Manajemen kasus permasalahan lanjut usia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia I Cipayung Jakarta Timur

(1)

BUDI MULIA I CIPAYUNG JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Di susun Oleh:

FIFI NURMAGFIROH

1110054100015

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H / 2014 M


(2)

(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 September 2014

FIFI NURMAGFIROH 1110054100015


(5)

i Fifi Nurmagfiroh

1110054100015

Manajemen Kasus Permasalahan Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung.

Sebagai makhluk hidup dalam melalui fase-fase kehidupannya tentu tidak akan terlepas dari berbagai permasalahan. Pada fase Lansia (Lanjut Usia) ini pun dipastikan akan menghadapi masalah-masalah kehidupan. Permasalahan yang dialami lansia sangat kompleks mulai dari permasalahan secara biologis atau fisik, psikis (mental) dan sosialnya. Banyak pula lansia yang terlantar dan yang diterlantarkan oleh keluarganya sendiri sehingga mereka membutuhkan perhatian khusus dari pihak lain untuk menangani permasalahan yang ada pada dirinya.

Manajemen kasus adalah salah satu metode untuk menangani permasalahan yang terjadi pada lanjut usia tersebut. Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung adalah lembaga yang peduli terhadap permasalahan lansia dan PSTW menggunakan metode manajemen kasus untuk menangani permasalahan yang terjadi pada lansia serta PSTW berfungsi memberikan pelayanan sosial, psikologis, perawatan medis, bimbingan fisik, mental, spiritual dan bimbingan pemanfaatan waktu luang yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas hidup dan keberfungsian sosial lansia terlantar sehingga dapat membuat hari tuanya dengan mengikuti ketentraman lahir dan batin.

Atas dasar pemaparan di atas peneliti bermaksud meneliti penerapan Expanded Broker Model yang dilakukan pekerja sosial saat melaksanakan manajemen kasus di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) serta tahapan manajemen kasus permasalahan lansia di PSTW. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik yang digunakan peneliti untuk pemilihan informan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling (bertujuan) di mana informan di pilih berdasarkan pertimbangan tertentu dan di anggap sebagai orang-orang yang tepat dalam memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan peneliti. Untuk teknik pengambilan data peneliti melakukan wawancara kepada informan yang telah peneliti tentukan.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa dalam penerapan Expanded Broker Model yang dilakukan pekerja sosial saat melaksanakan manejemen kasus di PSTW maka pekerja sosial dalam model ini bertindak sebagai broker yang tugasnya lebih menghubungkan klien kepada pelayanan yang dibutuhkan klien atau pekerja sosial menjembatani antara klien dengan pelayanan yang ada di PSTW. Adapun tahapan-tahapan manajemen kasus di PSTW yaitu penilaian (Assesment), perencanaan, pelaksanaan (Implementation), pengawasan, pendampingan dan pengakhiran (Termination). Serta pekerja sosial menerapkan prinsip penerimaan, komunikasi, individualis, partisipasi, kerahasiaan dan kesadaran diri petugas ketika menangani permasalahan klien.


(6)

ii

Bismillahirrohmanirohim alhamdulillahirobil‘alamin.

Puji syukur senantiasa peneliti panjatkan senantiasa kehadirat Allah SWT pemilik segala daya dan upaya, kekuasaannya serta yang telah juga memberikan rahmat hidayahnya kepada hambanya. Shalawat serta salam senantiasa tetap tercurah limpahkan kepada junjungan dan panutan umat manusia Baginda Rasullulah Muhammad SAW yang telah memberikan suri taudalan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Penyertaan sholawat diharapkan semoga dapat memberikan syafa’at di kemudian hari. Karena tidak

terlepas kuasanya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “Manajemen Kasus Permasalahan Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 cipayung”. Skripsi ini di

susun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.sos), pada Jurusan Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini tidaklah luput dari sumbangsih berbagai pihak. Peneliti menyadari sepenuh hati bahwa penulisan skripsi masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan baik dari segala materi, maupun pembahasan dan tata bahasa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan peneliti yang masih perlu mengisi diri dengan ilmu pengetahuan. Untuk itu kritikan dan saran yang bertujuan membangun sungguh merupakan masukan bagi peneliti demi kesempurnaan skripsi ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya peneliti mengucapkan banyak terimakasih kepada:


(7)

iii

Dr. Jumroni, M.Si, MA selaku Pudek II, dan Bapak Dr. H. Sunandar, MA selaku Pudek III Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

2. Ibu Siti Napsiyah, MSW, selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial dan juga seluruh staff akademik Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 3. Bapak Ahmad Zaky, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Kesejahteraan

Sosial.

4. Ibu Artiarini Puspita Arwan, M.Psi sebagai Pembimbing Skripsi dengan kesabarannya dan rela meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan serta motivasi kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Segenap Dosen Pengajar pada Program Studi Kesejahteraan Sosial dan

seluruh Civitas Akademika yang telah memberikan sumbangan wawasan ke ilmuan dan membimbing peneliti selama mengikuti perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepada Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Perpustakaan Kementerian Sosial RI.

7. Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung yang telah mengizinkan peneliti dalam melakukan penelitian.

8. Ibu Siti Fathonah, S.Sos selaku Pekerja Sosial PSTW yang telah meluangkan waktunya serta membantu dan membimbing peneliti saat melakukan penelitian.

9. Para Staff dan Petugas PSTW yang telah bersedia di wawancarai oleh peneliti. 10. Para WBS (Warga Binaan Sosial) PSTW.


(8)

iv

dan yang telah memberikan dorongan moril, materil serta doa yang senantiasa dipanjatkan demi kesuksesan dan tercapainya cita-cita peneliti.

12. Endeh, Pakdeh dan Mba Galuh yang telah memberikan semangat dan do’a

kepada peneliti.

13. Egi Anugrah selaku kakak penulis yang penulis sayangi.

14. Fajar Fitriansyah, terimakasih karena selalu memberikan support untuk peneliti agar bisa cepat menyelesaikan skripsi ini serta telah memberikan kasih sayangnya beserta iringan doa untuk peneliti, membantu dan selalu memberikan kembali semangat yang terkadang hilang untuk menyelesaikan skripsi ini.

15. Sahabat-sahabat tersayang tercinta tarkasih peneliti, Tina, Pipit, Isnaniyah, Ika, Prapty, Lusi, Novi, Tari, Gadis, Jejeh, Putera, Ratih, Wita dan Ayu yang telah amat sangat penulis kasihi dan sayangi serta selalu menerima penulis apa adanya dengan segala kekurangan yang ada pada diri peneliti. Semoga kita selalu selamanya bersahabat.

16. Sahabat terkasih Miftahul Ulum 2009-2010 yang peniliti sangat banggakan dan sayangi.

17. Kawan seperjuangan Tanjung Pasir Udin, Miftah, Fadly, Syamsul, Daus. 18. Kawan seperjuangan MPK Asisah dan Soleh.

19. Kawan seperjuangan PSTW Hafidz.


(9)

v

22. Terima kasih untuk kakak-kakak, adik-adik dan teman-teman di LSO tercinta SKETSA (Komunitas Edukasi Seni Tari Saman).

23. Kepada semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu, yang telah mendukung baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisans kripsi ini namun tidak menghilangkan rasa hormat dan terima kasih peneliti kepada kalian.

Semoga Allah SWT memberikan dan melimpahkan rahmat serta karunia-Nya atas segala bantuan yang telah diberikan kepada peneliti. Penelti berharap semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, 17 September 2014

Penulis,


(10)

vi

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan danPerumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian ... 10

E. Tinjauan Pustaka. ... 18

F. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II LANDASAN TEORI A. Manajemen Kasus ... 21

1. Pengertian Manajemen Kasus. ... 21

2. Model-Model Manajemen Kasus. ... 23

3. Dasar-Dasar Pelayanan Manajemen Kasus. ... 25

4. Tahap-Tahap Manajemen Kasus ... 26

5. Tugas Manajer Kasus ... 31

6. Prinsip Pekerja Sosial ... 32

B. Lanjut Usia (Lansia)... 34

1. Pengertian Lanjut Usia. ... 34

2. Karakteristik Usia Lanjut ... 37

3. Tugas Perkembangan Usia Lanjut ... 39

C. Permasalahan Lanjut Usia... 40

1. Masalah Lanjut Usia. ... 40

2. Masalah Interaksi Sosial Pada Lnjut Usia... 45

3. Kerawanan Pribadi dan Kerawanan Sosial Lansia... 48

BAB III GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA (PSTW) BUDI MULIA 1 CIPAYUNG A. Latar Belakang Pendirian Lembaga ... 51

B. Tujuan,Visi dan Misi... 52

C. Falsafah Lembaga ... 53

D. Struktur Organisasi Lembaga... 54

E. Program ... 55

F. Jangkauan Layanan ... 58

G. Sumber Daya Manusia (SDM) ... 60

H. Sarana dan Prasarana Lembaga... 61

I. Kemitraan dengan Pihak Luar... 63

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Profil Lima WBS (Informan) ... 65


(11)

vii

D. Tahap Pelaksanaan Manajemen Kasus Permasalahan Lanjut

Usia Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 ... 76

1. Tahap Penilaian (assesment)... 77

2. Tahap Perencanaan ... 86

3. Tahap Pelaksanaan (implementation) ... 91

4. Tahap Pengawasan (monitoring) ... 95

5. Tahap Pendampingan (advocation) ... 99

6. Tahap Pengakhiran (termination) ...102

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...108

B. Saran...111 DAFTAR PUSTAKA


(12)

viii

2. Table 1.2 Informan……….13


(13)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjadi tua merupakan proses alamiah dan kenyataan yang tidak dapat dihindari oleh setiap orang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia (lanjut usia) umumnya mengarah pada kemunduruan kesehatan fisik dan psikis. Penurunan kondisi fisik lansia di tandai dengan berubahnya penampilan, menurunnya fungsi panca indra sehingga menyebabkan lansia merasa rendah diri, mudah tersinggung dan merasa tidak berguna lagi. Dari segi inilah lansia mengalami masalah psikologis yang banyak mempengaruhi kesehatan psikis, sehingga menyebabkan lansia kurang mandiri dan secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari.

Selain permasalahan mengenai kondisi psikis dan fisik yang dialami lansia, masih banyak lagi permasalahan yang dialami oleh lansia diantaranya seperti lansia yang diterlantarkan oleh keluarganya dan ada pula lansia yang membutuhakan perhatian dalam hal tata cara kehidupan. Dengan melihat permasalahan yang di hadapi lansia tersebut, maka para lansia sangat membutuhkan perhatian yang lebih dari masyarakat dan pemerintah.

