Tahap-Tahap Manajemen Kasus Manajemen Kasus 1. Pengertian Manajemen Kasus

Dalam upaya penetapan tujuan ini tentunya harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan tim multidisiplin berkaitan dengan penyusunan, yaitu seperti jenis pelayanan yang akan diberikan, sumber-sumber pelayanan yang mudah didapat klien dan penentuan anggota staf tim yang bertanggung jawab terhadap pelayanan yang diberikan. Perencanaan intervensi mencakup perencanaan penanganan dalam arti pemberian konseling langsung dan terapi, serta perencanaan pelayanan yang mencakup upaya mengkaitkan klien dengan dukungan eksternal formal dan informal dalam pemberian bantuan. Perencanaan pelayanan inervensi biasanya melibatkan metode-metode pencapaian tujuan jangka pendek dan panjang. Perencanaan berkaitan erat dengan identifikasi sumber daya dan hubungan-hubungan yang saling terkait. Dalam menyusun rencana banyak manejer kasus mempertimbangkan hambatan-hambatan yang mungkin terjadi bagi klien dan tingkat sistem dan mulai mempertimbangkan langkah-langkah lain untuk menangani hal tersebut. Klien harus terlibat semaksimal mungkin dalam perencanaan intervensi, mengingat mereka biasanya lebih mampu mengidentifikasi kebutuhannya dan karena itu mendukung hasil pelayanan yang lebih efektif. 10 10 Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, “Buku Pintar Pekerja Sosial ”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, Cet. 1, h. 283.

3. Pelaksanaan Implementation

Menjamin terpenuhinya kebutuhan klien sesuai perencanaan yang telah dibuat. Mulai dari perencanaan hingga melakukan pelaksanaan, dilihat sejauh mana manajamen kasus memberikan pelayanan kepada klien untuk memenuhi kebutuhannya. Contoh konseling, bimbingan mental dan ketrampilan, dan sebagainya. Apakah dukungan ini dapat disediakan sendiri atau harus bekerja sama dengan agensi lainnya. Bila terjadi keadan krisis yang tidak terduga, maka harus dijamin tersedianya jasa pelayanan yang sesuai untuk mengatasinya. Tahap pelaksanaan ini merupakan salah satu yang paling krusial penting karena sesuatu yang sudah direncanakan dengan baik akan tidak sesuai dalam pelaksanaan di lapangan bila tidak ada kerja sama antara petugas, pertentangan antar kelompok juga dapat menghambat pelaksanaan suatu program atau kegiatan. 11 4. Pengawasan Monitoring mengevaluasi dan memantau jasa pelayanan yang telah diberikan kepada klien. Faktor-faktor yang di evaluasi meliputi kuantitas dan kualitas pelayanan, termasuk efektivitas penggunaan biaya dan kesesuaian pelaksanaan pelayanan dengan tujuan yang ditetapkan. Selain itu harus diketahui ada tidaknya kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi atau adanya kesenjangan antara kebutuhan dengan sumber daya dan pelayanan 11 Isbandi Rukminto, “Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas”, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001, h. 176. yang ada. Pada tahap ini juga dilakukan stabilisasi terhadap perubahan yang sudah diharapkan terjadi. 12 5. Pendampingan Mendampingi dan memberikan bimbingan lanjutan kepada klien. Tahap pendampingan terhadap klien berlangsung terus-menerus selama program manajamen kasus, bertujuan agar dapat diketahui apakah pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. Contoh: klien yang telah direncanakan mendapat pelayanan day care ternyata tidak dilakukan oleh agen pelayanan, sehingga manajer kasus dapat mempertanyakan hal tersebut atas nama klien. Tahap pendampingan terhadap klien berlangsung terus-menerus saat melakukan manajemen kasus karena bertujuan agar dapat diketahui apakah pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. 13 6. Pengakhiran Termination Mengambil tindakan untuk menyelesaikan atau meneruskan suatu program manajemen kasus pada seorang klien, dimana klien dipersiapkan untuk mengakhiri program, disiapkan melalui masa transisi dan kemudian dilepaskan untuk mengikuti program tanpa pendampingan, setelah itu baru klien benar-benar dapat keluar dari program. Pada masa transisi manajer kasus mengajak klien untuk berperan aktif merencanakan kegiatan dan 12 Isbandi Rukminto, “Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas”, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001, h. 176. 13 Kementerian Sosial RI, “Modul Diklat Dasar Pekerjaan Sosial dengan Lanjut Usia”, Bandung: Balai Besar Badan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial BBPPKS, t.t, h. 88. pemenuhan kebutuhannya secara mandiri. Akan tetapi selain proses yang diakhiri atas dasar kesepakan bersama karena sudah tercapainya suatu kemampuan tertentu dari klien, terminasi juga dapat terjadi secara sepihak, misalnya saja karena tidak terbentuknya relasi yang baik antara manajer kasus dengan kliennyamaka dalam hal ini terminasi yang terjadi adalah terminasi tanpa tercapainya bentuk perilaku yang diharapkan akan dapat membantu klien untuk mengatasi permasalahan yang ada. Dalam kasus ini biasanya mekanisme untuk menangani permasalahan yang muncul pada diri klien tidak terbentuk dengan baik. 14

