Tahap Penilaian Assesment Penerapan Expanded Broker Model yang Dilakukan Pekerja Sosial Saat

WBS dengan seseorang. Assessment itu tidak langsung ketahuan harus berkali-kali dilakukan baru ketauan, tidak sekaligus assessment itu terungkap semua tidak sayang panggilan untuk peneliti, dari assessment itu baru nanti ketauan kebutuhan klien yang urgent itu apa, kalo keluhan nenek sakit ya kita rujuk kerumah sakit, kalo memang masalah psikolog kita konselingkan ke psikolog, kalo kebutuhan makan ya kita penuhi kebutuhan gizinya, kalo kebutuhan potensi sesuai kemampuan dia apa bakatnya kita fasilitasi gitu. Jadi sesuai kebutuhan yang dimaksud disini yang lebih urgent itu mana yang kita prioritaskan”. 8 Hal ini senada dengan yang dikatakan ibu Rika Fitriyana, M. Psi selaku psikolog di Panti Sosial Tresna Werdha PSTW mengenai assessment atau penilaian klien yang harus berulang-ulang: “Iya kalo assessment klien itu harus berulang-ulang tidak bisa hanya sekali dan kita harus memastikan konsistensinya, kalo misalnya pertemuan ini dia jawab a nanti pertemuan berikutnya dia jawab b terus pertemuan berikutnya kembali lagi jawab a, berdasarkan dari pengalaman kalo mulai tidak konsisten itu biasanya ada yang disembunyikan pasti ada bohongnya, mungkin memang dia tidak nyaman untuk cerita ke orang lain, karena kan memang tidak mudah untuk kita menceritakan yang sifatnya pribadi.” 9 Assessment merupakan begian dari proses perencanaan perubahan dimana manajer kasus mempelajari kebutuhan masa kini dan yang akan datang dalam konteks permasalahan klien dari segi sosial, pekerja sosial di PSTW melakukan assessment dengan metode konseling. Pada tahap ini pekerja sosial bagian Case Manager sudah mulai membuat dan 8 Wawancara Pribadi dengan Ibu Siti Fathonah, S.Sos, Pekerja Sosial Urusan Manajemen Kasus, PSTW, Jakarta 22 Agustus 2014. 9 Wawancara Pribadi dengan Ibu Rika Fitriyana, M. Psi selaku Psikolog, PSTW, Jakarta 20 Agustus 2014. melengkapi case record catatan kasus klien yang didalamnya mencakup identifikasi kebutuhan, identifikasi potensi dan identifikasi masalah. 10 Identifikasi masalah sangat erat kaitannya dengan assessment kebutuhan need assesment, kebutuhan dapat didefinisikan sebagai kekurangan yang mendorong masyarakat untuk mengatasinya. Assessment dapat diartikan sebagai penentuan besarnya atau luasnya suatu kondisi dalam suatu populasi yang ingin diperbaiki atau penentuan kekurangan dalam kondisi yang ingin direalisasikan. Fungsi assesment itu senidri mengacu pada pengumpulan informasi dan perumusan suatu assesment dari kebutuhan-kebutuhan komprehensif klien, situasi kehidupan dan sumber-sumber. Dalam hal ini pekerja sosial juga melakukan penggalian atas potensi WBS, baik kekuatan dan kelemahannya. Manejer kasus di PSTW memiliki cara tersendiri dalam mengidentifikasi WBS secara tepat yaitu untuk menangani serta mengetahui masalah yang terjadi WBS maka manajer kasus ini harus memahami masa lalu WBS karena pemahaman masa lalau selalu berkaitan dengan pemahaman masalah yang dialami WB saat ini. Manajer kasus berusaha untuk mengetahui kehidupan WBS kecil, kalau WBS tidak bisa di assesment mulai dari kecil bisa juga dari mulai pernikahannya dan apabila WBS tidak bisa menceritakan semuanya maka manajer kasus harus melakukan home visit kepada orang yang memiliki hubungan 10 Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Pedoman Penanganan Anak Melalui Rumah Perlindungan Sosial Anak Jakarta : 2004, h. 21. dengan WBS ataupun mengenal WBS seperti RT ataupun lingkungan sekitar WBS dulu tinggal. Adapun hasil assesment yang dilakukan manajer kasus PSTW memperlihatkan permasalahan yang dialami WBS. H berasa dari keluarga mampu serta memiliki 3 orang anak, WBS mempunyai usaha membuka Showroom jual beli mobil bekas, karena WBS ditipu oleh seseorang maka usahanya itu bangkrut, WBS bercerai dengan isterinya secara sepihak karena diceraikan oleh kaka ipar WBS kaka kandung isteri WBS, WBS juga dimasukan ke RS Grogol dengan kaka iparnya tanpa sepengetahuan anak maupun isterinya, kaka ipar WBS menghasut anak