Ada beberapa bukti bahwa orang-orang yang dipersiapkan terhadap perubahan-perubahan pribadi dan sosial yang terjadi di masa usia lanjut lebih mampu menyesuaikan diri terhadap kehidupan masa tua. Karena penurunan kondisi fisik dan mental lansia lebih potensi terhadap kerawanan-kerawanan dibandingkan waktu ia lebih muda dulu. Sayangnya masyarakat sering tidak


(14)

melihat potensi tersebut, sehingga kurang ada usaha di lingkungan masyarakat untuk mempersiapkan orang-orang lansia ini terhadap kerawanan-kerawanan kelak. Misalnya saja kurang dipersiapkan terhadap kecelakaan-kecelakaan (yang umum terjadi pada mereka) atau bagaimana menghindarinya, kurang di bantu dalam menggunakan waktu luangnya sesuai dengan kesehatan dan energinya yang sudah menurun.1

Lansia itu sendiri ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Sedangkan lansia terlantar ialah mereka yang tidak memiliki sanak saudara atau punya sanak saudara tapi tidak mau mengurusinya dan banyak faktor-faktor tertentu tidak dapat di penuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosialnya.

Keterlantaran lansia dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu lansia terlantar, hampir terlantar dan tidak terlantar. Lansia terlantar yaitu lansia yang tidak atau belum mampu memenuhi kebutuhan minimalnya untuk dapat hidup secara layak. Lansia hampir terlantar yaitu lansia yang berpotensi untuk menjadi lansia terlantar. Untuk menentukan keterlantaran lansia ada beberapa kriteria, yaitu:

1) Tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD.

2) Makan makanan pokok kurang dari 14 kali dalam seminggu.

3) Makan lauk pauk berprotein tinggi (nabati atau hewan), nabati kurang dari 4 kali, hewani kurang dari 2 kali atau kombinasi 4, 2 dalam seminggu. 4) Memiliki pakaian layak pakai kurang dari 4 stel.

5) Tidak mempunyai tempat tetap untuk tidur.

1

Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si, dkk., “Psikologi Perkembangan”, (Ciputat: Lembaga


(15)

6) Bila sakit tidak diobati.

7) Bekerja lebih dari 35 jam seminggu.

Lansia dikatakan terlantar jika memenuhi lebih dari 2 kriteria dari 7 kriteria tersebut, jika memenuhi 2 kriteria dikategorikan sebagai lansia hampir terlantar dan jika hanya memenuhi 1 kriteria atau kurang dikategorikan sebagai lansia tidak terlantar.2

Tabel 1.1 Kriteria Lansia

Tipe daerah atau

jenis kelamin Terlantar

Hampir Terlantar

Tidak

Terlantar Total

Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Perkotaan (K)

Laki-laki (L) 377,9 8,99 931,3 22,16 2 892,7 68,84 4 201,9 100,00

Perempuan (P) 450,0 9,12 1108,4 22,48 3 373,0 68,40 4 931,4 100,00

L + P 827,9 9,06 2039,7 22,33 6 265,7 68,60 9 133,3 100,00

Perdesaan (D)

Laki-laki (L) 755,5 17,51 1221,8 28,31 2338,7 54,19 4316,0 100,00

Perempuan (P) 856,7 16,88 1 478,9 29,14 2 740,1 53,98 5 075,8 100,00

L + P 1 612,3 17,17 2 700,7 28,76 5 078,8 54,08 9 391,7 100,00

K + D

Laki-laki (L) 1133,4 13,31 2153,1 25,28 5231,4 61,42 8517,9 100,00

Perempuan (P) 1 306,7 13,06 2 587,4 25,86 6 113,1 61,09 10 007,2 100,00

L + P 2440,2 13,17 4 740,4 25,59 11 344,4 61,24 18 525,0 100,00

Sumber : BPS, Susenas MSBP 2012

Tabel di atas berdasarkan hasil statistik kependudukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 diperoleh data mengenai lansia terlantar, lansia hampir terlantar dan lansia tidak terlantar.

Di dalam UU No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia dinyatakan lebih sempit, bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai

2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.


(16)

60 tahun keatas. Sedangkan menurut pandangan islam, dalam tahapan umur tua akan tampak tanda-tanda kelemahan seseorang. Kekuatannya mulai menurun sedikit demi sedikit dari puncaknya, lalu menjadi semakin lemah sesudah masa kuatnya dahulu.3 Tahapan umur ini oleh Rasulullah SAW dinamakan masa pergulatan dengan maut yaitu masa-masa umur 60 tahunan hingga umur 70 tahunan. Dalam hal ini beliau telah bersabda yang artinya:

“Masa penuaan umur umatku dari enam puluh hingga tujuh puluh tahun” ( H.R Muslim dan Nasa’i ).

Setelah itu orang akan beralih pula dari masa tua menjadi tua renta dan lansia yaitu dari usia 70 tahunan hingga akhir umur yang ditetapkan oleh Allah SWT, menurut pembagian Ibhul Jauzi, seseorang akan tetap dinamakan orang tua juga betapapun umur lebih jauh dari itu hingga menemui ajalnya. Dalam tahapan umur ini biasanya kelemahan menimpa manusia serta semua panca indranya dan anggota badannya sehingga ada kalanya ia sama sekali tidak berdaya atau berkekuatan lagi. Allah SWT telah berfirman dalam Q.S An-Nahl ayat 70:

“Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara

kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”4

Permasalahan lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) ini sangat beraneka ragam, mulai dari permasalahan secara biologis atau fisik,

3

Hasanain M. Makhluf. “Renungan Tentang Umur Manusia”, (Bandung: Mizan, 1992)

h. 66.

4

Al-Qur’an, “Q.S An-Nahl ayat 70 beserta terjemahannya”, artikel ini diakses pada 10


(17)

psikis (mental) dan sosialnya. Permasalahan secara fisik pada lansia merupakan penurunan fungsi organ tubuh, penyakit yang dominan dialami lansia di panti ini yaitu Rheumatoid Arthritis, Chardiovascular, diabetes dan Psikogeriatri. Permasalahan secara fisik yang dialami lansia membuat mereka tidak berdaya, namun tidak semua lansia yang mengalami gangguan fisik membuat mereka tidak dapat melakukan kegiatan ataupun keterampilan yang mereka miliki walaupun daya ingat, penglihatan mereka menurun dan sulit untuk berjalan menuju aula tapi mereka tetap semangat dan mau untuk mengikuti kegiatan yang ada di aula seperti musik angklung.

Permasalahan secara psikis (mental) yang di alami lansia di panti ini juga sangat kompleks, seperti yang terjadi di panti ini sering terjadi pertengkaran sesama WBS (Warga Binaan Sosial) sebutan untuk lansia di PSTW dan terjadikecemburuan sosial dengan petugas panti, karena nenek mempunyai perasaan yang lebih dengan petugas itu, nenek merasa petugas memberikan perhatian yang lebih kepada dirinya padahal tidak begitu karena petugas mempunyai kewajiban mengurusi semua WSB yang ada di panti, oleh sebab itu apabila petugas itu mengurusi nenek yang lain maka nenek itu akan memusuhinya. Masalah ini timbul karena pada dasarnya menjadi tua akan mengalami perubahan aspek psikososial dan emosional yang tidak stabil seperti mudah tersinggung, marah, mengekang, melarang karena rasa takut yang berebihan akan kehilangan dan lain-lain.

Selanjutnya permasalahan sosial yang dialami lansia di panti ini juga sangat beraneka ragam karena perlakuan atau kejadian yang dialami lansia pada masa lalu berbeda-beda, baik perlakuan kejam dari keluarga maupun


(18)

lingkungan sekitarnya yang tidak bisa menerima dirinya, seperti contohnya lansia yang mengalami tindak kekerasan atau perlakuan yang tidak baik dari keluarganya maka lansia itu tidak mau untuk berkata jujur kalau masih mempunyai keluarga, karena yang ada di dalam pikirannya hanya ketakutan atau trauma, apabila lansia itu berkata jujur masih mempunyai keluarga kepada pihak panti maka pihak panti akan menghubungi keluarganya dan mengembalikannya kepada keluarganya, itu yang ada dipikiran lansia tersebut. Oleh sebab itu pihak panti berusaha untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya terjadi terhadap lansia tersebut dengan menggunakan metode manajemen kasus, agar mengetahui permasalahan lansia serta permasalahan yang dihadapi lansia bisa terselesaikan dan hubungan antara lansia dengan pihak keluarga bisa harmonis walaupun tidak bisa bersatu tetapi ada komunikasi antara lansia tersebut dengan keluarganya dibandingkan yang sebelumnya tidak ada komunikasi sama sekali.

Lembaga yang peduli terhadap permasalahan ini adalah Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung. Dimana PSTW Budi Mulia 1 merupakan salah satu unit pelaksanaan teknis Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia terlantar. PSTW berfungsi memberikan pelayanan sosial, psikologis, perawatan medis, bimbingan fisik, mental, spiritual dan bimbingan pemanfaatan waktu luang yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas hidup dan keberfungsian sosial lansia terlantar


(19)

sehingga dapat membuat hari tuanya dengan mengikuti ketentraman lahir dan batin.5

Dengan banyaknya permasalahan yang terjadi pada lansia, maka PSTW menggunakan metode manajemen kasus untuk menghadapi serta mencari jalan keluar mengenai permasalahan yang terjadi pada lansia. Ada 3 Pekerja Sosial di PSTW tetapi hanya 1 pekerja sosial yang berperan sebagai manajer kasus, yaitu orang yang bertanggung jawab dalam keberlangsungan dan keberhasilan pelaksanaan pelayanan manajemen kasus.

Manajemen kasus merujuk kepada suatu proses atau metode yang menjamin agar klien mendapat pelayanan yang dibutuhkannya secara koordinasi, efektif dan efisien. Komponen dasar manajemen kasus yang dilakukan oleh pekerja sosial dalam menangani permasalahan lansia di PSTW ini yaitu Assesment, yang mencakup identifikasi kebutuhan (sandang, pangan, papan) identifikasi potensi dan identifikasi masalah klien, Perencanaan, Pelaksanaan, Pendampingan dan Pengakhiran.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka kemudian mendorong penulis untuk melakukan pembahasan dan penelitian secara lebih mendalam mengenai gambaran “Manajemen Kasus

Permasalahan Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 CipayungJakarta Timur”.

