wawancara akan dilakukan pada para pejabat daerah yang mewakili dinas terkait dan warga transmigrasi yang mengikuti program transmigrasi di Kabupaten Melawi. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengetahui bagaimana penduduk lokal orang-orang Dayak di Kabupaten Melawi diwacanakan oleh para pejabat daerah, yang mewakili pemerintah Orde Baru dan orang-orang pendatang yang menjadi peserta program transmigrasi. Untuk memenuhi hal tersebut, maka penulis akan memilih orang-orang yang akan diwawancarai seperti: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Melawi, serta orang-orang pendatang yang menjadi peserta program transmigrasi. G.3. Sumber Data Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian tesis ini dibagi dalam dua kategori. Pertama, data lisan yang akan melibatkan beberapa narasumber wawancara. Kedua, data tertulis yang akan diambil dari beberapa buku-buku yang terkait dengan kajian orientalisme, kajian transmigrasi, Surat Keterangan Menteri Transmigrasi, serta karya tulis ilmiah lainnya yang menurut penulis dapat membantu dalam penyelesaian tesis ini. G.4. Teknik Pengumpulan Data