Orang Dayak dalam Wacana Transmigrasi

Baru ingin “memajukan” daerah-daerah transmigrasi di Melawi yang oleh pemerintah Jakarta masih dianggap sebagai salah satu daerah “tertinggal.” Dengan melaksanakan program transmigrasi di Melawi, maka pemerintah Orde Baru telah melanjutkan kebijakan kolonial. Karena melanjutkan kebijakan kolonial ini, maka pemerintah Orde Baru yang ada di Jakarta telah menjadi agen kolonialisme baru yang menggantikan peran pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun demikian, sebagai penyelenggara program transmigrasi, pemerintahan di Jakarta tidak merasa bahwa mereka sedang menjajah orang-orang Dayak, melainkan mereka merasa bahwa kebijakan ini akan membantu orang-orang Dayak untuk membangun daerah-daerah transmigrasi yang ada di Melawi. Sebagai penyelenggara program transmigrasi di Melawi, pemerintah Orde Baru yang ada di Jakarta memang merasa bahwa kebijakan transmigrasi ini sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami oleh orang-orang Dayak yang ada di Melawi. Dengan demikian, tampak bahwa pemerintah Orde Baru memang berpandangan bahwa program transmigrasilah yang dapat membantu orang-orang Dayak agar terlepas dari permasalahan kemiskinan. Dengan kata lain, pemerintah Orde Baru juga ingin mengatakan bahwa tanpa program transmigrasi maka orang-orang Dayak yang ada di Melawi, tidak akan pernah bisa hidup sejahtera. Tampak pula bahwa program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru di Kabupaten Melawi merupakan kelanjutan dari praktek- praktek kolonialisme yang pada masa kolonial dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap penduduk Indonesia. Dengan demikian, program transmigrasi di Melawi, menunjukkan bahwa praktek-praktek kolonialisme tidak hanya bisa dilakukan oleh orang-orang Barat pada umumnya, melainkan juga dapat dilakukan oleh orang-orang Timur sendiri dengan menjadikan sesama orang Timur sebagai korbannya. Tampak pula bahwa pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan program transmigrasi di Melawi sama sekali tidak merasa bahwa kebijakan transmigrasi akan merugikan orang-orang Dayak yang ada di Melawi. Pemerintah Orde Baru yang ada di Jakarta justru merasa bahwa mereka sedang berjuang untuk membantu orang-orang Dayak untuk membangun daerah-daerah transmigrasi di Melawi yang oleh pemerintah Jakarta masih dianggap sebagai salah satu daerah “tertinggal.” Salah satu cara yang digunakan oleh pemerintahan Orde Baru untuk membangun daerah- daerah “tertinggal” di Melawi adalah dengan cara melaksanakan program transmigrasi. Menurut pendapat pejabat pemerintahan yang ada di Kabupaten Melawi, program transmigrasi yang sudah berlangsung sejak tahun 1990-an telah banyak memberikan kebaikan bagi orang-orang Dayak yang ada di Melawi. Program transmigrasi juga dianggap telah berhasil merubah pola pikir masyarakat Dayak di Melawi menjadi “lebih baik” dari sebelum adanya program transmigrasi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Giovani Anton: Dulu sebelum program transmigrasi masuk ke Kabupaten Melawi, sebagaian besar orang-orang Dayak itu masih banyak yang tinggal di daerah-daerah pegunungan dan banyak juga yang tinggal di hutan. Hal itu mereka lakukan karena mereka memang menggantungkan kehidupan mereka dari hasil hutan dan hasil 102 pertanian tradisional. 103 102 Yang dimaksudkan dengan pertanian tradisional di sini adalah sistem pertanian orang- orang Dayak yang biasa dikenal dengan istilah ladang berpindah. Kutipan pernyataan di atas, menunjukkan bahwa logika berpikir pejabat daerah di Melawi dalam memandang program transmigrasi memang dipengaruhi oleh faktor kemajuan daerah-daerah transmigrasi yang dengan cepat berkembang karena adanya pemerataan pembangunan. Tampak bahwa, kutipan pejabat pemerintahan di atas ingin menunjukkan bahwa tanpa adanya program transmigrasi di Melawi, maka akan sangat sulit untuk memajukan daerah-daerah “tertinggal” yang ada di Melawi. Kebijakan transmigrasi yang berlangsung di Melawi menunjukkan bagaimana orang-orang Dayak diwacanakan oleh pemerintah Orde Baru yang diwakili oleh para pejabat daerah maupun orang-orang Jawa yang menjadi peserta program transmigrasi di Melawi. Orang-orang Jawa yang menjadi calon peserta program transmigrasi di Melawi – sebelum berangkat ke lokasi transmigrasi – telah mendapatkan penjelasan dari pemerintah Orde Baru Departemen Transmigrasi, mengenai siapa itu orang-orang Dayak dan seperti apa karakter yang mereka miliki. Sebagaimana disampaikan oleh bapak Mahrudin peserta transmigrasi dari Jawa Barat: Awalnya saya mengira bahwa orang-orang Dayak itu keras dan kejam terhadap warga pendatang. Tadinya kami sempat berpikir kalau kehadiran kami di lokasi transmigrasi, pasti tidak akan diterima oleh orang-orang Dayak. Saya mengetahui kalau orang Dayak itu sudah marah, mereka akan bertindak nekat. Sebagai contoh kasus kerusuhan antara orang Dayak dan Madura sebenarnya membuat kami takut untuk mengikuti program transmigrasi, namun karena ini jalan satu- 103 Wawancara dengan bapak Anton. Staf pemerintah daerah. Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Melawi. 24 Februari 2014. satunya agar kami dapat mengubah nasib, maka pada akhirnya kami pun memutuskan untuk mengikuti program transmigrasi. 104 Kutipan pernyataan di atas menunjukkan bagaimana wacana tentang orang Dayak yang diterima oleh orang-orang Jawa sebelum berangkat ke lokasi transmigrasi sangat mempengaruhi cara berpikir orang-orang Jawa dalam menilai orang-orang Dayak. Karena wacana tersebut, tidaklah mengherankan jika orang- orang Jawa pada awalnya menganggap orang-orang Dayak sebagai salah satu pe nduduk yang dianggap “liar”, “primitif” dan belum beradab. Sebagaimana disampaikan oleh calon peserta transmigrasi lainnya bernama Rohim asal kota Malang, Jawa Timur: Ketika akan berangkat ke lokasi transmigrasi di Melawi, saya dan istri saya awalnya merasa was-was karena menurut cerita yang kami dengar, orang-orang Dayak yang ada di Kalimantan itu adalah pemakan daging manusia. Oleh karena itu, awalnya saya dan keluarga saya merasa takut untuk diberangkatkan ke lokasi transmigrasi. Perasaan takut saya dan keluarga dikarenakan oleh pemahaman kami tentang orang-orang Dayak saat itu, sangat menakutkan. Tapi ketika kami sudah berada di lokasi transmigrasi, perasaan takut tersebut hilang, karena yang temui di lokasi transmigrasi, orang-orang Dayaknya tidak seburuk yang kami bayangkan sebelumnya. 105 Kutipan pernyataan di atas menunjukkan bahwa bagaimana wacana tentang orang Dayak yang diperoleh orang-orang Jawa sebelum mereka berangkat ke lokasi transmigrasi di Melawi benar-benar mempengaruhi cara berpikir orang- orang Jawa dalam menilai orang-orang Dayak yang ada di Melawi. Namun demikian, kutipan di atas juga menunjukkan bahwa wacana kolonial yang 104 Wawancara dengan Bapak Mahrudin. Warga transmigrasi asal Jawa Barat. Rabu 20 Februari 2013 105 Wawancara dengan bapak Rohim. Warga transmigrasi asal kota Malang, Jawa Timur. Kamis 21 Februari 2013 berlanjut di Melawi tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan cara pandang orang-orang Jawa yang menilai buruk orang Dayak berubah manakala mereka telah hidup berdampingan di lokasi transmigrasi. Program transmigrasi pemerintah Orde Baru yang berlangsung di Kabupaten Melawi hanyalah salah satu contoh yang bisa menunjukkan bahwa praktek-praktek kolonial terus berlanjut pada masa pascakolonial. Pada masa pasacakolonial, penyelenggaraan program transmigrasi di Melawi juga menunjukkan bahwa berlanjutnya kolonialisme di Indonesia bukan lagi dilakukan oleh orang-orang Barat pada umumnya, melainkan dilakukan oleh orang-orang Timur sendiri terhadap sesama orang Timur. Bertolak dari beberapa gagasan dan kutipan di atas, tampak jelas bahwa pemerintah Orde Baru sedang melegitimasi wacana tentang suku Dayak yang dalam pandangan pemerintah Orde Baru, masih dianggap sebagai salah satu suku “primitif” yang ada di Indonesia. Tampak jelas pula bahwa pemerintah Orde Baru memandang orang-orang Jawa sebagai representasi dari kemajuan atau yang dianggap modern, sehingga orang-orang Dayak harus belajar dengan orang-orang Jawa agar bisa menjadi masyarakat yang maju dalam hal pembangunan nasional.