5


(20)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, peneliti memberikan batasan permasalahan yang dipaparkan dengan tujuan agar terhindar dari terjadinya perluasan materi yang akan dibahas dan mengingat keterbatasan peneliti dalam hal ilmu pengetahuan, waktu, dana dan tenaga serta demi terfokusnya pikiran. Maka peneliti membatasi permasalahan yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah gambaran manajemen kasus permasalahan lanjut usia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur. 2. Perumusan Masalah

Dengan banyaknya permasalahan yang terjadi pada lansia, mulai dari masalah fisik/mental, psikis maupun sosialnya. Maka peneliti lebih memfokuskan penelitian tentang “bagaimana gambaran manajemen kasus terhadap permasalahan lanjut usia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur?”

Secara lebih rinci peneliti membuat perumusan masalah turunanyang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu:

a) Bagaimana penerapanExpanded Broker Modelyang dilakukan pekerja sosial saat melaksanakan manajemen kasus di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 ?

b) Bagaimana tahap pelaksanaan manajemen kasus terhadap permasalahan lanjut usia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 ?


(21)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan umum dalam penelitian ini yang dilakukan oleh peneliti yaitu untuk mengetahui serta mendapatkan gambaran manajemen kasus permasalahan lanjut usiadi Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1, sedangkan yang menjadi tujuan secara rinci penelitian ini ialah :

a) Untuk mengetahui penerapan Expanded Broker Modelyang dilakukan pekerja sosial saat melaksanakan manajemen kasus di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1

b) Untuk mengetahui tahap pelaksanaan manajemen kasus terhadap permasalahan lanjut usia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1

2. Manfaat Penelitian

Adapun dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang pelaksanaan manajemen kasus yang dapat diaplikasikan dalam praktik pekerjaan sosial, khususnya dalam penanganan masalah lansia terlantar.

2. Manfaat Akademik

Secara akademis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada Jurusan Kesejahteraan Sosial, khususnya yang berhubungan dengan setrategi dalam praktek


(22)

manajemen kasus dalam penanganan masalah sosial pada lansia dan juga mengembangkan kajian ilmu kesjahteraan sosial.

D. Metodologi Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu proses yang harus dilalui dalam suatu penelitian agar hasil yang diinginkan dapat tercapai. Metode penelitian ini kemudian dibagi menjadi:

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang mengacu pada prosedur penelitian yang menghasilkan penelitian, seperti perkataan orang dan perilaku yang dapat diamati.6

Selain itu metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan pada kondisi obyek yang alamiah, di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.7 Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti memberikan kesempatan pada informan untuk menyampaikan informasi yang sebanyak-banyaknya dan tidak terbatas pada suatu bentuk kuesioner tertutup, melainkan dengan menggunakan wawancara mendalam sesuai dengan metode pengumpulan data yang seringkali digunakan dalam penelitian kualitatif.8

6

Lexy J Moleong, “Metodologi Penelitian Kualitatif”, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003). h. 12.

7

Prof. Dr. Sugiyono, “Memahami Penelitian Kualitatif”, (Bandung: CV. Alfabeta, 2009), Cet. 5, h. 1.

8 Kristi E Poerwandadi, “Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi”

, (Jakarta: LPSP3, 1998), h. 32.


(23)

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam melakukan penelitian karena berharap dengan menggunakan pendekatan kualitatif, didapatkan hasil penelitian yang menyajikan data akurat dan digambarkan secara jelas dari kondisi sebenarnya mengenai gambaran manajemen kasus permasalahan lansia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah metode deskriptif yaitu metode yang dirancang untuk mengumpulkan informan tentang keadaan-keadaan yang sekarang (sementara berlangsung). Tujuan utama menggunakan jenis penelitian ini adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.9 Selain itu juga bahwa penelitian deskriptif menyajikan suatu gambaran tentang detail yang spesifik dari suatu situasi, keadaan sosial atau suatu hubungan.

Penelitian deskriptif ditunjukan untuk mengumpulkan data aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi atau praktik-praktik yang berlaku, juga menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.10 Sesuai dengan jenis

9

Consuelo G. Sevilla, dkk, “Pengantar Metode Penelitian”, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 2006), cet. 1, h. 71.

10 Jalaludin Rakhmat, “Metode Penelitian Kualitatif”

, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 12, h. 25.


(24)

penelitian yang digunakan, maka dalam penelitian ini digambarkan tentang manajemen kasus permasalahan lansia di PSTW Budi Mulia 1.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 yang berlokasi di Jl. Bina Marga No. 58, Cipayung, Jakarta Timur. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2014 sampai Agustus 2014.

4. Teknik Pemilihan Informan

Teknik yang digunakan untuk pemilihan informan dalam penelitian ini adalah teknikpurposive sampling(bertujuan) di mana informan di pilih berdasarkan pertimbangan tertentu dan di anggap sebagai orang-orang yang tepat dalam memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan peneliti.11

Penelitian ini menggali data seluas-luasnya dari pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan manajemen kasus di PSTW, pihak-pihak tersebut antara lain: Pekerja Sosial PSTW yang berperan sebagai manajer kasus, penanggung jawab wisma, psikolog, perawat, ahli spiritual dan 5 warga binaan sosial (WBS).

11

Suehartono Irawan, “Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang


(25)

Tabel 1.2 (Informan)

No Informan Informasi yang dicari Jumlah

1.

Pekerja sosial yang berperan yang berperan sebagai manajer kasus

Tahapan manajemen kasus terhadap permasalahan lansia dan strategi yang digunakan ketika melaksanan manajemen kasus.

1 orang

2. Penanggung Jawab Wisma

Menggali informasi mengenai permasalahan WBS yang sering terjadi di dalam wisma.

1 orang

3. Psikolog

Menggali informasi mengenai kerja sama yang dilakukan Psikolog dengan Manajer Kasus dalam menangani permasalahan WBS.

1 orang

4. Perawat

Menggali informasi mengenai penyakit yang sering di alami oleh WBS serta menggali informasi tentang kerja sama seperti apa yang dilakukan perawat dengan pekerja

sosial dalam menangani

permasalahan WBS.

1 orang

5. Ahli Spiritual

Menggali informasi mengenai kerja sama seperti apa yang dilakukan ahli spiritual dengan pekerja sosial ketika menangani permasalahan WBS.

1 orang

6. WBS (Warga Binaan

Sosial)

Menggali informasi mengenai permasalahan yang di hadapi WBS dan mencari tahu mengenai pelayanan apa yang telah diterima.

5 orang

5. Sumber Data

Data yang diapatkan dalam penelitian ini terbagi dua yaitu:

a) Data Primer,yang merupakan observasi dan wawncara mendalam. Informan dalam data primer ini antara lain: Pekerja Sosial PSTW yang berperan sebagai manajer kasus, penanggung jawab wisma, psikolog, perawat, ahli spiritual dan 5 orang WBS.

b) Data Sekunder, yang berupa catatan atau dokumen yang diambil dari berbagai literatut, buku-buku, internet atau tulisan yang


(26)

berhubungan dengan masalah yang diteliti, seperti brosur, arsip dan lain-lain.

6. Jenis Informan

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat tahapan pelaksanaan manajemen kasus mulai dari tahap awal hingga akhir. Karena itu ada beberapa jenis informan yang digunakan dalam penelitian ini. Masing-masing informan memiliki kriteria tersendiri. Informan terdiri dari:

1. Pekerja sosial yang berperan sebagai manajemen kasus di PSTW. Peneliti mewawancarai 1 pekerja sosial yang ada di PSTW. Karena pekerja sosial tersebut merupakan pekerja sosial urusan manajemen kasus yang menjadi koordinator dari setiap tahapan yang akan di jalani klien saat berada di PSTW.

2. Penanggung jawab wisma. Peneliti mewawancarai penanggung jawab wisma dengan mencari tahu permasalahan yang sering terjadi di dalam wisma.

3. Psikolog. Peneliti mewawancarai Psikolog untuk menggali informasi menenai kerja sama yang dilakukan pekerja sosial dengan psikolog saat menangani permasalahan WBS.

4. Perawat. Peneliti mewawancarai perawat untuk mengetahui kondisi fisik WBS yang ada di dalam panti dan kerja sama yang dilakukan perawat dengan pekerja sosial saat menangani permasalahan WBS. 5. Ahli spiritual. Unutk mengetahui kerja sama yang dilakukan ahli


(27)

6. WBS. Peneliti mewawancarai 5 informan tersebut karena ke lima WBS ini masing-masing masih memiliki keluarga tetapi mereka berada atau hidup di dalam panti. Peneliti akan menggali faktor apa yang membuat 5 WBS ini bisa berada di panti sedangkan masih memiliki keluarga.

7. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah teknik pengumpulan data kualitatif. Pengumpulan data kualitatif berupa pengumpulan data dalam bentuk kalimat, pernyataan, kata dan gambar. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Teknik Observasi

Istilah obsrvasi berasal dari bahasa latin, yaitu berarti “melihat”

dan memperhatikan. Istilah observasi ini diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi yang berarti pengamatan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh suatu pemahaman atau pembuktian terhadap informasi/keterangan yang diperoleh sebelumnya.12 Di sini peneliti terjun langsung kelapangan dengan mendatangi Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) guna memperoleh data yang kongkrit mengenai hal-hal yang menjadi objek penelitian, yaitu informasi

12 Rahayu Tri lin, S.Psi dan Ardani Ardi Tristiadi, “Observasi dan Wawancara”

, (Malang: PT. Bayu Media, 2004).


(28)

tentang pelaksanaan manajemen kasus permasalahan lansia, yang hasilnya akan dituangkan pada catatan lapangan.

2. Teknik Wawancara

Wawancara merupakan salah satu metode yang sangat penting dalam studi kasus. Wawancara mendalam yaitu pembicaraan dengan tujuan tertentu pembicaraan antara peneliti dan informan yang berfokus pada persepsi informan tentang dirinya, kehidupannya serta pengalamannya yang kemudian diekpresikan dalam bahasa mereka.Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.13 Dalam hal ini peneliti berusaha mendapatkan data atau informasi dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung yang berkaitan dengan tahap pelaksanaan manajemen kasus terhadap permasalahan lansia. Dalam penelitian ini penulis langsung mewawancarai Ibu Siti Fathonah S.sos selaku pekerja sosial, untuk melengkapi keabsahan data, penanggung jawab wisma, peneiti juga mewawancarai psikolog, perawat, ahli spiritual dan mewawancarai 5 WBS.

3. Teknik Dokumentasi

Teknik pengumpulan data adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku yang berkaitan mengenai pendapat, teori maupun

13

Deddy Mulyana, “Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya”, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 180.