WBS bahwasannya WBS pergi meninggalkan keluarganya. Ketika WBS berada di Grogol semua biaya perawatan dan biaya keluarga WBS di tanggung oleh kaka ipar WBS itu sendiri. Dampak dari permasalahan yang dialami H dia mengalami depresi yang cukup berat, mengalami gangguan mental, merasa putus asa dengan kehidupannya dan WBS tidak mau untuk kembali lagi kepada keluarganya karena WBS mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari kaka iparnya dan WBS juga merasa berhutang budi kepada kaka iparnya karena sudah mengurusi keluarga WBS serta membiayai anak WBS sampai selesai sekolahnya. Sebelum masuk panti ini WBS mendapatkan perawatan di RS Grogol setelah itu dirujuk ke PSBL Panti Sosial Bina Laras dan kemudian setelah itu klien di rujuk ke panti ini dengan klasifikasi Ex Psikotik tenang, sejak awal masuk di PSTW WBS memiliki perilaku yang tidak baik sering mengambil barang temannya dan menjualnya keluar panti, tetapi kondisi WBS saat ini sudah mulai membaik dan tenang kerena setiap hari diberikan obat oleh perawat di panti karena WBS itu sendiri psikotik, pada dasarnya orang psikotik tidak boleh lepas dari obat kalau tidak diberi obat maka klien akan tidak tenang. Sedangkan untuk B manejer kasus bisa untuk mengidentifikasi masa lalunya, B adalah anak ke dua dari lima bersaudara. B mendapatkan pola asuh yang tidak baik dari orang tuanya karena orang tua B bercerai pada saat B masih kecil, akibat dari perceraian ini B memutuskan untuk pergi keluar dari rumah tempat tinggalnya karena B merasa tidak nyaman dan tidak betah untuk tinggal bersama ibu tirinya. Pada umur 15 tahun B bekerja menjadi pengamen jalanan, kuli panggul dan lain-lain. B juga memiliki anak dari hasil yang tidak baik dengan isterinya karena B menikah tanpa aturan hukun dan agama ataupun bisa dikatakan B menjalin percintaan tanpa ada ikatan pernikahan sampai akhirnya memiliki anak. Ketika B sedang mengamen di jalanan ternyata B terkena razia oleh SATPOL PP satuan polisi pamong praja akhirnya B di masukan ke dalam panti. Dampak dari permasalahan yang dialami B yaitu menyebabkan kurangnya pola asuh serta kasih sayang yang diberikan oleh orang tua, kurangnya pengajaran pendidikan dan kurangnya bimbingan keagamaan yang diberikan oleh orang tua maupun orang terdekatnya. Dari permasalahan yang dialami B maka manajer kasus melakukan CC dengan profesi lainnya untuk menangani permasalahan yang dialami B dengan meihat masa lalu B yang ada kaitannya dengan masalah saat ini. untuk SM, SM menikah tanpa persetujuan dari orang tuanya dan meninggalkan orang tuanya sampai meninggal pun S tidak pernah berkomunikasi engan orang tuanya, akhirnya SM memiliki 2 orang anak, SM tidak setuju kalau anaknya menikah dengan beda suku, anaknya pun akhirnya menikah dengan apa yang dilarang oleh klien, SM tinggal bersama anak dan menantunya sampai akhirnya pada suatu hari menantu SM mengusir klien dari rumahnya, SM tinggal seorang diri ketika umurnya sudah senja SM dimasukan ke PSTW oleh temannya karena SM tinggal seorang diri. Awal masuk ke panti ini SM tidak jujur kepada petugas panti kalau memiliki anak, SM berbicara kepada manajer kasus tidak memiliki anak, sampai akhirnya setelah melakukan assesment maka terungkap semua bahwa sebenarnya SM memiliki anak, SM tidak jujur kepada petugas memiliki anak karena SM takut kalau panti tau maka SM akan dikembalikan kepada anaknya. Dampak dari permasalahan yang dialami SM sampai saat ini memiliki hubungan yang kurang baik dengan menantunya. Manajer kasus melakukan assesment kepada P itu dengan melihat kehidupan masa lalunya yaitu P berasl dari keluarga yang sederhana, P menikah sebanyak tiga kali tetapi P tidak pernah disukai oleh anak-anak tirinya sehingga mengakibatkan P tinggal bersama adiknya dan keponakannya. Setelah adiknya meninggal maka semua kehidupan P di tanggung oleh keponakannya sampai akhirnya P direkomendasikan oleh tetangganya untuk tinggal di panti karena kehidupan keponakannya sangat sederhana sehingga sudah tidak bisa memberikan P kehidupan yang layak, Sedangkan untuk ST manajer kasus