E. Asal Mula Istilah Dayak

Nama Dayak sendiri pada dasarnya adalah pemberian pemerintah kolonial Hindia Belanda. Nama Dayak diberikan pada penduduk lokal yang mendiami Pulau Kalimantan. Tujuan pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan nama Dayak adalah untuk mempermudah proses administrasi pendataan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akan tetapi, istilah Dayak juga dipakai oleh para peneliti kolonial yang menulis tentang Pulau Kalimantan. Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai suku Dayak yang merupakan penduduk lokal Pulau Kalimantan bukanlah hal yang baru. Sejauh ini sudah banyak para peneliti yang melakukan riset serta menulis hasil penelitian mereka mengenai suku Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan. Penelitian mengenai orang-orang Dayak di Pulau Kalimantan sudah pernah dilakukan oleh para peneliti Barat pada masa kolonial. Namun demikian, penulis hanya akan menggunakan beberapa literatur yang penulis anggap bisa membantu penelitian tesis ini. P. J. Veth 2012 misalnya menulis buku berjudul “Borneo‟s Westerafdeeling: Geographisch, Statistisch, Historisch” 1854. 106 Buku ini merupakan hasil penelitian dari seorang antropolog Belanda di masa kolonial, tepatnya pada tahun 1856. Hasil penelitian ini diterbitkan ulang dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh P. Yeri dan diterbitan kembali oleh Institut Dayakologi, Pontianak pada tahun 2012. Tujuan dari penerbitan ulang buku ini adalah untuk melihat bagaimana sejarah orang-orang Dayak menurut perspektif orang-orang Belanda. Di dalam buku Veth terdapat gagasan bahwa orang-orang Dayak adalah penduduk asli yang mendiami Pulau Borneo Kalimantan. Penelitian Veth menunjukkan bahwa orang-orang Dayak yang ada di wilayah kepulauan Borneo kehidupannya menyebar hingga ke wilayah pedalaman. Dengan kata lain, hasil 106 P. J. Veth. Borneo Bagian Barat: Geografis, Statistis, Historis. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Jilid 1. Pontianak: Institut Dayakologi, 2012