(29)

hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan atau penelitian. Oleh sebab itu dalam setiap penelitian tidak dapat dilepaskan dari literature-literatur ilmiah, sehingga kegiatan ini menjadi sangat penting. Dalam teknik ini peneliti berusaha memperoleh data-data dokumentasi yang berkaitan dengan tahap pelaksanaan manajemen kasus terhadap permasalahan lansia di PSTW, seperti berkas-berkas, profil lembaga, foto-foto serta arsip-arsip yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

8. Teknik Analisa Data

Maksud dari analisa data adalah proses pengumpulan data dan mengurutkannya kedalam pola dan pengelompokan data. Rencana analisa data yang dipakai dalam menganalisa penelitian ini berdasarkan pada hasil temuan lapangan baik dari data primer maupun data sekunder serta hasil pengamatan (observasi) yang dilakukan selama proses memasuki lapangan penelitian. Proses analisa data kualitatif terdiri dari beberapa tahapan yaitu:

1. Menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, melalui hasil wawancara, pengamatan (catatan lapangan), dokumen, foto dan sebagainya.

2. Mereduksi data, dengan melakukan abstraksi atau merangkai inti, proses dan pernyataan-pernyataan penting.

3. Menyusun data yang ditemukan dan kemudian dikategorisasikan.

4. Mengadakan pemeriksaan keabsahan data, dengan mengecek hasi temuan lapangan dari berbagai sumber dengan kenyataan yang ada.


(30)

5. Penafsiran data, hal ini dilakukan dengan menginterprestasikan data dan dengan teori atau konsep yang telah ada.14

Dari hasil analisis tersebut didapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian ini dan mampu memberikan rekomendasi-rekomendasi yang bisa dijadikan alternatif dalam melakukan manajemen kasus.

9. Teknik Keabsahan Data

Keabsahan data dapat dicapai dengan jalan membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang lain dalam hal ini peneliti membandingkan antara hasil wawancara dengan pekerja sosial yang berperan sebagai manajer kasus dan hasil wawancara dengan klien. Strategi ini dilakukan untuk meningkatkan keabsahan data yang dilakukan dengan cara triangulasi. Triangulasi adalah pemerikasaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Data lain yang dikumpulkan dibandingkan dengan data yang diperoleh dari studi literatur, wawancara, pengamatan dan data-data sekunder lembaga.

E. Tinjauan Pustaka

Sebelum mengadakan penelitian lebih lanjut, peneliti kemukakan suatu tinjauan pustaka sebagai langkah awal dari penyusunan skripsi yang peneliti buat agar terhindar dari kesamaan judul dan lain-lainnya dari skripi-skripsi sebelumnya. Setelah mengadakan suatu kajian kepustakaan, maka peneliti menemukan skripsi yang hampir sama dengan peneliti buat, tetapi dari

14

Leky J Moleong, “Metodologi Penlitian Kualitatif”, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003). h. 190.


(31)

berbagai segi berbeda. Jelas perbedaan terletak pada subyek dan obyek penelitian. Tinjauan pustaka peneliti sebagai berikut:

1) Nama : Julia Salam

Universitas : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Program Studi Kesejahteraan Sosial, Tahun 2012

Judul Skripsi : MANAJEMEN KASUS TERHADAP PEREMPUAN

KORBAN TRAFIKING DI RUMAH PERLINDUNGAN

SOSIAL WANITA (RPSW) PSKW “MULYA JAYA”

JAKARTA

2) Nama : Muhammad Afrizal

Universitas : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Program Studi Kesejahteraan Sosial, Tahun 2011

Judul Skripsi : MANAJEMEN KASUS PEKERJA SOSIAL MEDIS INSTALASI REHABITITASI MEDIS (IRM) RSUP FATMAWATI DALAM UPAYA RESTORASI FUNGSI PSIKOSOSIAL PASIEN

F. Sistematika Penulisan

Dalam hal sistematika penulisan ini peneliti menggunakan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development dan Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pedoman penulisan skripsi ini.


(32)

Penulisan Skripsi ini disajikan kedalam 5 Bab, adapun sistematika penulisan skripsi :

BAB I: Terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjuan Pustaka dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Terdiri dari Manajemen Kasus meliputi : Pengertian Manajemen Kasus, Model-Model Manajemen Kasus, Dasar-Dasar Pelayanan Manajemen Kasus, Tahapan-Tahapan Manajemen Kasus Tugas-Tugas Manajer Kasus dan Prinsip Pekerja Sosial. Pengertian Lanjut Usia serta Permasalahannya.

BAB III: Dalam bab ini yang akan dipaparkan adalah profil lembaga Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur, yang mencakup Latar Belakang Pendirian Lembaga, Tujuan Visi dan Misi Lembaga, Falsafah Lembaga, Struktur Organisasi Lembaga, Jangkauan Layanan, Sumber Daya Manusia (SDM), Sarana dan Prasarana Lembaga, Kemitraan dengan Pihak Luar.

BAB IV: Temuan Lapangan dan Analisa Manajemen Kasus Permasalahan Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung

BAB V: Yang terdiri dari kesimpulan terhadap hasil penelitian pada bab-bab seblumnya, guna menganalisis masukan ataupun saran terhadap program lembaga.


(33)

21

LANDASAN TEORI

A. Manajemen Kasus

1. Pengertian Manajemen Kasus

Manajemen kasus adalah proses pengelolaan tindakan penanganan kasus yang meliputi assesment, perencanaan, pelaksanaan pelayanan, pemantauan/monitoring dan evaluasi untuk menangani masalah secara sistematis dengan berkoordinasi dan melibatkan sumber-sumber yang dibutuhkan.1

Menurut Rothman manajemen kasus merupakan suatu penghubung antara klien dengan jasa pelayanan yang menyediakan kebutuhan klien untuk pelayanan yang berkelanjutan. Manajemen kasus adalah suatu pelayanan bagi klien yang dalam kondisi sangat lain dalam sistem penyelenggaraan pelayanan.2

Sedangkan definisi lain menyebutkan bahwa manajemen kasus adalah suatu layanan yang mengaitkan serta mengkoordinasikan bantuan dari institusi dan lembaga yang memberikan dukungan medis, psikososial dan praktis bagi individu yang membutuhkan.3

1

Akbar Halim, dkk,“Pedoman Manajemen Kasus Perlindungan Anak”, (Jakarta: Direktorat Pelayanan Sosial Anak dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, 2010 ), h. 2.

2

Kementerian Sosial RI, “Modul Diklat Dasar Pekerjaan Sosial dengan Lanjut Usia”, (Bandung: Balai Besar Badan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), t.t), h. 86.

3 Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, “

Buku Pintar Pekerja Sosial ”, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), Cet. 1, h. 368.


(34)

Moxley menjelaskan manajemen kasus sebagai:

“Suatu sistem pelayanan yang mengkoordinasikan dan

melanjutkan suatu jaringan dukungan-dukungan formal dan informal serta aktifitas-aktifitas yang direncanakan untuk mengoptimalkan fungsi dan kesejahteraan orang dengan kebutuhan-kebutuhan yang

beraneka ragam”.4

Barker pun menjelaskan manajemen kasus adalah:

A process to plan, seek, advocate for, and monitor services from different social services or health care organizations and staff on behalf of a client. The process enables social workers in an organization, or in different organizations, to coordinate their efforts to serve a given client through professional teamwork, thus expanding the range of needed services offered. Case management limits problems arising from fragmentation of services, staff turnover, and inadequate coordination among providers. Case management can occur within a single, large organization or within a community program that coordinates services among setting.5

Terjemahan :

“Sebuah proses untuk merencanakan, mencari, advokasi, dan

memonitor layanan dari layanan sosial yang berbeda atau organisasi perawatan kesehatan dan staf atas nama klien. Proses ini memungkinkan pekerja sosial dalam organisasi atau dalam organisasi yang berbeda untuk mengkoordinasikan upaya mereka untuk melayani klien tertentu melalui kerja sama tim profesional, sehingga memperluas kisaran diperlukan layanan yang ditawarkan, batas masalah manajemen kasus yang timbul dari fragmentasi layanan, pergantian staf, dan koordinasi yang tidak memadai antara penyedia. Manajemen kasus dapat terjadi dalam satu organisasi besar atau dalam program komunitas yang mengkoordinasikan layanan antara

pengaturan”.

Menurut Rothman ada kesepakatan dalam menggambarkan proses dan tugas-tugas yang terlibat dalam langkah-langkah manajemen kasus, yaitu

4Bambang Rustanto, “

Praktek Pekerjaan Sosial Manajemen Kasus”, artikel ini diakses pada

17 Oktober 2012 dari http://bambang-rustanto.blogspot.com/2012/10/manajemen-kasus-dalam-pekerjaan-sosial.html.

5

NASW (National Association of Social Workers),“NASW Standards for Social Work Case Management”, artikel ini diakses dari http://socialworkers.org/practice/standards/ sw_case_mgmt.asp.


(35)

assessment awal (mendefinisikan masalah dan kekuatan), perencanaan, menghubungkan dan mengkoordinasi, pemantauan dan dukungan, dan merangkum, mengevaluasi, menguatkan, memberikan penghargaan, penutupan.

Berdasarkan dari pengertian manajemen kasus menurut para ahli, penulis dapat menyimpulkan manajemen kasus dapat berbeda-beda untuk setiap pekerjaan. Meskipun demikian masing-masing manajemen kasus mempunyai tujuan yang sama. Manajemen kasus merujuk kepada suatu proses atau metode yang menjamin agar klien mendapat pelayanan yang dibutuhkannya secara terkoordinasi, efektif dan efisien. Dalam manajemen kasus ini pekerja sosial melaksanakan peranan sebagai Manajer Kasus (Case Manager).

2. Model-Model Manajemen Kasus

Salomon mendefinisikan empat model yang sering di pakai pada manajemen kasus. Adapun empat model tersebut yaitu:

1. Expanded Broker Model

Model ini termasuk dalam model manajemen kasus tradisional dan merupakan model umum dimana petugas yang bekerja pada model ini bertindak sebagai broker yaitu yang menghubungkan klien dengan agensi atau pelayanan lain di dalam komunitas untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan klien yang spesifik. Petugas manajemen kasus yang terlibat dalam model ini bertindak sebagai agen dibandingkan sebagai penyedia pelayanan. Staf atau petugad manajemen kasus ini menggunakan elemen


(36)

tugasnya terutama untuk penilaian, perencanaan, pelaksanaan dan pendampingan. Efektivitas model ini sangat tergantung pada keutuhan dan efektivitas dari pelayanan komunitas yang ada.6

2. Rehabilitation model

Model ini lebih banyak membantu klien untuk mencapai sukses pada lingkungan yang dipilihnya dibanding memperlihatkan program komprehensif untuk perbaikan, dimana pada klien dilakukan penilaian fungsional sebagai dasar untuk melakukan rencana rehabilitasi. Manajer kasus lebih memfokuskan pada perkembangan keterampilan hingga klien mampu bekerja pada suatu jaringan. Model ini merupakan manajemen kasus dalam keadaan keseluruhan rehabilitasi psikiatri.