mengetahui dari hasil assessment bahwa ST adalah salah satu korban letusan gunung merapi dan ST hidup sendiri karena kedua anaknya sudah menikah, anaknya tinggal di Ciputat dan Tanjung Priuk. Dengan kejadian yang dialami ST sebagai korban letusan gunung merapi maka ST dilarikan ke PUM karena ST mengalami luka di tubuhnya sehingga ST haru di rawat di sana. Seelah ST keadaan sudah memungkinkan dan membaik maka ST di rujuk ke PSTW karena ST tidak mau untuk tinggal bersama anaknya dengan alasan tidak mau menyusahkan anak-anaknya dan faktor lain karena ST ada konflik dengan menantunya sehingga ST lebih memilih hidup di dalam panti. Dari berbagai permasalahan yang dialami WBS di atas maka manajer kasus berusaha melihat WBS dari sisi yang berbeda, seperti meihat WBS dari segi sosial, spiritual, fisik dan lainya. Untuk bisa melihat WBS dari sisi lain atau dari berbagai macam sisi maka manajer kasus melakukan CC case confrence dengan profesi lain untuk mengetahui permasalahan WBS dari berbagai sisi. Manajer kasus melakukan CC pada tahap perencanaan untuk membahas semua masalah yang ada pada diri WBS, dalam assessment ini manajer kasus hanya membuat case record saja tentang WBS. Berdasarkan proses pertolongan dalam praktik pekerja sosial pada tahap pertama itu adalah engagement, intake dan contract yaitu merupakan tahap awal dalam praktik pertolongan kontak awal antara pekerja sosial dengan WBS yang berakhir pada kesepakatan untuk terlibat dalam proses. Proses pertolongan ini sama dengan manajemen kasus, jadi manajer kasus di PSTW pada tahap ini melakukan kontrak atau kesepakatan terlebih dahulu dengan WBS, setelah sudah ada kesepakatan dengan WBS kemudian baru bisa melakukan assesment kepada WBS. Dalam tahap ini tidak bisa hanya dengan keinginan sebelah pihak, harus dengan perjanjian kedua belah pihak sesuai kesepakatan atau perjanjian dari keduanya antara pekerja sosial dengan WBS. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh ibu Siti Fathonah, S.Sos yang berperan sebagai manajer kasus: “Mempersiapkan dulu adanya kontrak dengan lansia tersebut kapan kita bisa mengadakan wawancara mengingat kita kan tidak bisa memaksa, ketika sudah ada kesepakatan baru kita assessment tempatnya dimana, ruangannya apa harus kita sampaikan. Kita tidak boleh memilih oh harus disini tidak, sesuai kesepakatan enaknya dimana ya mbah. Intinya harus ada kepercayaan dulu dalam kontrak ini ada perjanjian, misalkan berapa jam harus kita lakukan, nanti apa saja yang kita tanyakan tahapan-tahapan seperti apa, apakah mulai dari pernikahan mereka atau awal dari mereka lahir seperti itu. Disini ada catatan case record nya biasanya wawancara dulu wawancara biasa ya nama apa seperti itu biasa, boleh ditulis boleh aku membuat konsep sendiri atau langsung bertanya boleh, kalo sulit mau pake panduan juga ga apa-apa.” 11

2. Tahap Perencanaan

Dalam dunia pekerjaan sosial dan ilmu kesejahteraan sosial saat ini perencanaan di kenal sebagai salah satu unsur yang penting dalam mengembangkan pemberian layanan yang efektif terhadap klien ataupun kelompok sasaran. 12 Tahapan ini merupakan tahap untuk menyusun dan mengembangkan layanan yang menyeluruh untuk klien sesuai dengan hasil penilaian. Hasil-hasil identifikasi masalah yang didapatkan dari tahap penilaian sesuai keinginan klien, masalah kebutuhannya, serta sumber daya yang tersedia, kemudian disusun menjadi suatu formulasi masalah dan selanjutnya dapat ditetapkan prioritas masalah yang digunakan untuk menyusun perencanaan. Untuk menentukan keberhasilan program manajemen kasus yang harus dilakukan terhadap klien maka perlu disusun kriteria evaluasi. 13 Dalam proses perencanaan sosial para perencana dan pihak-pihak terkait atau para pemangku kepentingan Stakeholders selayaknya bersama-sama menyusun pola rencana yang komprehensif. Pola tersebut menyangkut tujuan-tujuan khusus, strategi-strategi, tugas-tugas dan prosedur-prosedur yang ditunjukan untuk membantu pemenuhan 11 Wawancara Pribadi dengan Ibu Siti Fathonah, S.Sos, Pekerja Sosial Urusan Manajemen Kasus, PSTW, Jakarta 12 Septmeber 2014. 