5. Tugas Manajer Kasus

Dalam manajemen kasus pekerja sosial berperan sebagai sebagai manajer kasus. Adapun tugas manajer kasus yaitu: a. Memahami kebutuhan klien, kapasitas jaringan kerja lembaga pelayanan dan kemampuan-kemampuan pelayanan sosial yang tersedia dari aneka pihak. b. Mengembangkan perencanaan pelayanan yang komprehensif multidisiplin. c. Melakukan intervensi langsung untuk memperkuat keterampilan dan kapasitas klien untuk membela dirinya sendiri. d. Memonitor implementasi rencana pelayanan. 14 Isbandi Rukminto Adi, “Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”, Jakarta: FISIP UI Press, 2005, h. 154. e. Mengevaluasi efektivitas dari dampak pelayanan atas keberfungsian klien. 15

6. Prinsip Pekerja Sosial

Dasar teori Midgley dan Mass untuk kesemua praktek pekerjaan sosial tersusun dalam suatu prinsip-prinsip general yang menggambarkan keyakinan filsafat dari profesi dan menjadi sebuah pedoman pekerja sosial untuk berkerja dengan klien-klien mereka. Prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut: 1. Penerimaan Prinsip ini secara mendasar melihat bahwa pekerja sosial harus berusaha menerima klien mereka apa adanya tanpa menghakimi klien tersebut. Kemampuan pekerja sosial untuk menerima klien pihak yang membutuhkan bantuan nya dengan sewajarnya akan dapat banyak membantu perkembangan relasi antara mereka. 16 2. Komunikasi Prinsip komunikasi itu berkaitan erat dengan kemampuan pekerja sosial untuk menangkap informasi ataupun pesan yang dikemukakan oleh klien. Pesan yang disampaikan klien dapat berbentuk verbal yang diungkapkan klien melalui ucapannya, atau pesan tersebut dapat pula berbentuk non-verbal misalnya dari cara duduk klien, cara menggerakan tangannya, cara klien meletakan tangannya dan sebagainya. Dari pesan 15 Sutaat, dkk, “Pendampingan Sosial Bagi Calon Pekerja Migran dan Keluarganya di Daerah Asal”, Jakarta: Ciputat Press, 2009, h. 11 16 Isbandi Rukminto, “Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”, Jakarta: FISIP UI Press, 2005, h. 80. non-verbal tersebut kita bisa menangkap klien sedang merasa gelisah, contoh seperti takut, cemas, gembira, gelisah dan berbagai ungkapan perasaan lainnya. Bila suatu ketika klien tidak dapat mengungkapkan perasaan apa yang dirasakannya pekerja sosial diharapkan dapat membantu klin tersebut untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan. Dengan berkembangnya komunikasi antara pekerja sosial dan kliennya maka pekerja sosial dapat menelaah permasalahan yang dihadapi klien secara lebih jelas sehingga praktisi tidak menganalisi berdasarkan praduga tetapi berdasarkan data yang diterima dari pesan verbal dan pesan non verbal yang disampaikan oleh klien. 17 3. Individualis Prinsip individualis pada intinya menganggap setiap individu berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga seorang pekerja sosial haruslah berusaha memahami keunikan dari setiap klien karena itu dalam proses pemberian bantuan harus berusaha mengembangkan intervensi yang sesuai dengan kondisi kliennya agar mendapatkan hasil yang optimal. 4. Partsipasi Pada prinsip ini pekerja sosial didorong untuk menjalankan perannya sebagai fasilitator, dari peran ini pekerja sosial diharapkan akan 17 Isbandi Rukminto, “Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”, Jakarta: FISIP UI Press, 2005, h. 81.