3. Personal Strengths Model

Model ini mempunyai dua dasar yaitu yang pertama untuk menjadi orang sukses maka sesseorang harus bisa menggunakan, mengembangkan dan menjalankan potensi diri serta mempunyai sumber untuk menjalankannya. Kedua yaitu perilaku individu tergantung pada sumber-sumber individu yang tersedia. Manajer kasus pada model ini bertindak sebagai penasehat atau mentor yang akan membantu klien dalam memecahkan masalah dan mengembangkan sumber daya yang dimilikinya.

6

Kementerian Sosial RI, “Modul Diklat Dasar Pekerjaan Sosial dengan Lanjut Usia”, (Bandung: Balai Besar Badan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), t.t), h. 90.


(37)

4. Full Support Model

Model ini mempunyai fungsi tambahan yaitu untuk menyediakan secara langsung sebagian atau seluruh jasa pelayanan yang dibutuhkan oleh klien. Petugas manajemen kasus sangat sedikit peranannya sebagai penghubung antara klien dengan jasa pelayanan yang ada di komunitas. Model ini sangat khas dimana tergabung tim multidisiplin yang terdiri dari spesialis berbagai jasa pelayanan yang berbeda, misalnya begian perumahan, perawatan dan rehabilitasi bertugas memberikan semua kebutuhannya sehingga mereka dapat menyesuaikan diri di dalam komunitas. Manajer kasus berupaya menyediakan fungsi pelayanan manejemen kasus dasar di tambah dengan berbagai rehabilitasi dan pelayanan pengobatan.7

3. Dasar-Dasar Pelayanan Manajemen Kasus

Ada empat dasar pelayanan yang harus dipenuhi untuk keberhasilan suatu manajemen kasus, yaitu:

a. Kontinuita: klien mendapatkan pelayanan yang komprehensif dalam periode waktu yang ditetapkan.

b. Aksesibilitas: klien dapat menggunakan pelayanan kapan saja dibutuhkannya.

c. Akuntabilitas: sistem bertanggung jawab terhadap pelayanan yang diberikan kepada klien.

7


(38)

d. Efisiensi: pelayanan diberikan secara tepat dan ekonomis.8 4. Tahap-Tahap Manajemen Kasus

Adapun tahap-tahap dalam manajemen kasus yaitu: 1. Penilaian (Assessment)

Sebelum melakukan tahap penilaian ini, tim manajemen kasus mengadakan prescreening terhadap klien, untuk menentukan klien mana yang dapat ikut dalam program manajemen kasus yang akan dilakukan. Hal-hal mendasar dalam penentuanprescreening(penyeleksian):

a. Keadaan medis psikiatri klien, dalam hal ini klien yang masih dalam kondisi akut tidak dapat diikutsertakan dalam program ini.

b. Ada tidaknya dukungan keluarga terhadap program ini dapat berpengaruh pada keikutsertaan klien. Keluarga yang tidak mendukung akan dapat mengurangi kesempatan klien untuk dapat mengikuti program manajemen kasus.

Assesment yang bersifat komprehensif menjadi sangat penting dalam manajemen kasus, yakni asesment diperoleh dari hasil observasi dan evaluasi perkembangan tingkah laku klien selama masa perawatan, informasi dari keluarga atau orang yang dekat dengan klien, hasil masukan atau pendapat dari klien tentang hal-hal yang menjadi masalah bagi dirinya.9

8

Kementerian Sosial RI, “Modul Diklat Dasar Pekerjaan Sosial dengan Lanjut Usia”, (Bandung: Balai Besar Badan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), t.t), h. 86.

9

Lambert Maguire, “Pekerjaan Sosial Klinis”. Penerjemah Tim STKS Bandung dan Biro Humas-Departemen Sosial RI, (Jakarta: PT. Erdino Mutiara Agung, 2008), h. 113


(39)

2. Perencanaan (Planning)

Perencanaan yaitu tahap untuk menyusun dan mengembangkan layanan yang menyeluruh untuk klien sesuai dengan hasil assesment.Hasil-hasil identifikasi masalah yang didapatkan dari tahap asesmen (sesuai keinginan klien, masalah kebutuhannya, serta sumber daya yang tersedia), kemudian disusun menjadi suatu formulasi masalah, dan selanjutnya dapat ditetapkan prioritas masalah yg digunakan untuk menyusun perencanaan.

Penetapan tujuan harus individual dan harus realistis berdasarkan hasil yang didapat dari asesmen, serta tujuan yang tercapai. Contoh: klien yang memiliki masalah disabilitas psikososial atau sulit berkomunikasi dengan orang sekitarnya atau tidak ada keterampilan untuk melakukan pekerjaan, maka perlu direncanakan intervensi dengan menghubungkan klien pada program day care. Selanjutnya harus ditentukan tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang akan dicapai oleh klien.

Berdasarkan contoh di atas maka dapat ditetapkan tujuan jangka pendek dan panjang yaitu tujuan jangka pendek yang ditetapkan pada klien ini adalah meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan mandiri, sedangkan tujuan jangka panjang mengurangi stresor yang dapat menyebabkan depresi dan kekambuhan penyakit, sehingga dapat mengurangi terjadinya penurunan kondisi fisik dan psikis serta memperbaiki kualitas hidup.


(40)

Dalam upaya penetapan tujuan ini tentunya harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan tim multidisiplin berkaitan dengan penyusunan, yaitu seperti jenis pelayanan yang akan diberikan, sumber-sumber pelayanan yang mudah didapat klien dan penentuan anggota staf tim yang bertanggung jawab terhadap pelayanan yang diberikan. Perencanaan intervensi mencakup perencanaan penanganan dalam arti pemberian konseling langsung dan terapi, serta perencanaan pelayanan yang mencakup upaya mengkaitkan klien dengan dukungan eksternal formal dan informal dalam pemberian bantuan. Perencanaan pelayanan inervensi biasanya melibatkan metode-metode pencapaian tujuan jangka pendek dan panjang.

Perencanaan berkaitan erat dengan identifikasi sumber daya dan hubungan-hubungan yang saling terkait. Dalam menyusun rencana banyak manejer kasus mempertimbangkan hambatan-hambatan yang mungkin terjadi bagi klien dan tingkat sistem dan mulai mempertimbangkan langkah-langkah lain untuk menangani hal tersebut. Klien harus terlibat semaksimal mungkin dalam perencanaan intervensi, mengingat mereka biasanya lebih mampu mengidentifikasi kebutuhannya dan karena itu mendukung hasil pelayanan yang lebih efektif.10

10

Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, “Buku Pintar Pekerja Sosial”, (Jakarta: BPK


(41)

3. Pelaksanaan (Implementation)

Menjamin terpenuhinya kebutuhan klien sesuai perencanaan yang telah dibuat. Mulai dari perencanaan hingga melakukan pelaksanaan, dilihat sejauh mana manajamen kasus memberikan pelayanan kepada klien untuk memenuhi kebutuhannya. Contoh konseling, bimbingan mental dan ketrampilan, dan sebagainya. Apakah dukungan ini dapat disediakan sendiri atau harus bekerja sama dengan agensi lainnya. Bila terjadi keadan krisis yang tidak terduga, maka harus dijamin tersedianya jasa pelayanan yang sesuai untuk mengatasinya.

Tahap pelaksanaan ini merupakan salah satu yang paling krusial (penting) karena sesuatu yang sudah direncanakan dengan baik akan tidak sesuai dalam pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerja sama antara petugas, pertentangan antar kelompok juga dapat menghambat pelaksanaan suatu program atau kegiatan.11

4. Pengawasan (Monitoring)

mengevaluasi dan memantau jasa pelayanan yang telah diberikan kepada klien. Faktor-faktor yang di evaluasi meliputi kuantitas dan kualitas pelayanan, termasuk efektivitas penggunaan biaya dan kesesuaian pelaksanaan pelayanan dengan tujuan yang ditetapkan. Selain itu harus diketahui ada tidaknya kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi atau adanya kesenjangan antara kebutuhan dengan sumber daya dan pelayanan

11

Isbandi Rukminto, “Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas”, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001), h. 176.


(42)

yang ada. Pada tahap ini juga dilakukan stabilisasi terhadap perubahan yang sudah diharapkan terjadi.12

5. Pendampingan

Mendampingi dan memberikan bimbingan lanjutan kepada klien. Tahap pendampingan terhadap klien berlangsung terus-menerus selama program manajamen kasus, bertujuan agar dapat diketahui apakah pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. Contoh: klien yang telah direncanakan mendapat pelayanan day care ternyata tidak dilakukan oleh agen pelayanan, sehingga manajer kasus dapat mempertanyakan hal tersebut atas nama klien. Tahap pendampingan terhadap klien berlangsung terus-menerus saat melakukan manajemen kasus karena bertujuan agar dapat diketahui apakah pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya.13

6. Pengakhiran (Termination)

Mengambil tindakan untuk menyelesaikan atau meneruskan suatu program manajemen kasus pada seorang klien, dimana klien dipersiapkan untuk mengakhiri program, disiapkan melalui masa transisi dan kemudian dilepaskan untuk mengikuti program tanpa pendampingan, setelah itu baru klien benar-benar dapat keluar dari program. Pada masa transisi manajer kasus mengajak klien untuk berperan aktif merencanakan kegiatan dan

12

Isbandi Rukminto, “Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas”, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001), h. 176.

13

Kementerian Sosial RI, “Modul Diklat Dasar Pekerjaan Sosial dengan Lanjut Usia”, (Bandung: Balai Besar Badan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), t.t), h. 88.


