Transmigrasi dalam Sejarah Indonesia
Kebijakan kolonisasi lahir akibat politik Tanam Paksa yang dijalankan pemerintahan Hindia Belanda di mana penduduk pribumi di Pulau Jawa sangat
menderita karena harus bekerja di perkebunan milik Belanda tanpa digaji. Ketika menjajah Indonesia, pemerintahan Hindia Belanda melaksanakan
kebijakan kolonisasi yang didasari atas politik Balas Budi pemerintahan Hindia Belanda terhadap penduduk pribumi yang telah menderita akibat sistem Tanam
Paksa yang dijalankan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada masa kolonial, kebijakan kolonisasi pertama kali dilaksanakan pada tahun 1905.
Pelaksanaan ini dilakukan atas usulan asisten residen Sukabumi H. G. Heyting.
91
Dalam pandangan Heyting, program kolonisasi saat itu memiliki tiga tujuan, yakni pertama, mengatasi masalah kepadatan penduduk di Pulau Jawa yang
semakin meningkat. Kedua, menciptakan lapangan kerja baru di daerah kolonisasi. Ketiga, memperbaiki taraf hidup penduduk Pulau Jawa yang menderita
akibat pelaksanaan politik Tanam Paksa. Menurut H. J. Heeren dalam buku berjudul Transmigrasi di Indonesia
1979, menjelaskan bahwa sejarah transmigrasi di Indonesia telah berlangsung sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda, program transmigrasi atau yang waktu itu dikenal dengan nama kolonisasi, pertama kali dilaksanakan oleh pemerintah Belanda dan melalui tiga
fase. Pertama, Fase Eksperimen: 1905-1911. Pada fase ini, pemerintah Belanda mengirim orang-orang Jawa menuju ke lokasi kolonisasi di daerah Lampung.
91
Departemen Transmigrasi. Historiografi Transmigrasi. Jakarta: 1984, hal. 22
Untuk menarik minat orang-orang Jawa agar mau mengikuti program kolonisasi di Lampung, pemerintah kolonial Belanda memberikan uang premi
sebesar 20 gulden kepada setiap peserta kolonisasi. Selain itu, para peserta kolonisasi juga mendapatkan rumah dan jatah makanan dari pemerintahan
Belanda selama satu tahun penuh.
92
Pada fase kedua, program kolonisasi ini dikenal dengan istilah Periode Bank Kredit Lampung: 1911-1929. Pada periode
ini, pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah bank yang bertugas untuk membantu penduduk kolonisasi dan bank ini bertugas untuk memberikan
pinjaman kredit kepada penduduk maksimal 300 gulden per kepala keluarga. Pada tahapan ketiga menurut Heeren, program kolonisasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah kolonisasi Periode sejak Depresi hingga Perang Dunia II: 1930-1941. Pelaksanaan kolonisasi pada masa
ini dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan cara mengirim orang- orang Jawa yang menguasai teknologi pertanian ke wilayah-wilayah kolonisasi
dengan tujuan untuk dapat membantu melakukan panen raya. Karena pelaksanaannya dilakukan pada saat perang, maka pemerintah Belanda hanya
menanggung biaya perjalanan ke lokasi kolonisasi saja, sedangkan biaya hidup dan lain-lainnya tidak lagi ditanggung oleh pemerintah Belanda.
Menariknya, pada masa kemerdekaan Indonesia, program kolonisasi pemerintahan Belanda diadopsi oleh pemerintahan Republik Indonesia dan
berganti nama menjadi program transmigrasi, tepatnya pada tahun 1948 oleh
92
H. J. Heeren. Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. 1979, hal. 11
Kementerian Pembangunan dan Pemuda.
93
Tujuan utama dari program transmigrasi di masa kemerdekaan Indonesia tidak jauh berbeda dengan masa
pemerintahan Hindia Belanda yang selain untuk memindahkan penduduk di Pulau Jawa, Madura dan Bali, program ini juga bertujuan untuk mensejahterakan
penduduk Indonesia yang mengikuti program transmigrasi. Pada masa pemerintahan presiden Soekarno, pelaksanaan program
transmigrasi di Indonesia lebih dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang terus bertambah di Pulau Jawa, Bali dan Madura yang tidak sebanding dengan jumlah
lapangan kerja yang tersedia. Akibatnya, hasil produksi terutama di sektor pangan tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi penduduknya. Sasaran yang ingin
dicapai pada program transmigrasi di masa pemerintahan presiden Soekarno adalah pemindahan penduduk dan menciptakan lapangan kerja baru bagi
penduduk lokal di daerah-daerah tujuan transmigrasi. Menariknya lagi, setelah berakhirnya masa jabatan presiden Soekarno,
kebijakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan program transmigrasi dilanjutkan oleh pemerintahan presiden Soeharto Orde Baru dan dilaksanakan
secara besar-besaran di banyak daerah yang ada di luar Pulau Jawa. Pada masa Orde Baru, program transmigrasi bahkan menjadi program unggulan yang
dianggap mampu mengatasi banyak permasalahan seperti: pertama, kepadatan penduduk. Kedua, mengatasi jumlah kemiskinan. Ketiga, pemerataan
pembangunan di daerah- daerah “tertinggal.”