12 Isbandi Rukminto Adi, Ph.D, “Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas”, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, h. 119. 13 Kementerian Sosial RI, “Modul Diklat Dasar Pekerjaan Sosial dengan Lanjut Usia”, h. 87. kebutuhan-kebutuhan dan pemecahan masalah. Menurut Suharto perencanaan adalah sebuah proses yang penting dan menentukan keberhasilan suatu tindakan, perencanaan pada hakekatnya merupakan usaha secara sadar dan terus menerus dilakukan guna memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada untuk mencapai tujuan tertentu, perencanaan juga dapat diartikan sebagai kegiatan ilmiah yang melibatkan pengelola fakta dan situasi sebagaimana adanya yang ditunjukan untuk mencari jalan keluar dan memecahkan masalahnya. 14 Tahap perencanaan atau disebut rencana intervensi di PSTW manajer kasus merencakan bentuk penanganan masalah yang tepat untuk WBS berdasarkan hasil assessment. Rencana intervensi di susun di dalam suatu pembahasan kasus case conference. Dalam kegiatan ini manajer kasus PSTW mengundang kelompok profesional atau pihak yang dapat memberikan kontribusi bagi penanganan kasus WBS seperti psikolog, ahli spiritual, perawat, penanggung jawab wisma dan sebagainya untuk mendiskusikan hasil assessment dan tahap perubahan yang diharapkan terjadi pada klien. Seperti yang dikatakan oleh ibu Siti Fathonah, S.Sos selaku pekerja sosial yang berperan sebagai manajer kasus dibawah ini: “Perencanaan ini ya sama kaya rencana intervensi, berarti kita memilih masalah yang lebih urgent tadi yang ada pada diri WBS tersebut. Hasil dari assessmentitu terus kita melakukan CC, kita mengajak psikolog, ahli spiritual, perawat sama penanggung jawab wisma di CC itu. Dari CC itu ketauan mao diapain si WBS ini, mao dikemanakan si, oh ya dia ga betah 14 Edi Suharto, “Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat”, Bandung: PT Refika Aditama, 2005, h. 72. karna hambatan dia ga bisa ngikutin kegiatan rupanya matanya katarak misalkan, ya kita konsulkan kedokter, salah satunya itu, setelah dioperasi evaluasi lagi ada perubahan ga setelah dioperasi, apakah ngikutin kegiatan atau tidak, oh tidak. Kalo tidak dari segi fisiknya atau dari segi psikisnya. Jadi berkesinambungan ga berhenti, kebutuhan tuh ga berhenti. Dalam rencana intervensi ini ya kita juga mengidentifikasi pelayanan-pelayanan atau sumber yang bervariasi yang dapat dijangkau untuk membantu penanganan masalah klien” 15 Hal ini senada juga dengan yang diungkapkan oleh ibu Rika Fitriyana, M. Psi selaku psikolog di PSTW ini sebagai berikut: “Ya psikolog ikut serta dalam menangani permasalahan klien, dalam artian membantu memberikan penilaian, ya namanya kita ada disuatu tempat ya kita harus bekerja sama, penilaian kan ga dilakukan sama satu profesi saja tapi harus dengan banyak profesi. Biasanya untuk menangani permasalahan klien itu kita bentuknya Case Confrence jadi disitu peksos, perawat, penanggung jawab wisma terus kepala BIMLUR Bimbingan dan Penyaluran itu juga ada, nah disitu kita membicarakan satu kasus yang paling urgent abis itu ya saya sebagai psikolog saya memberikan masukan terkait dengan teritmen secara psikologis yang tepat seperti apa nah gitu, peksos melaporkan klien dengan lingkungannya itu seperti apa, penanggung jawab yang di wisma itu menyampaikan informasi mengenai perilaku WBS itu apa adanya gitu permasalahannya apa. Kemudian dari situ kita bahas bagaimana seperti apa kita remukin bareng- bareng biasanya gitu pada saat CC gitu”. 16 Hal ini juga diungkapkan oleh bapak Bahrudin, S.Ag selaku selaku ahli spiritual dan ibu Halimah selaku perawat di PSTW mengenai kerja sama yang dilakukan untuk menangani permasalahan WBS yaitu: ”Ya seperti CC gitu, ada ibu Siti, perawat sama ibu psikolog dalam menangani masalah nenek kakek, kerja samanya juga 15 Wawancara Pribadi dengan Ibu Siti Fathonah, S.Sos, Pekerja Sosial Urusan Manajemen Kasus, PSTW, Jakarta 22 Agustus 2014. 16 Wawancara Pribadi denganIbu Rika Fitriyana, M. Psi selaku Psikolog, PSTW, Jakarta 20 Agustus 2014.