(43)

pemenuhan kebutuhannya secara mandiri. Akan tetapi selain proses yang diakhiri atas dasar kesepakan bersama karena sudah tercapainya suatu kemampuan tertentu dari klien, terminasi juga dapat terjadi secara sepihak, misalnya saja karena tidak terbentuknya relasi yang baik antara manajer kasus dengan kliennyamaka dalam hal ini terminasi yang terjadi adalah terminasi tanpa tercapainya bentuk perilaku yang diharapkan akan dapat membantu klien untuk mengatasi permasalahan yang ada. Dalam kasus ini biasanya mekanisme untuk menangani permasalahan yang muncul pada diri klien tidak terbentuk dengan baik.14

5. Tugas Manajer Kasus

Dalam manajemen kasus pekerja sosial berperan sebagai sebagai manajer kasus. Adapun tugas manajer kasus yaitu:

a. Memahami kebutuhan klien, kapasitas jaringan kerja lembaga pelayanan dan kemampuan-kemampuan pelayanan sosial yang tersedia dari aneka pihak.

b. Mengembangkan perencanaan pelayanan yang komprehensif multidisiplin.

c. Melakukan intervensi langsung untuk memperkuat keterampilan dan kapasitas klien untuk membela dirinya sendiri.

d. Memonitor implementasi rencana pelayanan.

14

Isbandi Rukminto Adi, “Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”, (Jakarta: FISIP UI Press, 2005), h. 154.


(44)

e. Mengevaluasi efektivitas dari dampak pelayanan atas keberfungsian klien.15

6. Prinsip Pekerja Sosial

Dasar teori Midgley dan Mass untuk kesemua praktek pekerjaan sosial tersusun dalam suatu prinsip-prinsip general yang menggambarkan keyakinan filsafat dari profesi dan menjadi sebuah pedoman pekerja sosial untuk berkerja dengan klien-klien mereka. Prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut: 1. Penerimaan

Prinsip ini secara mendasar melihat bahwa pekerja sosial harus berusaha menerima klien mereka apa adanya tanpa menghakimi klien tersebut. Kemampuan pekerja sosial untuk menerima klien (pihak yang membutuhkan bantuan) nya dengan sewajarnya akan dapat banyak membantu perkembangan relasi antara mereka.16

2. Komunikasi

Prinsip komunikasi itu berkaitan erat dengan kemampuan pekerja sosial untuk menangkap informasi ataupun pesan yang dikemukakan oleh klien. Pesan yang disampaikan klien dapat berbentuk verbal yang diungkapkan klien melalui ucapannya, atau pesan tersebut dapat pula berbentuk non-verbal misalnya dari cara duduk klien, cara menggerakan tangannya, cara klien meletakan tangannya dan sebagainya. Dari pesan

15

Sutaat, dkk, “Pendampingan Sosial Bagi Calon Pekerja Migran dan Keluarganya di Daerah Asal”, (Jakarta: Ciputat Press, 2009), h. 11

16

Isbandi Rukminto, “Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”, (Jakarta: FISIP UI Press, 2005), h. 80.


(45)

non-verbal tersebut kita bisa menangkap klien sedang merasa gelisah, contoh seperti takut, cemas, gembira, gelisah dan berbagai ungkapan perasaan lainnya.

Bila suatu ketika klien tidak dapat mengungkapkan perasaan apa yang dirasakannya pekerja sosial diharapkan dapat membantu klin tersebut untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. Dengan berkembangnya komunikasi antara pekerja sosial dan kliennya maka pekerja sosial dapat menelaah permasalahan yang dihadapi klien secara lebih jelas sehingga praktisi tidak menganalisi berdasarkan praduga tetapi berdasarkan data yang diterima dari pesan verbal dan pesan non verbal yang disampaikan oleh klien.17

3. Individualis

Prinsip individualis pada intinya menganggap setiap individu berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga seorang pekerja sosial haruslah berusaha memahami keunikan dari setiap klien karena itu dalam proses pemberian bantuan harus berusaha mengembangkan intervensi yang sesuai dengan kondisi kliennya agar mendapatkan hasil yang optimal.

4. Partsipasi

Pada prinsip ini pekerja sosial didorong untuk menjalankan perannya sebagai fasilitator, dari peran ini pekerja sosial diharapkan akan

17

Isbandi Rukminto, “Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”, (Jakarta: FISIP UI Press, 2005), h. 81.


(46)

mengajak kliennya untuk ikut serta berperan aktif dalam menghadapi permasalahan yang dihadapinya.

5. Kerahasiaan

Dalam prinsip ini pekerja sosial harus menjaga kerahasiaan dari kasus yang sedang ditanganinya sehingga kasus itu tidak dibicarakan dengan sembarang orang yang tidak terkait dengan penanganan kasus tersebut.

6. Kesadaran Diri Petugas

Prinsip kesadaran diri ini menuntut pekerja sosial untuk bersikap professional dalam menjalin relasi dengan kliennya. Dalam hal ini pekerja sosial harus mampu mengendalikan dirinya sehingga tidak terhanyut oleh perasaan ataupun permasalahan yang dihadapinya oleh kliennya. Pekerja sosial disini haruslah tetap rasional tetapi mempu untuk menyelami perasaan kliennya secara objektif, dengan kata lain pekerja sosial haruslah menerapkan sikap empati dalam menjalin relasi dengan kliennya.18

B. Lanjut Usia (Lansia) 1. Pengertian Lanjut Usia

Setiap rentan kehidupan memiiki tugas-tugas perkembangan, fokus, minat, hambatan dan perubahan yang berbeda disetiap tahapannya. Masa tua ditandai oleh adanya perubahan jasmani dan mental. Pada usia 60 tahun biasanya terjadi penurunan kekuatan fisik, sering pula diikuti oleh penurunan

18

Isbandi Rukminto, “Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”, (Jakarta: FISIP UI


(47)

daya ingat. Penyesuaian diri terpusat disekitar pekerjaan dan keluarga pun menjadi lebih sulit daripada penyesuaian pribadi. Usia tua adalah periode penutup dalam rentan hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Usia 60-an biasanya dipandang sebagai garis pemisah antara usia madya dan usia lanjut. 19

Menurut Undang-Undang No.13 tahun 1998 pasal 1 ayat (2) tentang penduduk lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Lansia pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu 1) kelompok lansia yang potensial (pasal 1 ayat 3) yaitu lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa. Lansia potensial masih bersemangat melakukan aktivitas nya sehari-hari, seperti bekerja, menghadiri kegiatan sosial tanpa bantuan orang atau pihak lain dan 2) kelompok lansia yang tidak potensial ( pasal 1 ayat 4 ) yaitu lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidup nya berantung pada bantuan orang lain atau lansia yang sudah tidak bisa melakukan kegiatan apapun.20

Menjadi tua (lanjut usia) merupakan suatu proses alami dalam rentan kehidupan manusia. Karakteristik lansia diindikasikan sebagai seseorang, baik pria maupun wanita yang telah berusia 60 tahun atau lebih yang memiliki pengalaman hidup, pengetahuan, keterampilan, keahlian dan kearifan,

19

Yudrik Jahja,“Psikologi Perkembangan”, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 311.

20

Badan Pusat Statistik, “Analisis Deskriptif Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Tahun 2006”, (Jakarta: CV. Petratama Persada 2007), h. 65.


(48)

sedangkan kemampuan fisik, emosional, kesehatan, mobilitas, penghasilan dan terbatasnya interaksi sosial telah mengalami penurunan.

Peningkatan populasi lansia di satu sisi memang menjadi aset bangsa, karena pengetahuan dan pengalaman mereka sangat berharga yang dapat disalurkan kepada generasi penerus untuk pembangunan bangsa Indonesia. Selain itu sebagian dari lansia masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa. Kelompok lansia seperti ini kemudian disebut lanjut usia potensial. Di sisi lain peningkatan populasi penduduk lansia berdampak terhadap peningkatan permasalahan lansia di masyarakat, yakni resiko ketergantungan antara penduduk lansia dan penduduk usia produktif, karena bagaimanapun kondisi fisik, mental dan sosial akan mengalami penurunan. Kemudian lansia akan diiringi ketidakmampuan, bahkan kehilangan daya tahan kehidupan sosial, ekonomi dam pemeliharaan kesehatan serta kemungkinan menjadi korban tindak kekerasan sehingga cenderung akan mengalami ketergantungan dan keterlantaran. Lansia seperti ini disebut lansia tidak potensial (UU No. 13, tahun 1998, tentang Kesejahteraan Lanjut Usia).21

Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu periode di mana seseorang beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Bila seseorang yang sudah beranjak jauh dari periode hidupnya yang terdahulu, ia

21

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI,“Jendela Rehsos”, (Jakarta: OHH Ditjen Rehsos, 2012), h. 54.


(49)

sering melihat masa lalunya, biasanya dengan penuh penyesalan dan cendurung ingin hidup pada masa sekarang, mencoba mengabaikan masa depan sedapat mungkin.22

2. Karakteristik Usia Lanjut

Adapun karakteristik usia lanjut yaitu:

1. Merupakan periode penurunan (kemunduran)

Penurunan tersebut disebabkan sebagian oleh faktor fisik, seperti perubahan-perubahan sel tubuh karena ketuaan dan sebagian-sebagian lagi oleh faktor psikologis, seperti sikapnya terhadap orang lain dan terhadap kerja.

Mereka yang setelah pensiunan tidak mempunyai minat apa-apa mudah menjadi depresi dan berantakan, akhirnya kondisi fisik dan mentalnya menjadi cepat menurun dan akhirnya meninggal. Motivasi kelihatannya memegang peran yang penting, yang kurang bermotivasi untuk mempelajari hal-hal baru atau mengikuti akan mengalami kemunduran yang lebih cepat.23

2. Ada perbedaan individual dalam efek ketuaan

Reaksi orang terhadap masa tua berbeda-beda, ada yang mengnggap pensiun merupakan masa yang menyenangkan, karena sekarang yang bersangkutan dapat hidup dengan lebih santai, namun ada pula yang menganggap pensiun sebagai hukuman.

22

Elizabeth B.Hurlock,“Psikologi Perkembangan”, (Jakarta: Erlangga, 1984), h. 380.

23


(50)

3. Banyak terdapat stereotip mengenai usia lanjut seperti misalnya adanya humor-humor dalam majalah-majalah mengenai usia lanjut yang menggambarkan masa tua tidak menyenangkan

4. Sikap sosial terhadap usia lanjut

Umumnya terdapat sikap sosial terhadap orang-orang usia lanjut yang kurang positif. Mereka bukannya dihormati dan dihargai karena pengalamannya, melainkan sikap mereka membuat para orang tua usia lanjut ini merasa tidak lagi dibutuhkan oleh kelompok sosial, lebih dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu, namun ada perbedaan sikap antara budaya yang berbeda-beda pula, ada kelompok etnik yang menghargai tinggi terhadap usia lanjut. Disamping itu kelas sosial juga mempengaruhi sikap sosial itu.