93
Ibid, hal. 24
Program transmigrasi yang dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Baru pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan program transmigrasi di masa pemerintahan
Hindia Belanda maupun presiden Soekarno. Perbedaan yang signifikan adalah program transmigrasi di masa pemerintahan Orde Baru tidak hanya bertujuan
untuk mengurangi jumlah penduduk di Pulau Jawa, Madura, dan Bali saja melainkan juga bertujuan untuk membangun daerah-
daerah “tertinggal.” Kebijakan transmigrasi Orde Baru yang berkaitan dengan pembangunan
nasional dilaksanakan dalam bentuk pembangunan jangka pendek, yakni program Pembangunan Lima Tahun Pelita. Program transmigrasi sendiri di masa Orde
Baru telah dilaksanakan pada Pelita I, II, dan III. Pada pelaksanaan Pelita I, program transmigrasi berlangsung pada tahun 1969-1974 di mana pemerintah
Orde Baru telah berhasil memindahkan penduduk dari Pulau Jawa sebanyak 180.749 jiwa atau sekitar 39.436 kepala keluarga kk.
Konon katanya, menurut pemerintah Orde Baru tujuan utama dari dilaksanakannya program transmigrasi pada Pelita I adalah untuk meningkatkan
taraf hidup penduduk transmigrasi sekaligus meletakkan dasar bagi pembangunan nasional untuk daerah-daerah tertinggal yang menjadi lokasi transmigrasi. Sasaran
utama dari program transmigrasi pada Pelita I adalah pembangunan di bidang pertanian untuk menghasilkan produksi pertanian yang akan meningkatkan
pendapatan negara. Pelita II berlangsung pada tahun 1973-1978. Pemerintahan menargetkan
untuk memindahkan 250.000 kepala keluarga dengan rincian sebagai berikut: 30.000 kk di tahun pertama, 40.000 kk di tahun kedua, 50.000 kk di tahun ketiga,
60.000 kk di tahun keempat, dan 70.000 kk di tahun kelima. Sasaran utama dari Pelita II adalah untuk menyediakan sandang, pangan, perumahan, sarana
prasarana, dan memperluas lapangan kerja. Beberapa tujuan program transmigrasi
dalam Pelita II di antaranya: pertama, membangkitkan potensi ekonomi di luar pulau Jawa. Kedua, membuka lapangan kerja baru di luar pulau Jawa. Ketiga,
meningkatkan perekonomian nasional serta meningkatkan integrasi sosial dan
budaya. Keempat, memperbaiki pola penyebaran penduduk dalam jangka waktu berjenjang. Kelima, pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dalam membantu proyek-
proyek pembangunan nasional. Keenam, memperluas daerah pertanian di luar
pulau Jawa sehingga meningkatkan produksi dan ekspor pemerintahan.
94
Pelita III berlangsung pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984, di mana sasarannya adalah meningkatkan penyebaran penduduk, menambah tenaga
kerja pembangunan, serta mengembangkan daerah produksi untuk lahan pertanian daerah transmigrasi. Selain itu, program transmigrasi pada Pelita III juga
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk peserta program transmigrasi dan penduduk lokal. Penyebaran penduduk yang merata di seluruh daerah akan
mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah-daerah tersebut. Selain itu, program transmigrasi akan membantu tersedianya tenaga kerja dan
lapangan kerja baru untuk mendukung proyek-proyek pembangunan. Bagi pemerintahan Orde Baru, program transmigrasi yang dilaksanakan
dalam program Pelita I, II, dan III adalah bagian integral dari pemerintahan untuk menyejahterakan peserta program transmigrasi. Agar tujuan pemerintah pusat
94
Majalah Monitor. Transmigrasi Sebuah Obsesi? . Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya,
Jakarta: 1980, hal. 7
dapat terlaksana, ada beberapa kriteria bagi orang-orang Jawa, Madura, dan Bali yang menjadi bakal calon peserta program transmigrasi, di antaranya: pertama,
orang-orang Jawa, Madura dan Bali harus memiliki keterampilan khusus di bidang pertanian, perkebunan atau peternakan. Kedua, sebagai calon transmigran,
orang Jawa, Madura dan Bali harus berpendidikan minimal Sekolah Dasar. Tujuannya agar peserta transmigrasi dapat mengembangkan sektor pertanian dan
perkebunan di daerah-daerah transmigrasi serta dapat menjalin hubungan baik dengan penduduk lokal.
Tampak bahwa, pemerintah Orde Baru telah melegitimasi kekuasaannya untuk melaksanakan program transmigrasi dengan menggunakan argumentasi
bahwa daerah-daerah transmigrasi memang masih dianggap sebagai daerah “tertinggal” sehingga memang sangat membutuhkan pemerataan pembangunan
dari pemerintah Orde Baru yang ada di Jakarta. Dalam hal ini, tampak pula bahwa pemerintah Orde Baru memandang orang-orang Jawa lebih modern daripada
penduduk lokal yang ada di daerah-daerah transmigrasi, sehingga orang-orang Jawa tersebut di kirim ke daerah-daerah transmigrasi sebagai tenaga kerja yang
dianggap profesional untuk membangun daerah-daerah transmigrasi.