5. Usia lanjut mempunyai status kelompok minoritas

Sebagai akibat dari sikap sosial yang negatif terhadap usia lanjut mereka cenderung dibatasi dalam interaksi sosialnya dan hanya mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang terbatas. Mereka menjadi warga Negara kelas dua, hal mana mempengaruhi penyesuaian dirinya secara sosial maupun pribadi. Sering mereka lalu bersikap defensif, juga tidak jarang menjadi korban dari orang-orang yang jahat atau beritikad jelek.

6. Usia lanjut diikuti dengan perubahan-perubaha peran

Berhubungan kelompok usia lanjut dapat bersaing lagi dengan kelompok yang lebih muda, mereka lalu kurang mempunyai peran yang


(51)

aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan masyarakat maupun dalam dunia bisnis. Sebagai akibatnya peran-peran yang dapat dimainkan menjadi berkurang atau berubah sifatnya. Hal ini juga dapat mengembangkan sikap rendah diri dan dendam yang akhirnya mempengaruhi pula penyesuaian sosial dan pribadinya.

7. Penyesuaian diri yang tidak baik

Sikap sosial yang negatif dan kurangnya pemberian penghargaan (rewards) terhadap jasa-jasa orang lanjut usia di masa lalu, yang tercermin dari cara kelompok sosial memperlakukan mereka, maka tidak heran bila pada lanjut usia ini timbul konsep diri yang negatif.

3. Tugas Perkembangan Usia Lanjut

Sebagian besar tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang dari pada kehidupan orang lain. Hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan di dalam maupun di luar rumah. Bagi beberapa orang berusia lanjut kewajiban untuk menghadriri rapat yang menyangkut kegiatan sosial dan kewajiban segabai warga negara sangat sulit dilakukan karena kesehatan dan pendapatan mereka menurun setelah pensiun.24

Sebagaimana halnya tugas perkembangan yang ada dan harus dijalani oleh periode-periode sebelumnya, individu-individu yang berada pada periode lanjut usia juga memiliki tugas perkembangan yang harus dilalui dengan

24


(52)

sebaik-baiknya. Di antara tugas perkembangan yang hendaknya dilalui para lansia adalah:

1. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan berkurangnya kesehatan.

2. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga.

3. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup. 4. Menjalin hubungan dengan orang-orang seusianya.

5. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.

6. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes dan harmonis.25

C. Permasalahan Lanjut Usia 1. Masalah Lanjut Usia

Sebagai makhluk hidup dalam melalui fase-fase kehidupannya tentu tidak akan terlepas dari masalah-masalah begaimana proses interaksi individu tersebut dengan orang lain untuk mendukung eksistensinya. Pada fase lanjut usia ini pun hampir dipastikan akan menghadapi masalah-masalah kehidupan seperti yang terjadi pada fase-fase sebelumnya.

Fase lanjut usia seringkali dikatakan sebagai fase yang paling sulit dalam siklus kehidupan. Hal ini dikarenakan adanya penolakan-penolakan terhadap putaran waktu untuk memasuki fase ini, sehingga mengakibatkan para lanjut usia mengalami banyak permasalahan.

25

Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si, dkk., “Psikologi Perkembangan”, (Ciputat: Lembaga


(53)

Adapun permasalahan-permasalahan lanjut usia secara garis besar yaitu: 1. Masalah yang bersifat fisiologis

Masa lanjut usia memiliki ciri terjadinya penurunan fungsi-fungsi secara struktural (anatomi) maupun fungsional (fisiologi). Penurunan ini bukan disebabkan oleh penyakit saja namun perubahan pada sel-sel tubuh menuju penuaan. Perubahan-perubahan dalam proses menua ini terjadi pada seluruh bagian tubuh, terutama pada bagian tubuh yang sel-sel nya tidak mengalami proses pembelahan (mitosis) dan tidak terjadi proses penggantian sel, misalnya otak manusia dan ginjal. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan homeostatis, perubahan prilaku serta penurunan metabolisme dan reproduksi. Contohnya mulai pikun, kecenderungan obesitas dan kemunduran kemampuan kerja secara fisik. Namun yang sangat menentukan dalam proses perubahan fisik ini adalah sikap prilaku individu itu sendiri terhadap proses penurunan-penurunan tersebut.26 2. Masalah yang bersifat psikologis

Permasalahan yang muncul pada masa ini lebih cnderung terlihat pada para lanjut usia yang masa mudanya bekerja secara rutin pada suatu instansi/lembaga, namun tidak menutup kemungkinan mereka yang tidak bekerja secara rutin. Untuk para lanjut usia yang tidak bekerja permasalahan psikososialnya yang muncul adalah sekitar bagaimana menghadapi perpisahan dengan lingkungan keluarga/anak yang selama ini

26


(54)

selalu bersama dan setelah menikah atau bekerja harus berpisah tempat tinggal.

Sedangkan untuk para lansia yang bekerja, persoalan seperti penurunan fungsi fisik karena proses menua dan adanya pemutusan jabatan formal dalam pekerjaan, sangat mempengaruhi fungsi-fungsi psikologisnya. Orang yang memasuki masa pensiun tanpa atau dengan persiapan akan mengalami masalah emosional berupa depresi, gangguan psikologikal (kejiwaan) seperti anxiety dan nerosis. Bentuk yang paling umum dialami para lansia (pensiun) adalah kesulitan menerima kenyataan hidup/ralitas yang melekat pada dirinya, mengagung-agungkan masa lampau yang penuh dengan kejayaannya, merasa memiliki jabatan dan penerimaan dari lingkungannya. Keadaan semacam ini dikenal sebagai The Post-Power Syndrome, yaitu sindroma yang melekat dalam pikiran secara terus-menerus pada seseorang yang telah pensiun sehingga mempengaruhi tingkah lakunya dimana ia merasakan bahwa dirinya masih berkuasa, mempunyai kedudukan dan dihormati oleh lingkungannya.

Gangguan-gangguan ini lazim dialami oleh lansia yang tidak mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang baik terhadap fase perkembangan dirinya. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Hurlock bahwa mereka yang masih senang bekerja tapi dipaksa keluar pada usia wajib pensiun seringkali menyatakan sikap benci dan akibatnya motivasi mereka melakukan penyesuaian diri yang baik pada masa pensiun sangat rendah.


(55)

Dampaknya yaitu akan berpengaruh pada pelaksanaan tugas-tugas kehidupan selanjutnya. Seperti yang dikutip oleh Hurlock dari Back dalam karyanya The Ambiquity of Retirement dikatakan bahwa apabila pensiun dianggap sebagai perubahan kepada status baru, maka pensiun harus mau membuang status yang berharga tersebut, dengan demikian akan terjadi proses transisi yang baik.

3. Masalah yang bersifat sosio-ekonomi

Permasalahan-permasalahan yang dihadapi pada masa lanjut usia ini secara sosio ekonomi diantaranya:

a. Kehilangan peranan sosialnya sebagai kepala keluarga dirumah. Hal ini disebabkan orang tersebut sudah memasuki masa pensiun dan terjadi pengurangan pendapatan. Pengaruh yang sangat terasa adalah pada pasangan hidup, sehingga pada masa ini sering timbulnya hubungan yang kurang harmonis dengan pasangan hidupnya (suami/isteri). Dengan berubahnya peran dari seorang pekerja menjadi pensiunan maka banyak waktu untuk tinggal di rumah. Jika hubungan mereka dengan suami atau isterinya baik maka hal ini akan mendatangkan kebahagiaan bagi mereka berdua. Sebaliknya jika hubungan mereka tidak baik maka pertengkaran akan meningkat. b. Perilaku yang suka mengkritik terhadap situasi di rumah. Hal ini

disebabkan selama ini waktunya banyak dihabiskan diluar rumah (bekerja) dan pada saat ini waktu banyak dihabiskan di rumah (sudah tidak bekerja lagi), sehingga hal-hal yang kurang berkenan atau tidak


(56)

sesuai menjadi obyek kritikan bagi para lanjut usia ini, mencari-cari kesalahan dan biasanya tidak senang dengan apa yang dilakukan oleh pasangannya.

c. Hubungan dengan anak atau cucu berubah. Hal ini disebabkan oleh jarak tinggal antara anak/cucu dan orang tua/kakek nenek yang berjauhan akibat adanya tuntutan pekerjaan. Selain itu munculnya cara pandang anak terhadap orang tua terutama di Negara-negara maju bahwa mereka merasa tidak berkewajban untuk merawat orang tua. d. Kehilangan peranan dalam lingkungan sosial. Meskipun ada di antara

mereka yang memperoleh peranan baru sebagai tokoh masyarakat, tetapi ada saatnya mereka merasa kehilangan peranan dan terisolasi dari lingkungannya. Bila situasi ini dibiarkan maka para lansia akan menarik diri sepenuhnya dari lingkungan sosialnya. Perubahan fisik dan psikologis yang mengarah pada kemunduran-kemunduran melakukan aktivitas memberikan dampak terhadap pelaksanaan tugas-tugas kehidupan para lansia.

e. Berkurangnya peluang untuk mencari pekerjaan. Hal ini disebabkan adanya penurunan fungsi fisiologis dan psikologis serta tuntutan untuk membarikan kesempatan kepada generasi muda.

f. Penurunan/kehilangan pendapatan atau penghasilan. Pada kenyataannya masa lanjut usia ini banyak sekali biaya-biaya yang harus dikeluarkan mulai untuk berobat dan perawatan kesehatan, untuk kebutuhan sekolah anak-anak pada tingkat pendidikan tinggi, untuk


(57)

biaya pernikahan anak-anak dan lain sebagainya. Meskipun ada bantuan dari tempat bekerjanya dulu berupa asuransi kesehatan atau uang pensiunan, namun terkadang tidak memadai dalam mengakses pelayanan yang ada.27

4. Masalah Spiritual Lansia

Perubahan-perubahan fisiologi, psikologi dan sosial turut memberi pengarus pada perubahan dimensi religius. Lansia yang dapat menerima hakekat penuaan mereka mengganggap hari tua merupakan peluang untuk pengisian dengan kehidupan ber agama. Namun tidak sedikit pula di antara lansia tersebut terutama perubahan fisiologi, psikologi dan sosial yang drastis menyebabkan mereka kehilangan keyakinan akan penciptanya (Allah SWT). Faktor penting yang perlu dipahami adalah bagaimana falsafah hidup, kedamaian hidup, makna hidup, tujuan hidup, semangat hidup pada lansia.28

2. Masalah Interaksi Sosial pada Lansia

Ada beberapa masalah interaksi sosial pada lanjut usia, antara lain: a. Masalah yang ditimbulkan oleh pasangan hidup

Adakalanya pasangan hidup akan menjadi batu himpitan bagi lansia didalam menjalankan sisa hidupnya. Masalah itu berupa ketidakcocokan diantara masing-masing pihak, mungkin terjadi karena

27

Kementerian Sosial RI, “Modul Diklat Dasar Pekerjaan Sosial dengan Lanjut Usia”, (Bandung: Balai Besar Badan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS), t.t), h. 55.

28

Kementerian Sosial Republik Indonesia, “Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut Usia dalam

Situasi Darurat”, (Jakarta: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial dan Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia, 2013), h. 10.


(58)

secara alami, lansia sejalan dengan pertambahan usia akan mengalami penurunan fisik maupun psikologis pada kedua belah pihak.

Ketegangan emosional ini pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan suami istri. Tidak sedikit pasangan suami istri lansia mengalami perceraian diusia senja karena masing-masing mempertahankan sifat egosinya. Ada beberapa lansia perempuan yang seolah memperoleh eksistensi diri ketika sudah berpisah dari pasangannya, baik bercerai maupun meninggal, karena selama ini sang suami sangat dominan.

Tetapi disisi lain banyak juga pasangan suami isteri lansia yang begitu ditinggal mati oleh pasangannya akan mengalami ketidakseimbangan mental maupun fisiknya sehingga kurang bergairah dalam menjalani sisa hidupnya.

Bila hal ini terjadi, keluarga harus dapat meminimalisir dengan mengalihkan ketidakseimbangan itu melalu kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, sehingga lansia dapat melupakan masalah-masalah yang dihadapinya.

b. Masalah yang ditimbulkan oleh lingkungan keluarga.

Bisa juga masalah interaksi sosial bagi lansia ditimbulkan oleh lingkungan keluarganya. Masalah ini bisa diakibatkan karena ketidakcocokan dengan sebagian anggota keluarga atau seluruh anggota keluarga. Sering juga masalah itu hanya sepele karena adanya perbedaan konsepsi antara lansia maupun keluarganya.


(59)

Misalnya keluarga melarang atau membatasi lansia untuk keluar rumah maupun pekerjaan-pekerjaan fisik yang dilakukan lansia, dalam konteks ini sebetulnya keluarga maksudnya baik kepada lansia tersebut, dengan memposisikan keamanan dan kenyamanan. Tetapi bagi lansia mungkin tindakan ini dianggap mengekang yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan sehingga lansia merasa hidupnya di penjara yang terlalu banyak diatur oleh keluarganya.

Dalam kasus ini seperti ini keluarga harus paham dan memperlakukan lansia secara wajar sesuai dengan kondisi fisik maupun psikologisnya. Kalau lansia ini ikut dalam kegiatan penyuluhan kelompok Bina Keluarga Lansia, keluarga harus mendukung lansia tersebut untuk aktif dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Masalah yang ditimbulkan oleh lingkungan masyarakat

Lingkungan masyarakat yang tidak kondusif bagi lansia akan menimbulkan masalah tersendiri bagi mereka. Hal ini terjadi karena faktor kehidupan masa lalunya. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi fisik dan psikologi lansia yang sudah berubah. Kondisi lingkungan masyarakat yang tidak sesuai ini akan mudah mempengaruhi mental psikologis lansia, sehingga ada yang mudah stress, cepat emosi atau murung. Ada lansia yang tidak cocok dalam lingkungan masyarakat yang hiruk pikuk, dia lebih senang tinggal di daerah yang sepi dengan lingkungan masyarakat yang agamis tetapi ada juga sebaliknya, lansia senang tinggal dalam suasana lingkungan keluarga yang hangat, ramai sehingga menambah


(1)

PADATAN WAWANCARA

MANAJEMEN KASUS PERMASALAHAN LANJUT USIA di PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA (PSTW) BUDI MULIA 1 CIPAYUNG JAKARTA TIMUR

Informan : Klien

Nama : Nenek ST

Tempat : Wisma Cempaka Tanggal : 13 November 2014 Waktu : 11.00-12.20

Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam

Pendidikan : Tidak Sekolah

No. Pertanyaan Jawaban Kesimpulan

1. Sudah berapa lama nenek berada di panti ?

Dari tahun 2012 nenek di sini Nenek S belum lama berada di panti. Baru 2 tahun

2. Bagaimana hubungan nenek dengan keluarga ?

Bae-bae aja anak nenek sering kesini tuh yang dari Ciputat sama Tanjung Priuk

Hubungan dengan keluarga baik karena anaknya sering menjenguknya di panti 3. Kenapa nenek bisa

masuk panti ?

Nenek kan korban gunung merapi. Nenek di taro di PUM abis itu nenek udah mendingan ya nenek di taro di sini. Kalo tinggal sama anak nenek kasian nenek ga mao ngebebanin mereka

Nenek masuk PSTW karena kiriman dari PUM (Panti Usada Mulya)

4. Bagaimana hubungan nenek dengan teman dan petugas di panti ?

Sama temen si bae ya apalagi sama petugas ya bae kan nenek udah di urusin di sini

Hubungan dengan teman baik

5. Apa saja pelayanan yang nenek terima di panti ?

Ya itu tadi nenek dapet makan di sini terus nenek juga di urusin, nenek kan sakit jadi di sini di obtain di kasih obat

Nenek ST mendapatkan pelayanan yang baik dari PSTW

6. Apa yang dirasakan nenek setelah mendapatkan

Seneng nenek udah di urusin sama petugasnya

Merasa senang karena ada yang mengurusi dirinya


(2)

pelayanan di panti ? 7. Kegiatan apa yang

nenek ikuti di panti ?

Panggung gembira nenek ikut soalnya nenek waktu muda suka nyanyi hehe…

Nenek ikut kegiatan panggung gembira

8. Jika nenek memiliki keluarga, apakah nenek tidak mau kembali kedalam asuhan keluarga ?

Ga ah di sini aja ga apa-apa nenek ga mao bebanin mereka anak-anak nenek

Nenek lebih memilih hidup di panti karena tidak mau membebani anak-anaknya

9. Apa saja suka dan duka yang nenek rasakan selama di panti ?

Kadang betah kadang ga nenek disini, nenek betah di sini soalnya makanan selalu ada tanpa nenek harus takut ga dapet makan atau ga usah mikirin makan lagi di sini udah di sediain

Nenek terkadang merasakan betah dan terkadang merasakan tidak betah di panti

10. Bagaimana harapan nenek kedepannya ?

Nenek mao anak nenek jengukin nenek terus di sini kalo nenek lagi kangen sama dia

Nenek ST hanya mau di jenguk anak-anaknya. Walaupun tidak hidup bersama tetapi nenek mau anaknya menjenguk nenek di panti


(3)

DOKUMENTASI PENELITI SAAT MELAKUKAN PENELITIAN DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA (PSTW) BUDI MULIA 1 CIPAYUNG

JAKARTA TIMUR Gambar 1.1

(Gambar 1.1: Peneliti melakukan wawancara dengan pekerja sosial ibu Siti Fathonah, S.Sos yang berperan sebagai manajer kasus di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur. Peneliti mewawancarai pekerja sosial untuk mengetahui secara detail tahapan manajemen kasus permasalahan lansia di dalam panti).

Gambar 1.2

(Gambar 1.2: Peneliti mewawancarai ibu Dian Evayanti yang berperan sebagai penanggung jawab wisma. Salah satu yang ingin peneliti ketahui saat melakukan wawancara ini yaitu permasalahan apa yang sering terjadi di dalam wisma serta kerja sama seperti apa yang dilakukan penanggung jawab wisma dengan manajer kasus saat menangani permasalahan yang terjadi pada WBS di PSTW).


(4)

(Gambar 1.3: Pe Fitriyana, M. Psi selaku mengikuti proses ini unt atau melakukan assessm konseling dengan klien sama yang dilakukan psi lansia yang ada di panti).

(Gambar 1.4: Ibu sebagai manajer kasus di

Gambar 1.3

Peneliti mengikuti proses konseling yang dilakuk ku psikolog di PSTW dengan salah satu lansia di pa

untuk mengetahui bagaimana psikolog memberi ssment terhadap klien. Setelah psikolog selesa en kemudian peneliti mewawancarai psikolog m

psikolog dengan pekerja sosial untuk menangani nti).

Gambar 1.4

Ibu Siti Fathonah, S.Sos selaku Pekerja Sosial y di PSTW melakukan konseling individu dengan kl

Gambar 1.5

kukan ibu Rika di panti. Peneliti berikan penilaian esai melakukan mengenai kerja ni permasalahan

l yang berperan ngan klien).


(5)

(Gambar 1.5: Pekerja Sosia meakukan Home Visitke rumah salah satu WBS yang berada di Panti, karena WBS masih memiliki keluarga maka pekerja sosial mau mengembalikan WBS kepada keluarganya tetapi pekerja sosial melakukan Home Visit terlebih dahulu apakah WBS merasa nyaman, tentram apabila kembali kepada keluarga. Pekerja sosial bisa tau apakah klien nyaman, tentram tinggal bersama keluarga dengan mengidentifikasi kondisi sosial dan kondisi ekonomi dengan cara melakukanHome Visit.

Gambar 1.6

(Gambar 1.6 Peneliti melihat serta mengikuti program Indonesia mendengar membantu lansia keluar dari hidup sunyi yang dilakukan oleh para terapis ataupun dokter. Kegiatan ini termasuk ke dalam manajemen kasus karena pekerja sosial menghubungkan klien dengan yang dibuthkan klen serta klien yang bermasalah dengan pendengaran diberikan alat bantu dengar dari dokter tersebut secara gratis.

Gambar 1.7

(Gambar 1.7: Kegiatan ini dilakukan oleh rumah vaksinasi, sebelumnya pekerja sosial mengajukan prosposal kepada rumah vaksinasi untuk memberikan vaksin serta pemeriksaan tensi dan lain-lain kepada pada WBS di PSTW. Kegiatan ini juga termasuk kedalam manajemen kasus karena pekerja sosial berusaha membuat para lansia yang tinggal di panti ini mendapatkan pelayanan yang baik dengan memberikan sesuai yang dibutuhkan lansia).


(6)

Gambar 1.8

(Gambar 1.8 Kegiatan di atas adalah semua kegiatan yang membuat para WBS di PSTW berfungsi kembali atau menjadikan WBS di hari tuanya bermanfaat merasakan ketentraman lahir dan batin dengan segala kegiatan ataupun hiburan yang ada di panti. PSTW juga memberikan bimbingan individu maupun bimbingan kelompok kepada para WBS, kegiatan ini juga salah satu cara untuk mengassesmen klien).